Menyambut Pidato Hasyim Muzadi. Catatan Seorang Warganegara Kepada Pemimpin Bangsa
Bagian kedua: Memahami “toleransi” , HAM dan Agama
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Istilah yang muncul dalam konteks pidato KH Hasyim Muzadi adalah “toleransi” Islam di Indonesia dibandingkan di tempat lain di dalam Indonesia sendiri maupun di beberapa negera di dunia. Istilah toleransi dijelaskan untuk menangkal rekomendasi Dewan HAM PBB tentang intoleransi Indonesia terkait dengan kondisi sosial politik yang menyebabkan hak-hak dasar warganegaranya tidak terpenuhi.
Tentu saja bisa mengagetkan bagi Indonesia yang negaranya paling religis dan beragama mendapat teguran ini. Agama adalah segala-galanya bagi manusia Indonesia. Mengapa agama dengan capaian keutamaan ajarannya seolah-olah diragukan karena ternyata dampaknya menyebabkan keresahan ketidakdamaian bagi semua warganegara? Tiba-tiba di dalam masyarakat yang beragama ini terjadi serang menyerang sehingga menyebabkan kekerasan melebihi peristilahan yang dipakai baik oleh Dewan HAM PBB maupun dalam pidato KH Hasyim Muzadi, “toleransi dan intoleransi”.
Isi pidato KH Hasyim Muzadi tidak sedikitpun menyinggung tentang kekerasan sebagai dampak dari kondisi intoleransi dalam mengelola hubungan beragama di Indonesia. Penonjolan kekerasan terutama terjadi di wilayah-wilayah di mana mayoritas muslim berada seperti terlihat dari berbagai tindakan memobilisasi massa. Massa digiring untuk melakukan menyerang dan menduduki daerah-daerah yang dianggap “haram” untuk suatu kegiatan dilakukan karena bertentangan dengan ajaran agama mayoritas.
Misalkan pendirian gereja di lokasi di mana mayoritas muslim berada dianggap “haram”. Ajaran Ahmadiyah dianggap “haram” selama mereka masih mengakui sebagai Islam. Kegiatan diskusi yang dilakukan dengan menghadirkan tokoh internasional Irshad Manji dianggap “haram” sekalipun tujuannya membangun teologi tentang Allah yang mengasihi, tetapi teologi ini dianggap sesat karena dilahirkan dari seorang lesbian yang keberadaannya bukan bagian dari wahyu yang tercatat dalam kitab suci. Dengan menggunakan asumsi yang sama, “pembawa ajaran sesat”, Lady Gaga juga ditolak untuk melakukan pertunjukkan di Indonesia.
Peristilahan “toleransi” dan “intoleransi” dipilih untuk menunjukkan adalah kondisi mendasar yang bisa tersedia yang memungkin terjadi suatu perjumpaan saling menerima atau saling menolak. Peristilahan ini dipilih untuk setidaknya merepresentasikan kondisi material minimal yang tersedia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai jaminan yang diberikan oleh negara. Ketika Dewan HAM PBB menerbitkan istilah intoleransi untuk menjelaskan keberadaan Indonesia bukan sekedar mengambil perbandingan dari keberadaan kehidupan negara-negara barat tetapi sebenarnya menggunakan ukuran yang sudah ada dalam tata hukum Indonesia sendiri.
UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan ratifikasi Indonesia terhadap deklarasi HAM Dewan HAM PBB. Pasal 4 menjelaskan tentang berbagai hak."Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun". Nilai-nilai inilah yang dievaluasi oleh Dewan HAM PBB terhadap kondisi mendasar yang dapat disediakan negara bagi warganegaranya.
Kehidupan bertoleransi ternyata belum bisa dijaminkan oleh negara. Lalu muncul pertanyaan apakah nilai-nilai dasar HAM ini tidak tersedia dalam ajaran agama. Sesudah pasal 4 dibentangkan untuk dicermati, ternyata penjelasan hak-hak dasar ini tidak sedikitpun berwajah Barat atau Timur, tetapi nilai-nilainya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan inilah adalah nilai-nilai yang juga diperjuangkan oleh agama. Hanya sayangnya, nilai-nilai ini belum sedikitpun tercermin dalam perilaku beragama di Indonesia di mana agama-agama, yaitu manusianya saling berelasi.
Sebagai seorang warganegara Indonesia, saya bertanya-tanya mengapakah kondisi minimum ini belum bisa terpenuhi dalam cara manusia Indonesia beragama? Dalam tulisan saya lainnya, sebenarnya saya sudah menjelaskan bahwa kondisi toleransi saja ternyata belum cukup untuk memungkinkan manusia Indonesia bisa hidup sejajar, setara, seadil di hadapan agama dan hukum negara.
Toleransi sebagai nilai bersifat pasif sehingga tidak ada upaya yang progresif untuk menjangkau mereka yang berbeda dari diri kita sendiri. Untuk bisa melangkah diperlukan metodologi lain yaitu kemauan untuk mengakui tentang perbedaan di antara manusia, suatu kesediaan untuk membangun pengakuan yang keluar dari rumusan identitas secara doktrinal.
<farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/.../pluralisme-dan-panca...>
Lebih jauh yang sangat mengherankan kepada saya adalah kenyataan negara dalam hal ini pemerintah tampil begitu lemah sehingga nilai-nilai yang sudah dijaminkan dalam perundangan tidak bisa memberikan perlindungan kepada warganegaranya. Apakah ini cara politik negara untuk mempermainkan warganegaranya, dengan menerima nilai-nilai dasar HAM supaya bisa berelasi secara internasional, tetapi kemudian meninggalkannya.
Perundangan penjaminan hak dasar warganegara Indonesia ini merupakan produk Reformasi, tetapi sangat disayangkan, sejak awalnya, belum terlihat kemajuan yang diperlihatkan negara dalam mengatur kehidupan bersama beragama di Indonesia.
Untuk refleksi gerakan Reformasi tahun ini saya menuliskan lebih jauh kekuatiran saya tetapi juga harapan perubahan cara warganegara Indonesia bisa hidup bersama. Memang negara harusnya bisa membangun mekanisme kehidupan bersama, tetapi sangat benar, dibutuhkan juga dukungan dari warganegara. Negara tampil menegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh warga. Mesin politik hukum inilah yang tidak berjalan dengan baik, sehingga masyarakat sebagai warganegara yang merasa mayoritas kemudian mengambil alih kendali pengamanan kehidupan sosial politik di tanah air.
Terlihat dengan jelas tampilah “polisi” dalam polisi atau “paramiliter” dalam militer. Penampilannya berwajah kekerasan bahkan dengan sengaja sebenarnya sedang mencoreng kemuliaan ajaran agamanya sendiri. Sangat disayangkan kelompok-kelompok paramiliter ini seolah-olah lupa bahwa mungkin saja mereka juga sedang diperalat untuk kepentingan politik yang lebih besar. Bahkan bisa terjadi adanya kongkalikong di antara paramiliter dengan pemerintah untuk memanfaatkan isu agama dan isu SARA lainnya memecah warga negara.
Anggapan tentang masyarakat sipil yang lemah sebaiknya menjadi pendorong untuk seluruh warganegara Indonesia menyadari dirinya melakukan insiatif meraih setiap sesama yang berbeda. Anggapan ini bisa tampil sebagai fantasi yang pelan-pelan ditanamkan dalam benak setiap warganegara bahwa esensi “kekitaan” yang berbeda di Indonesia merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan berbangsa di tanah air. Ketika kita beranggapan demikian pada saat itulah sebenarnya, Indonesia menjadi tidak aman lagi untuk dihidupkan.
Dengan kehidupan dunia saat ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, hampir sulit dipungkiri bahwa kita hidup dalam dunia sendiri. Sekarang ini, di mana-mana akan ditemukan mereka yang berbeda dengan diri kita sendiri. Perbedaan karena status sosial, orientasi jender, etnis, agama. Pandangan homonormatif sebagai dasar berpikir dan menafsir ajaran agama sudah saatnya ditinjau kembali dengan menemukan kembali ajaran-ajaran keragaman yang tersedia dalam agama kita sendiri.
KH Hasyim Muzadi menyinggung isu menara mesjid di Swiss, yang ditolak untuk didirikan di sana. Penolakan tersebut memang difokuskan kepada menara mesjid bukan kepada mesjid. Mesjid diizinkan dibangun tetapi tanpa menara. Tentu saja, ada konteks yang berbeda di mana tradisi menara mesjid yang darinya akan mengeluarkan adzan melalui load speaker dengan menara gereja yang hanya mengeluarkan bunyi lonceng. Warga Swiss terbiasa menengar lonceng seperti angin bukan adzan yang mungkin “mengganggu” pendengaran mereka.
Diskusi ini sangat menarik ketika Tariq Ramadan, seorang intelektual muslim yang besar di Swiss mengangkat contoh ini dalam pertemuan di American Academy of Religion (AAR) beberapa tahun lalu di Quebec, Kanada ketika saya juga hadir dalam kesempatan tersebut. Tariq menjelaskan secara harafiah, kedua simbol budaya tidak tercatat dalam kitab suci, tetapi berkembang sebagai peradaban yang menghadirkan unsur hegemonik kekuasaan.
Cerita ini mengingatkan saya tentang diskusi lain di Yogya ketika warga sedang membahas apakah dibolehkan orang kristiani melakukan ibadah-ibadah di rumah mereka. Kemudian ada seorang muslim yang taat, seorang sesepuh di kampung mengatakan, tentu saja dibolehkan, karena setiap hari dari pagi sampai malam, dari mesjid dikumandangkan panggilan adzan yang sebenarnya juga akhirnya didengar oleh non muslim di sekitarnya. Jadi inilah hak mereka untuk juga beribadah apalagi suaranya tidak sekeras suara load speaker dari mesijd.
Ketika warga masyarakat di Halmahera Utara, di Galela sedang merajut kembali kesatuan mereka yang hancur dari kekerasan massa beragama, kaum muslim meminta supaya gereja juga memasang load speaker seperti yang dipasang di mesjid. Tujuannya supaya warga semua bisa mendengar khotbah yang disampaikan baik dari mesjid maupun dari gereja untuk mengawasi kalau ada terselip ajaran hasutan yang disampaikan dari mimbar untuk memanasi emosi umat. Kemudian baik umat muslim dan kristiani setuju melakukannya demi upaya mereka bersama mengerti isi ajaran agama yang sebenarnya membawa kepada keselamatan daripada kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar