Translate

Selasa, 12 April 2016

Bedanya Gubernur Ahok dengan Romo Mangun


Bedanya Gubernur Ahok dengan  Romo Mangun

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Dua ilustrasi tentang pemukiman kumuh yang harus dibersihkan demi pembangunan kota bisa diamati di Yogyakarta dan di Jakarta.

Di era tahun 1970an, Romo Mangun mempertahankan penduduk di sekitar kali Code untuk tetap hidup di sana. Romo Mangun tinggal bersama mereka. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat kali Code dilakukan dengan sabar sehingga memberikan inspirasi terhadap situasi saat ini. Di era abad 20, kali Code telah menikmati peningkatan kualitas warganya. Paguyuban-paguyuban terbentuk berdasarkan asas partisipasi warga untuk terlibat merencanakan pembangunan di daerah mereka. Wisata kali diorganisir oleh warga sendiri.

Pariwisata sebagai andalan Yogyakarta juga dinikmati oleh warga di pinggiran kali Code. Mereka menghijaukan ruas-ruas kali bukan karena mau dikunjungi oleh wisatawan tetapi karena mereka mencintai air yang setiap tahun membanjir rumah mereka. Mereka percaya apabila hidupnya bertanggungjawab dengan alam mereka akan diberkati. Banjir badang dari gunung Merapi dihadapi dengan ketaatan untuk menjaga lingkungan sekitar dari gaya hidup masa bodoh membuang sampah sembarang. Warga miskin telah menunjukkan haknya untuk hidup termasuk menjaga lingkungan di sekitar.  Ritual pencucian kali “merti kali” menjadi bagian dari kehidupan warga sehari-hari dengan puncaknya pada kegiatan yang memberikan makna suci kepada kehidupan mereka dilakukan setahun sekali. Orang-orang datang dari mana-mana untuk menghayati kehidupan dari kesatuan manusia dengan alam semesta yang membuat mereka saling berinteraksi dengan mendalam, penuh penghormatan dan cinta kasih.

Di belahan dunia lain, di pusat negara, di Jakarta yang dikagumi oleh semua anak bangsa.  Berita pilu dari televisi, pengusuran dilakukan kepada warga di kampung nelayan di Luar Batang, di Jakarta Utara.  Efek media telah merobek hati saya. Lebih dari 4000 orang menangisi tanah yang sudah lama mereka hidup di atasnya. Penegak hukum, mereka yang berseragam atas nama negara datang untuk melenyapkan jejak warga miskin di sana. Hanya dalam beberapa jam, sejarah kampung menjadi puing-puing seperti ingatan yang dirobek-robek demi pembangunan ibu kota. Jakarta dimanakah hati nuranimu?

Orang-orang Jakarta diam karena mereka yang digusur adalah warga lemah secara hukum. Ribuan orang adalah penghuni liar di Jakarta. Dikatakan oleh pejabat berwenang, sekitar 300 orang sudah mendapat akses ke rumah susun yang disiapkan pemerintah kota Jakarta. Kemanakah ribuan orang lain yang pergi pada saat itu? Jakarta semakin kejam untuk anak bangsanya sendiri?  Padahal warga miskin ini adalah penduduk asli. Saking merasa orang asli urusan pembuatan KTP dihiraukan. Siapakah yang hendak mengusir mereka dari tanah airnya sendiri? Keyakinan itu patah ketika aparat pemerintah melihat sisi peluang dari kelemahan identitas politik warga untuk dengan mudah diusir dari tanah miliknya sendiri.

Gubernur Ahok memang bukan Romo Mangun. Ketika warga Code akan digusur mereka juga belum mempunyai KTP. Tetapi Romo Mangun berada bersama mereka di sana. Seorang pastor, tidak menggunakan bahasa agama untuk membela orang miskin. Tindakannya adalah bahasa iman yang dilakukan langsung untuk membela orang miskin. Gubernur Ahok sering mengutip ajaran kekristenan, termasuk mengutip cerita-cerita dari Alkitab seperti Yesus yang memporakporanda bait suci sebagai reaksinya terhadap kezaliman, korupsi dari para pejabat pada saat itu. Tetapi Gubernur Ahok lupa apa yang dilakukan oleh Romo Mangun untuk melindungi orang miskin dari egosentrik kekuasan dominan yang menginginkan tanah di mana mereka hidup.

Tanah adalah tempat yang paling sentral dari hak dasar manusia untuk hidup. Pada tanah ada keterikatan sosial di mana warga saling mendukung untuk menguatkan kehidupan mereka dari hari ke hari. Mengapa baru sekarang pinggiran kota Jakarta menjadi cerminan wajah Jakarta? Mengapa baru sekarang sungai Ciliwung menjadi citra kota Jakarta? Citra kota Jakarta untuk mereka yang kaya dan kuat telah menggusur kaum lemah yang juga turut membangun ibu kota negara. Apakah ini wajah pembangunan bangsa ke depan? Kemanakah semangat Romo Mangun, arsitek humanis yang telah menegakkan orang miskin di Yogyakarta menjadi bagian dari kota Yogyakarta yang humanis? Jakarta bisakah engkau mengembalikan dirimu menjadi ibu kota negara yang humanis?

 

*) Pendiri Yayasan Griya Jati Rasa. Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Kreatifitas Bangsa untuk Keadilan dan Perdamaian. Tinggal di Yogyakarta.

Minggu, 11 Januari 2015

Teror Paris, pertarungan antara teroris berakhir tragis!



Teror Paris, pertarungan antara teroris berakhir tragis!
Pembelajaran penting untuk dunia.

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Kebebasan intelektual dan ekpresi bagian dari kreatifitas yang perlu dilindungi. Penganut pandangan demokrasi liberal berjuang untuk melindungi kebebasan berpendapat dalam  mengekspresikan dirinya. Kebebasan berpendapat adalah tanda demokrasi yang  membolehkan  opini pribadi dan kelompok bisa dibahas dalam ruang publik. Ketika pendapatnya harus dibela,  dilakukan secara terbuka melalui diskusi mendalam.  Kadang-kadang pembelaan disampaikan  sambil mengejek, menertawakan dan menghina. Praktek penyampaian pendapat ekstrim seperti ini bisa menyebabkan konflik dalam ruang publik. Terutama ketika tindakan-tindakan ekspresi terjadi sebagai representasi kenyataan sosial yang tidak berimbang. Pendapat yang vulgar mungkin didukung oleh budaya dominan yang perlu dibela dengan menggunakan  materi pembelaan yang meminggirkan, memojokkan komunitas lain. Ketika perlawanan dengan wacana tidak bisa dibangun, maka tindakan pembelaan dengan kekerasan menjadi alasan untuk membela kebanggaan diri yang dihina.

Saat ini dunia sedang terbagi karena, dunia dimana spirit kebebasa (liberte),  kesetaraan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) yang ada dalam lagu nasional Perancis,  "La Marseillaise” sebagai motto demokrasi  seolah-olah sedang diombrak ambrik. Perancis sesudah teroris membunuh 12  jurnalis dan kartunis dari majalah Charlie Hebdo karena alasan menghina nabi Islam, Muhammad SAW,  apakah akan berubah?  Kekerasan dipicu karena majalah satire Charlie Hebdo menggunakan perlindungan kebebasan berekspresi dalam bentuk kartunis untuk menjadikan nabi Muhammad SA W sebagai bahan satire.    Para pembunuh yang adalah warganegara Perancis disebut sebagai teroris apalagi sesudah ada pengakuan dari jaringan Al-Qaeda yang mengaku berada di balik serangan pembunuhan para jurnalis dan kartunis ternama dari Charlie Hebdo. Menurut saya, istilah teroris, bukan saja ditujukan kepada para pembunuh, tetapi juga mereka yang dibunuh yang menggunakan kebebasan berpendapat dengan profesionalitas pengekspresian seni untuk membunuh karakter mereka yang berbeda secara agama dengannya. 

Relasi warganegara dalam kehidupan sosial di Paris menjadi satu tantangan, sebagai hubungan antara mayoritas dan minoritas. Sesudah tragedi pembunuhan para jurnalis, dunia menyaksikan persoalan mendasar dalam relasi sesama warganegara. Islam berkembang di Perancis sebagai bagian dari keragaman di Perancis, dengan jumlah  penganutnya kira-kira 4% dari total penduduk yang menganggap dirinya pemeluk Katolik (51%), 30% agnostik, 3% Protestan, dan 1% masing-masing untuk penganut agama Yahudi dan Budha.  Beragama di Perancis  harus menyesuaikan kepada ideologi  laïcité yang ditetapkan dalam UU tahun 1905 terkait dengan pemisahan antara gereja dan negara.  Intinya, kebijakan umum yang terlihat dalam ruang publik, didukung oleh  negara harus disterilkan dari pengaruh agama. Agama merupakan ruang pribadi yang hanya bisa berdampak secara privat di balik tembok-tembok institusi keagamaan dan keumatan.  

Umat Islam di Perancis adalah mereka yang berasal dari bekas negara jajahannya, yaitu dari Afrika Utara, seperti Aljazair, Moroko dan sebagian kecil dari Turki. Pengaruh Aljazair ke dalam kehidupan Perancis  sebenarnya sangat besar membentuk pola kebiasaan yang baru dalam cara pengolahan makanan yang lebih cerah karena sayuran berwarna menghiasi ekspresi kuliner Perancis. Pengaruhnya juga terlihat dalam penggunaan  seni geometris dengan sentuhan arsitektur yang indah dan megah. Keharusan warganegara untuk berbahasa Perancis dan menyesuaikan dengan cara hidup budaya Perancis, menyebabkan para imigran yang masuk ke Perancis membawa budaya mereka untuk secara bersama membangun kebudayaan Perancis yang lebih menekankan kepada ekspresi detial untuk menyingkapkan kemurnian  keindahan.  

Tetapi dalam mengekspresikan karyanya, seorang warganegara melepaskan pengaruh agama dari dirinya sehingga yang terlihat hanya semata-mata seorang manusia dengan rasionalitas yang membuatnya mandiri dalam berpikir dan berekspresi.  Tradisi filosofis yang panjang dimulai dari Descartes, telah menghasilkan pandangan tentang pemisahan kekuasaan antara agama dan negara (Montesquieu), dimana kekuasaan ada dalam tangan rakyat (Jean-Jacques Rousseau).  Manusia pada dirinya sendiri adalah sumber kekuatan untuk saling menegosiasikan relasi kekuasaan demi kehidupan bersama tanpa dikendalikan oleh pengaruh keagamaan yang menyusup dalam status keningratan seseorang. Basis moralitas hidup bersama tersedia dalam kehendak bebas manusia itu sendiri.  Filsuf Voltaire menggali pandangan tentang kemandirian manusia dalam memenuhi  hak-hak masyarakat sipil terkait dengan perlakuan yang setara di hadapan hukum dan kebebasan beragama.  

Sebagai negara dengan penganut agama Katolik yang mayoritas, Perancis tampil beda dalam mengoperasikan peran agama-agama di dalam negara. Hirarkis agama Katolik yang dikontrol langsung dari Vatikan merupakan wilayah kekuasaan yang hanya berpengaruh di sekitar kebijakan dan budaya gereja. Diskusi tentang penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam ruang publik, seperti sekolah, makin seru di Perancis karena sejak tahun 2004 sesudah upaya penggunaan jilbab oleh murid-murid muslim ditolak kemudian diikuti dengan penetapan hukum tahun 2010 tentang pelarangan penggunaan  “jilbab”, kalung salib dan turban  dalam kegiatan bersama di ruang publik yang didukung oleh negara.   Sekalipun dalam Deklarasi Hak-hak manusia dan warganegara, yang ditetapkan tahun 1789 mencantumkan kebebasan beragama, tetapi negara bebas dari intervensi agama dalam pembuatan kebijakan umum.  Jadi produk kartun satire yang menghadirkan simbol agama, oleh para seniman jurnalis lebih dianggap sebagai komoditas budaya yang berangkat dari  kebebasan berpikir.

Peniadaan UU penodai agama di Perancis terjadi pada tahun 1791,  tetapi pada tanggal 29 Juli 1881 ditetapkan peraturan kebebasan press yang menjaminkan kebebasan berpendapat dan mengekpresikan diri. Pasal 24, 32, 33 dari peraturan kebebasan press mengatur tentang pelarangan pemberitaan publik yang merendahkan, membenci, menyakiti dan menghina perorangan atau kelompok dari dirinya sendiri atau berbeda. Seorang penulis komik Perancis bernama M'bala M'bala dikenakan hukuman karena melanggar peraturan tsb. Ia dituduh menghina agama Yahudi. Sekalipun kecenderungan menggunakan simbol-simbol agama menjadi  komoditi dari para seniman jurnalis untuk diperjualkan karena menjadi sumber inspirasi untuk berpikir dengan cara menertawakannya masih terus dilakukan terutama oleh para kartunis Charlie Hebdo yang ternyata bebas dari cengkraman peraturan kebebasan press tsb. 

Konteks dan sejarah majalah satire Charlie Hebdo yang menghasilkan kartun nabi Muhammad SAW  terbit beberapa kali dan telah mendapat kecaman umat muslim dari seluruh dunia. Masyarakat Perancis juga merasa kebijakan pemerintahnya mengandung "standar ganda". Ternyata sangsi sosial tanpa sangsi hukum mendorong  lahirnya tindakan kekerasan dari kelompok Islam di Perancis yang sudah lama merasa agamanya dihina sehingga menghimpun kekuatan untuk menyerang bangunan Majalah Charlie Hebdo dan membunuh para jurnalis, kartunis terkenal yang sedang berapat.   Kemudian ada pengakuan dari Jaringan Al Qaeda tentang dukungan mereka dibalik serangan tragedi pembunuhan yang menewaskan 12 orang.  Oleh masyarakat dunia serangan ini dikenal sebagai serangan teroris. Melihat kronologis dari upaya para jurnalis kartunis untuk mempublikasikan karya-karya mereka yang menghina simbol agama lain, maka mereka inipun pantas disebut teroris.
Kebebasan berekspresi telah merampok simbol kesucian agama untuk dilemparkan sekedar menjadi komoditas yang bisa dipertontonkan secara publik. Mereka tidak dijerat oleh aturan tahun 2010 yang ditetapkan di Perancis tentang peniadaan penggunaan simbol agama dalam ruang publik. Kartunis sebagai karya berpikir dianggap berjarak dari identitas agama yang berpengaruh secara politik.   

Padahal menurut saya, simbol agama digunakan sebagai produk seni seperti dalam kartun tetap mengindikasikan  adanya identitas politik non agama yang mensandera tanda agama sehingga memicu reaksi pembelaan dari mereka yang identitas agamanya dihancurkan.  Apabila peraturan kebebasan press yang terkait dengan pelarangan penyampaian berita anti kebencian tidak bisa ditegakkan, setidak produk hukum tahun 2010 seharusnya pantas juga menindak para jurnalis dan kartunis yang  secara berurutan dari dalam beberapa tahun menghasilkan kartunis yang menghina umat muslim di Perancis. Ketika hukum tidak diterapkan dengan adil, sesama warganegara Perancis dari  kelompok yang tidak berdaya yang sedang dirugikan akhirnya akan mengacaukan tatanan ruang publik itu sendiri dengan menjadi hakim sendiri.  Benar dikatakan dalam Kitab Suci “gigi dibayar dengan gigi”. Tindakan terorisme secara intelektual akhirnya bernasib nas di hadapan para teroris agamanis menjadi sumber ajaran dunia untuk menegakkan keadilan kepada semua warganegaranya secara adil dan benar.

Rabu, 25 Juni 2014

Indonesia Memilih Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Mempertanggungjawabkan pilihan politik warganegara!


Indonesia Memilih Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019

Mempertanggungjawabkan pilihan politik warganegara!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Saat ini Indonesia berada dalam sorotan dunia. Kampanye calon presiden dan calon wakil presiden RI dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum pada tanggal 4 Juni 2014 sampai dengan tanggal 5 Juli 2014 ternyata tidak saja dilakukan oleh tim kampanye dari masing-masing calon, tetapi dibahas secara mendalam oleh masyarakat.  Ada dua calon presiden dan calon wakil presiden yang saat ini sedang melakukan kampanye untuk mempertanggungjawabkan visi dan misi mereka sehingga rakyat bisa mengerti dan membuat keputusan untuk memilih pada tanggal 9 Juli 2014. Mereka adalah pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai nomor urut 1 sebagai calon presiden dan calon wakil presiden yang bertarung dengan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dengan nomor urut 2.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 memang berbeda dengan pemilihan-pemilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya.  Bahkan kemeriahan masa kampanye presiden dan wakil presiden lebih meriah dari pertandingan World Cup yang juga sedang berlangsung dan bisa dinikmati oleh seluruh dunia termasuk di Indonesia. Daya tarik kampanye calon presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019 sangat besar karena warganegara Indonesia di mana-mana sekarang ini bisa dihubungkan dengan dunia maya. Teknologi jaringan memungkinkan transparansi, akuntabiltas dan mendorong proses demokrasi berjalan bersih karena setiap orang bisa mendorong terjadikan pengecekan, klarifikasi dan pelurusan sebagai bagian dari cara pendidikan politik pada masyarakat.

Warganegara Indonesia tidak bisa tinggal diam untuk menyerahkan hak memilih dikelola oleh opini yang dibuat oleh media tentang capres dan cawapres yang pantas untuk Indonesia.  Saat ini banyak situs di dunia maya yang mempublikasikan hasil survey dari capres dan cawapres baik yang mengunggulkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Nomor 1) maupun Jokowi-Jusuf Kalla (nomor 2). Warga masyarakat tidak buta tentang hasil-hasil polling dan survey tersebut, karena hak pemilihan ada pada masing-masing warganegara sebagai pemilih yang menggunakan kesempatan kampanye sekarang ini sebagai wadah pendidikan politik untuk mengerti kearah mana Indonesia akan dibawa oleh calon presiden dan wakil presiden RI yang akan dipilihnya.

Banyak orang meragukan kebebasan masyarakat untuk memilih karena adanya politik uang, politik balas jasa terhadap tokoh-tokoh yang secara tidak langsung berhubungan dengan calon presiden dan calon wakil presiden RI.  Pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia seolah-olah memberikan kesan bahwa seorang pemilih harus disetrilkan untuk bisa membuat keputusan politik yang paling tepat. Dalam mendorong partisipasi politik, ide sterilisasi masyarakat untuk hanya mendengar dari satu calon kubu sebenarnya tidak mendorong adanya diskusi terbuka dalam masyarakat.  Untuk itulah, debat presiden RI yang dicanangkan oleh Komisi Pemilihan Umum sehingga pelaksanaannya dilakukan lima kali dimulai dari tanggal 9, 15, 22, 29 Juni dan 5 Juli 2014 adalah cara demokrasi untuk memberikan kesempatan kepada warganegara mengalami pendidikan politik.  Debat Presiden adalah salah satu alat kampanye yang menyajikan panggung terbuka di mana ide-ide dan praktek dari  masing-masing calon didiskusikan secara terbuka. Bahkan Prof. Jeffrey Winters menyatakan kekagetannya karena dalam debat presiden yang ditayangkan melalui Televisi, masing-masing kandidat diberikan kesempatan untuk saling bertanya.  Kekagetannya didasarkan pada pengalaman di Amerika Serikat yang sangat berbeda karena tidak ada sesi tanya jawab yang diberikan kpeada masing-masing kandidat untuk mendalami pikirannya sendiri melalui pertanyaan dari lawan politikusnya. Debat Presiden ini kemudian diteruskan oleh warga masing-masing dengan menggunakan ruang publik yang ada seperti Facebook untuk mendiskusikan lebih lanjut pikiran-pikiran yang disampaikan dalam oleh calon presiden dan calon wakil presiden masing-masing.

Diskusi-diskusi di kalangan internalnya masing-masing inilah yang paling menarik untuk dicermati.  Cara diskusi yang menarik dengan menulis pernyataan pada status ternyata tidak sekedar kata-kata kosong. Tulisan-tulisan di Facebook sebagai status adalah hasil dari proses analisa tentang apa yang sedang terjadi dalam masyarakat dan bagaimana diri sendiri menanggapinya. Argumentasi dibangun dari pembacaan berita-berita yang datang sangat cepat untuk menguji setiap kejadian dan pernyataan yang sedang terjadi dalam masyarakat terkait dengan apa yang disebut, apa yang dilakukan, media apa yang dipakai oleh calon presiden dan calon wakil presiden dalam mempertanggungjawabkan perkataan dan perbuatan-perbuatan mereka pada masa lalu, sekarang dan akan datang. Kampanye presiden dan wakil presiden 2014 membuat warganegara biasapun terlibat untuk mengerti apa yang sedang terjadi dengan Indonesia saat ini. Mereka tidak mau melepaskan Indonesia ditentukan oleh para elite politik, media massa dan lembaga-lembaga survey, karena mereka mencari semua berita-berita dan mengujinya dengan sangat cerdas.

Saya menulis saat ini karena  ingin menegaskan kepada tim sukses dari masing-masing kubu, bahwa kampanye hitam, kampanye jelek tidak berguna. Meluruskan kampanye hitam dan jelek bisa dilakukan oleh masing-masing kubu dengan mengklarifikasikan kepada publik. Apabila terlihat bahwa ada pelanggaran termasuk pencemaran nama baik yang berlebihan, maka kubu yang mencemarkan bisa melaporkan kepada Bawaslu. Kampanye yang paling efektif adalah apabila warga masyarakat didorong untuk berpikir kritis termasuk juga melakukan dialog dengan warga yang lain tentang visi, misi dan program-program yang akan dilakukan oleh calon presiden dan calon wakil presiden. Media sosial seperti Facebook telah memungkinkan warga masyarakat untuk berdiskusi tentang alasan-alasan mengapa mereka mendukung calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.

Setiap warganegara akhirnya harus membuat keputusan tentang siapa calon presiden dan calon wakil presiden yang didukungnya.  Keputusan untuk membahasnya pada status di Facebook adalah bagian dari pertanggungjawabannya terhadap masa depan Indonesia.  Rumusan langsung, umum, bebas, dan rahasia harus dimengerti secara benar, bahwa proses rahasia pada saat pemungutan suara perlu dijaminkan untuk menjaga validalitas suara pemilih pada saat mencoblos. Tetapi proses mendialogkan, mendiskusikan pandangan-pandangan sepasang kandidat presiden dan wakil presiden tidak harus dilihat sebagai suatu kerahasiaan.  Mengungkapkannya adalah bagian dari kedewasaan pendidikan politik untuk mempersiapkan seorang warga negara melakukan pemilihan resmi pada tanggal 9 Juli 2014. Karena itulah, jadilah diri sendiri untuk setiap warganegara  Indonesia sehingga memilih calon presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019 tanpa rasa takut, beradab, mengedepankan perdamaian  dan dilakukan berdasarkan hati nurani yang Pancasilais.

Rabu, 18 Juni 2014

Jakarta berikanlah Jokowi kepada Indonesia! Mengkritisi Ahok: Logika SARA Menyesatkan!


Jakarta berikanlah Jokowi kepada Indonesia!

Mengkritisi Ahok: Logika SARA Menyesatkan!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Masih segar dalam diri saya merasakan getaran pemilukada (pemilihan kepala daerah) di Jakarta tanggal 20 September 2012. Saya pernah menulis untuk "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua", pemilukada tersebut seolah menghadirkan kesejukan demokrasi yang sudah lama mati. Pemilukada Jakarta membawa kembali harapan kepada demokrasi di Indonesia. Ketika itu, ekskalasi isu SARA menjulang tinggi.  SARA kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan antar golong. Jokowi seorang muslim menggandeng seorang nasrani. Masyarakat tidak dikacaukan hatinya, tidak dibuatkan bimbang karena PDIP bergandengan dengan Gerinda, melawan Fauzi Bowo dan Nara yang didukung oleh partai Demokrat dan partai-partai lainnya yang oleh tokoh partai Demokrat dikatakan didukung semua partai (Republika, 21 Juli 2012). Ketika itu, SARA menjadi bom waktu untuk menghancurkan cagub dan cawagub yang diusung oleh hanya partai PDIP dan Gerinda. Sekalipun isu SARA gencar menghantam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, malahan Jokowi yang menggandeng Ahok seorang Kristen ternyatalah yang dipilih oleh warga Jakarta.

 

Dihantam badai SARA menyebabkan Jokowi sebagai Kepala Daerah terpilih, gubernur sah meneruskan pendidikan politik untuk mendidik warga Jakarta sebagai masyarakat Pancasila yang menjadi cita-cita bersama di Indonesia. Ketika Lurah Susan Jasmine Zulkifli terpilih menjadi kepala daerah di desa Lenteng Agung, beliau ditolak masyarakat karena alasannya seorang Kristiani. Dialog yang digagaskan Jokowi dengan masyarakat telah mengubah persepsi mereka sehingga akhirnya menerima ibu Susan sebagai Lurah di Lenteng Agung.

Tadi malam kami mendiskusikannya di  timeline saya di Facebook. Saya senang mengangkat kemajuan pluralisme yang sedang mengubah Jakarta tetapi kemudian juga sekarang sedang dihancurkan oleh politik minoritas yang menggunakan isu SARA  baik oleh Ahok,sebagai pejabat sementara Gubernur Jakarta maupun Prabowo Subianto, yang menjadi calon presiden.  Pemberitaan Tempo mengagetkan saya yang sedang jauh dari tanah air. Tempo tgl 17 Juni 2014 menuliskan artkel dengan judul "Elektabilitas Jokowi Turun di DKI, Ini Kata Ahok", dipublikasikan bertepatan dengan tersebarnya spanduk-spanduk yang menulis: “Jokowi tetap Gubernur, Pilih Nomor 1” seperti diberitakan oleh Detikcom dan media elektronik lainnya.

Saya katakan kepada masyarakat dunia maya, bahwa politik minoritas yang dimainkan oleh Ahok menunjukkan kemunduran Jakarta, karena pencapaiannya sudah lebih maju dengan kasus Lurah Susan. Ahok sendiri terlibat dalam kebijakan gubernur Jokowi untuk penempatan pejabat sebagai pelayan publik tidak berdasarkan agama, ras, tetapi kapasitasnya (right person in the right place).  Ahok menggunakan keminoritasnya untuk mendukung kepentingan partainya, Gerinda, yang mencalonkan Prabowo Subianto menjadi presiden RI.  Jadi sebenarnya Ahok sedang menghancurkan cita-cita Pancasila karena lebih melayani kepentingan partainya daripada keIndonesiaan yang katanya diperjuangkan oleh partainya sendiri.

Spanduk-spanduk ini yang diserbarkan dengan sekaligus didukung oleh "masyarakat" Jakarta adalah bentuk dari kampanye hitam. Mengapa spanduk-spanduk ini baru muncul sekarang sesudah Debat Presiden kedua tanggal 15 Juni 2014? Mengapa ia tidak muncul ketika pejabat dari Kementerian Dalam Negeri bertemu Jokowi di rumah dinas gubernur untuk menyerahkan Keppres yang ditandatangani oleh Presiden SBY tentang pemberhentian sementara Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta sampai pengumuman resmi dikeluarkan oleh Komite Pemilihan Umum tentang pejabat Presiden dan Wakil Presiden. Keppress yang ditandatangani tanggal 31 Mei disampaikan langsung kepada Jokowi tanggal 1 Juni 2014.

Dengan melihat kronologis pemberhentian sementara Jokowi sebagai gubernur Jakarta, sangat jelas kepada saya, bahwa pejabat gubernur Jakarta, Ahok sebagai pejabat negara sedang bermain-main dengan isu SARA  yang bertujuan untuk kepentingannya sendiri dan sekaligus memecahkan keindonesiaan yang sudah dibangunnya sendiri dengan gubernur Jokowi. Ini adalah bentuk kampanye hitam karena mencantumkan kata gubernur untuk Jokowi padahal sekarang ini yang menjadi gubernur adalah Ahok. Sebagai seorang penjaga Indonesia dari upaya oknom yang sengaja menggunakan SARA untuk memecahkan bangsa, saya mohon Bawaslu menindak dan menurunkan spanduk-spanduk tersebut.

Bulan madu PDIP- Gerinda seolah-olah sudah berakhir. Pencalonan Jokowi , gubernur Jakarta sebagai calon presiden  RI periode 2014-2019 yang diusung oleh PDIP, Nasdem, Hanura, PKB ternyata harus memisahkan Jokowi dari pasangan wakil gubernurnya, Ahok yang didukung oleh Gerinda. Pencalonan Jokowi sebagai calon presiden yang berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai calon wakil presiden harus berhadapan dengan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden diusung oleh partai Gerinda dengan mendapat dukungan dari Partai Golkar, PPP, PAN, PKS, PBB. Untuk melakukan masa kampanye, Jokowi harus melakukan cuti dan telah mendapat surat pemberhentian sementara seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Jadi Indonesia sedang dalam sorotan dunia saat ini.  Pemilu presiden dan wakil presiden untuk periode 2014-2019 akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014. Sejak tanggal 4 Juni sampai dengan tanggal 5 Juli 2014, kedua kubu calon presiden dan wakil presiden sedang melakukan kampanye untuk menjelaskan kepada warga masyarakat tentang visi dan misi dari masing-masing untuk bisa didukung oleh warga masyarakat di seluruh Indonesia.  Jalannya kampanye seru. Masing-masing kubu harus bertemu dengan konstituennya di seluruh Indonesia. Selama masa kampanye Komite Pemilihan Umum menetapkan 5 kali penyelenggaraan debat presiden.  

Tetapi kampanye dengan menggunakan isu SARA menunjukkan warga Indonesia belum matang dalam berdemokrasi.  Ahok sebagai pejabat Gubernur Jakarta pantas mendapat teguran dari Bawaslu karena dalam UU Pemilu sebagai pejabat negara dilarang melakukan kampanye. Ahok ketika memberikan pernyataan di Tempo bukan dalam kapasitas sebagai seorang anggota Gerinda, tetapi adalah pejabat untuk melayani seluruh masyarakat Jakarta.  Penyataan itu bersifat kampanye terselubung yang harus mendapat teguran dari Bawaslu.  Kalau Ahok mau berkampanye harus mundur dari pejabat gubernur sebagaimana diatur dalam UU Pemilu yang telah dilakukan oleh Jokowi. Karena itu sangat penting rakyat Indonesia mengerti tentang politik yang bertujuan untuk melayani bangsa dan negara bukan untuk memecah belahkan rakyat.

Sekalipun elektibalitas Jokowi menurun seperti dikatakan oleh Ahok,  tetapi menurut saya, Indonesia bukan hanya Jakarta.  Indonesia ada pada 32 propinsi lainnya yang hak perhitungan suaranya sama karena tidak menggunakan sistem elektoral seperti di Amerika Serikat. Jadi seharusnya Jakarta melepaskan Jokowi untuk Indonesia.

 Indonesia membutuhkan Jokowi  untuk membangun bangsa dan negara ke jalan yang benar bukan sekedar demi kekuasaan dan kerakusan para politikus. Pencalonan Jokowi adalah kehendak rakyat bukan sekedar pilihan Megawati Soekarnoputri. Jakarta tidak bisa menahan Indonesia untuk mendapatkan puteranya yang terbaik memimpinnya.  Bukankah Gerinda kecewa karena PDI-P tidak mendukung Prabowo Subianto menjadi capres? Jadi sekarang jelas, politik SARA dimain-mainkan untuk memenangkan Prabowo Subianto yang baru saja mengomentari tentang orang-orang Indonesia Timur cocok jadi tentara? Tentang ini saya akan bahas pada tulisan terpisah, tetapi kedua pemimpin ini, baik Ahok dan Prabowo Subianto bermain-main dengan SARA untuk memecahkan bangsa pantas dipertanyakan sekarang. Apakah mereka pantas menjadi pelayanan publik bagi masyarakat di Jakarta dan di Indonesia?

Selasa, 20 Mei 2014

Menutup tanggal 20 Mei 2014, Mengelitik tanggungjawab Prabowo Subianto!





Menutup tanggal 20 Mei 2014, Mengelitik tanggungjawab Prabowo Subianto!


Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


 


Terang dibalik pohon-pohon yang menghitam. Malam sudah datang sekalipun kegelapan jatuh dari langit baru sekitar jam 8.30. Hati saya gelisah. Sudah lama saya ngak menulis untuk blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Tulisan yang sama bisa juga dibaca dalam bahasa Inggeris pada blog PIZZA. Tapi hanya malam ini saya kembali menarikan jemari di atas tuts. Dulu saya pikir kata-kata saya akan kering karena proses verbalisasi seni dilakukan dalam bentuk patung dan melukis yang mengambil seluruh tenaga saya. Saya untuk beberapa bulan ini sedang mengerjakan karya seni dengan tema Papua. Sebenarnya saya berbagi dalam bentuk komentar pada status saya di FB tentang kerja-kerja seni ini, tetapi akan lebih indah apabila saya menulis sebagai suatu bagian yang terintegrasi. 


Hanya malam ini kegelisahan yang sangat mendalam menyungkirbalikan asumsi saya tentang otak kiri yang sedang mengendalikan proses kreatifitas diri. Mungkin batas antara otak kiri dan kanan menjadi tipis ketika saya tahu karya seni hanyalah alat menyuarakan keprihatinan. Kegelisahan saya adalah keprihatinan. Tepat! Kegaluhan seperti malam yang datang merebut terang. Biarkanlah saya menikmati lamanya siang yang mulai lebih panjang pada musim semi daripada musim dingin.


 Malam pekat mengintai di luar. Saya membiarkan angin segar menyusup dari bawah jendela tetapi mempersilahkan malam tinggal di luar. Malam berjaga-jaga bersama bunga-bunga putih mungil yang dalam bahasa Jerman disebut “meiglockchen”. Seorang sahabat saya, Aurita yang tinggal di Jerman beberapa hari lalu membagikan cerita keluarga tentang meiglockchen. Sekarang keharuman meiglockchen masuk bersama udara segar ke dalam rumah. Tiga potong “meiglockchen” sudah lebih dulu ada dalam vas bunga di atas meja makan. Saya memetik dan menghiasinya untuk makan malam kami. Tapi bukan karena “meiglockchen” saya menulis sekarang.  Mengapa di tengah harum wangi saya mencium bunga bangkai? Ada apa dengan keharuman itu sendiri?


Hari ini tanggal 20 Mei 2014. Di Indonesia, sudah tanggal 21 Mei, tetapi masih beberapa jam lagi sebelum tanggal 20 Mei mundur berganti tanggal 21. Apa yang dilakukan oleh saudara-saudari saya di Indonesia untuk merayakan tanggal istimewa, 106 tahun hari Kebangkitan Nasional  dan 16 tahun hari Gerakan Reformasi.?  Hari ini, tanggal 20 orang-orang bisa merenungkan tentang apa yang sedang terjadi 16 tahun  lalu tetapi dengan sangat ironis kita juga melihat sendiri, bahwa Prabowo Subianto yang membunuh rakyat dalam gerakan Reformasi pada bulan yang sama, 16 tahun kemudian sedang menguatkan langkahnya ke Istana Negara.  Kita tergetar melihat ambisi Prabowo Subianto untuk menjadi presiden Indonesia.   Padahal 16 tahun lalu Prabowo Subianto adalah Pangkostrad yang bertanggungjawab untuk kekerasan yang terjadi di Jakarta. Pemerkosaan perempuan-perempuan Tionghoa, penembakan mahasiswa Trisakti, yang sebelumnya diikuti dengan kasus penculikan mahasiswa-mahasiswi.  


Kompas tanggal  18 Desember 2012 menuliskan tentang pengakuan Prabowo yang menyesal tidak melakukan kudeta kepada presiden Habibie. Perkataan Prabowo dibenarkan oleh Habibie, yang menggambarkan bahwa adanya pergerakan TNI AD masuk ke arah Kuningan dan menuju Istana Negara. Dalam buku Detik-Detik yang menentukan  karya BJ Habibie (2003), Wiranto dikatakan melaporkan tentang masukannya pasukan ke Istana Negara.  Habibie kemudian melakukan pertemuan tanggal 22 Mei 1998 di Istana Negara  bersama Prabowo. Dalam pertemuan itu, Habibie menuturkan argumentasinya untuk memecat Prabowo sebagai Pangkonstrad karena dianggap menggerakkan pasukan AD untuk memasuki daerah yang bukan kewenangannya.  


Jadi kegelisahan saya sebenarnya terkait dengan nasib Indonesia yang sedang termabuk karena membiarkan seorang mantan  pelanggaran HAM untuk menjadi Presiden Indonesia.  Jakarta Post pernah memuat tulisan Aboeprijadi Santoso yang dalam kunjungannya ke desa Kraras kira-kira 300 meter dari kota Dili di Timor Leste, dimana terjadi pembunuhan masal kepada masyarakat sipil tak bersenjata atas perintah presiden Soeharto,  yang didukung oleh pejabat-pejabat teras AD yaitu Benny Moerdani, Wiranto, Kiki Syahnakri dan Prabowo.  Tetapi Prabowo dengan pasukannya Chandraka 8 yang melakukan pembasmian kepada 287 orang pada tanggal 17 September  1983.  Pembunuhan masal ini dianggap tindakan yang benar karena Indonesia merendam gerakan masyarakat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari Indonesia.  Terlampir tulisan Aboeprijadi Santoso di Jakarta Post.


Dalam tulisan yang sama di Kompas, tanggal 18 Desember 2012 dijelaskan bahwa Prabowo menerima pemecatan dari Habibie karena mengerti Presiden pegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang. Menjadi Presiden adalah langkah terakhir Prabowo Subianto untuk memperoleh kekuasaan tertinggi termasuk angkatan perang. Sejarah pelanggaran HAM yang terjadi dalam perang antara Indonesia dan Timor Leste  hampir dilupakan oleh masyarakat Indonesia.  Tetapi  dalam sejarah perang Timor Leste, masyarakat biasa masih terus mengingatnya. Hal yang sama juga terjadi dengan sejarah Gerakan Reformasi yang berusia 16 tahun. Rakyat tidak melupakan Prabowo Subianto karena  turut bertanggungjawab terhadap kekerasan militer yang terjadi kepada masyarakat sipil.. Kekerasan yang terjadi di seantero Indonesia, ada hubungan dengan konspirasi para elite yang bermain-main dengan isu SARA untuk meremukkan warganya sendiri.  Siapakah yang harus bertanggungjawab! Jelas, ia adalah Prabowo Subianto.


Saya menulis kegelisahan ini karena yakin bahwa setiap orang Indonesia punya hati nurani untuk menolak kekerasan yang dilakukan atas nama negara terhadap warga biasa.  Kekerasan negara dipandang dari segi kepentingan negara dianggap sebagai penertiban sehingga kehidupan rakyat tersia-siakan. Tetapi saya juga percaya, rakyat semakin dewasa dan tanpa takut berupaya untuk mengerti apa yang sedang terjadi dengan bangsanya. Tulisan ini adalah antidote untuk membantu kita semua sadar dari keracunan yang ikut termakan tanpa disengaja.  Menulis antidote bertujuan untuk mendorong rakyat sendiri untuk menggunakan hatinuraninya dalam memilih kandidat presiden RI. Salah pilih presiden, berarti warga mengizinkan seorang seperti Prabowo Subianto melakukan revisi sejarah tanpa mengakui kebenaran tentang apa yang pernah dilakukannya kepada bangsa dan masyarakatnya.