Translate

Kamis, 19 Desember 2013

Siapakah penjaga Papua, ada apa tanggal 19 Desember di Papua, Indonesia?

                             Artikel "Siapakah penjaga Papua, ada apa tanggal 19 Desember di Papua, Indonesia?" pada pencarian googling melalui kategori "images" ternyata menempati urutan pertama dan ketiga seperti terlihat pada profil foto blog untuk "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua" dan "PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity)"


Siapakah penjaga Papua, ada apa tanggal  19 Desember di Papua, Indonesia?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta 

Jawaban tentang pertanyaan ada apa tanggal 19 Desember di Papua, Indonesia dicatat dalam world historical record. Dikatakan pada tanggal 19 Desember ada beberapa peristiwa penting di dunia. Tanggal 19 Desember 1961 dicatat sebagai peristiwa penting dunia karena pada saat itu, Soekarno, presiden Indonesia pertama, mengumumkan perangnya kepada pemerintah Belanda yang pada saat itu belum mengakui kedaulatan Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia yang dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 baru diakui oleh Belanda pada tahun 1949 sesudah Indonesia melancarkan perang revolusi selama empat tahun. Dalam empat tahun itu ada beberapa kali dilakukan perjanjian antara Indonesia dan Belanda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai fasilitatornya. Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun. Daerah jajahan Belanda di Indonesia, pada tahun 1942-1945 berada dalam kekuasaan Jepang. Perang Pasifik, yang kemudian terkenal sebagai perang dunia  ke-2 membebaskan Indonesia dalam penjajahan Jepang, sekaligus Belanda. Perang Dunia II menjadi tanda perjanjian kehancuran dunia yang harus dihentikan. Daerah-daerah jajahan di seluruh dunia melakukan perjuangan pembebasan. PBB menyatakan resolusi pengakhiran penjajahan di dunia pada tahun 1957.

Perdebatan Belanda dan Indonesia terhadap Papua akhirnya berakhir pada perang Trikora yang dipimpin oleh Soekarno. Tanggal 19 Desember 1961 adalah pengumuman perang TRIKORA sesudah kejadian tanggal 1 Desember 1961, Papua menaikan benderanya. Tentang “ ada apa pada tanggal 1 Desember di Papua”,  saya menulis artikel terpisah yang dipublikasikan 18 hari lalu di blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua untuk pembaca dalam bahasa Indonesia dan blog saya berbahasa Inggeris yaitu  PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity).

Pertanyaan yang saya ingin renungkan dalam perayaan tanggal 19 Desember 2013 adalah bagaimana tanggungjawab Indonesia terhadap Papua. Pertanyaan ini sebenarnya berasal dari seorang Papua yang bertemu saya di Serui ketika saya berkunjung di sana. Katanya: “Ibu, Papua adalah tanggungjawab Yogyakarta”. Saya kaget ketika orang tua itu menyebut kata Yogyakarta. Kemudian saya segera ingat tentang peristiwa 19 Desember. Jawaban saya. “Betul, Yogyakara pada waktu itu adalah pusat angkatan udara RI sehingga pengumuman perang TRIKORA untuk membebaskan Papua dari Belanda dilakukan di sana”. Kemudian bapak menjelaskan tentang maksudnya.  “Ibu, Papua bukan sekedar teritori Indonesia, Papua punya manusianya. Apa tanggungjawab Yogyakarta untuk manusia Papua? Saya makin kaget mendengar pertanyaan yang sangat mendalam itu.

Pertanyaan itu tinggal dalam diri saya bertahun-tahun. Pertanyaan sudah lama ada dalam diri orang-orang asli Papua, tapi baru beberapa tahun lalu menyampaikan kepada saya. Mereka tahu saya orang Yogyakarta dan mereka minta Yogyakarta melakukan sesuatu untuk orang-orang Papua.  Tetapi saya saya tahu siapakah saya untuk berbuat kepada Papua. Apakah saya mengerti yang dipikirkan oleh bapak tersebut? Pertanyaan ini sekarang terlalu kuat untuk disimpan dalam diri saya sesudah kecelakaan pada tanggal 4 November yang lalu, yang kemudian saya bisa merasakan getaran kesakitan itu dengan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara saya di Papua.  Mengapa sekarang baru saya ingat kembali perkataan sang bapak  dari Papua yang seolah-olah menusuk-nusuk tulang belakang saya yang masih rentan?

Apa tanggungjawab Yogyakarta untuk Papua? Pertanyaan ini sebenarnya untuk Indonesia, apa tanggungjawab Indonesia untuk Papua? Apa yang ada dalam benak presiden Soekarno ketika memutuskan untuk menyerang Belanda di Papua? Apakah Soekarno menyerang hanya Belanda atau sebenarnya juga Papua?  Apakah Soekarno berpikir tentang manusia Papua selain klaim teritori Papua bagian dari Indonesia?

Saya bayangkan Soekarno penuh percaya diri melakukan penyerangan kepada Papua sesudah yakin mendapat dukungan dari Amerika Serikat yang  sedang berkonfrontasi dengan Uni Sovyet di awal perang dingin mereka. Kemenangan Indonesia terhadap Papua yang menyebabkan Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia pada tanggal  1 Mei 1963 sebenarnya telah mempengaruhi penetapan Soekarno oleh MPRS pada bulan Mei 1963, sebagai presiden seumur hidup.  Kekuasaan absolut yang dimiliki Soekarno telah menyingkirkan pemimpin demokrat lainnya seperti Mohammad Hatta yang memandang kepemimpinan Soekarno sangat berbahaya bagi NKRI bukan terutama karena konsistensinya pada markisme termasuk kemudian kebesaran jiwanya untuk tidak membubaskan partai komunis.  Bahaya yang dilihat oleh Hatta adalah komitmen Soekarno untuk memberikan ruang keindonesiaan diterapkan dalam sistem demokrasi yang memungkinkan daerah-daerah memiliki akses untuk mengelola pemerintahannya dalam koridor NKRI. 

Saya menulis artikel ini untuk kembali mempertanyakan kepada pemerintah Indonesia, siapakah penjaga Papua? Siapakah yang bertanggungjawab kepada Papua?  Saya pernah menulis artikel berjudul “ Refleksi Integrasi Papua, 1 Mei 1963! Membangun Kesadaran NKRI untuk Papua!”.  Dalam artikel tersebut saya menjelaskan tentang penyatuan Indonesia sesudah perang dunia kedua didasarkan pada prinsip hukum internasional “Uti possidetis juris” yaitu kepemilikan mengikuti kenyataan pemilikan yang diperoleh karena penyatuan yang dilakukan berdasarkan ekspansi kekuasaan yang dilakukan untuk memperebut dan memperluas daerah.  Kata  “Uti possidetis juris” adalah istilah dalam bahasa Latin yang menjelaskan sekaligus konteks politik daerah-daerah penguasaan Roma kuno yang keluar dari Eropa selatan ke Afrika dan Asia, tetapi kemudian ditaklukan lagi oleh negara-negara yang bangkit kemudian melawannya. Daerah-daerah diperebutkan dan ditaklukkan karena kekuatan militer yang kuat.

Teritori Indonesia sekarang tidak bedanya dengan daerah-daerah yang ada dalam rebutan dari Roma ke Mesir ke Persia ke Tunisia dan seterusnya. Indonesia adalah teritori yang ada dalam mimpi Gadjamada, panglima perang kerajaan Hindu Majapahit. Sumpah Palapa adalah sumpah dari Gadjahmada untuk menaklukkan semua daerah yang terkait dengan jalur perdagangan rempah-rempah.  Sejak itu Majapahit  dan Sriwijaya berkuasa ratusan di daerah yang disebut nusantara (pulau-pulau di antara) kemudian silih berganti penguasaannya saling diperebutkan ke Sriwijaya, Mataram Hindu, Mataram Islam, raja-raja Islam lokal, seperti kesultanan Ternate dan Tidore, penjajahan Portugis, Belanda, Inggeris, Nuku, kembali ke Belanda, Jepang dan sekarang kedaulatan daerah-daerah di bawah Republik Indonesia.

Pengumuman perang Indonesia pada tanggal 19 Desember 1961 kepada Belanda, sebenarnya sangat sejajar diletakkan dalam perspektif perluasan teritori seperti yang saya gambarkan di atas.  Soekarno ternyata masih terkungkung dalam praktek politik internasional “Uti possidetis juris”.  Visi pembebasan Indonesia dari penjajahan yang dilandasi oleh hak kedaulatan setiap bangsa untuk meraih kembali kemartabatannya sesudah berabad-abad hilang dalam kekuasaan sesama bangsa lain, ternyata seperti dibuktikan dalam sejarah, belum bisa diwujudkan oleh Soekarno. Visi Soekarno seperti yang disampaikan pada pidato-pidato yang membakar perjuangan negara-negara koloni seperti disampaikan dalam gerakan non-blok  di Bandung belum bisa diimplementasikan dalam sistem ketatanegaraan yang bisa mengakomodasikan prinsip hak-hak asasi manusia dalam negaranya sendiri. 

Cita-cita Soekarno, adalah cita-cita Indonesia berhenti sebagai suatu kepuasaan kekuasaan tanpa memperhatikan implementasinya dalam kedaulatan masyarakat. Perangkat hukum dari yang tertinggi, Pancasila sampai Undang-Undang Dasar menurunkan cita-cita dari semua warga Indonesia.  Kepemilikan Indonesia dalam NKRI  bukan lagi sekedar kepemilikan teritori, tetapi kepemilikan yang berkaitan dengan visi bersama dalam bangsa. Kebijakan-kebijakan yang dibangun adalah bagian dari upaya penegakkan cita-cita luhur Indonesia seperti tertulis dalam Pancasila, sebagai dasar negara, yang diturunkan lebih jauh dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.  Turunan dari Undang-Undangan Dasar mengalami penyesuaian sesuai dengan kedewasaan tingkat demokrasi dalam masyarakat.

Pengumuman perang TRIKORA, tanggal 19 Desember 1961, yang dilakukan oleh Soekarno terjadi ketika kematangan wacana demokrasi belum mampu diterjemahkan dalam kebijakan politik NKRI sehingga sentralisasi pemerintah di pusat negara telah mengancam keseimbangan kedaulatan rakyat di seluruh Indonesia. Pemaparan konteks demokrasi ketika Soekarno merebut Papua sangat penting diakui oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.  

Pada pihak lain, dampak perang dunia kedua telah meletakkan fondasi baru terhadap praktek politik internasional berdasarkan  prinsip ““Uti possidetis juris”  yang ternyata harus diikuti oleh pengakuan terhadap kedaulatan rakyat  dari suatu negara untuk menyatakan kesediaannya berintegrasi dengan negara tertentu.  Hal ini bisa terlihat dari tindakan politik yang terjadi dengan Papua. Sekalipun perang Trikora membawa kemenangan kepada Indonesia,  dan pengakuan Belanda melalui penyerahan Papua kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, tetapi tidak otomatis Papua langsung berada dalam kedaulatan Indonesia.  Karena kemenangan itu sebenarnya bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri bebas dari Belanda, Amerika Serikat maupun Indonesia. Ini bisa terlihat dari resolusi PBB yang mewajibkan baik Indonesia dan Belanda berhenti perang dan pengendalian pengaturan pemerintahan sementara menunggu sampai terselenggaranya pemungutan suara rakyat dilakukan, berada dalam kendali UNTEA (PBB).

Sesudah proses ini, kita tahu apa yang terjadi yaitu rakyat Papua melakukan PEPERA yaitu pemungutan suara rakyat, tetapi bukan berdasarkan prinsip one person one vote seperti yang sudah saya jelaskan ketika menguraikan perbandingan pengalihan kekuasaan antara Afrika Selatan dan Papua.  PEPERA dilakukan berdasarkan voting dari 1026 suara untuk mewakili ratusan ribu warga asli Papua yang ada pada saat pelaksanaan PEPERA dari bulan Maret – Agustus 1969.

Integrasi Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963 yang diupayakan  oleh Soekarno ternyata bernasib buruk karena hanya dalam dua tahun kemudian kekuasaan Soekarno hilang sebagai dampak dari perang dingin yang telah menyebabkan banyak orang Indonesia yang dituduh terlibat komunis terbunuh tanpa perlawanan sedikitpun. Sesudah itu, selama 32 tahun, Indonesia di bawah pemerintah Soeharto menguatkan kebijakan ketahanan nasional di mana peran ABRI dalam tugas penyelenggaraan negara menyatu dengan ketahanan sipil.  Kedua peran ini dikenal dengan sebutan dual fungsi ABRI.  ABRI adalah penjaga teritori NKRI sekaligus penjaga kedaulatan sipil yang sebenarnya harus dijaga oleh masyarakat sipil itu sendiri.

Syukurlah Gerakan Reformasi telah mengembalikan fungsi ABRI kepada pengertiannya dalam menjalankan ketahanan nasional terpisah dari tugas-tugas sipil.  Gerakan Reformasi juga telah membuka pintu demokratisasi di Indonesia.  Pancasila sebagai dasar negara kembali diuji melalui gerakan reformasi yang berdampak di daerah-daerah. Nasionalisme kedaerahan menguat, yang terkesan seolah-olah ingin memisahkan diri dari Indonesia. Pada pihak lain, pergerakan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis ideologi agama juga menguat. Transformasi fungsi ABRI pada masa Gerakan Reformasi yang terjadi tidak lama sebelum peristiwa 11 September 2001 menyebabkan Indonesia membutuhkan kembali ABRI sebagai penjaga Indonesia dalam teritori negara kesatuan.

Sydney Jones dari International Crisis Center menulis artikel untuk membandingkan arah perjuangan kelompok radikal Islam dan OPM yang keduanya dikategorikan sebagai bentuk perjuangan untuk memisah dari Indonesia.   Kelompok radikat Islam berupaya untuk menjadikan Indonesia dibawah ideologi Shariah dan bukan Pancasila, serta OPM sebagai gerakan partiotisme Papua yang sejak awal integrasi dengan Indonesia sampai sekarang masih memperjuangkan keterpisahan Papua dari Indonesia.  Kedua kelompok ini dalam perjuangannya menimbulkan korban. Gerakan radikal Islam melakukan memindahkan pusat gerakan dari masyarakat kepada polisi untuk menghindari korbannya yang kebanyakan adalah orang muslim sendiri. Selain itu, tujuannya adalah untuk mendapat persenjataan.

Sementara serangan OPM kepada polisi dilakukan dengan target mendapat senjata, disamping serangan dilakukan kepada kaum pendatang dan turisme.  Tujuan utama dari gerakan OPM ini adalah untuk penguatan kepemimpinan terhadap perjuangan sejarah integrasi Papua ke NKRI yang belum tuntas penyelesaiannya.  Indonesia dilihat sebagai kekuatan imperialis, penjajah karena proses pengalihan kekuasaan yang dilakukan tanpa memperhatikan hak kedaulatan orang asli Papua sesudah PBB menetapkan resolusi 1957 tentang penghapusan kolonialisasi di muka dunia.  Bukti koloniliasasi Indonesia makin diperkuat dengan kenyataan eksploitasi bangsa Indonesia terhadap sumber daya alam di Papua tanpa memperhatikan kesejahteraan dan keadilan kepada orang asli Papua.  Tuntutan keadilan orang asli Papua yang kehilangan hak-haknya untuk mengendalikan pembangunan di daerahnya sendiri makin kuat sekalipun pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus kepada Papua, yang dinilai oleh masyarakat sebagai proyek Jakarta yang gagal diterapkan di tanah Papua.

Sydney Jones juga melihat evolusi kelompok radikal Islam mulai mengarahkan gerakannya untuk mempertahankan Papua dengan menghubungkan Papua dalam teritori Islam sejak jaman kesultanan di Maluku Utara.  Sementara dari gerakan OPM, tujuannya  yang masih sama yaitu menginginkan kemerdekaan Papua, termasuk juga membangun kantornya dibeberapa tempat seperti di London dan Post Moresby. Modus operantus separatisme yang berhadapan langsung dengan Islam juga terlihat ketika Maluku digoncangkan dengan konflik antara warga, dimulai dari konflik antara pendatang  (BBM yang berarti Buton Bugis Makassar) dengan orang asli Maluku yang terdiri dari Islam dan Kristen yang hidup dengan damai di tanah Maluku. Kemudian kelompok Maluku yang muslim bersatu dengan BBM melawan kelompok Kristen Maluku. Pada tahap ketiga adalah kelompok separatisme Maluku (RMS) berhadapan dengan kelompok jihad dan tentara. Terhadap hal ini saya pernah menulis untuk mengingatkan masyarakat supaya berhati-hati tidak terpancing oleh upaya disintegrasi yang akan mendorong pada perang saudara sekalipun perang saudara juga akhirnya terjadi.

52 tahun sesudah Indonesia melakukan penyerangan kepada Papua pada tanggal 19 Desember 1961, sampai saat ini Papua masih dihadapi dengan ketakutan. Upaya pemerintah dengan memberikan UU Otsus Papua, nomor 21 tahun 2001 ternyata masih belum berhasil karena berbagai persoalan yang saling tumpang tindih terutama adanya kenyataan  korupsi dilakukan oleh kalangan elite Papua sendiri sehingga menimbulkan gerakan antipati dari masyarakat asli Papua.   Selain ketakutan karena Papua dianggap sebagai daerah yang dicap separatisme, sehingga polisi dan militer mendudukinya. Saat ini organisasi radikal Islam juga mulai mengambil tempat untuk menduduki Papua berhadapan langsung dengan kelompok OPM. Pergeseran penjagaan Papua ini seharusnya dapat diselesaikan pemerintah terutama mengingat dampak dari ketiadaan hak rasa aman masyarakat biasa.  Karena sampai saat ini, sejak serangkan 19 Desember 1961, adalah sekitar 500.000 rakyat biasa, orang asli Papua, warganegara NKRI yang meninggal karena upaya mengatasi gerakan separatisme di Papua.

Membaca penggambaran sejarah politik Papua dengan berbagai muatan kepentingan dunia dalam penentuan nasib Papua, tulisan ini beragumen bahwa masyarakat Papua adalah yang berhak menjaga kedaulatannya sendiri.  Mengalirnya tekanan dari kelompok radikal Islam ke Papua sudah ditanggapi oleh baik kelompok muslim Papua maupun Kristen Papua tentang kedaulatannya.  Upaya untuk memecahkan orang asli Papua sudah dimengerti oleh masyarakat Papua sendiri yang sekarang bersatu untuk bertanya kepada pemerintah Indonesia tentang pertanggungjawabannya dalam penyelesaian konflik Papua.  Dalam kaitan dengan itu, saya sebagai moderator dari Petisi Warganegara NKRI untuk Papua berharap pemerintah RI melakukan upaya penyelesaian konflik Papua dengan mengikuti perundangan yang sudah diputuskan oleh pemerintah sendiri dari UU Otsus Papua terkait dengan penyelesaikan HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar