Translate

Minggu, 31 Maret 2013

Mop Papua untuk 1 April




Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (1 April 2013)
Mop Papua untuk 1 April

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

1 April dikenal sebagai April Mop. Dalam bahasa Inggeris, April Mop disebut April Fools’ Day. Pada 1 April, menurut tradisi April Mop, seseorang bisa mengarang berita heboh yang tidak berdasar, tidak ada kebenarannya. Cerita-cerita menghebohkan bahkan pernah menjadikan suatu masyarakat kacau balau ketika berita April Mop tersebar. Misalkan April Mop tentang 1 April 1946, Gempa bumi dan tsunami di Hawaii. April Mop ini menyebabkan banyak orang tua terjebak ketika berusaha melarikan diri.

Pagi ini, April Mop ditampilkan beda terutama karena ada banyak Mop Papua yang benar-benar membuat pembaca/penonton tertawa. Bisakah lelucun dilahirkan dari suatu MOP yang sebenarnya punya dasar kebenaran dari tindakan melucu?  MOP Papua menunjukkan pemahaman yang benar, bahwa hak untuk tertawa adalah bagian yang benar, berdasar, dilindungi oleh hak-hak azasi manusia. Istilah MOP dipilih dengan makna sejajar untuk menjelaskan lelucon yang segar, kocak, dan gokil.

Ternyata orang asli Papua bisa melucu. Melucu memerlukan imajinasi eeh maksudnya tidak perlu imajinasi. Ketika orang Papua berimajinasi,  ada pesan yang dikirim ke mana-mana, bahwa hidup yang murni harus selalu dipelihari dalam diri seseorang.  Hidup yang tulus dan polos memang bukan suatu imajinasi tetapi suatu realitas yang bisa membuat orang lain merasa, mengalami.  Juga ketika sekarang sahabat-sahabat sewarganegara NKRI dibuat tertawa sampai lupa diri. Kepolosan hati orang Papua menjadi modal utama untuk mendorong pemerintah RI memfasilitasi dialog damai yang diinginkan sangat mendalam oleh warga masyarakat Papua.

Menikmati Mop Papua di 1 April berarti melihat ketulusan dan kepolosan hati basudara Papua, sehingga warganegara NKRI bisa secara bersama mengingatkan pemerintah RI tentang tanggungjawabnya untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua.

Selamat menikmati Mop Papua.

Klasifikasi Mop Papua dari urutan terbanyak membuat perut tergocak!

  1. Mop Papua  ~ Full Edisi 2012

  1. Mop Papau Epen 2: Kasih 1000

  1. Mop Epen 3 Tanya Motor

  1. Mop Epen 3 Obat Penurun Panas    http://www.youtube.com/watch?v=3duck3_M6QVw





Sabtu, 30 Maret 2013

Sungguh, Dia sudah bangkit!






Sungguh, Dia sudah bangkit!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta




Sebelum fajar merekah

Kristus bangkit

maut ditinggalkan

kuburan terpecah

semesta gentar menerimaNya kembali




Bersama dunia

Kristus bangkit

hidup dipulihkan

kehidupan

dalam jalan Allah

dibangun lagi




Pada tanah

pada air

pada udara

pada bumi

semua yang bernapas

gemetar menyambutNya




Fajar merekah

terus berjalan bersama Allah

puncuk-puncuk muda

memekar bersama harapan

kepada dunia

terpulihkan

Kamis, 28 Maret 2013

Berduka Bersama Dunia. Merayakan Jumat Agung 2013



Berduka Bersama Dunia. 
Merayakan Jumat Agung, 29 Maret 2013.

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta



Dalam tradisi Kristiani, pada dini hari Yesus meninggal di kayu salib. Tanda-tanda alam menyertai hembusan napas Yesus digambarkan oleh penulis Injil Matius, kegelapan dan gempa bumi meliputi bumi. Pagi tadi, saya bangun jam 2.30. Masih dalam ingatan tentang tenggangan waktu, di antara tengah malam dengan dini hari jam 3 pagi, ketika kegelapan dan kegetaran terjadi mengantar Yesus ke dalam alam kematian. Ketika saya sedang merasakan pengalaman kematian Kristus, tiba-tiba hujan turun. Suara rintik-rintik semakin deras. Ada gemuruh terdengar di luar kamar. Pengalaman 2000 tahun lalu masa kematian Yesus seperti sedang berulang dalam pengalaman saya. Alam juga masih ingat kepada masa duka yang mendalam mengiring penyerahan Yesus ke dalam maut.

Jumat Agung dirayakan oleh umat Kristiani untuk memperingati hari kematian Kristus. Peringatan ini adalah menghadirkan seluruh rentetan kehidupan Yesus yang membawa kepada kematian. Saya ingat ketika masih kecil sudah sangat terpesona dengan rasa sakit yang ada dalam diri ketika memasuki masa pra paskah. Rasa sakit yang melebihi rasa lapar dan haus.

Dalam masa pra paskah saya membaca tulisan Injil tentang jalan salib yang dilalui oleh Kristus. Di mulai dari kesempatan Yesus mencuci kaki dan tangan dari murid-muridnya sebelum melakukan jamuan makan bersama mereka. Sesuai dengan tradisi Yahudi, pemilik rumah menyambut tamu-tamunya dengan menyediakan air untuk membersihkan kaki dan tangan mereka yang sudah berjalan jauh sebelum tiba di tempat yang ditujuinya. Dalam tradisi dikatakan Yesus mengambil kesempatan ini dengan membersihkan kaki dan tangan dari keduabelas muridnya. Pencucian diri membawa perjamuan makan terakhir menjadi sangat bermakna kepada murid-murid semua. Mereka perlu dasar yang kuat untuk bisa melewati rasa duka mendalam, yang sedang menanti. Hanya Yesus sedang merasakannya. Saya ingat Yesus berbagi perasaan kepada mereka, murid-murid, katanya: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya" (Matius 26: 38b). Murid-murid masih belum mengerti. Hanya Yesus yang tahu, mereka perlu menyatukan diri, saling mengasihi sehingga rasa duka yang akan dihadapi bisa diterima dalam pengalaman merasakan cinta kasih sejati Yesus yang pernah melayani mereka dengan sungguh.

Kecintaan Yesus kepada murid-muridnya bisa dirasakan oleh mereka. Ketika perjamuan makan terakhir dimulai, Yesus mengatakan bahwa di antara murid-muridnya akan ada seorang yang menyerahkan diriNya kepada kelompok yang menginginkan Yesus dihukum. Sudah lama Kristus diincar untuk diserahkan kepada pengadilan kota karena dianggap mengajarkan ajaran yang menghujat Allah. Pelayanan Kristus sudah menggoncangkan dunia Palestina pada waktu itu.

Injil mencatat tentang cinta kasih Yesus mendalam kepada manusia. Mereka yang dipinggirkan oleh negara, orang-orang yang dikucilkan dari keluarga, mereka yang miskin, lapar, haus dan sakit dilayani sampai mereka merasakan kembali cinta kasih Allah. Bahkan Lazarus dibangkitkan! Yesus menghadirkan cinta kasih Allah sehingga cinta kasih itu menakutkan  para penguasa yang melupakan tugas pelayanan kepada warganya. Dengan cinta kasih dari Allah, Yesus dalam pelayanannya mengajarkan manusia menghadapi penderitaan tanpa takut. Penderitaan bukan monster yang harus ditakuti. Seperti maut, penderitaan bisa dihadapi bersama Allah. Tindakan cinta kasih yang dimanifestasikan dalam pelayanan Kristus ternyata menjadikan dirinya target untuk difitnah, ditangkap, diadili dan dihukum.

Duka semakin memuncak. Sesudah mempersiapkan murid-muridnya memasuki duka mendalam,Yesus berpamitan untuk sendirian. Saya ingat cerita Alkitab bahwa Yesus pergi ke tempat sepi dan berdoa. Duka semakin dekat, sampai-sampai Yesus sendiri gemetar dalam doanya, “Ya Bapa, kalau boleh cawan ini lewati dari padaKu, tetapi bukan oleh karena kehendakKu melainkan menurut kehendakMu sendiri”. Saya menulis parafrasenya karena inilah ingatan saya dan saya suka menyebutnya ketika saya harus menahan kedukaan dalam perut. Saya mulai menyukai ayat ini sesudah kenal dengan cara Yesus membawa duka mendalam di dalam diriNya. Penyerahan diri Yesus mengutuh kepada jalan yang dipilih Allah.

Penangkapan Yesus oleh serombongan orang-orang yang menargetnya menjadi pembuka dari drama perjalanan salib Yesus yang sangat menegangkan. Sebelum Mel Gibson membuat film “The Passion of the Christ” yang menguras banyak air mata terhadap momen kedukaan dari detik ke detik perjalanan Yesus menuju ke kematian, saya sebagai anak kecil terkagum-kagum kepada kekuatan tradisi yang mengajarkan pengalaman duka dan cara Yesus menghadapinya. Saya ingat selalu bertanya kepada orang tua, atau pembimbing rohani di sekolah minggu tentang mengapa ajaran duka dan cara menghadapinya harus menjadi bagian dari tradisi Kristiani. Jawaban mereka belum bisa menghilangkan kegentaran yang saya rasakan di perut, di dada, di dalam leher sampai saya harus cepat-cepat keluar dari ruangan memandang kepada langit. Mungkin inilah awal kedekatan saya dengan semesta. Untuk banyak pengalaman duka yang mengiris-iris diafragma saya, saya segera berkelat keluar di bawah langit. Di sana saya bisa bernapas dalam tenang. Kekuatan saya adalah datangnya dari Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Kematian Kristus adalah puncak dari perjalanan salib yang mengiris-ngiris.  Membayangkannya saya mau mual. Mengapa tradisi Kristiani mengajarkan tentang jalan salib dengan puncak pada kematian Kristus sebelum tiba masa kebangkitan? Saya ingat bertanya terus. Semakin tua, pertanyaan itu masih ada bersama saya. Jawaban-jawabannya saya rangkai dari perjumpaan iman saya dengan peristiwa-peristiwa kehidupan yang memberikan penerangan tentang pentingnya keputusan Allah merestui perjalanan salib terjadi sebagai jalanNya kepada Yesus Kristus.  Jalan Allah yang mengasihi manusia tanpa syarat.  Mengasihi sampai kebencian tergoyakan dalam penerimaan  manusia yang terbebaskan dari belenggu obsesif ikatan persona diri di hadapan Allah.  Seperti dikatakan Pemazmur: "Siapakah saya ya Allah, sampai di lobang kuburpun Engkau di sana?". Betapa kekuatan yang dibanggakan manusia bisa sirna sekecap seperti angin meniup debu.

Tahun ini, menghayati perjalanan salib Yesus Kristus sangat berbeda.  Dua minggu sebelum hari ini, Jumat Agung, perut saya mulai sakit. Kesakitan dari kedukaan yang harus saya lihat. Manusia masih mencintai dirinya sendiri sehingga pengertian-pengertian baik yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang membawa kepada kehidupan seolah-olah sirna. Berita korupsi merajai media. Tubuh seseorang yang pernah dicintainya dengan mudah dipotong-potong dan disebarkan sepanjang jalan tol di Jakarta. Tubuh fisik dari rumah-rumah ibadah dengan mudah disingkirkan pemerintah di Bekasi. Tubuh fisik dari anak manusia dengan mudah diakhiri hanya dalam lima belas menit tembakan beruntun dilakukan oleh seorang eksekutor di Lapas Cebongan Sleman, DIY.  Kekerasan yang menghadirkan realitas seolah-olah bagian dari imaginasi adegan film-film Hollywood. Kasus-kasus kekerasan lain berdampak bagi warga biasa, terbentang dari Aceh sampai Papua, yang  belum terungkapkan.  Kegetaran itu dari sakit perut menjadi kuat ketika saya masih harus terus melakukan berbagai kegiatan rutin dari seorang Farsijana.

Kematian Yesus mengajarkan kekuatan membawa kedukaan dalam rahmat Allah. Rahmat Allah saya bisa rasakan ketika sehari sebelum Jumat Agung, saya diberikan kesempatan membakar lilin di Tugu, bersama dengan adik-adik, saudara/i dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan masyarakat luas untuk menghayati meninggalnya keempat saudara yang dieksekusi di Lapas Cebongan Sleman. Saya tidak mengenal mereka, keempat orang yang dieksekusi dan semua orang yang ada di Tugu. Tetapi saya di sana bersama dengan yang lain, saya membakar lilin. Saya menulis puisi “Bulan membakar Yogya”. Saya sedang membakar ego saya bersama lilin tersebut. Saya membakar "ego" saya karena saya juga berkontribusi terhadap kedukaan yang dirasakan bersama dalam masyarakat. Saya belum maksimal berbagi dengan mereka, pengetahuan dan kepeduliaan saya kepada mereka. Saya membakar “ego” saya sampai saya merasakan kesakitan dari duka itu berubah menjadi ketenangan yang menyelimuti saya.

Di alam terbuka, di titik nol di tengah kota, di Tugu, di monumen yang segaris, searah ke gunung Merapi di utara dan keraton Ngayogjakarta ke selatan di sepanjang lautan Hindia,   saya seolah-olah sedang diselimuti dengan rahmat Allah yang maha besar. Keajaiban bulan purnama dengan pantulan sinarnya sedang menyentuh kami di sana. Mungkin saya yang paling merasakannya. Lingkaran-lingkaran sinar membungkus saya sehingga rasa duka dalam rongga tubuh bisa berubah menjadi bahasa yang siap dilahirkan. Saya tiba-tiba bisa mengerti duka sesama, mereka yang keadilannya sedang dicabut, dilanggar, dipatahkan dan disingkirkan. Bulan purnama yang memancarkan sinar kasihnya juga sedang mengirimkan perlindungan kepada mereka yang di mana-mana sedang mencari keadilan Allah. Hanya dengan cara Allah, penderitaan bisa dihadapi.

Kematian Kristus adalah kematian Allah bersama dunia. Inilah berita kematian Kristus untuk dunia. Hanya melalui kematian, ada kehidupan. Saya bersyukur diberikan pengalaman melewati masa penderitaan dengan cara yang belum pernah saya alami sebelumnya. Ketika pengenalan atas kekuatan penderitaan dimengerti, saya semakin sadar tentang pengeraman permenungan. Sehingga ketika waktunya tiba, saya sendiri tidak bisa menahan diri untuk membiarkan bahasa mengungkapkan misteri penderitaan yang sedang saya rasakan dalam diri.

Saat ini, saya membawa kesakitan dari penderitaan dunia ke dalam diri, karena Yesus sudah lebih dulu melakukannya. Saya membawanya sampai waktu Tuhan mengangkatnya menurut rahmatNya sendiri. Dengan mata iman, perjuangan hidup bersama, perjuangan berbangsa saya hadapi dalam merasakan penderitaan sesama sampai saya tahu harus melakukan sesuatu kepada mereka.

Disamping berbagai gerakan langsung dengan masyarakat, saya tahu betapa pentingnya menuturkan kembali pengalaman dalam bahasa yang bisa saling menguatkan perjuangan bersama.  Mereka yang memberikan diri untuk berbagi, menyentuh kehidupan yang dihindari banyak orang karena padanya ada resiko.  Saya sudah memilih memasukinya. Pengalaman yang menakutkan harus saya hadapi dengan ketahanan berjalan di dalam jalan Allah seperti yang dialami oleh Kristus.

Ketika saya menulis, saya membawa pengalaman manusia keluar dari dirinya dan membentangkan untuk mengaca pada diri sendiri dan sesama. Lorong-lorong kegelapan dalam diri sendiri dan sesama harus bisa dibentangkan. Saya sedang melakukannya seperti Yesus yang menghadapi penderitaan dalam kesedihan mendalam  tanpa cepat-cepat segera menyingkirkannya. Seperti seorang perempuan membesarkan kandungannya, penderitaan memerlukan waktu untuk menguat menjadi sosok diri yang peduli dan empati kepada kehidupan. Pengalaman penderitaan adalah rahmat. Saya menyambutnya dengan syukur mendalam. 







Rabu, 27 Maret 2013

Bulan membakar Yogya


Bulan membakar Yogya
 Oleh Farsijana Adeney-Risakotta



Hanya malam ini
27 Maret 2013
Saya saksikan keajaiban
Turun dari langit
Bersama bulan
Bersama mereka
Saya membakar lilin
Untuk Indonesia
Untuk Yogyakarta
Kepada orang-orang yang dihilangkan
Karena kekerasan







Kegemparan
Ketika Lapas Cebongan Sleman diserbu
Mereka bersenjata laras panjang
Dini hari 23 Maret 2013
Empat nyawa  disorak sorai
Mengakhiri  eksekusi
Gigi ganti gigi
Dilakukan di negara hukum
Di Indonesia
Di Yogyakarta




Bulan turun
Mendekat ke Tugu
Menunjukkan  
Keprihatinan  semesta
Manusia belum berubah
Masih mencintai diri sendiri
Hanya bisa menggunakan senjata
Menutup jejak diri bercadar
Merenguk  nyawa musuhnya
Di tengah malam
Meninggalkan drama
Teror




Bersama bulan
Bersama mereka
Warga kota
Pejalan kaki pun berhenti
Membakar lilin
Mengumandangkan damai
Meluluhkan ego manusia
Angin sekali-sekali
Mematikan lilin
Bulan masih di sana
Menerangi lagi
Sesudah semua lilin
Meleleh




Bulan menyentuh
Tugu
Membisikan tanda
Ke bumi
Masih ada keadilan
Mengembalikan martabat kehidupan
Sejatinya daya menegakkan
Kebenaran abadi
Sudah saya
Percayai malam ini
Keajaiban
Masih ada
Di bumi Indonesia
Di Yogya


Senin, 25 Maret 2013

KeIndonesiaan dalam KePapuaan dan KePapuaan dalam keIndonesiaan




Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (26 Maret 2013)

KeIndonesiaan dalam kePapuaan dan KePapuaan dalam keIndonesiaan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Petisi Warganegara NKRI untuk Papua menyampaikan selamat pagi kepada sahabat2. Harap semua bersemangat untuk meneruskan aktivitas di minggu ini.  Pagi ini Petisi Warganegara NKRI untuk Papua ingin meneruskan diskusi yang dimulai kemarin. Satu artikel online yang dihasilkan dari seminar berjudul “Meneropong keIndonesiaan dalam kePapuaan menuju dialog untuk memutuskan siklus konflik dan kekerasan di Papua” telah diposting oleh Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sebagai menu utama Morning News kemarin, 25 Maret 2013. 

Link:

Pertanyaan keIndonesiaan dalam pengalaman kePapuaan ini, akan lebih lengkap apabila diikuti dengan pertanyaan tentang kePapuaan dalam keIndonesiaan. Relasi antar ethnis sangat penting diangkat dalam wacana multikulturalisme di Indonesia. 

Menanggapinya, Habel Melkias Suwae, Ketua DPD Golkar Propinsi Papua berargumentasi tentang tiga pendekatan yang diobservasikan dalam mengerti upaya identitas kePapuaan dibentuk di tengah-tengah keIndonesiaan. Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengutip pernyataannya: “
Terdapat  tiga respons atas konstruksi identitas Papua. Pertama, ada yang merespons dengan ketundukan, dalam arti proses pembentukan identitas internalnya sangat dipengaruhi oleh pengkonstruksifaktor eksternal, yaitu negara dan agama. Dalam proses ini, orang Papua mengkonstruksi identitasnya seperti yang dikonstruksi negara, dengan menjadiIndonesia yang bias pusat. Sementara orang Papua juga mengkonstruksi identitasnyaseperti yang dikonstruksikan agama, dengn menjadi Kristen yang meninggalkansistem keyakinan lokalnya, dan bahkan ada yang berbalik menjadi pelaku pemberantasan keyakinan lokal.
Respons kedua atas pengkonstruksian dua narasi bersar tersebut adalahakomodatif. Akan tetapi sikap akomodatif orang Papua ini lebih tepat penerimaandalam ketidakberdayaan. Karena kondisi obyektif masyarakat Papua memang lemahsumber daya manusia, dan bersamaan dengan itu perlu akselerasi dan eskalasi untukmaju atau modern, maka mau tidak mau Papua perlu penggerak ekonomi, penggerakpendidkan yang harus didatangkan dari luar. Akhirnya ia berada dalam suatu situasiserba terpaka menerima kedatangan pihak dari luar. Sikap mereka terhadap luar initerpaksa harus “toleran”, yang secara substantif lebih merupakan ketidakberdayaan.
Respons ketiga atas pengkonstruksian identitas dari dua narasi dominan ituadalah dengan negosiasi. Dengan mengambil momen era reformasi, orang Papuamencoba mengkonstruksi identitasnya dengan taktik negosiasi. Dengan taktiknegosiasi itu orang Papua mengkonstruksi identitas yang cair, sebuah identitas yang
meng “atas”-i kekentalan golongn, etnis, dan agama. Caranya dengan taktikbernegosiasi dan dialog dengan narasi dominan”


Penjelasan selengkapnya bisa dilihat pada link:
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/3198_RD-2013-02002-habelMS.pdf



Tujuan perbandingan kedua penjelasan ini untuk melihat lebih jauh tentang kesiapan orang Papua dalam berdialog dengan pemerintah RI. Orang Papua ternyata sudah siap berdialog. Refleksi diri tentang identitasnya diikuti dengan konsolidasi pada pemimpin agama, tradisi dan adat telah menghadirkan komitmen kepada orang Papua, bahwa dialog merupakan solusi terbaik bagi penyelesaian masalah Papua. Taktik negosiasi yang dilihat oleh Habel Melkias diharapkan akan mencapai puncaknya pada pelaksanaan dialog antara Papua dengan NKRI.  Menurut Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, yang mungkin harus dipertanyakan lebih lanjut adalah sejauhmana taktik negosiasi ini berakar dalam masyarakat sehingga hasilnya bisa  bermanfaat kepada masyarakat secara keseluruhan tidak sekedar berhenti pada pemimpin-pemimpin Papua saja. Di atas semuanya, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mendukung semua upaya diaog yang digagaskan oleh masyarakat sipil Papua. Salam amalulukee.