Tubuhku Dikapling Plastik: Seri Seni Limbah
dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pengantar
Sementara Bentara Budaya Yogyakarta sedang memamerkan salah satu karya dari Seri Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, yaitu Bumi Menari 3: Keterhubungan Lempengan, saya ingin memberikan penghargaan kepada seniwati-seniwati Yogyakarta yang pernah terlibat pada pameran tsb (Lihat tulisan saya: Bumi Menari di Bentara Budaya Yogyakarta). Karya-karya mereka bisa dinikmati melalui foto-foto tetapi juga tergambar dalam uraian narasinya. Penjelasan tentang karya-karya ini dilakukan untuk mengorek kedalaman permenungan perempuan seniman ketika membuat suatu karya seni. Pembahasan ini diangkat dari buku Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan, suntingan Farsijana Adeney-Risakotta (Yogyakarta: Selendang Ungu Press, 2011)
Tema anti kekerasan yang dikemas dengan penggunaan limbah dari berbagai bahan menghadirkan cara penjiwaan dan pengekspresian seni yang sangat khas perempuan. Karya seni bukan sekedar dilepaskan tak berjiwa, tetapi ia menggugah, menyentuh hati manusia yang mengamatinya. Karya itu menghantui kedalaman permenungan manusia sehingga menggerakkannya ke arah suatu perubahan. Anti kekerasan merupakan bagian dari keyakinan yang terbangun dari pengalaman perempuan yang banyak mengalami penyiksaan karena ketegangan dalam mengelola relasi kekuasaan di antara dirinya dengan seorang lelaki atau pasangannya.
Pengalaman menegosiasikan kekuasaan menyebabkan perempuan bisa mengatasi kemungkinan tindakan potensial bernuansa kekerasan yang mungkin sedang ditujukan kepadanya. Pengalaman melintasinya kemudian memunculkan penghargaan dan komitmen dalam perjuangan menegakan hak-hak dasar kehidupan dari mereka di sekitarnya yang tertindas. Selamat menikmati pembaca sekalian!
(Karya Ami Suparmi, Agus Hartana dan Komunitas Limbah Sampah Plastik/Komunitas Lestari dari bahan limbah plastik, 2011)
Masih sejalan
dengan keprihatinan terhadap “pasar”, Ami Suparmi, Agus Hartana dan Komunitas
Lestari menawarkan kepada peminat seni karya mereka yang berjudul “Tubuhku
Dikapling Plastik”. Plastik diangkat
sebagai bagian dari nama judul karya seni bukan sekedar bahasa tempelan.
Plastik merupakan keprihatinan dari Ami dan Agus sejak tahun 2007 ketika mereka
memulai mengorganisir masyarakat peduli sampah plastik. Menurut Ami dan Agus, plastik adalah berkat
sekaligus kutuk kepada bumi. Plastik yang ditemukan pada tahun 1862 oleh
Alexander Parkes ternyata meninggalkan persoalan pengolahan oleh bumi di abad
20 ini.
Dalam diskusi dengan Komunitas Lestari yang merupakan
kelompok binaan dari pasangan Ami dan Agus, dipetakan berapa banyak kebutuhan
plastik yang dikonsumsikan oleh satu keluarga dari pagi sesudah bangun sampai
dengan malam hari sebelum tidur. Tiada semenitpun tanpa menggunakan plastik.
Sandal yang digunakan dibuat dari plastik. Sikat gigi, kemasan alat mandi,
kemasan alat cuci, kemasan obat, kacamata, kemasan makanan kecil dan
lain-lainnya semuanya terbuat dari plastik.
Ada sekitar
lima komunitas dalam pertemuan ketika saya datang untuk mengenal mereka lebih
jauh tentang pengalamannya mengolah sampah plastik. Kelima komunitas inilah
yang sangat antusias menerima undangan saya untuk terlibat bersama Ami dan Agus
mengorganisir ide-ide bersama membuat karya seni yang diberi nama “Tubuhku
Dikapling Plastik”. Judul ini menunjukkan kesadaran Kelompok Lestari mengenai
pengaruh globalisasi yang sedang melanda kehidupan kita.
Plastik adalah
bagian dari jaringan laba-laba kapitalisme yang mengambil banyak keuntungan
untuk waktu pendek tetapi meninggalkan kehancuran dalam masa yang panjang untuk
alam semesta. Penamaan judul yang
mengelitik sanubari penikmat seni bertujuan untuk mengingatkan tentang ancaman sampah plastik kepada
kehidupan umat manusia apabila proses pengolahannya tidak dilakukan dengan
bijaksana dan terstruktur.
Menuju
masyarakat peduli lingkungan hidup merupakan impian dari Kelompok Lestari. Sikap hidup peduli lingkungan sangat penting
untuk membentuk komitmen mengolah sampah. Sekarang ini sampah dapat
menghasilkan uang. Tetapi motivasi pengelolaan sampah karena uang merupakan
perangkap untuk menghambat tercapainya sikap peduli lingkungan yang berbasis
kesadaran pribadi dan sosial. Akar kesadaran penyelamatan alam adalah
keseimbangan dan ketercukupan. Mengelola
sampah daur ulang tanpa membangun kesadaran ini akan mengulangi fenomena
kapitalisme yang membangun dunia dengan semangat pertumbuhan tanpa batas. Sikap
rakus dari inti diri manusia merupakan penyebab kehancuran bumi.
Permenungan mendalam
inilah yang pertama-tama harus disadari oleh anggota Komunitas Lestari sebelum
mereka terlibat dalam daur ulang sampah plastik. Sebagai contoh, Novi Aryani yang berasal dari
Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Godean, Kota Yogya, memulai kegiatan peduli lingkungan sejak
tahun 2007. Kegiatan pemilahan sampah ia
mulai dari ruang tamu di rumahnya. Pada awalnya suaminya menolak kegiatan ini
karena ruang tamu di rumah mereka dipenuhi dengan sampah plastik yang berbau dan kotor.
Tetapi
ketekunan Novi telah mengubah pandangan dari anggota keluarga. Sekarang ini
Novi telah berhasil mengolah sampah yang dapat memberi pemasukan ekonomi kepada
keluarganya. Sesudah ada bantuan untuk
mendirikan galeri sampah siap pilah dari Komunitas Lestari, Novi mulai
memberdayakan komunitasnya yang disebut Resik Agawe Sehat (RAS). Bersama
komunitas inilah Novi telah mengembangkan daur ulang sampah plastik. Bermacam-macam karyanya terbuat dari daur ulang plastik seperti bantal,
dompet, tas-tas, dan berbagai macam kreasi
asesori perempuan.
Pemerintah
mempunyai dana untuk pengolahan sampah, tetapi tidak mengerti bagaimana
menggerakan masyarakat untuk terlibat. Novi
didampingi oleh Komunitas Lestari
mengawal kebijakan Pemerintah Kota Yogya melalui pemberdayaan masyarakat sadar
lingkungan bebas plastik. Pemberdayaan yang dilakukan menggunakan prinsip “daur
ulang” yaitu suatu strategi pengelolaan sampah dengan melakukan kegiatan
pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistibusian dan pembuatan produk/material bekas pakai. Manajemen
pengelola sampah modern menekankan tiga proses hierarki sampah yaitu,
menggunakan kembali (Reuse), mengurangi (Reduce) dan mendaur ulang (Recycle).
Keuletan Novi
berbuah hasil. Kampungnya menetapkan
tata cara pengelolaan sampah plastik daur
ulang. Karena itu mereka bisa mendapat pengalokasian anggaran lingkungan bersih
dari Pemerintah Kota Yogya yang diwujudkan dalam sistem pengolahan sampah warga
terpilah. Pemerintah dalam tahun anggaran 2010 memberikan tiga tong sampah
untuk masyarakat membuang sampah plastik terpilah yang bisa digunakan
menciptakan barang kerajinan yang bernilai ekonomis. Pengolahan sampah plastik menyebab Novi dan
anggota Komunitas Lestari tampil sebagai seniman yang kreatif sekaligus
pengrajin karya seni massal.
“Mengelola
sampah adalah perilaku menuju kehidupan yang sehat dan positif”, demikian
penjelasan dari Agus Hartana, pengiat Komunitas Lestari. Sampah sebagai kata
mengandung pengertian negatif. Supaya nilai negatif bisa berubah menjadi nilai
positif, maka komunitas didorong untuk memberikan nama Tempat Penampungan
Sampah (TPS) dengan sebutan yang positif dan indah. Misalnya di kampung
Notoyudan, TPS disebut Kampung Indah Apik Resik. Budi Polah yang berarti Budi Daya dan Pengelolaan
Sampah merupakan pilihan nama dari masyarakat di Singosaren, di Jetis.
Prinsip keindahan yang ditemukan dalam sampah telah
mengantarkan Komunitas Lestari
untuk mengelola sampah secara
professional. Beberapa kali Komunitas Lestari melakukan pameran dan pertunjukan
fasion untuk memamerkan karya-karya kelompoknya. Untuk pameran Seni Limbah dan
Ekspresi Perempuan Anti Kekerasan, Komunitas Lestari merancang suatu model yang menggenakan baju terbuat
dari bahan plastik daur ulang.
Pada baju diberikan asesori dari berbagai bungkusan kemasan
sesuai dengan areal dari fungsi anatomi tubuh manusia. Misalkan di sekitar
areal perut, pakaian plastik dihiasi dengan tempelan kemasan dari berbagai mie
instan. Bagian muka dari sang model
dihiasi dengan potongan kemasan produk unilever seperti cairan pembersih
muka. Bagian kepala dari model dihiasi
dengan potongan kemasan dari shampo.
Tubuh manusia seperti teritori yang sudah dikapling
dengan berbagai macam produk kemasan plastik. Memberikan tanda kemasan pada
karya seni yang menunjukkan tubuh seorang wanita dibalut berbagai plastik
setidaknya menyadarkan kepada kita semua tentang ancaman kemasan plastik dalam
kehidupan manusia.
Membangun motivasi untuk mengelola sampah memerlukan
waktu. Sikap hidup menyeluruh yang menolak peningkatan penggunaan plastik
sangat ditekankan dalam Komunitas Lestari. Sedapat mungkin anggota-anggota
Komunitas Lestari hidup tanpa menambah jumlah plastik yang digunakannya. Mereka
membangun sensitifitas pengelolaan sampah bumi secara alamiah. Mereka membuat
kompas dari bahan-bahan sisa makanan dan memprosesnya dengan mesin penggiling
sampah.
Mereka memastikan bahwa alam yang merupakan bagian
dari rumahnya dipelihara dengan baik dengan cara yang sehat. Pada acara
pembukaan pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan,
saya mempercayakan Komunitas Lestari untuk mempersiapkan konsumsi snack yang
ramah lingkungan tanpa kemasan plastik
dan kotak kue kertas. Sikap hidup yang
konsisten untuk ramah pada alam dengan memungkinkan rekayasa pengolahan sampah
tersistematis dalam perilaku masyarakat merupakan suatu gerakan
penyelamatan dan penyembuhan alam
semesta yang dapat diberikan Komunitas Lestari kepada Ibu Pertiwi (Farsijana
AR-Komunitas Lestari)
Workhop pengolahan limbah plastik menjadi karya seni dilakukan selama Pameran Seni Limbah dan Ekspresi Perempuan anti Kekerasan berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta, tanggal 4-7 Februari 2011 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar