Translate

Senin, 28 Mei 2012

Bentangkan Iman Puan Gigi dan Faith of Lady Gaga


Perjalanan Iman Perjalanan Mendunia
Bagian Kedua: Bentangkan Iman Puan Gigi dan Faith of Lady Gaga!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Bukan karena saya seorang perempuan yang menulis tentang iman. Bukan juga karena gugatan pemuka agama Indonesia, yang kebanyakan para lelaki sebagai keraguannya atas iman Lady Gaga. Bukan juga karena pertemuan saya dengan berbagai perempuan biasa, mereka yang saya sebut Puan Gigi. Bukan karena mereka, saya menulis tentang iman.

Mereka semua tampil dengan sangat indah sebagai ciptaan Ilahi yang menyebabkan saya selalu terkagum-kagum ingin mengerti representasi dirinya sebagai manusia. Mereka ada di mana-mana ketika dalam berbagai kesempatan saya bertemu, menyapa sampai cerita kami mengalir membentuk tulisan ini.

Dimulai dari Puan Gigi:
Seperti kejadian yang terjadi di awal bulan Mei. Saya tergesa-gesa mengejar pesawat di Cengkareng. Dengan ringan saya setengah berlari takut ditinggalkan oleh Lion. Walaupun saya juga tahu Lion sering telat terutama kalau berangkat pulang ke Yogya malam hari. Ketika saya sedang menggegas, dalam jarak kurang lebih 50 meter menuju ke belokan pintu 6, saya melihat seorang ibu tertatih tatih.

Saya terus bergegas. Semakin dekat terlihat ibu itu tiba-tiba menjatuhkan dirinya pada kursi di samping koridor tak jauh dari tanda pintu 6. Tersentuh hati saya, sambil berkata ketika hendak melewatinya, saya memutuskan berhenti:”Selamat malam ibu, apa yang bisa saya bantu. Apakah ibu juga akan ke ruang tunggu di pintu 6?”. Ibu itu mengangguk. Ia menjelaskan bahwa tiba-tiba lututnya sakit sehingga ia sulit berjalan. Saya menimpali: “Kalau ibu berkenaan, saya bisa membantu memapah ibu. Saya juga akan ke ruang tunggu di pintu 6”.

Ibu ini tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. Saya menyambut dan menolongnya berdiri. Kemudian kami berdua berjalan pelan, sangat pelan. Saya memperhatikan wajahnya yang miris kesakitan, tetapi juga ada senyum. Ia tabah!

Sepanjang jalan kami diam. Saya tidak memaksanya bercerita karena saya menahan diri untuk bertanya. Kesakitan yang tiba-tiba datang bukan saja menyakitkan dirinya, sayapun merasakan sakit. Memapahnya seperti saya sedang memapah ayahanda ketika ia lumpuh dimasa akhir hidupnya. Berdiam, menenangkan hati saya mungkin akan menenangkan perasaan ibu ini.

Ia berjilbab dengan warna maron bening. Mukanya masih segar dengan umur kira-kira di atas limapuluhan. Kadang-kadang saya meliriknya untuk meyakinkan bahwa perjalanan tertatih ini masih bisa diteruskan. Kemudian ia meminta berhenti sebentar. Saya menawarkannya untuk duduk lagi, tapi ia tetap berdiri sambil menyadarkan tubuhnya ke saya. Tas tangan saya diturunkan dari bahu kiri, kemudian saya merasa kuat menahannya. Hanya kira-kira dua menit, ia tersenyum dan berkata bisa berjalan lagi. Kami melangkah lagi!

Tiba di ruang tunggu saya menuntunnya sampai di tempat duduk, kemudian ke bagian counter untuk melaporkan keadaannya dan meminta disiapkan kursi roda. Petugas mencatat informasi  saya dan meminta saya menghubungi mereka lagi ketika panggilan keberangkatan diumumkan. Mereka akan membantu ibu itu sampai naik ke pesawat. Saya kembali ke tempat kami duduk bersama dan menjelaskan kepadanya pesan dari petugas itu.

Kekuatiran kami ternyata tidak beralasan. Lion telat berangkat. Kami menunggu hampir satu jam sehingga akhirnya kami bercerita. Cerita mengalir seolah-olah kami sudah kenal lama walaupun kami tidak saling memperkenalkan nama.  Ibu ini membuka hatinya. Ia mengatakan bahwa Ia bertanya-tanya kepada Allah apa yang sudah dilakukannya, yang menyebabkan Allah memberinya kesakitan tiba-tiba di lutut.  Pengakuannya mengingatkan ia kepada ibu saya, seorang Pentakosta yang selalu percaya hubungan antara “sakit” tubuh dengan kesalahan manusia, sebagai “dosa”, sebagai penyebab kesakitan yang diderita seseorang.

Ia terus mencurahkan isi hatinya. Beberapa tahun lagi ia akan pensiun. Teman paling dekatnya, yang duduk saling berdekatan di kantor baru saja meninggal. Dengan nada pasrah ia bercerita tentang temannya yang mendahuluinya seolah-olah tidak mau ditinggal sendirian di kantor sesudah ia pensiun.

Kemudian saya tahu di akhir waktu sebelum kami berpisah, ibu ini adalah seorang tokoh di kota Yogyakarta yang bekerja langsung dengan petani dalam kedaulatan pangan. Setiap tempat, kabupaten, kecamatan dan desa yang menjadi tempat di mana ia mengunjungi petani-petani  seolah-olah menghadirkan saya di sana. Tempat-tempat ini dikunjunginya dan saya juga berada di sana. Hanya kami tidak saling tahu ketika di lapangan. Kami kerja sendiri-sendiri.

Ia mengeluh tentang media yang condong melupakan kerja-kerja perempuan dalam mempertahankan keunikan pangan lokal. Sebagai seorang PNS yang bekerja dengan petani perempuan, ia sudah ke mana-mana di seluruh Yogya. Nasibnya bertemu dengan saya sehingga bisa membagikan cerita yang penting tentang perjuangannya mengangkat harkat perempuan kecil di pedesaan.

Pengalaman saya memfasilitasi upaya dokumentasi cerita-cerita perempuan kemudian mendekatkan saya dengannya. Mungkin Allah punya maksud saya bertemu dengannya, sehingga bisa membangun kerjasama dengannya dari apa yang dibutuhkannya dan apa yang bisa saya bantu. Tuhan punya rencana, supaya kami bisa bekerja sama membangun Yogyakarta, membangun Indonesia bersama-sama. Sejak malam itulah, saya menambahkan perempuan ini dengan cita-citanya untuk menjadi bagian dari cita-cita saya.

Perempuan ini, ibu ini saya menyebutnya Puan Gigi. Gigi terkait dengan senyuman manis seorang perempuan, seorang puan. Ketika Puan Gigi merasa sakit, saya memapahnya, tetapi ia terus tersenyum. Senyum dan keramahtamahan perempuan membuat ia menjadi ibu, ibu dari kebijaksanaan yang berakar mendalam pada imannya kepada Allah SWT. Ia tidak saja mengasihi dirinya sendiri, juga bukan hanya keluarganya, tetapi perempuan-perempuan di pedesaan yang bekerja untuk mengubah dunia di sekitarnya.

Dilanjutkan Lady Gaga:
Saya tidak pernah bertemu dengan Lady Gaga sebagai pribadi. Saya pernah tinggal di kota yang melahirkan Lady Gaga. New York City adalah kota yang sangat menginspirasikannya. Kota ini sama dengan kota-kota lainnya, selain Amsterdam, adalah kota yang setiap saya mengingatnya, mengalirkan semangat. Dalam “Jakarta Jakarta Jakarta”, saya menuliskan tentang semangat hidup kaum urban di sana. New York City berbeda dengan Jakarta. Tidak ada kemacetan di New York City. Sistem transportasi terbaik di Amerika Serikat ada di New York City.

Siapa tahu  suatu saat saya akan tinggal di New York City? Sebagai seorang dengan minat sejarah yang tinggi, ketika saya belajar di Amsterdam, New York City sudah menarik hati saya. Inilah kota yang oleh pemerintah kolonial Belanda ditukarkan dengan kepulauan Banda, penghasil pala, “fuli” (kulit pembungkus biji pala) di Maluku Tengah kepada British Empire. Pada waktu itu, daerah-daerah di Maluku dan seluruh nusantara dikuasai oleh British Empire.   

Sedangkan New York City yang masih bernama New Amsterdam dikuasai oleh pemerintahan Belanda.  Bekas-bekas kota tua New Amsterdam masih terlihat pada terowongan-terowongan di mana subway di sepanjang New York City berada.  Keramik-keramik biru dari Delf dipasang dalam terowongan subway di daerah-daerah sepanjang Bronx ke Manhattan.

Tersesat sudah merupakan bagian dari perjalanan saya di sana. Pernah suatu malam, sesudah saya kembali dari Brooklyn untuk mengunjungi salah satu kelompok muslim di sana yang banyak melakukan kegiatan antar agama, saya tertidur di kereta. Saya harusnya berhenti di stop Universitas Colombia di mana saya harus berjalan menuju ke apartemen dari Union Theological Seminary. Kereta membawa saya sampai di Harlem, tempat yang sangat ditakuti kira-kira 15 tahun ke atas dari sekarang.

Harlem, nama yang mengikuti Harlem, kota tetangga Amsterdam di Belanda, di NYC adalah kota yang melahirkan banyak musisi jazz, di mana kantor yayasan Bill Clinton berada. Di sini, ternyata ketika saya tersesat seseorang menolong menjelaskan jalan balik untuk mengambil trem pulang ke Colombia. Orang-orang kulit hitam ramah dan sopan, walaupun tercium bau alkohol keluar dari mulutnya.

New York City bisa menyesatkan sekaligus dapat mengubah jalan hidup seseorang. Hampir seperti Yogyakarta, di New York City, segala macam lapisan masyarakat hidup. Inilah pintu kota di sebelah pantai timur Amerika Serikat untuk para imigran memasuki tanah pengharapan. Nama-nama mereka tercatat di Ellis Island, suatu pulau di mana patung Liberty berdiri tegak. Patung seorang perempuan yang memegang obor pembebasan adalah simbol keadilan dan kesamaan yang dipancarkan keluar New York City ke mana-mana di Amerika Serikat. Dunia juga dipengaruhi oleh perjuangan pembebasan dari Amerika Serikat.

Patung ini dikerjakan oleh seorang seniman besar Perancis, Frederic Bartholdi yang diberikan kepada masyarakat Amerika Serikat  pada tanggal 28 Oktober 1886. Kekagumannya terhadap kemerdekaan Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1776 yang memberikan inspirasi terhadap bangkitnya revolusi Perancis (1789–1799). Seringkali kita salah mengerti seolah-olah perjuangan Perancis mempengaruhi pembebasan Amerika Serikat. Ini keliru. Sebaliknya terjadi!

Impian tentang pembebasan itu perlu bentuk, praktek langsung di mana kekuasaan diterima sebagai bagian dari konstruksi bersama.  Amerika Utara, dengan AS adalah dunia impian yang dibentuk baru berbeda dari tempat-tempat di mana para imigran datang. Mereka yang datang memasuki Ellis Island, adalah mereka yang sebenarnya dikejar-kejar untuk dibunuh di Eropa karena memegang agama yang dipercayainya.  Iman mendunia terjadi karena dikejar-kejar akan dibunuh.

Barang-barang etnografis yang tertinggal di museum kedatangan imigran di Ellis Island sangat jelas menunjukkan tentang perjalanan seorang manusia melintasi lautan Atlantik dengan hanya membawa satu potong koper kecil. Jumlah pakaiannya tidak lebih dari 3, ada mantel tebal, pakaian dalam selebihnya mereka membawa barang-barang yang paling berharga. 

Barang-barang itu bukan emas, tetapi kitab suci, surat tanda agama misalkan surat baptisan, foto pernikahan, akte pernikahan dan lainnya. Bukti-bukti etnografis yang hampir mirip juga terlihat pada Angel Island di California, yang menjadi pintu masuk imigran di bagian barat Amerika Serikat, terutama pekerja yang membangun rel kereta api yang terkenal dengan nama Pacific Railroad yang menghubungkan Omaha dan Sarcamendo di California di antara tahun 1863-1869.

Tiga generasi berlalu, keluarga dari imigran Italia, dari jalur ayah dan ibu dari keturunan Kanada Prancis  inilah yang melahirkan Lady Gaga. New York City adalah kota ghetto, dimana setiap “borough” terkait dengan warisan masyarakat dari imigran tertentu.  Istilah “borough” dipakai untuk menunjukkan ketersambungan berbagai kota di metropolitan New York City.

Sebelum saya tinggal di New York City bersama program Fulbright, Interfaith Community Action Program, dan mengajar di Barnard College, sekolah perempuan yang berafliasi dengan Universitas Columbia, saya belum terlalu sadar tentang multietnik, multikultural di sana.  Selama hampir dua bulan saya sering bepergian dengan bus dan subway, saya bisa dengar berbagai bahasa dipercakapkan.  Dikatakan di NYC, ada lebih dari 50 bahasa yang diizinkan diajarkan di sekolah-sekolah dengan mendapat subsidi dari pemerintah lokal. 

Tahun 2005, saya membawa suami berlari berpacu dalam ING New York City Marathon. Saya juga harus berlari mengejar metro dari satu stasiun ke lainnya untuk bisa mengikuti suami dari jembatan Verrazano-Narrows Bridge di Staten Island di mana garis permulaan dimulai dan berakhir di Central Park di Manhattan. 

Di beberapa tempat saya bertemu dengan gang-gang berpakaian hitam. Tetapi juga saya melihat jubah-jubah hitam yang dipakai oleh perempuan dan lelaki berjenggot. Kemudian di tahun 2007, saya bertemu orang-orang berjubah hitam berjenggot di Universitas Colombia ketika mendengar mereka mendukung kedatangan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad  yang berbicara dalam kuliah tahunan di Universitas Colombia. Ternyata mereka adalah kaum yang menantikan kedatangan Messiah. 

Lady Gaga adalah seorang New Yorker. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Manhattan Atas di bagian barat, dengan peta kemasyarakatan yang kompleks dan unik di seantero dunia. Hanya New Yorker yang mengerti dunia sebenarnya. New Yorker sekarang tinggal bersebelahan dengan muslim, kristen, yahudi, hindu, budha, bahai, berbagai aliran agama lainnya. Video klip Lady Gaga ketika menyanyikan Yudas mengingatkan saya tentang film gangster of Porto Rico atau gangster dari Chinatown di NYC.

Saya mencatat lirik lagu Yudas.

Ohohohoh
I’m in love with Judas
Ohohohoh
I’m in love with Judas
Judas! Judaas Judas! Judaas
Judas! Judaas Judas! GAGA

When he comes to me I am ready
I’ll wash his feet with my hair if he needs
Forgive him when his tongue lies through his brain
Even after three times he betrays me

I’ll bring him down, bring him down, down
A king with no crown, king with no crown

[Chorus]
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby

Ohohohoh
I’m in love with Judas
Ohohohoh
I’m in love with Judas
Judas! Judaas Judas! Judaas
Judas! Judaas Judas! GAGA

I couldn’t love a man so purely
Even prophets forgave his crooked way
I’ve learned love is like a brick you can
Build a house or sink a dead body

I’ll bring him down, bring him down, down
A king with no crown, king with no crown

[Chorus]
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby

Ohohohoh
I’m in love with Judas
Ohohohoh
I’m in love with Judas

[Bridge]
Ew
In the most Biblical sense,
I am beyond repentance
Fame hooker, prostitute wench, vomits her mind
But in the cultural sense
I just speak in future tense
Judas, kiss me if offenced,
Or wear an ear condom next time

I wanna love you,
But something’s pulling me away from you
Jesus is my virtue,
Judas is the demon I cling to
I cling to

[Chorus]
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby
I’m just a Holy Fool, oh baby he’s so cruel
But I’m still in love with Judas, baby

Ohohohoh
I’m in love with Judas
Ohohohoh
I’m in love with Judas

Judas! Judaas Judas! Judaas
Judas! Judaas Judas! GAGA

Yudas mewakili fenomena New York City.  New York City melahirkan Lady Gaga menjadi seorang penyanyi dunia. Kedatangannya di Indonesia dipersoalkan karena ia dianggap menyebarkan ajaran setan. Siapakah yang menyebarkan ajaran setan?  

Menurut saya Lady Gaga dengan sangat gamblang menunjukkan ketegangan iman dalam hidup manusia, antara tarikan setan dengan Allah seperti yang dihayatinya melalui lagu Yudas. Di satu pihak ia ingat Yesus tetapi ia terbawa oleh tarikan Yudas. Pribadi Yudas juga ada sebagai ketegangan dalam seorang beragama yang berkorupsi? Atau seorang agama yang membenci orang yang berbeda dari caranya beragama? Atau seorang beragama yang menggunakan kekerasan untuk mengontrol iman orang lain? Atau seorang beragama yang menolak pengakuan orang dengan seksualitas berbeda? Siapakah yang lebih menyifatkan setan di antara Lady Gaga atau berbagai orang yang mengklaim dirinya beragama?

Lady Gaga seorang yang cerdas dan mendalam secara spiritualitas. Ia belajar menulis lagu dengan lebih dulu membuat tulisan-tulisan kritik menggunakan pendekatan studi kritis budaya terhadap berbagai isu terutama musik, seksualitas, seni dan dunia pangung ketika ia belajar di Universitas New York, di sekolah Tisch Seni. Ia menulis tesis yang menggabungkan kajian agama, politik, isu sosial yang terungkap dalam karya seni seniman  Spencer Tunick dan Damien Hirst. Dengan ketenarannya sekarang, Lady Gaga adalah alumni NYU’s Tisch of Art yang paling kontroversi.

Hidupnya dimulai dari pengalaman keras sebagai seorang New Yorker. Ketika masih di universitas ia harus tinggal di tempat yang murah, meninggalkan keluarganya yang nyaman dan memilih makan seadanya tetapi terus menyanyi sampai orang -orang mendengarnya. 

Sebelum berhasil menghibur pengemarnya di seluruh dunia, Lady Gaga memulai kariernya sebagai penyanyi penari di bar-bar di sekitar  Greenwich Village dan di Menhattan Bawah bagian timur.  Masa ketika ia bekerja di bar-bar digambarkan seperti dirinya adalah Sandy dalam film Grease.  

Diakui dibesarkan secara Katolik, tetapi di tempat yang jauh dari klaim kesucian, di daerah-daerah yang dianggap gelap di New York, telah menghadirkan kekudusan baru kepada Lady Gaga sehingga ia menemukan jalan pulang kembali ke dirinya, kepada imannya yang paling pribadi dengan Allahnya. Termasuk juga membuat komitmen untuk meninggalkan obat-obatan dan menata hidupnya menjadi Lady Gaga.  Dalam show  Larry King yang ditayangkan oleh CNN, Lady Gaga menjelaskan tentang komitmen hidup sehat, terutama karena dalam dirinya mengalir positif penyakit Lupus. Tantenya, Joanne meninggal usia remaja karena penyakit Lupus. 

Di dunia bawah tanah New York,  Stefani Joanne Angelina Germanotta sebagai nama asli dari Lady Gaga berkenalan dengan seorang drummer yang kemudian menjadi pacarnya. Hubungan mereka kandas. Tetapi sang drummer ini juga memberikan inspirasi, bersama dengan penyanyi kondang lainnya seperti David Bowie, Freddie Mercury, Michael Jackson, Madonna yang melahirkan kombinasi gaya dalam aliran “gam rock” ala Lady Gaga. 

Dari dunia bawah tanah di New York City ia mengangkat realitas yang ada dalam masyarakat secara berimbang mulai dari skandal politik tinggi seperti John F. Kennedy dan Marilyn Monroe  dalam lagu I and You. Lagu ini dinyanyikan pada hari ulang tahun Bill Cliton yang ke 65. Lady Gaga berpakaian seperti Marilyn Monroe, suatu satir untuk menyentil Bill Clinton dan semua skandal Gedung Putih sebelumnya.  

Kreatifitas menjadi jiwanya, terutama seolah-olah memindahkan pementasan Broadway dengan penekanan pada pertunjukan neo-burlesque yaitu seni tari yang dekat dengan tradisi kaum gypsi seperti tarian perut dari Timur Tengah.  Broadway yang memberikan nilai plus bagi NYC, adalah pertunjukan panggung dengan pementasan kolosal melibatkan banyak artis pendukung tampil melantunkan nyanyian berlatar teater. Sifat pergelaran ini terlihat dalam rekaman video klip maupun tour dunia  Lady Gaga sebagai hasil dari pencapaiannya di tingkat  tangga teratas dari 100 penyanyi terkenal di seluruh dunia. 

Kreatifitasnya bertumbuh di mana-mana. Ia menulis lagu Born This Way di Liverpool, Inggeris  pada tahun 2010 dalam waktu hanya 10 menit yang dilihatnya sebagai proses pewahyuan seperti yang terjadi dengan Maria, Ibu Yesus yang suci ketika mengandung Yesus. Lagu ini bercerita tentang mereka yang dilahirkan secara genetik sebagai seorang dengan keberadaan seksualitas yang berbeda seperti LGBT-IQ. Mereka juga diberikan kesucian oleh Allah seperti yang dibayangkannya tentang Maria yang mengandung Yesus.

Ketika kakeknya meninggal ia menulis lagu The Edge of glory di rumah hospice di mana ayahnya dan dirinya duduk bersama menanti kakeknya meninggal secara wajar lepas dari pengaruh alat-alat canggih kedokteran dan obat-obatan. Di sana ada sebuah piano yang disentuh dimainkan Lady Gaga sehingga darinya mengalir lagu yang diberikan judul The Edge of Glory. Keduanya menangis sambil Lady Gaga terus memainkan lagu tersebut. Lagunya membayangkan neneknya sedang berdiri disamping kakeknya yang sedang meninggal. Ketika itu Lady Gaga memperhatikan kakeknya yang sedang memandang dengan cinta kepada isterinya. Ada pancaran kebeningan sekaligus kemenangan. 

Cinta kakek dan neneknya selama 60 tahun pernikahan adalah kemenangan. Ia melihat mata kemenangan pada kakeknya yang kemudian memutuskan untuk pergi. Kakeknya seolah-olah mengatakan kepada isterinya, untuk merelakannya pergi, karena tidak ada kata-kata lagi yang harus dikatakan, tidak ada gunung yang harus didaki. Sekarang dirinya di bibir jurang, yang membuatnya membuka topi sendiri menghormati hidupnya dan pergi. Lady Gaga bisa merasakan, membaca dan menulis pesona hati dari kakeknya dalam lagu yang sangat menyentuh siapapun yang mendengarnya. 

Sekalipun tantenya meninggal 12 tahun sebelum ia lahir, tetapi sesudah dewasa Lady Gaga mentato tanggal kematian tantenya Joanne di tubuhnya, karena pada dirinya terlahir Joanne. Salah satu nama aslinya adalah nama dari tantenya Joanne. Ia sepertinya menyimpan hidup suci dari tantenya pada dirinya, yang meninggal dengan keperawanannya. Kemurnian ini dihayati Lady Gaga sebagai ketulusan bertanya tetapi sekaligus keinginan untuk mencintai dan mengalami kehidupan. Sejak itu ada lebih dari 8 tato lain pada tubuhnya. 

Menulis tentang Lady Gaga, sama kuatnya ketika saya bertemu Puan Gigi. Mereka berdua dengan tempat, konteks dan sejarah berbeda berbuat sesuatu untuk masyarakat di sekitarnya. Jadi saya ingin bertanya apa yang dilakukan oleh pemuka agama, kaum lelaki dari pada sekedar hanya melarang menerbitkan regulasi, aturan moral, melarang sana sini atas dasar ketahanan imankah? 

Pengaruh spiritualitas yang nampak pada Lady Gaga datang dari para healer dari the First Nation of USA, orang Indian, penulis Deepak Chopra tentang kerja sebagai melayani, penulis Osho tentang kreatifitas dan banyak pembicara lainnya. Karena itu Lady Gaga menjadikan musik dan pertunjukkannya sebagai arena untuk mengadvokasi HAM terutama terkait dengan identitas, kebebasan, seksualitas dan individualitas. Nilai-nilai spiritualitas sejati menjadi jendela untuknya mempertanyakan tentang isu-isu HAM yang sering kali ditentang oleh institusi agama.

Dalam kampanye penggalangan dana HAM yang dihadiri oleh presiden Barrack Obama, Lady Gaga menggunakan hak sepatu setinggi 16 cm sehingga ia berdiri tinggi melebihi semuanya termasuk Obama.  Sebagai seorang seniman besar diasah dari kepeduliannya terhadap kehidupan. Ia menulis dari hati. Ia menyanyi dari hati. Hasil kerjanya diberikan kepada kerja-kerja sosial di seluruh dunia, juga dari hati. 

Kepedulian kepada kemanusiaan menjadikan dirinya sebagai salah satu philantofis yang murah hati diakui di seluruh negara-negara yang pernah hancur karena bencana gempa. Hati cerdas seorang perempuan mengapa harus ditakuti oleh pemuka agama dan pemimpin Indonesia yang tinggal di daerah bencana. Apakah akan ironis, penolakan Lady Gaga sekarang malahan akan membawanya kembali sebagai salah satu penyumbang  di masa depan untuk Indonesia ketika terhantam bencana alam?
Salah satu cuplikan lagu Alejandro yang ditolak oleh kaum agamawan bisa didengar melalui site ini <http://en.wikipedia.org/wiki/Alejandro_%28song%29>

Jumat, 25 Mei 2012

Perjalanan Iman Perjalanan Mendunia


Perjalanan Iman Perjalanan Mendunia. Catatan tertinggal dari Seminyak.
Bagian Pertama: Iman peziarah


Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Peziarahan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan perjalanan suci seseorang untuk bertemu dengan kekudusan.  Setiap orang membuat makna suci untuk dirinya. Peziarahan merupakan bagian dari perjalanan seseorang menjawab pertanyaan eksistensial tentang dari mana manusia datang dan kemana ia pergi. Dalam peziarahan manusia membawa dirinya bertemu dengan kekuatan yang melebihi dirinya sendiri. 

Peziarahan sebagai tindakan berjalan seringkali dilakukan secara sendiri-sendiri tetapi juga terjadi dengan dalam kebersamaan. Manusia berjalan mengunjungi pusat-pusat ziarah untuk menemukan kembali narasi dan pengalaman kudus. Ingatan dengan narasi suci dari masa lalu diperlukan untuk menyucikan dunia yang menghidupkan manusia saat ini. Perziarahan merupakan praktek iman yang sangat tua dalam sejarah peradaban manusia. 


Penetapan tempat ziarah terjadi dalam pengalaman bersama yang langka, yang menggetarkan. Misalkan di daerah yang kering karena sulit ditemukan sumber air, tetapi di antara tempat itu ada mata air, maka tempat yang langka ini dianggap mempunyai kekuatan. Sungai, gunung, samudera, danau, dan alam di sekitarnya bisa diterima sebagai daerah yang kudus, karena keistimewaan-keistimewaannya.


Sekularisasi yang terjadi di dalam kehidupan manusia, bisa mempengaruhi hilangnya kesucian dari suatu tempat. Kekuatan yang dianggap sebagai bagian dari dunia roh mengandung gaib, keajaiban, bisa dirasakan sebagai fenomena alam yang biasa. 


Dunia yang dulu ditempuh dalam waktu berhari-hari dengan kapal, sekarang adalah alam tanpa jarak. Perjalanan makin mudah dengan pesawat. Bahkan dengan internet, skype, orang bisa terhubungkan. Manusia berjalan tapi mungkin peziarahan tidak terjadi.


Tinggal beberapa hari di Bali sesudah film Eat, Pray, Love yang mulai diputar pada bulan Agustus 2010 di seluruh dunia menghadirkan makna yang berbeda kepada saya. Terutama sesudah saya menonton filmnya kemudian datang lagi berkunjung ke Bali.


Film ini memilih Bali menjadi salah satu tempat sebagai pusat ziarah dunia.  Pulau Dewata, the Island of Goddess menjadi tempat di mana orang-orang dari berbagai dunia berziarah. 


Film Eat, Pray, Love yang disutradarai oleh Ryan Murphy dan dimainkan oleh Julia Roberts menjelaskan kesatuan alam dan manusia yang memberikan inspirasi kepada banyak orang untuk menemukan perjalanan dirinya kepada kesucian.  Film ini diangkat dari novel Eat, Pray, Love yang ditulis sebagai suatu memoir dari Elizabeth Gilbert.  Tulisan Gilbert dimuat secara berkala sampai 187 seri mingguan di  The New York Times. 


Keindahan dalam kata-kata dan pengalaman manusia seperti dijelaskan dalam novel diterjemahkan dalam gambar  dari film oleh  Columbia Pictures. Gambarannya menghidupkan  kehidupan dan romantisme tentang Italia, India dan Indonesia. Roma, New Dehli dan  Bali menghadirkan dirinya sebagai tempat-tempat  peziarah manusia modern.  


Manusia berbeda dari sekedar mesin. Manusia membangun makna hidup. Suatu makna yang menenangkan dirinya sesudah dalam waktu yang panjang terus dijalani sampai penemuan diri tiba. Dengan Sang Pencipta manusia berelasi.  Tetapi relasi manusia dengan Sang Pencipta bisa tampil secara mekanik. Kerutinan tanpa makna hanya sebagai tradisi dapat menghilangkan kedalaman pengertian dan menyebabkan manusia terasing dari Sang Pencipta.  Relasi dengan Sang Pencipta yang memusatkan pada pengalaman kesadaran bisa hadir tanpa makna. 


Pertanyaannya apakah Bali memberikan inspirasi bagaimana manusia memelihara imannya? Keluasan orang-orang Bali dalam mengekspresikan imannya, dalam cara menghadirkan teritori kudus di mana-mana manusia berada sebenarnya menggetarkan bagi para peziarah yang memasuki Bali dengan kehampaan. Dirinya adalah mesin tua yang sedang menghangus. 


Mendaratkan tubuh peziarah berdekatan pada pohon raksasa yang diberikan kain penutup auranya, menindiskan kaki pada pepasiran di sepanjang pantai seakan menggetarkan bagian tubuh yang kaku serupa mesin. Sang peziarah seolah-olah bisa kembali menemukan dirinya yang sudah hilang.


Mensejajarkan Bali dengan Roma seolah-olah menghadirkan tentang masa lalu peziarah. Kekuasaan Roma, dalam kekudusannya dengan tampilan akar peradaban yang menyebarkan spiritualitas dan pengalaman keseluruh dunia telah membawa peziarah kembali untuk mengerti tentang dirinya. 


Pijakannya sekarang adalah produk dari masa lalu tetapi juga masa kini yang telah membebaskannya. Pernah berada di Roma, saya bisa membayangkan getaran yang muncul dari peziarah yang terkagum-kagum kepada kekayaan gereja di Vatikan. Penggambaran tentang Allah yang terpancar dalam kemaharajaan dari urapan ukiran emas bertahta. Iman yang mengunci pada ruang dengan tatanan kekuasaan terstruktur dalam bangunan ibadah. Ingatan bersama tentang dirinya, dari sejarah masa lalu, sejarah bersama sebagai seorang kristiani terpaku di sana. Peziarah mengunjungi dirinya dalam teritori suci, yang menyimpan semua kegelisahan. 


Pengalaman ini sangat berbeda dengan peziarahan yang memusatkan pada alam semesta. India, New Delhi yang mengalirkan sungai Gangga. Wajah kemiskinan dan kerumitan penduduk India seolah-olah menghadirkan getaran permenungan diri. Meditasi ada dalam cara untuk melihat pusat dunia dipindahkan dari bangunan kepada tubuh.


Di Bali, pusat dunia ada pada alam semesta yang menyentuh diri peziarah dengan sesamanya yang dewasa dari penderitaan. Setiap kata-kata bijak mendorong pemenungan yang menggetarkan. Manusia yang saling membutuhkan menyatakan cinta kasih. Spiritualitas bukan hanya kekaguman semesta tetapi kebaikan diri dalam berbagi dengan sesama. Sentuhan-sentuhan persahabatan dari masyarakat lokal yang memberikan penjelasan tentang ritual agama mereka mengkayakan perjalanan iman peziarah.


Ketika duduk memandang senja sore, menikmati alunan musik, bukan saja lidah mengunyah La Plancha (barbeque) seafood tetapi jiwa dikenyangkan karena pengertian yang semakin jelas dalam benak sendiri.   


 
La Plancha, salah satu aroma Spanyol seolah mengubah Bali menjadi dirinya yang lain. Di Bali ternyata peziarah bisa menemukan akar dirinya. Penggabungannya bisa terjadi secara alamiah. La Plancha, restoran Spanyol di sepanjang Seminyak seolah-olah menghadirkan lagi perjalanan saya keliling Spanyol belajar bersama suami tentang Alhamra, Cordoba, Granada, Seville di Andalusia, Madrid dengan kekuasaannya yang menyebar sampai ke benua Amerika dan Asia.  


Suatu perjalanan yang dilakukan sebagai tanda munculnya kekuasaan baru selain Vatikan, negara di dalam Roma.  Kekuasaan ini tampil mendorong munculnya pertanyaan individu yang ingin melonggarkan pengaruh kuat dari institusi iman demi keotentikan imannya sendiri di hadapan Sang Pencipta. Mungkin karena itu, Julia Roberts sesudah memainkan film Eat Pray Love kemudian mengumumkan dirinya menjadi seorang penganut agama Hindu.

Suara lepasan ombak dan gambaran memutih memecah di tepian pantai. Saya membiarkan diri berziarah dalam hati, mengangkat pengalaman hati sejajar dengan kesadaran ingatan supaya lebih peka tentang perjalanan iman sesama manusia.  Apakah ini cara menghormati mereka dengan membuka ruang diri saya melintasi kesadaran yang ada dalam hati dan penalarannya tentang apa yang disebut sebagai iman? Saya bertanya sehingga jawabannya masih harus diteruskan!



Tabir Kekerasan Dalam Perspektif Tradisi Abrahamik (Bagian Kedua)


                    TABIR KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF TRADISI ABRAHAMIK
                                                Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Bagian Kedua: Transformasi Kekerasan Manusia

Kekerasan seperti benang kusut yang harus diuraikan supaya bisa diamati pertalian dari setiap satuan benang. Proses penguraian ini bisa mengerikan karena kita dapat melihat hakekat diri dalam proses penafsiran ajaran agama, kebangkitan nasionalisme, pengunaan simbol, ritual dan tradisi, penyebaran rumor dan penguatan ideologi tertentu sebagai alasan legitimasi untuk mengaktualisasikan tindakan-tindakan kekerasan. Proses penguraian bisa menolong para analisis kekerasan massa untuk memperhatikan pengaruh dari pengkristalan ketakutan terhadap bahaya dan bencana yang akan dihadapi oleh kelompok tertentu sebelum bencana itu tiba. 
Imajinasi ketakutan yang disuntikan kepada pelaku kekerasan bisa mengubah manusia menjadi seorang yang tidak rasional untuk dapat mengendalikan potensial kekerasan yang meletus keluar dirinya. Kadang-kadang untuk meneguhkan kesadaran pelaku kekerasan terhadap tindakan kekerasan sebagai sesuatu yang baik dan benar, mereka harus menelan obat penenang atau minum minuman alkohol.
Manusia ”beragama” tidak bisa bersandar pada kesadaran dirinya sendiri untuk melakukan kekerasan bengis yang menunjukkan aspek kebinatangan dari sisi kemanusiaan manusia. Mereka membutuhkan jaminan keamanan yang diberikan melalui suntikan ideologi, indoktrinasi, uang, dukungan pejabat, alat-alat perang dan obat-obat penenang untuk membangkitkan dan memelihara hatinya yang berkobar-kobar supaya bisa melakukan kekerasan.
Tetapi dalam tradisi tentang kematian pertama manusia ini, Allah SWT memutuskan menolong Kain sehingga ia tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan. Kain disadarkan terhadap perbuatan terlarangnya untuk membunuh adiknya sendiri. Pembunuh bengis yang dilakukan oleh Kain terhadap Habel pertama-tama direkam sebagai rasa bersalah dalam diri Kain. Kain sadar terhadap keterperangkapannya  dalam kekerasan yang sangat mengerikan sebagaimana digambarkan dalam Alkitab, ”darah adiknya berteriak-teriak dalam diri Kain”. Bahkan suara Allah SWT datang ketika bertanya: ”Di mana Habel, adikmu itu? Kain ketakutan dan menjawab: ”Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (Kejadian 4:9).  Kesadaran Kain datang ketika ia menyadari bahwa Allah SWT tidak sedang mengadudombakan dirinya dengan sang adik, yang akhirnya dibunuh.
Akan tetapi kesadaran Kain tidak sendirinya membawanya kepada ketenangan. Ia masih diliputi ketakutan. Ketakutan memelihara kekerasan dalam ikatan diri manusia. Kejaran ketakutan yang membelit dalam kebencian Kain bisa memancar keluar kapan saja. Sehingga Kain bisa mengubah dirinya seperti monster yang akan terus mentargetkan korban-korban berikutnya. 
Ketakutan mengikat dalam kekerasan yang  bisa memecah dan melembagakan dirinya menyerupai suatu mata rantai kematian. Gigi balas gigi. Terperangkap dalam ketakutan seperti memasuki lorong-lorang gelap dari gejolak diri Kain yang sedang memproses fantasinya terhadap darah segar Habel dalam perasaan dahaga yang tak tertahan kecuali harus melakukan pembunuhan demi pencapaian kepuasaan diri yang absolut.
Melakukan kekerasan seperti orgasme. Kitab Suci menggambarkan momen di mana Kain harus memaksakan dirinya untuk mengubah kecenderungan keliarannya dalam membunuh. Manusia bukan Allah SWT untuk berhak mencabut nyawa sesamanya dan siapa yang membunuh akan terbunuh.  
Perubahan tata cara kehidupan Kain ini diyakini dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam sebagai bagian dari keterlibatan Allah SWT. Allah SWT terlibat memutuskan mata rantai kekerasan untuk menjaminkan penerusan reproduksi manusia. Keterlibatan Allah SWT sangat nyata untuk melakukan perdamaian sejati dengan memberikan kemungkinan Kain, sang pembunuh bertobat.
Pertobatan berarti melepaskan diri dari lingkaran kekerasan yang pelembagaannya dilakukan karena suntikan obat-obatan penenang, uang, janji-janji dan dukungan politik yang diberikan kepada para pembela kebijakan publik yang terkesan sakral dan agamis.  Ketika Kain melepaskan pertaruhannya dalam mengklaim keabsolutan  persembahan korban kepada Allah pada saat itu jalan menuju transformasi kekerasan ke perbuatan kebaikan mulai terbuka di hadapannya.
Pertobatan yang diberikan  Allah SWT kepada Kain adalah lambang perdamaian yang independen yang memungkinkan ia berziarah dalam lakunya untuk mengenal dan menyeimbangkan akal budi dan emosinya sehingga mampu  membangun dialog dengan dirinya sendiri untuk mencapai perdamaian dengan sesamanya. Berbagai suntikan penguat kekerasan dilepaskan sehingga yang nampak hanya sosok manusia Kain yang rentan dalam penyerahan sujudnya di hadapan Allah yang sungguh mengasihinya. Pada saat itu Allah mentransformasikan kekerasan Kain menjadi perdamaian yang memberikan berkat kepada diri dan bangsanya.
Transformasi kekerasan dilakukan dengan berjuang (jihad) terhadap kedagingan manusia. Nabi Muhammad SAW melakukan dialog dengan komunitas dari suku dan agama yang berbeda seperti disaksikan dalam Al Qur’an. (Ashki: 2006). Dialog nabi Muhammad SAW dengan komunitas suku dan agama berbeda dimungkinkan karena nabi menerima kebenaran Allah SWT tentang ciptaanNya yang beragama dalam beriman kepadaNya, keragaman budaya dan etnis seperti tertulis dalam Al Qur’an (Alhujurat 13).
Kitab suci bukan hanya ajaran tetapi napas kehidupan. Agama Allah SWT tidak ideologis dan bukan dari hasil pertarungan ideologis. Agama Allah SWT tidak mengadu domba, tidak menyeramkan dalam wajah kebinatangan yang siap menerkam, mengancam dan mematikan manusia.
Agama Allah SWT adalah laku kehidupan yang mensifatkan karaktek kehidupan dari Allah SWT sendiri. Penerusan karakter illahi diberikan kepada manusia untuk memelihara  kemanusiaan yang menghidupkan manusia. Apabila Indonesia hidup dalam karakter dan cara  Allah SWT seperti dipraktekkan oleh hamba-hambaNya maka keadilan dan damai sejahtera akan dialami oleh seluruh anak-anak negeri ini.  
  



           

Tabir Kekerasan dalam Perspektif Tradisi Abrahamik (Bagian Pertama)


           TABIR KEKERASAN  DALAM PERSPEKTIF TRADISI ABRAHAMIK
                           Farsijana Adeney-Risakotta[1]

Bagian Pertama: Dimulai dari Manusia Pertama

      Sesudah reformasi kekerasan menjamur di Indonesia. Kekerasan tampil dalam bentuk permusuhan antara penganut umat beragama seperti yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, Maluku dan Poso. Kekerasan antar etnis terjadi di Pontianak. Kekerasan struktural terhadap etnis Tionghoa di Jakarta. Kekerasan dilakukan terhadap orang-orang Papua. Kekerasan terlihat di gedung-gedung pendidikan, perkantoran pemerintah maupun di tempat-tempat umum lainnya.    
Fenomena kekerasan yang dilakukan secara masal menjadi pemandangan yang lazim dalam tayangan televisi.  Analisis kekerasan struktural dan massa secara historis sosial politik berkesimpulan bahwa transisi pengalihan kepemimpinan politik di suatu tempat berpengaruh terhadap penggunaan kekerasan dalam ruang publik. Pengorganisasian massa melalui pengarahan kekuatan simbol-simbol keagamaan dan etnis merupakan metode yang ampuh untuk memobilisasi masyarakat terlibat dalam kekerasan.
Persaingan suatu kekuasaan bisa berekor pada mobilisasi para pengikut untuk menggunakan kekerasan mengklaim kepentingan atas nama banyak orang. Perebutan pengelolaan sumber daya alam dan pengubahan bentuk manajemen kepemilikan yang muncul dalam konflik-konflik agraria di Indonesia tampil memobilisasi warga masyarakat dengan menggunakan kekerasan tanpa ada rasa bersalah.
Penderitaan dari kekerasan itu sedang merobek jiwa kebangsaan dan persaudaraan umat beragama di Indonesia.  Karena itu saya ingin menguraikan bagaimana agama-agama dari tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) menjelaskan dan mewaspadai kekerasan.
Pewahyuan Allah SWT yang nampak dalam tradisi Abrahamik sangat “sadar” sekaligus “mewaspadai” realitas dan esensi kekerasan di dalam kehidupan manusia. Kitab suci menjelaskan kekerasan sebagai wahyu yang merupakan bagian dari rentetan cerita penciptaan alam semesta dengan seluruh isiannya termasuk manusia.
Pertama adalah “penciptaan”. Kata Ibrani “Adam” yang diadopsikan juga kedalam bahasa Arab seperti ditulis dalam Al’Quran mempunyai arti “manusia” (Kitab Kejadian 1:27, 2:7 dan Surah II: 31-35; Surah III: 59, Surah VII: 11). Allah berperan dalam proses penciptaan manusia (Adam) dengan cara menarik keluar identitas lelaki (Adam) dan pasangannya pada saat Allah meniupkan napas hidupnya (Hawa) kepada lelaki maupun pasangannya, perempuan. Penjelasan tentang “Hawa” sebenarnya tidak nampak dalam Al Qur’an tetapi dicatat dalam hadis, sementara dalam Alkitab, penjelasan Hawa sebagai perempuan nampak dalam penjelasan teologi seksualitas di mana Adam dan Hawa bersetubuh sehingga Allah SWT menolong dengan memberikan mereka dua orang anak lelaki yang dilahirkan dari rahim Hawa.
Penamaan “Hawa” dengan arti napas hidup diberikan kepada perempuan untuk memberikan gambaran keintiman antara lelaki dan perempuan. Keintiman ini juga nampak dalam hubungan antara Allah SWT dengan manusia. Dikatakan kedekatan orang beriman dengan Allah SWT seperti manusia yang sedang bernapas. Pemberian identitas “napas” Allah SWT yang ditiupkan dalam diri lelaki dan perempuan bertujuan  selain menunjukan keintiman, juga bermaksud untuk meneruskan reproduksi manusia.  Visi penciptaan Allah SWT adalah menjaminkan  kehidupan bagi manusia.
Kedua adalah dosa yang membawa kepada kekerasan. Penciptaan sebagai karya Allah SWT yang maha agung segera dihancurkan oleh manusia sendiri. Tragedi kehancuran manusia dimulai ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah SWT dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan benar yang dilarang oleh Allah. Tindakan ini mendudukan manusia sebagai oknum yang cenderung akan merebut wibawa dan kekuasaan Allah  SWT.
Dengan mengatas namakan kekuasaan Allah SWT, manusia kemudian secara mudah bisa memanipulasi pengertiannya sendiri dalam membangun klaim tentang kebenaran dari  Allah SWT. Kesadaran tentang proses legitimasi dan pemutar balikan kebenaran Allah SWT digambarkan dalam kitab suci sebagai upaya manusia untuk saling menyalahkan satu dengan lainnya.
Dalam tradisi Kristiani, Adam menyalahkan Hawa yang kemudian menyalahkan sang ular sebagai sumber malapetaka yang mengantar manusia untuk bisa mencapai posisi mendudukan dirinya sederajat dengan Allah SWT. Dalam bahasa teologi, penggambaran kehancuran ini ditandai sebagai bentuk awal dari kejatuhan manusia dalam dosa. Tragedi kejatuhan manusia diteruskan dengan kematian pertama manusia seperti nampak dalam cerita Kain dan Habel yang dicatat baik dalam Al’Quran maupun dalam Alkitab (Surat V:27 dan Kejadian 4:1-16).
Anak-anak dari Adam dan Hawa, yaitu Kain sebagai kakak dan Habel, sebagai adik ditampilkan sebagai representasi pribadi manusia yang bersaing untuk menguasai sumber-sumber alam. Klaim penguasaan sumber-sumber alam diikat dengan gambaran keberhasilan pemberian korban bakaran mereka kepada Allah SWT. Kain mewakili dirinya sebagai manusia petani sedangkan Habel sebagai manusia peternak.  Korban pembakaran dari hasil-hasil pertanian dan peternakan yang diberikan oleh mereka kepada Allah SWT ternyata tampil berbeda. Persembahan Habel mewakili kesuksesan peternakan dengan pertumbuhannya yang tambun.
Perbedaan bau asap bakaran dari hasil tanaman dan binatang cukup membantu kita untuk menafsir tentang seolah-olah Allah SWT memilih korban yang dipersembahkan Habel. Karakter kedagingan yang dibakar menebarkan bau yang harum, meluaskan kebanggaan kesuburan ternak.  Gambaran penolakan Allah SWT terhadap korban bakaran Kain sebenarnya menunjukan konteks kekeringan di daerah di  mana Kain dan keturunannya hidup. Kain menyakini perbedaan realitas kekayaan ini sebagai bagian dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT. Seolah-olah Allah SWT tidak adil sehingga Kain membangun kebencian dengan menimbun kecemburuan yang mengiringnya pada rencana membunuh adiknya sendiri. 
Cara kitab suci membahas kekerasan “segera” dan runtun sesudah pewahyuan kisah penciptaan dengan jelas menunjukkan argumentasi tentang realitas manusia yang seperti dua sisi dari satu mata uang.  Manusia adalah berkat untuk mewarisi kehidupan tetapi juga bisa menggunakan kekuasaannya  untuk melakukan kekerasan. Kedua realitas ini disadari sangat mendalam seperti nampak dengan kisah Kain dan Habel. Tradisi Abrahamik menyadari penuh kemungkinan manusia terperangkap dalam kekerasan karena itu Allah SWT yang harus berperan untuk melepaskan Kain dari potensial kekerasan yang sedang membelenggunya.  
Kekerasan mengambil bentuk secara dinamis.  Di Indonesia, ketika pembahasan kekerasan didekati dari perspektif sejarah untuk melihat hubungan-hubungan kekuasaan yang ada  dalam masyarakat maka sebenarnya akar kekerasan bukan semata-mata bersifat teologis tetapi sangat manusiawi. Persaingan dan kecemburuan terhadap perbedaan-perbedaan sumber daya yang dimiliki dalam masyarakat menjadi alasan utama terjadinya kekerasan.
Konflik atas nama agama seperti yang terjadi di wilayah propinsi Maluku, Maluku Utara maupun Sulawesi Tengah (Tentena, Poso, Palu) sebenarnya sangat dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak adil, ingatan bersama masa lalu sebelum jaman keIndonesiaan. Penguasaan monopoli sumber-sumber daya alam dan penindasan terhadap kelompok-kelompok marginal jaman pra Indonesia 1945 terus  terbawa sampai masa perubahan struktur masyarakat karena modernisasi kepimpinan lokal, pembangunan nasional dan kebijakan otonomi daerah yang memungkinkan kebangkitan loyalitas kesukuan marginal menduduki posisi-posisi strategis paska reformasi 1998 (Adeney-Risakotta:2005, 2008).
Seperti dijelaskan dalam Alkitab, kebencian Kain seolah-olah menuduh Allah SWT yang berpihak kepada Habel.  Kebenciannya nampak dalam wajahnya. Dalam situasi terbelenggu dengan kemarahan dan prasangka terhadap Habel, Allah SWT sudah memperingatkan Kain supaya bisa menguasai dirinya karena kekerasan itu sangat dekat pada dirinya sendiri. Kekerasan muncul dalam bentuk kata-kata ancaman yang dengan cepat mengambil bentuk dalam tindakan menyakitkan tubuh.  
Kekerasan digambarkan sebagai penggoda yang sekali memerangkap akan selalu menjerat manusia untuk mengulangi hal yang sama. Al’Quran mencatat bahwa pewahyuan ayat tentang Kain dan Habel yang diterima oleh nabi Muhammad SAW secara historis diberikan Allah SWT dalam konteks penurunan Surah terakhir yang sering disebut ”Siarah Perpisahan nabi ke Mekah”.
Wahyu ini merepresentasikan situasi global dari persaingan yang terjadi antara suku-suku yang beragama Kristen yang loyal terhadap kekaisaran Romawi Timur dengan suku-suku lain yang  beragama lain maupun mereka yang menerima Islam sebagai jalan menuju Allah SWT  (Pickthall: 1961, 96).  Jadi tujuan penurunan wahyu tentang Kain dan Habel pada masa dan konteks historis kehidupan nabi Muhammad SAW adalah untuk menasihati orang-orang berkitab supaya meninggalkan kekerasan dan mengikuti jalan Allah SWT. Mewaspadai terhadap belenggu kekerasan sebagai nampak dalam cerita Kain dan Habel sangat terasa kuat dalam Surah V ayat 27.
Sejarah relasi pribadi dan relasi kelompok turut menentukan penerusan ingatan bersama dan implementasi tindakan-tindakan kekerasan. Lingkaran setan kekerasan menggambarkan beberapa aspek dari esensi kekerasan sebagai tindakan manusia yang ”tidak terkontrol” seolah-olah diperangkap dalam kesifatannya yang menghantui keinginan diri untuk melukai dan menyakiti secara verbal maupun fisik tubuh sendiri atau sesama manusia.  
Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realitas jasmani dan mental berada di bawah realisasi potensial dari keinginan menggebu-gebu manusia untuk menyakiti tubuh sesama atau dirinya sendiri (Johan Galtung). Pengubahan realitas kesadaran mental terjadi melalui suatu proses pembentukan moral yang dipilih secara sadar oleh seseorang atau kelompok ketika melakukan kekerasan. Pada umumnya basis dari kesadaran mental ini dibangun dengan argumentasi ilahi yang dipilih secara khusus dari  penggalan-penggalan ayat suci tanpa memperhatikan konteks sejarah ketika ayat tersebut diturunkan Allah SWT kepada hamba-hambaNya.  



[1] Penulis seorang antropolog, teolog dan pencinta damai tinggal di Yogyakarta,

Minggu, 20 Mei 2012

Rukun Bangsaku Rukun Indonesiaku


Rukun Bangsaku Rukun Indonesiaku
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Kita jarang berpikir bahwa salah satu hak dasar kehidupan adalah kerukunan.  Rukun adalah istilah yang akrab diterima di Indonesia dibandingkan dengan kata resolusi konflik. 

Secara etimologi kamus bahasa Indonesia mencatat penggunaan kata rukun. Istilah rukun terkait pertama-tama dengan esensi asas, dasar atau sendi. 

Penggunaan kata rukun untuk nilai yang meluas dikaitkan dengan cara hidup dalam keluarga dan masyarakat. Hidup rukun adalah hidup dasar, hidup dalam kerangka baik dan damai.

Manusia secara insting mendidik dirinya untuk hidup rukun dengan sesamanya supaya keberlangsungan kehidupannya sendiri terjaga.  Di Ubud saya mendapat satu kartu menarik bergambar seorang lelaki sedang menunggangi seekor sapi jantan. Gambaran kartu ini dilengkapi dengan kata-kata: "There is a beast in man that needs to be exercised not exorcised". Artinya dalam bahasa Indonesia: "Ada binatang liar dalam manusia yang perlu dilatihkan bukan diusir". 

Melalui berbagai ajaran kehidupan seperti dari tradisi nenek moyang maupun dari agama, manusia belajar melatih keliarannya. Ketika manusia tunduk pada keliarannya, termasuk menggunakan kekerasan atas nama agama dan tradisi, sebenarnya dirinya sedang menolak melatih untuk mengendalikan keliarannya. Ia sedang melarikan dirinya untuk menyentuh kelembutan dalam dirinya. Menyentuh "ruang" kerukunan yang memberikan ketenangan kepadanya.

Berefleksi dari ajaran agama dan tradisi, manusia belajar untuk mengutamakan kerukunan, menjaminkan terlaksananya proses tukar menukar yang dapat menciptakan perdamaian dalam kehidupannya.  Tindakan tukar menukar itu bisa tampil secara fisik maupun spirit. 

Kerukunan memungkinkan manusia bisa makan bersama tanpa takut diracuni, tertawa dan menangis bersama melepaskan  kelegaan pada titik perhentian sebelum suatu perjalanan diteruskan kembali.  Kerukunan dan perdamaian menjadi nilai etis yang bersifat universal. Ia juga menjadi tujuan dari kehidupan bersama.

Rukun adalah bagian dari praktek hidup yang sangking membiasa terlupakan untuk disadari sebagai hak asasi yang harus dicapai dan dipenuhi oleh manusia di Indonesia.  Secara alamiah, manusia bereaksi terhadap hidup yang menindas, hidup tanpa keadilan, hidup ketimpangan.

Sejak jaman kolonial di sekitar wilayah yang disebut "Indonesia" ada upaya membebaskan diri dari tekanan dan penguasaan “bangsa” luar dengan tujuan semata mengeksploitasi.  Kata “bangsa” diartikan sebagai keluarga. Jadi mereka yang bukan satu rumpun keluarga biasanya dikategorikan tidak satu bangsa. Bangsa adalah mereka yang tinggal bersama-sama dalam suatu rumah.

Konsep “bangsa” diperluas dengan pernikahan dan pengalihan kekuasaan melalui penaklukan atau penggabungan beberapa kelompok dengan sukarela.  Bahasa menjadi salah satu alat penyatuaan antara berbagai kelompok yang secara sadar saling mendukung satu dengan lainnya. 

Jauh hari sebelum ada pertemuan pemuda-pemudi yang kemudian dikenal dalam sejarah nasional, sebagai hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa pengantar, bahasa dagang. Kata-kata dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu karena pengertiannya mengandung nilai-nilai kesetaraan. Misalkan kata adil, berkat, rukun dsb adalah kata-kata yang makna mendalam berakar pada konsep teologi Islam yang mengajarkan salah sumber nilai yaitu "kasih". Kasih mengantarkan kepada kerukunan.

Dalam masa penjajahan, di tahun 1908, pemuda-pemuda berkumpul mengumumkan kebangkitan bersama mengatasi penindasan bangsa asing kepada orang-orang di nusantara.  Penawaran tentang penggunaan “bangsa” mulai terlihat dalam pilihan menjadikan Indonesia sebagai "nation state", negara bangsa.

Sesudah kemerdekaan Indonesia, 1945, gugatan yang mempertanyakan tentang keIndonesiaan untuk semua karena adanya konsentrasi pembangunan di Jawa. 

Sejarah berulang lagi, ketika pada tanggal yang sama, 20 Mei 1998 sesudah 32 muncul pergerakan untuk membebaskan Indonesia dari tirani Orde Baru. Pertanyaan yang sama muncul berhubungan dengan keIndonesiaan sesudah masa politik multipartai yang ternyata masih belum menjawab pemenuhan keadilan sosial kepada semua warga. Perampingan partai seperti yang dilakukan pada masa Orba ternyata masih belum menciptakan rasa rukun dalam masyarakat.

Rukun dikumandangkan lagi supaya semua orang yang tinggal di suatu rumah, kampung, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara dan dunia bisa hidup dengan penuh kedamaian.  Dalam kata rukun mengandung berbagai makna. 

Seluruh penduduk, semua warga masyarakat mau berusaha berbagi ruangan hatinya, ruangan kepemilikannya dengan sesamanya, supaya dirinya sendiri bisa tidur dengan nyenyak. Ada dasar perdamaian yang terisi sebagai fondasi kehidupannya.Bisakah orang-orang Indonesia hidup rukun sesudah masa Reformasi? Pertanyaan ini diajukan karena sesudah Reformasi ada banyak diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. 

Hubungan antara agama tampil menakutkan terutama karena ada tekanan dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam menolak pendirian rumah Ibadah atau pelaksanaan ibadah dari umat Kristiani maupun umat Ahmadiah. Misalkan yang terjadi pada GKI Yasmin di Bogor maupun HKBP Filadelfia di Bekasi. 

Bisakah kerukunan menyebabkan kelompok-kelompok berbeda identitas seksual bebas mengembangkan dirinya? Bisakah kerukunan menyebabkan umat Ahmadiah diizinkan beribadah menurut kepercayaan ajarannya? Bisakah kerukunan menyebabkan masyarakat di Papua mendapat perlindungan terhadap hak-haknya untuk hidup sesudah bencana alam seperti banjir di Wasior yang sengaja dilupakan oleh pemerintah RI?

Rukun menjadi kata yang kembali saya pertanyakan pada perayaan Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Reformasi sekarang ini?

Ketika kata rukun muncul dalam benak kita, maka segera teringat kepada kata rukun yang dipergunakan untuk menjelaskan tentang cara hidup dalam Islam yaitu pelaksanaan lima rukun iman, lima rukun Islam.  

Lima rukun Islam, terkait dengan kesetiaan umah kepada Allah dalam mengikutiNya sesuai doktrin ketunggalan Allah,  lima rukun sembayang, berpuasa, belaskasihan kepada sesama dan melakukan perjalanan suci.  

Kata rukun muncul dalam Al Quran dengan beberapa penggunaan.Kata rukun mempunyai makna “teologi” yang menunjukkan pada rukun agama, rukun iman yang termasuk: “(arkān-al-Islām أركان الإسلام; dan arkān ad-dīn أركان الدين ". Maknanya dalam bahasa Indonesia berarti orang yang beriman adalah orang rukun.

Menyatakan sikap rukun kepada Allah tanpa rukun kepada sesama sebenarnya mengkhianati kebenaran dari kata rukun tersebut.

Empat belas tahun lalu Reformasi dilakukan dengan keyakinan bahwa RI perlu perubahan. Sistem demokrasi menjaminkan bahwa  perubahan pemerintahan akan membawa pada kerukunan. 

Sejak Reformasi sampai sekarang, sudah terjadi pergantian pemerintahan yang keempat kalinya. Akan tetapi masih terlihat ketimpangan dalam mewujudkan kerukunan tersebut.

Praktek kerukunan masih terjadi dalam pengertian kelompok dan masyarakat tertentu. Negara yang diharapkan bisa memfasilitasi  kerukunan sebagai bagian dari pandangan dan praktek masing-masing kelompok ternyata belum berjalan dengan baik. Negara ternyata masih terlibat dalam menciptakan diskriminasi.

Negara terlibat meninggikan pagar-pagar teritori yang dibangun atas nama identitas kelompok menurut agama maupun etnisitas dengan alasan untuk memelihara kerukunan bersama. Istilah Kerukunan Umat beragama adalah produk dari ideologi pemerintah yang lebih percaya pada ideologi kerukunan daripada mempraktekkannya di dalam kehidupan bersama bermasyarakat.  Ternyata pembangunan pagar-pagar teritori ini lebih bersifat kekuasaan daripada mencapai kerukunan.

Bisakah orang-orang yang berbeda agama, adat istiadat, latar belakang pendidikan, status sosial dll duduk bersama untuk mendiskusikan perbedaan mereka supaya bisa mencapai kerukunan? Dapatkah negara mendorong adanya ruang-ruang publik untuk berbagai kelompok yang berbeda mendiskusikan upaya-upaya mencapai kerukunan?

Dialog Budaya Malulu Menghadirkan Warga Muslim dan Kristiani di Kraton Ngayogjakarta


Kita masing-masing bisa menjawabnya dengan membawa pengalaman ketertindasan sendiri. Kata kerukunan tidak cukup hanya berhenti dalam istilah "Kerukunan umat beragama".   Artinya sangat penting, bahwa setiap warga negara Indonesia, harusnya bisa menyatakan tentang keperbedaan masing-masing di dalam mempraktekkannya di hidup sehari-hari.

Suatu tindakan kehidupan yang ternyata lebih besar dari sekedar suatu diskusi yang tidak terburu-buru membatasi diri sendiri pada gheto-gheto perbedaan kita. Karena di dalam perbedaan yang diakui bersama sebenarnya ditemukan adanya suatu jaminan terhadap  hak dan kewajiban dari kita semua yang sama di hadapan hukum bangsa dan negara.