Translate

Sabtu, 23 Februari 2013

Menelusuri Jejak Kebijakan Kesehatan di Papua

Breaking Midnight News:
Menelusuri Jejak Kebijakan Kesehatan di Papua

Hanya setahun sesudah UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 terbit, Djekky R. Djoht menulis artikel berjudul “Penerapan Ilmu Antropologi Kesehatan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Papua”.  Tulisan Djoht,  dosen di Jurusan Antropologi FISIP Uncen, diterbitkan pada Antropologi Papua, Volume 1, No, 2002.
 
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengangkat artikel Djoht untuk menjawab pertanyaan yang  terlontar dalam benak pembaca dari  diskusi posting  terkait dengan terkait tulisan di Tabloid Jubi yang dipublikasikan 10 Februari 2013 dengan judul "Kampung Sehat Menuju Papua Baru Sehat, Hanya Mimpi". Mengapa mimpi? Mengapa kebijakan kesehatan Papua sesudah 11 tahun Otsus dinilai gagal?
 
Laporan ini menguji partisipasi warga masyarakat dalam mewujudkan 5 tujuan rencana pembangunan kesehatan di Propinsi Papua untuk mencapai kampung sehat 2011.  
Sekarang tahun 2013, laporan Tabloid Jubi mengevaluasi pencapaiannya. Kesimpulannya menampilkan argumentasi terkait dengan kesia-siaan mimpi pembangunan kesehatan karena tingkat penyakit menular yang dialami oleh anggota masyarakat masih tinggi sekalipun fasilitas kesehatan ditingkatkan. Fasilitas yang disiapkan pemerintah terpusat hanya di kota-kota padahal sangat diperlukan tenaga-tenaga kesehatan yang bisa bekerja dan hidup bersama dengan masyarakat.
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua bertanya: Bagaimana kriteria tenaga-tenaga kesehatan tsb?
 
Aksesitas ke tulisan Tabloid Jubi online bisa dilihat pada

Kesimpulan yang sama, nampak pada tulisan Djekky R. Djoht.  
Baiklah, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengutip kesimpulan dari pandangan Djoht.

“Penggunaan tenaga antropologi kesehatan dalam program-program
pembangunan kesehatan di Papua, menurut saya masih sangat rendah.
Sepanjang pengetahuan saya keterlibatan tenaga antropologi kesehatan
dipakai untuk riset-riset tertentu saja, tetapi belum pernah digunakan dalam
perencanaan pembangunan kesehatan, keterlibatan sebagai konsultan dalam
penanganan kegiatan program kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi
Papua. Tetapi tenaga kesehatan belajar antropologi pernah di programkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi Papua bekerjasama dengan Jurusan Antropologi
Uncen pada tahun 1998. 15 orang tenaga perawat dari 12 kabupaten dan 2
kota di Provinsi Papua belajar Antropologi di Program studi Antropologi
UNCEN. Saat ini mereka telah menyelesaikan pendidikan antropologinya di
Uncen, sayangnya sampai saat ini belum ada evaluasi bagaimana
penggunaan ilmu antropologi kesehatan dalam penanganan masalah
kesehatan di Provinsi Papua” (hal.17).
 
Link ke tulisan ini bisa diakses melalui:
 
Apakah warganegara NKRI mempunyai pertanyaan lainnya sesudah membaca kedua artikel tsb?

Salam amalulukee
 
 

 

 

Kamis, 21 Februari 2013

Menelusuri Jejak Musrengbandis di Papua


Morning News (22 Februari 2013)

"Menelusuri Jejak Musrengbandis di Papua"



Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sudah beberapa kali mengangkat topik diskusi terkait dengan usulan perumusan "perundangan" yang berpihak pada masyarakat Papua sebagaimana diamanahkan dalam UU Otsus Papua Nomor 21 Tahun 2001.
Untuk memahami cara kerja perumusan perudangan seperti perdasus dan perdasi, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua memperhatikan tentang cerita-cerita sukses terkait dengan mekanisme partisipasi warga masyarakat dalam perumusan program-program di tingkat kampung. Salah satu cerita sukses tentang Musrengbandis (musyawarah Rencana Pembangun Distrik). Distrik adalah wilayah pemerintahan setingkat dengan Kecamatan.
Pagi ini, Petisi Wargnegara NKRI untuk Papua bermaksud membawa seluruh warganegara NKRI jalan-jalan ke Papua bagian tengah di sekitar daerah Biak Numfor. Setiap menyebut Biak, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua ingat lobang kebinasaan tentara Jepang yang terperangkap dalam tempat persembunyiannya. Kemudian tentara sekutu menjatuh bom secara sporadis sehingga terjadi letak di dalam goa tsb. Di Biak dibangun tugu peringatan untuk menghentikan perang dalam bentuk apapun seperti terjadi pada Perang Dunia II. 
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengutip Wikipedia tentang "Kabupaten Biak Numfor terdiri dari 2 (dua) pulau kecil, yaitu Pulau Biak dan Pulau Numfor serta lebih dari 42 pulau sangat kecil, termasuk Kepulauan Padaido yang menjadi primadona pengembangan kegiatan dari berbagai pihak. Luas keseluruhan Kabupaten Biak Numfor adalah 5,11% dari luas wilayah provinsi Papua".
Kembali ke Musrengbandis, artikel online berjudul Musrengbandis, Wacana Program Tahun Berikut yang dipublikaksi oleh Papua Pos Nabire bisa diakses pada link ini

http://www.papuaposnabire.com/index.php/kabar-dari-papua-tengah/19-biak-numfor/60-musrengbandis-wacana-program-tahun-berikut


Minggu, 17 Februari 2013

Dukung Kaukus Papua di Parlemen RI Menjaga Papua dari Penelantaran







Dukung Kaukus Papua di Parlemen RI Menjaga Papua dari Penelantaran
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Baru-baru ini Ketua Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, melakukan pertemuan dengan  Menkopolhukam untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menuntaskan evaluasi kinerja pelaksanaan Otsus Papua (Sinar Harapan, 7 Februari 2013).  Seperti dilaporkan oleh Tabloid Jubi online, 9 November 2012,  Kaukus Papua di Parlemen RI merupakan gabungan dari anggota DPD dan DPR-RI dari Papua. Otsus Papua dikeluarkan pada jaman pemerintahan Presiden Megawati melalui UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. UU disahkan oleh DPR RI yang menjalankan tugas pengawasannya ketika Pemerintah mengimplimentasikan pelaksanaan UU Otsus tsb.

 

Dalam pertemuan dengan Menkopolhukum, Paskalis Kossay menegaskan bahwa selama 11 tahun berlangsung pemerintah belum mengevaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua. Pemahaman yang dimaksudkan dengan evaluasi adalah penilaian yang terencana secara terus menerus. Adapun aspek-aspek evaluasi dan monitoring harus memenuhi beberapa indikator. Pertama, indikator terkait dengan aksesitas masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan. Kedua, indikator partisipatif pelaksanaan yang melibatkan semua unsur masyarakat seperti disebutkan dalam UU. Ketiga, indikator kemanfaatan kegiatan-kegiatan, serta keempat, indikator efisiensi dan relevansi program yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat sebagaimana yang dijelaskan dalam UU Otsus Papua tsb.

 

UU adalah produk DPR RI yang bersifat nasional sehingga pengawalannya juga menjadi tanggungjawab bukan saja oleh masyarakat Papua tetapi juga seluruh warganegara NKRI. Idealnya pelaksanaan UU Otsus dievaluasi melalui turunan perundangan yang dihasilkannya. Misalkan diperlukan evaluasi terkait dengan efektifitas Keppres Pembentukan Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan di Papua Barat yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 20 September 2011. Menurut hasil penelitian dari ELSHAM Papua yang bisa diakses dalam blog ini dengan judul artikel “Mari Kitorang Bertanggungjawab terhadap Papua”, dampak dari Keppres ini tidak dirasakan langsung oleh masyarakat, karena pendirian infrastruktur di Papua ternyata sedikit dimanfaatkan langsung oleh pendudukan, yaitu orang Papua asli.

 

Percepatan Pembangunan di Papua ternyata hanya memberikan manfaat kepada pendatang yang menurut beberapa narasumber yang saya wawancarai, cenderung berada di Papua beberapa minggu saja kemudian kembali ke Jawa sampai menunggu pembayaran gaji bulan berikutnya. Papua ternyata menjadi sumber geruk keuntungan dari sesama warganegara NKRI yang dedikasi dan komitmennya untuk membangun Papua sangat dipertanyakan.

 

Dimulai dengan kebijakan Pemerintah Megawati yang menerbitkan Instruksi Presiden tahun 2003 terkait dengan pemekaran tiga Papua menjadi tiga propinsi. Kebijakan Pemekaran ini tidak mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
  

Motivasi pemerintah RI melakukan pemekaran propinsi di tanah Papua karena alasan kekerasan.  Kekerasan yang berlangsung di Papua juga belum tuntas untuk diselesaikan oleh Pemerintah SBY. Ada sekitar 22 kasus kekerasan di Papua pada tahun 2012, dan di tahun 2011 ada sekitar 65 kasus. Kasus-kasus ini terjadi dengan pemicu adalah polisi maupun TNI. 

Dengan adanya penjelasan fakta-fakta ini maka menjadi sangat jelas, bahwa Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mendorong seluruh warganegara NKRI yang peduli untuk Papua untuk mendukung desakan dari Kaukus Papua di Parlemen RI meminta pemerintah RI menuntaskan evaluasi terhadap Otsus Papua. Marilah memberikan dukungan anda dengan mengklik “Like” pada page Petisi Warganegaran NKRI untuk Papua. Terima kasih. Salam amalulukee.



Jumat, 15 Februari 2013

Marilah Kitorang Bertanggungjawab terhadap Papua






 
Marilah Kitorang Bertanggungjawab terhadap Papua
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Salam demokrasi,

 
Pada page Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, seorang pendukung Petisi, Erick Kaunang memposting link ke Aljazeera Online, saluran kabel terpopular berbahasa Arab dan Inggis, yang memuat berita dengan judul "Goodbye Indonesia. People and Power Investigates one of the world's most forgotten conflict-the West Papua Struggle for Independence".

 

Link ke documen visual dan cetak online bisa ditemukan pada penjelasan berikut ini

http://www.aljazeera.com/programmes/peopleandpower/2013/01/201313018313632585.html

 

Catatan kekerasan HAM yang dilakukan oleh militer Indonesia, seperti dipublikasikan oleh Aljazeera Channel, segera mendapat tanggapan dari pemerintah Indonesia.

 

Dewi Fortuna Anwar mewakili pemerintah Indonesia membela kebijakan pemerintah RI dalam menanggulangi perjuangan keadilan, demokrasi dan kesejahteraan yang memicu kepada pergolakan Papua melawan NKRI.

 

Aljazeera Channel kembali menghadirkan wawancara eksklusif dengan Dewi Fortuna Anwar terkait dengan pemberitaan Aljazeera sebelumnya. Publikasi wawancara tersebut diberikan judul "Indonesian Official Defends Policies in West Papua".

 

Link ke document visual bisa ditemukan pada penjelasan berikut ini

http://www.youtube.com/watch?v=CxyRW2oTKYY

 

Sebagai warganegara NKRI, saya bertanya tentang kebenaran yang sedang terjadi di tanah Papua. Selain datang ke Papua dan melakukan kegiatan-kegiatan dengan masyarakat Papua, di tanah Papua maupun di Yogyakarta, saya juga mempelajari berbagai riset terkait dengan Papua.

 

Informasi yang penting untuk diketahui oleh warganegara NKRI terkait dengan kegiatan militerisme yang dilakukan atas nama NKRI kepada basudara Papua di tanah Papua bisa dipelajari secara seksama melalui laporan online berjudul "Masa Lalu yang Tak Berlalu: Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua Sebelum dan Sesudah Reformasi".

 

Tulisan ini adalah hasil penelitian lapangan yang berlangsung di empat lokasi yaitu di Sorong, Manokwari, Biak dan Paniai dari bulan Januari sd September 2011. Narasumber terdiri dari 108 saksi yang diwawancarai sehingga bisa mengungkapkan 749 dugaan pelanggaran HAM yang berdampak kepada 300 korban. Penelitian dilakukan oleh Lembaga Studi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua bersama International Center for Transitional Justice (ICTJ) dengan tujuan untuk mendorong penyelesaian perdamaian di tanah Papua.

Laporan ini juga memperlihatkan motivasi pemerintah yang enggan untuk menyelesaikan persoalan perdamaian dan lebih menekankan penanggulangan Papua melalui isu-isu pembangunan yang dampaknya sangat minim dirasakan langsung oleh warganegara NKRI di tanah Papua.

Saya kutip penggalan pernyataan dalam laporan ini:
" Dalam upaya untuk menanggapi peningkatan ketidakpuasan ini, pada 20 September 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keppres pembentukan Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, atau UP4B.2 Meskipun draft awal Keppres tersebut memberikan kewenangan kepada UP4B untuk menangani topik-topik penting yang sensitif seperti penanganan konflik dan hak asasi manusia, namun Keppres versi final hanya terfokus pada isu-isu pembangunan, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur."

Untuk proses pembelajaran selanjutnya, silahkan pembaca dan pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengakses langsung laporan ini pada link yang dijelaskan berikut ini.

http://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-ELSHAM-Indonesia-Papua-2012-Bahasa.pdf


Sesudah warganegara NKRI membaca dan mempelajari sendiri ketiga informasi di atas, saya harap kita semua bisa lebih bertanggungjawab dalam memberikan informasi tentang apa yang sedang terjadi di tanah Papua. Integritas seorang pemimpin dan intelektual di Indonesia sangat ditentukan dengan bagaimana persoalan konflik dan perdamaian di tanah Papua diselesaikan secara damai.

Karena itulah saya memberikan judul tulisan ini: "Marilah Kitorang Bertanggungjawab terhadap Papua".

Selamat membaca. Salam amalulukee.





 

 


Senin, 11 Februari 2013

Persahabatan, Refleksi Enam Windu





Persahabatan, Refleksi Enam Windu
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Rumah sepi sekarang. Suara tawa riuh masih tertinggal dalam kenangan. Anak-anak makan sampai tertidur. Orang tua mereka memboyong ke kenderaan masing-masing pulang ke rumahnya. Tinggal kami sendiri. Sambil duduk di ayunan di pendopo bersama suami, saya tersenyum karena senang anak-anak gembira mencicipi kreasi baru.

Sudah kebiasaan, saya membuat menu yang aneh, sehingga semua mau coba sampai kekenyangan. Kue aneh itu bukan kue HUT karena tidak diberikan lilin. Kue chiffon yang dilapisi whipping cream dengan potongan melon yang dipotong kecil-kecil bisa ditaburi  sedikit keju kalau suka kombinasi manis asin. Enak sekali! Segar. Terbayang lagi ketika saya menikmati appetizer di Roma, "Prosciutto e melone", yaitu melon dibalut sepotong ham tipis, atau sepotong keju swiss.  Jadi untuk kue itu, saya menyebutnya kue salyu melon. Sebenarnya, kue semacam ini disajikan dengan strawberry, diberi nama snow strawberry cake. Tapi saya tidak ke pasar Patuk di tengah kota untuk mencari strawberry. Saya hanya ke supermarket terdekat sore sesudah kembali dari kantor, mampir membeli melon.

Suami, pak Bernie suka sekali kue lembut ini. Ia bertanya tentang subsitusi melon, dari  mana idenya. Saya menjelaskan tentang ingatan ketika di Roma. Pak Bernie tersenyum, ingat waktu kami tinggal di Amsterdam ketika saya menyelesaikan penulisan disertasi. Perjalanan 10 tahun lalu membekas,  dan bisa dirayakan kembali di sini, melalui modifikasi makanan yang enak.

Sudah jam 23.00 ketika kami masih bersama  bercerita di ayunan sambil kaki panjang pak Bernie mengayuh sehingga ayunan bergerak ke muka belakang. Kami sekarang makin tua. Kami juga bersahabat, teman sharing tetapi sekaligus sangat menikmati melakukan kerja sendiri-sendiri. Kadang-kadang saya harus kerja terpisah, begitu juga pak Bernie, tetapi kami melakukannya dengan bersyukur. Menjadi sahabat adalah membebaskan mereka menjadi diri sendiri. Saya menangkap makna itu!

Sekalipun seolah-olah sudah mengerti, saya meminta pak Bernie bercerita tentang Aristoteles. Aristoteles, filsuf Yunani yang menulis buku tentang Etika Nicodemus. Tentang persahabatan, Aristoteles pernah bertanya: Apa itu suatu persahabatan? Jawabannya: “Persahabatan adalah satu jiwa yang tinggal pada dua tubuh".  Persahabatan bertumbuh. Dimulai dari makna persahabatan yang menekankan saling keuntungan, ke persahabatan sebagai upaya untuk menolong mereka yang lemah, sampai kepada pengertian persahabatan sebagai upaya untuk saling membutuhkan demi persahabatan itu sendiri.

Persahabatan ketiga sangat ideal karena dari kepentingan persahabatan melahirkan ketulusan hati. Pencapaian tahap ke-3 dari persahabatan terjadi apabila karakter seseorang untuk menghargai persahabatan dilatih terus menerus.  Karakter yang diwujudkan ini adalah hasil dari praktek nilai tsb yang dilatih setiap saat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga  nilai yang dipercayai itu menjadi bagian dari kebaikan yang menonjol dalam karakter diri seseorang.

Persahabatan inilah juga yang saya temukan dalam keakraban dengan berbagai orang di mana saya bertemu dan bekerja bersama. Tiga tingkatan persahabatan sering kali tampil saling bergantian. Semakin mendalam saya masuk dalam kehidupan seseorang, semakin terasa kesungguhan persahabatan sebagai komitmen mendasar seseorang yang menyentuh sanubari saya sampai saya bisa melihat seolah-olah Sang Pencipta ada di sana. Saya ingat kata2 Firman: "Kamu adalah sahabat saya apabila melakukan kepada salah satu dari mereka yang hina ini".  Pada tahap ini, persahabatan adalah benar dikatakan Aristoteles, jiwa yang satu dalam tubuh yang berbeda.

Ketika pak Bernie pergi tidur saya menulis perasaan saya ini. Saya ingin menulis kepada teman-teman saya di Facebook, seperti keluarga, masing-masing menebarkan persahabatan yang membuat saya bisa menatap dengan bangga. Saya punya teman-teman sevisi, mereka yang merasakan perjuangan bersama sesama warganegara Indonesia, turut prihatin dengan perkembangan demi perkembangan kehidupan dan pengetahuannya yang dibagikan bersama. Kepiluaan karena konflik-konflik sosial, upaya untuk menegakkan keadilan, kesetaraan di antara sesama anak bangsa, telah menjadikan kami sehati, sejiwa sekalipun kami adalah tetap keunikan dari sistem diri yang terpisah.

Perjuangan kedepan masih panjang. Saya bisa melihat jalan ke sana, dari situasi saat ini. Tidak mungkin kita sekedar merasa “kasihan”, sayang kepada negeri sendiri, sesama manusia. Rumusan kata “sayang", "kepedulian" dan lain sejenisnya perlu menemukan bentuk dalam perjuangan yang lebih konkrit, termasuk keharusan untuk menggali rumusan-rumusan hukum yang sudah baku, menjadikannya relevan dengan persoalan yang dihadapi bangsa saat ini.

Saya bersyukur untuk perjalanan ini yang dibimbing sendiri oleh Tuhan sehingga saya bisa bersama-sama dengan teman2 dan saudara/i berjalan, bersisian meneruskan komitmen untuk terus berjalan, tidak dengan berlari sekenjang-kenjangnya, tidak juga dengan melarikan diri karena ketakutan, tetapi karena kesediaan menghadapinya, tanpa rasa takut. Segala sesuatu ada waktu, dari persahabatan, diberikan ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa rasa takut. Tanpa takut, dalam tangan Tuhan, saya berjalan, berjalan terus menaburkan benih-benih kehidupan di muka bumi ini.

Terima kasih semesta untuk kesediaannya menerima saya, bahkan masih terus mengundang saya untuk melihat keajaiban dirimu. Amin.

Terima kasih teman2. Terima kasih semua untuk komitmen teman2, dan kata-kata bijaksana, doa yang disampaikan di hari HUT saya, enam windu sudah tiba. Salam kasih (Farsijana Adeney-Risakotta)
 
Yogyakarta, 11-2-2013


 

Kamis, 07 Februari 2013

Dokumen Negara: UU No.17 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial


  
Perdebatan nasional tentang penerbitan Inpres No 2 Tahun 2013 masih terus bergulir.

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua pada timelinenya telah posting artikel online berjudul 
 
Lily Wahid Persoalkan Inpres tentang Keamanan Nasional yang dipublikasikan pada <www.jurnalparlemen.com>

atau bisa diakses langsung pada link


 
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengutip pendapat Lily Wahid, sebagaimana dicatat dalam blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia Untuk Semua.

"Menurut Lily, penerbitan Inpres itu membingungkan publik. Semestinya pemerintah tidak langsung bikin Inpres, melainkan menerbitkan PP sebagai turunan dari UU No. 17 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) terlebih dulu sebagai panduan teknis. Akibatnya, terjadi seliweran pandangan terhadap cara menangani keamanan".

Untuk mendukung pemahaman mendalam mengenai UU No.17 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS), maka sangat perlu warganegara NKRI mencermati sendiri langsung dokumen negara tsb.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

www.setkab.go.id atau langsung ke sitenya

http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17571/UU0072012.pdf


Sejarah UU Nomor 7 Tahun 2012 ini, ketika masih dalam bentuk RUU, telah menuai banyak protes dari masyarakat sipil.

Tulisan yang dipublikasikan oleh Kompas berjudul "Sembilan Poin RUU Konflik Sosial yang Dinilai Bermasalah bisa diakses pada link sbb:

http://nasional.kompas.com/read/2012/04/08/21275384/Sembilan.Poin.RUU.Konflik.Sosial.yang.Dinilai.Bermasalah

Sekalipun ada penolakan terhadap RUU Konflik Sosial, pada akhirnya DPR RI mengesahkan UU No 7 Tahun 2012.  Tempo memuat berita penting tentang upaya masyarakat sipil menggugat UU No 7 Tahun 2012. Link kepada artikel tsb bisa diakses melalui:

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/17/063397766/UU-Penanganan-Konflik-Sosial-Segera-Digugat

Penelusuran latar belakang penerbitan UU No 7 Tahun 2012 diharapkan dapat  menolong warganegara NKRI untuk mengerti konteks penolakan masyarakat sipil terhadap perundangan tsb karena budaya militerisme yang mendasarinya.
 
Terima kasih

Rabu, 06 Februari 2013

Salinan Dokumen Negara: Inpres No 2/2013


Dalam kaitan dengan perluasan gerakan masyarakat sipil menolak Inpres No 2/2013,
terutama untuk konsumsi pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
www.facebook.com/petisi.untuk.papua?ref=hl

Saya mengetik ulang informasi link ke Inpres No 2/2013.

Warganegara NKRI bisa mengakses Inpres No 2/2013 melalui website
www.setkab.go.id

atau langsung ke linknya

http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/173674/Inpres%20No.%202%20Tahun%202013.pdf

Terima kasih


Selasa, 05 Februari 2013

Aksesitas Gerakan Masyarakat Sipil Menolak Inpres Nomor 2 Tahun 2013..


...dengan mengetik hanya empat kata.."gerakan masyarakat sipil menolak"..posting terkait dengan gerakan masyarakat sipil menolak Inpres Nomor 2 Tahun 2013 bisa diakses dari search machine Google..

...dukungan warganegara NKRI diperlukan untuk mengawal perdamaian dalam membangun demokrasi di NKRI. Terutama di daerah di mana politik kekerasan negara terstruktur seperti di Papua.

...Inilah caranya warganegara NKRI memberikan kontribusi nyata untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di bumi Indonesia...


Gerakan Masyarakat Sipil Menolak Inpres Nomor 2 Tahun 2013



Sebagai moderator dari Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, untuk menjaga kepentingan misi Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam memfasilitasi pemberdayaan basudara Papua menegakkan perdamaian di tanah Papua, dengan mendapat dukungan seluas mungkin dari warganegara NKRI, saya memutuskan merilis tanggapan nasional di blog ini. Tanggapan yang dimaksud terkait dengan penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri atau Inpres Keamanan Dalam Negeri.
Kompas, hari Senin,  4 Februari 2013, menjelaskan tentang Inpres Keamanan Dalam Negeri dapat digambarkan seperti Pedang Bermata Dua. Di satu sisi, aturan ini bisa dipakai dalam upaya mengatasi konflik sosial yang masih terus muncul di Indonesia. Tetapi di sisi lain, penanganannya yang melibatkan militer bisa memicu pelanggaran HAM. Lihat berita Kompas tsb dengan judul “Keamanan Nasional. Inpres Nomor 2 Tahun 2013 bak Pedang Bermata Dua” (Kompas, halaman 5).
Selain itu, ada dua argumentasi penting lain yang ditemukan dalam tulisan tsb. Pertama, ada indikasi upaya mengembalikan peran militer seperti dilakukan pada masa Orde Baru. Pemisahan fungsi polisi dan TNI ternyata menyisakan kenyataan bahwa pemicu konflik sebenarnya datang dari polisi seperti yang dilaporkan oleh masyarakat kepada Komnas HAM.
Ada 1.635 kasus yang diadukan masyarakat terkait dengan peran polisi dalam penyelesaian konflik sosial. Sehingga dikuatirkan dengan adanya Inpres Keamanan Dalam Negeri, yang memberikan wewenang kepada TNI untuk membantu polisi dalam penanggulangan konflik sosial, akan memperparah kehidupan demokrasi di Indonesia.
Fenomena yang disinyalir oleh Kompas, sebenarnya juga merupakan dasar pembentukan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sebagai respon terhadap kekerasan yang terjadi di Papua dan pernyataan dari Sjafrie Sjamsoeddin seperti dikutip pada Kompas, 19 Juni 2012
“Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan mengatakan potensi keamanan terhadap keamanan Indonesia bukan lagi serangan militer negara lain, tetapi terorisme, separatisme dan kegiatan ilegal sumber daya alam". Tentang catatan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua terkait dengan latarbelakang lahirnya Petisi ini bisa dilihat pada boks "NOTES" yang tersedia di dashboard dari page Petisi Warganegara NKRI untuk Papua.Lihat
http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua?filter=2

Selanjutnya teman2 pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua bisa mengakses berita tsb dengan mengklik:
http://cetak.kompas.com/read/2013/02/04/02205535/inpres.nomor.2.tahun.2013.bak.pedang.bermata.dua 

Sebagai moderator dari Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, saya menggunakan googling dengan spesifikasi pencari berita "ancaman Inpres Nomor 2 Tahun 2013" langsung menerima respon ke link portal online yang memuat tulisan-tulisan terkait dengan tanggapan masyarakat sipil dan upaya mengorganisir tekanan kepada Pemerintah SBY untuk segera mencabut Inpres Nomor 2 Tahun 2013 yang dianggap bertujuan untuk melindungi SBY.