Translate

Minggu, 15 Desember 2013

Bagian II: Nelson Mandela dan Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi untuk Indonesia, khususnya Papua!


Bagian II: Nelson Mandela dan Komisi Kebenaran  & Rekonsiliasi untuk Indonesia, khususnya Papua

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Nelson Mandela masih tetap segar ketika dibaringkan  kembali ke dalam rahim bumi sesudah 10 hari sejak kematiannya, warga dunia, negara Afrika Selatan, Propinsi Pretoria, Desa Qunu merayakan kehidupannya.  Konsistensinya dalam perjuangan, ketabahan melewati masa penghukuman, kejeliannya untuk mengerti dari mana perubahan harus dimulai, keluasannya untuk menguakkan kekuasaan yang tersembunyi pada diri manusia, telah menghantarnya sebagai pemimpin yang memberikan harapan bagi perjalanan bersama di dunia dalam era milinium.  Kalau diumpamakan, Nelson Mandela adalah seorang seniman yang tahu membuat karya kemudian membongkar sesudah berpameran. Seniman pada umumnya sangat egoistis untuk menghilangkan karyanya. Nelson Mandela bukan memperlakukan konflik kekuasaan, penindasan sebagai bagian dari keahliannya yang dapat memasarkan cara penyelesaian masalah berbangsa. Ini adalah tentang cara hidup. Jalannya membuat hidup lebih baik di muka bumi ini yang adalah suatu keindahan luar biasa.

Keahlian itu ada pada warga masyarakat, bukan pada dirinya. Nelson Mandela menciptakan sistem yang memungkinkan masyarakat mengisinya dengan kemampuan mereka dalam penyelesaian masalah yang diakibatkan oleh politik appartheid. Kemampuannya untuk membangun sistem bukan muncul dari suatu ide abstrak hasil bergolakkannya sendiri yang dituangkan dalam selembaran kertas. Kebijakan-kebijakan yang Nelson Mandela hasilkan adalah produk dari perjumpaannya dengan warga Afrika Selatan di mana-mana dalam perjalanannya untuk mengerti apa yang sedang terjadi dengan mereka. Kemampuannya untuk menghadirkan penderitaan rakyat sebagai perspektif dalam membuat kebijakan membuat Nelson Mandela tampil sebagai seorang pemimpin yang bukan saja mengubah kalangan warga kulit putih Afrikaans tetapi juga warga Afrika yang ingin menegakkan dominasi di atas tanah yang diklaim sebagai milik nenek moyangnya.

Saya sudah menjelaskan tentang kondisi masyarakat ketika pengalihan kekuasaan terjadi di Afrika Selatan.  Pengalihan kekuasaan sebagai topik analisis dalam studi hubungan internasional dan politik seringkali tampil dengan menggambarkan akibat yang berakhir pada kekerasan massa. Sekarang ini kekerasan massa sedang terjadi di Syria yang melibatkan perang saudara. Banyak analisis menyebutkan tentang peran politik internasional yang sering memperkeruhkan proses negosiasi politik di dalam suatu negara yang sedang menghadapi krisis pengalihan kekuasaan. Kebijakan Amerika Serikat paling banyak disoroti dalam pengalihan kekuasaan di mana-mana di seluruh dunia. Keterlibatan Amerika Serikat dalam politik di Afrika Selatan juga sangat besar.  Saya pikir, Amerika Serikat sangat bersyukur karena sekalipun Nelson Mandela bersimpati kepada partai komunis, tetapi memutuskan mengorganisir advokasi anti-appartheidnya melalui ANC, sehingga dukungan Amerika Serikat mengalir kepadanya sangat besar. Bahkan kemampuan Nelson Mandela untuk mengalihankan kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan diikuti dengan melakukan proses rekonsiliasi nasional, adalah sebenarnya mimpi dari idealisme Amerika Serikat yang di dalam negerinya sendiri proses ini belum sepenuh berjalan.

 

Tetapi ketika pengalihan kekuasaan sedang berlangsung di Afrika Selatan, menimbulkan keresahan dan ketakutan kepada kelompok minoritas terhadap kemungkinan tuntutan kelompok Afrika atas pengembalian tanah-tanah produk yang dikelola oleh kelompok-kelompok minoritas. Tetapi ternyata kemenangan Nelson Mandela tidak menghasilkan pengalihan kekuasaan yang menjurus kepada perang saudara. Dalam periode sesudah Nelson Mandela keluar dari penjara sebelum pemilihan presiden dilakukan, ada peristiwa pembunuhan yang menurut Nelson Mandela hendak diarahkan kepada perang saudara. Ketika itu, seorang Afrika dibunuh. Tetapi Nelson Mandela berjalan menjumpai masyarakat dan segera melakukan konferensi press untuk menyampaikan belangsungkawa terhadap peristiwa yang terjadi dan meminta masyarakat untuk tenang. Masyarakat diminta untuk tidak terpicu dengan isu-isu yang menghasut mereka. Kelompok minoritas diminta untuk tenang dan meneruskan produksi yang sedang berlangsung sampai menyesuaikan dengan sistem regulasi yang berkembang untuk menghadirkan perspektif kelompok Afrikan dalam kebijakan negara. Tetapi yang paling penting di atas semuanya adalah setiap warganegara diberikan kesepatan untuk memilih, one person one vote.

 

Ketika Nelson Mandela sedang di penjara, seorang isteri dari temannya, Joe Slovo, Ruth First meninggal dari bom yang diledakkan ketika mereka sedang terlibat dalam demonstasi penolakan apparteid. Ketika itu, anak Ruth,  Gillian Slove baru berusia 12 tahun. Ia dipindahkan ke London, Inggeris di mana ia dibesarkan. Ayahnya, Joe Slove meneruskan perjuangan gerakan anti appartheid sebagai pemimpin South Africa Communist Party. Joe Slove adalah salah satu teman Nelson Mandela, sebagai seorang pengacara muda ketika mulai memasuki Johannesburg.  Gillian Slove menulis tentang cerita perjuangan ibunya, termasuk penderitaan yang dialami oleh warga Afrika yang digambarkan sangat terperinci dan menggugah sanubari. Red Dust adalah novel yang dipakai oleh Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran ketika mereka mulai menegakkan proses penghentian lingkaran kekerasan dalam masyarakat di Afrika Selatan. Gillian Slove terlibat sebagai anggota keluarga yang memproses kematian Ruth First melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Gillian Slove menggambarkan ketegangan dan kemarahan dirinya ketika harus bertemu dengan Craig Williamson dalam persidangan yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan sebelum menentukan amnesti kepada pembunuh ibunya. Keluarga Slove, menerima keputusan amnesti kepada pembunuh Ruth First sebagai bagian dari pengampunan yang diberikan oleh keluarga kepada negara yang diteruskan kepada Craig Williamson, sesudah mendengar motivasi pembunuhan yang direncanakan tersebut.

 

Jadi apa sebenarnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi?  Komisi  Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk dengan menerapkan prinsip-prinsip Hak-Hak Azazi yang ditegakkan oleh PBB kepada seluruh bangsa. Penerapan HAM untuk menghindari pemberlakuan kepada semua situasi yang menghasilkan adanya tindakan diskriminasi sampai kepada kekerasan dari seseorang atau kelompok kepada seseorang lain atau kelompok lain. Misalkan seorang yang dituduh melakukan subversif, haknya sebagai manusia harus dilindungi.  Seorang tentara yang atas nama negara melakukan pembunuh sewenang-wenang kepada rakyat, haknya juga harus dilindungi.  Melindungi hak seseorang bukan meniadakan kemungkinan seseorang atau kelompok tertentu untuk dihukum. Penghukuman seseorang harus dilewati melalui proses pengadilan yang memungkinkan keadilan bisa dibukakan. Dalam pengalihan kekuasaan seperti terjadi di Afrika Selatan,  kemungkinan untuk penegakkan keadilan dan hukum bisa diselewengkan atau dapat menimbulkan munculnya ketegangan baru dalam masyarakat.  Institusi pengadilan yang tersedia seringkali belum siap untuk melakukan persidangan yang memungkinkan orang-orang yang terlibat dalam tindakan kekerasan bisa menerima hukum yang diputuskan kepadanya. Sebaliknya mereka yang memproses kasus-kasus pelanggaran HAM pada negara seringkali tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh pengadilan.

 

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk di Afrika Selatan untuk pertama-tama bukan sebagai tempat di mana keputusan tentang yang benar dan salah harus memuaskan mereka yang dirugikan, baik itu negara atau rakyat. Tujuan pembentukannya adalah untuk mendudukan dalam sejarah bersama, tentang motivasi-motivasi yang melatarbelakangi terjadi tindakan kekerasan sehingga menyebabkan pembunuhan, kekerasan seperti perampasan, pelepasan hak-hak sipil lainnya yang dimilik oleh seorang warganegara. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibentuk untuk membangun kembali kehidupan sebagai sesama warganegara karena mereka harus hidup bersama-sama sebagai masyarakat di dalam suatu negara. Itulah sebabnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak diletakan sebagai bagian dari sistem peradilan yang sudah ada. Komisi  Kebenaran dan Rekonsiliasi dibangun terpisah sebagai lembaga mandiri dari kontrol pemerintah.

 

Menarik untuk memperhatikan bagaimana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan bekerja. Sebagai suatu Komisi, keputusan pembentukannya ditetapkan dalam perundangan yang diputuskan pada parlemen. UU yang mengatur pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebelum ditetapkan dibahasakan bersama secara bertahap dari masyarakat yang paling terbawah sampai pada tingkat lembaga-lembaga advokasi yang bekerja dengan masyarakat. Tujuannya untuk mendengar dari masyarakat terutama kelompok-kelompok yang menginginkan adanya penyelesaian secara hukum terhadap kasus-kasus kekerasan yang telah merenggut nyawa anggota keluarga atau masyarakatnya. Inspirasi yang diberikan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dari Afrika Selatan ketika diterapkan di negara-negara lain tampil berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan dan sejarah kekerasan yang terjadi padanya.

 

Saat ini ada 26 negara-negara di dunia yang telah mengadopsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam sejarah pengalihan kekuasaan di bangsanya masing-masing. Indonesia salah satunya yang telah mengadopsi. Saya ingin lihat secara cepat apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dan bagaimana hubungannya Papua.  

 

Ada sedikitnya empat tulisan yang menarik bisa diperdalam lebih jauh terkait dengan pembahasan mengenai  Komisi Rekonsiliasi dan Perdamaian di Indonesia.  Tulisan-tulisan ini diterbitkan dari praktek advokasi hukum dan HAM yang dilakukan dalam penegakan keadilan di Indonesia.  Ada dua lembaga penting yang saya maksudkan yaitu Kontras dan Elsham yang bersama dengan lembaga masyarakat sipil lainnya sesudah gerakan Reformasi memberikan masukan kepada pemerintah tentang pentingnya pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran. Pemerintah melalui TAP MPR RI menetapkan perlunya melakukan rekonsiliasi nasional.  Pemerintah menetapkan UU No.27 Tahun 2004 tentang  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diharapkan bisa memberikan rasa keadilan kepada persoalan kebangsaan sejak peristiwa G30 PKI, Tanjung Priok, Trisakti, Aceh dan Papua.

 

 Sayangnya, upaya lembaga sipil masyarakat (KONTRAS) untuk meminta peninjauan UU tersebut terhadap ayat yang dirasakan tidak adil, malahan akhirnya menyebabkan Mahkamah Konstitusi menghapuskan UU tsb. Tulisan Elsham terkait dengan pentingnya dibangun kembali upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sesudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kajian yang sangat penting. Dua kajian lainnya berangkat dari latar belakang akademis sebagai kajian hukum yang membantu masyarakat untuk mengerti tentang posisi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai bagian dari persoalan hukum di Indonesia.  Momentum di mana Nelson Mandela meninggal telah mengangkat kembali isu Komisi Kebenaran dan Kebenaran sebagai lembaga mandiri yang penting harus dibentuk lagi oleh pemerintah Indonesia.

 

Seperti saya sudah menjelaskan dalam bagian pertama dari tulisan saya tentang Nelson Mandela, tulisan ini adalah kelanjutan darinya. Saya menulis Nelson Mandela terutama dalam kaitan dengan advokasi yang saya dan sesama warganegara NKRI sedang lakukan untuk penegakkan keadilan dan hukum di tanah Papua. Di atas semua kepentingan, tanpa menyesampingkan berbagai perdebatan tentang bentuk rekonsiliasi dan kebenaran yang cocok untuk Indonesia, seperti yang penah dilakukan antara Gunawan Muhammad dan Pramudya Ananta Toer, Franz Magnis Suseno dengan Sulastomo yang melibatkan Martin Aleida. Artikel dari Franz Magnis Suseno dan Sulastomo menanggapi upaya pemerintah SBY untuk meminta maaf kepada mantan Tapol, diterbitkan oleh Kompas cetak, tetapi tulisan Martin Aleida dianggap terlalu terbuka sehingga hanya bisa tampil pada rublik media online yang mendiskusikan kebudayaan dan politik.  Diskusi Gunawan Muhammad dengan Pramudya Anantar Toer juga merupakan materi online yang terbit lebih awal ketika pemerintah Gus Dur menggagaskan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekaligus memulai proses permohonan maaf kepada mantan Tapol.  

 

Pengulangan diskusi terbuka terhadap pentingan rekonsiliasi nasional, menurut saya adalah dua hal yang berbeda dengan pengadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Diskusi akademik untuk mengerti tentang praktek rekonsiliasi di Indonesia tiba pada kesimpulan bahwa rekonsiliasi yang dimaksudkan berbeda dengan yang dipraktekkan dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan. Ketika Konflik Maluku dan Aceh masih bergema, wacana tentang rekonsiliasi digali dari  praktek masyarakat yaitu baku bae (Maluku) dan Islah (Aceh). Penggunaan Islah dipraktekkan juga untuk proses rekonsiliasi kasus Tangjung Priok.  Menurut saya, berbagai peristilahan rekonsiliasi yang sesuai dengan praktek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia bisa dipergunakan sejauh pengaturannya diatur secara hukum.

UU No.27 Tahun 2004 memang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi yang diminta oleh lembaga sipil masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap beberapa ayat pada UU tsb.  Penolakan ayat terutama terkait dengan Amnesti. Seperti sudah saya jelaskan di atas, merunjuk pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan, kemungkinan pemberian hukum dalam bentuk amnesti dimungkinkan secara hukum. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang diberikan wewenang untuk menggali kebenaran dari peristiwa kekerasan yang terjadi akan berkonsultasi dengan berbagai kelompok lainnya tentang keputusan yang harus diberikan kepada terdakwa sesuai dengan tindakan berdasarkan motivasi yang mendorongnya. Dalam kasus kekerasan massa yang terjadi di antara masyarakat, ada motivasi bersama yang terbangun bertahap. Misalnya kekerasan massa di Maluku Utara bisa digambarkan sebagai peningkatan ketakutan dan ekskalasi teror yang disuburkan dalam masyarakat. Siapakah melakukannya? Saya mendiskusikan panjang lebar tentang hal ini (Adeney-Risakotta, 2005). Tetapi dalam sejarah konflik di Indonesia, ada kelompok yang tidak pernah melawan, tetapi dibantai. Misalkan warganegara yang dikatakan terlibat dengan partai politik komunis, peristiwa 1965-1967, tetapi juga dalam masa Reformasi, kelompok Kristen yang dibantai di Ternate dan Tidore. Mereka ini adalah kelompok yang tidak pernah melakukan perlawanan balik di tempat di mana mereka dibantai.  

Saya ingin tegaskan argumentasi bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah bukan semata-mata proses hukum menghukum. Tujuan utama dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, adalah menjaminkan keberlangsung kehidupan bersama dalam masyarakat dengan memotong lingkaran kekerasan. Perspektif ini yang sering kali hilang dari diskusi tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia.  Ketika saya memeriksan UU 27 Tahun 2004, perspektif ini juga tidak muncul. TAP MPR tentang rekonsiliasi nasional juga tidak menyinggung tentangnya. Padahal  tujuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah mendorong proses politik dalam negara secara terbuka dan representatif dengan mengurangi kemungkinan penggunaan kebijakan negara atau kelompok yang dominan untuk memobilisasi kekerasan yang mengakibatkan pembunuhan dan pembantai secara masal.

 

Di Indonesia, menurut saya, ada dua UU yang masih mempunyai kekuatan hukum untuk melaksanakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sekalipun UU No.27 Tahun 2004 sudah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama adalah UU No.21 Tahun 2001, pasal 46, ayat 1-3, yaitu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam UU Otonomi Khusus Papua.  Perumusan tujuan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada UU Otonomi Khusus Papua berbeda dengan yang ditetapkan dalam UU Pemerintahan Aceh.  Kedua adalah UU No. 11 Tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh untuk menggantikan UU otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dikenal dengan MoU Helsinki.

Bagaimana perbedaannya dan apa yang bisa dilakukan, saya akan membahas pada bagian berikut.

Bagian III:  Pengakuan Pemerintah Indonesia, Relavansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi pelanggaran HAM di Papua.

http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/pengakuan-pemerintah-indonesia-dan.html

Bagian I: Selamat Jalan Nelson Mandela, Bapak Pelangi Manusia

http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/bagian-i-selamat-jalan-nelson-mandela.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar