Translate

Senin, 29 Agustus 2011

Antrian keselamatan menuju kemenangan dalam Allah. Selamat Idul Fitri 1432H. Mohon maaf lahir dan bathin

Antrian Keselamatan menuju kemenangan dalam Allah. Selamat Idul Fitri 1432H. Mohon maaf lahir dan bathin
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Ceritanya begini. Bayangkan ketika berada di jalan macet di pusat kota Yogya, juga di bank-bank, di supermarket, di mana-mana. Yogya sekarang dibanjiri pengunjung dari mana-mana. Mengalami kemacetan, mengalami kesabaran.

Terdengar jelas di telinga saya seorang petugas perempuan dari SuperIndo mengatakan: “Sabar ya bu, kemacetan berat di jalan Sudirman”. Saya tersenyum. Petugas itu keluar dari SuperIndo ingin tahu mengapa sudah hampir sejam belum ada mobil yang bergerak keluar. Saya ketika itu hendak mencari parkir. Hanya kurang dari dua meter, saya perlu hampir setengah jam sebelum bisa memarkir mobil di bank BCA. Dalam ingatan saya itu terjadi pada hari Jumat, tanggal 26 Agustus 2011.

Perasaan kuat sudah datang tiba-tiba. Mungkin antrian ke ujung sorga seperti ini. Di hari terakhir ketika pintu sorga akan ditutup, semua serba tiba-tiba, berjubelan orang-orang menumpahkan dirinya di ujung jalan menuju pintu mengangangah. Sekelebat, saya lupakan perasaan menganologikan kemacetan seperti antrian ke sorga. Segeralah saya berlari ke arah pintu BCA. Tiba di sana, hanya lima belas menit kemudian, seorang satpam menekan tombol menutup pintu masuk.

Ah, syukur saya sudah berada di dalam ruang dengan antrian yang panjaaaaang! Pintu ditutup tiga puluh menit lebih awal sebelum jam tiga sore. Orang-orang berlari-larian dari luar, dari arah jalan menuju pintu. Pintu kaca sudah tertutup! Wajah kecewa terpancar keluar. Lebih dari 20 orang sedang membujuk satpam.

Sepasang suami istri tiba-tiba sudah muncul di dalam ruangan. Mereka mengerti jalan masuk melalui lift. Tetapi satpam mencegat mereka ketika memaksa masuk dalam antrian. Orang terakhir dari antrian panjang adalah seorang satpam senior yang menutup pintu masuk ke BCA.

Tetapi antrian hari itu seperti antrian keselamatan. Apa terjadi dengan mereka yang kecewa belum bisa mengambil uang untuk hidup tenang seminggu kedepan karena liburan panjang lebaran. Dapatkah mereka merasa aman?

Saya ingat cerita dulu ketika remaja menyukai "Orang-orang Bloomington" tulisan dari Budi Darma. Saya sedang memandang orang-orang dalam bank dengan ingatan dari mereka yang berada dalam novel "Orang-orang Bloomington". Rupa-rupa mereka di dalam ruang dan di luar terkesan kaku. Ada misteri dalam wajah mereka.
Saya mencuri mengamati satu per satu wajah. Ruang berAC memberi kenyamanan kepada kami semua.

Tetapi ada seribu rupa dalam ruang ini. Keunikan anak manusia. Ingin saya mengajak ngobrol seseorang untuk bertanya perasaannya di hari luar biasa ini. Hanya saya takut dituduh seorang usil, mengganggu kediaman masing-masing! Pikiran sibuk sedang mencari ketenangannya di antara orang banyak yang jarang terlihat di hari biasa.

Saya masih merenungkan keanehan hari ini, ketika tiba-tiba seorang lelaki mengatakan:”Permisi". Ia menyapa sesudah saya mempersilahkannya lewat. "Terima kasih”. Saya kaget. Hampir sukar dipercayai, lelaki itu sangat sopan. Membandingkan dengan peristiwa di jalan, ketika semua orang di dalam kendaraannya. Semua ingin maju, bergerak, akhirnya semua berhenti, tidak berjalan.

Manusia ketika dibiarkan tanpa mesin, akan tetap menjadi manusia. Ia sopan dan halus. Manusia ketika dibungkus dengan mesin, tampil serupa mesin, tak berjiwa. Itu kesimpulan saya yang melintasi menjawab kebingungan dari sopan santun seseorang dalam bank yang tak saya temukan di jalan raya.

Manusia-manusia serius dalam bank mungkin masih lebih manusiawi dari manusia dibelakang mobilnya ketika sedang terburu-buru. Makanya ada banyak nasihat kepada para pemudik untuk mengutamakan keselamatan. Kehilangan kemanusiaan terjadi ketika manusia merasa kuat terlindung oleh alat-alat perpanjangan dan peluasan dari tubuhnya. Keamanan dirinya terjaga oleh mesin bukan karena kemampuannya menegosiasikan perasaan dan peradaban yang dipahaminya, seperti tuturan yang ramah tamah.

Terbayang kembali iringan-iringan manusia yang berjalan menghadap Sang Pencipta. Mereka yang berbadan mesin akan melepaskan kendaraannya hanya membawa diri sendiri berjalan ke pintu sorga. Itu perasaan saya. Siapa tahu tentang bentuk dan cara manusia menuju sorga.

Agama-agama menggambarkan tentang sorga dan neraka. Siapa tahu tentang sorga dan neraka. Teman saya mengatakan, batas sorga dan neraka tipis. Siapa tahu manusia semua akan bertemu di sorga atau di neraka. Agama-agama menubuatkan berita tentang sorga dan neraka. Manusia memahami dan menyesuaikan dirinya sehingga terlepas dari ancaman pembuangan ke neraka.

Dalam tradisi Kristiani, ada perumpamaan tentang lima anak gadis yang bijaksana dan bodoh. Mereka yang bijaksana menyiapkan pelita sehingga ketika mempelai tiba mereka bisa menyambutnya. Perumpamaan ini terkait dengan gambaran mengenai kesiapan manusia memasuki jalan keselamatan, jalan Allah.

Kata keselamatan terkait dengan rasa aman. Keselamatan adalah konsep tentang kemanusiaan manusia. Kesakitan mengancam keselataman manusia. Kebahagiaan membuka jalan pada keselamatan. Perdamaian mengiring pada keselamatan. Keselamatan merupakan kualitas kehidupan yang semua manusia ingin meraihnya.

Seorang yang dipromosikan dalam pekerjaan bisa dipuaskan dengan perasaan keselamatan. Prestasinya memberikan jalan kepada kepuasaan dalam dirinya. Keselamatan menenangkan manusia sedangkan kehancuran menghancurkan keselamatan.

Menjelang Idul Fitri tiba, saudara/I muslimin sedang berjalan dalam iman menuju kepada keselamatan. Di malam takbiran, suara mengumandangkan Allahuakbar Allahuakbar menyampaikan tentang kebesaran Allah kepada umat manusia. Terima kasih ya Allah untuk sukacita yang diberikan kepada saudara/i muslimin dalam cara berjalan menuju Allah. Biarlah sukacita dari Allah bersama-sama saudara/i muslimin dalam hari penuh rahmat ini.

Peristiwa agama apapun mengingatkan pada diri kita sendiri tentang jalan yang kita sendiri sedang lalui. Selama bulan Ramadhan 2011, sejak saya membagikan permenungan tentang makna puasa, saya makin sadar tentang jalan iman sendiri.

Antrian keselamatan bukan sekedar konsep. Ia diperlukan dalam kehidupan manusia. Ia adalah ritus yang membuat manusia kembali kepada kefitraan dalam Allah. Ia tidak sekedar ritual setahun sekali. Setiap hari, setiap menit, setiap detik saya ada dalam doa penyerahan kepadaNya. Saya menyentuh hati Allah untuk memperbaharui kehidupan saya, mengisi hati, jiwa dan akal budi dalam caraNya sendiri.

Kemenangan yang tampil sebagai hasil dari ritus atau ibadah dikembalikan dalam pujian kepada Allah. Kemenangan itu harus diyakini sebagai rahmat dari Allah sendiri. Kemenangan itu membawa manusia kembali mengingat jalan yang sudah dilaluinya menuju jalan Allah.

Manusia diingatkan tentang kebesaran tanpa batas dari cinta kasih Allah yang mengampuni semua dosa-dosanya. Cinta kasih Allah yang merebahkan manusia bersujud mengiringnya kembali ke haribaan Allah. Kemenangan ini akan membimbingnya menuju ke kehidupan nyata ketika manusia diperhadapkan memilih jalan benar atau jalan yang keliru.

Bersama selama bulan Ramadhan merenungkan perjalanan diri memastikan saya tentang keterbukaan yang mendialogkan kehidupan. Berproses bersama berjalan menuju ke Allah, bersama saudara/i muslimin walaupun dengan tata cara ibadah yang berbeda dan pengertian teologi yang spesifik, memberikan kedekatan dalam hati saya.

Mengenal jalan Allah dalam kehidupan Kristus menyebabkan saya bisa mengerti penderitaan orang lain. Keterbukaan untuk saling belajar dari iman dan teologi masing-masing agama menolong kita untuk saling menguatkan dan mengingatkan.

Saya merefleksikan perjalanan bangsa Indonesia menyelesaikan berbagai skandal korupsi. Tanggungjawab ini adalah milik kita bersama. Renungan dari agama-agama memberikan jalan iman supaya kita sebagai warga negara mampu membangun sikap benar terhadap uang. Supaya kebijakan publik yang dibuat bersama mencerminkan nilai-nilai kesetiaan berjalan dalam jalan Allah.

Indonesia sebagai bangsa beragama memperoleh kekuatan dari energi cinta kasih yang ada di hati semua warganegara. Sehingga kita tidak membeda-bedakan status masing-masing warga karena perbedaan agama, ras, etnis, dan budaya.

Kepastian menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian dilakukan tanpa pandang bulu karena kita semua diminta untuk mencintai sesama manusia. Mencintai dalam keadaan kesejatiannya ketika dipanggil sebagai seorang warga negara Indonesia. Patokan inilah menjadi pijakan untuk semua orang beragama diizinkan berjalan dalam atrian mencapai keselamatan dalam jalan Allah.

Selamat mencapai kemenangan kepada saudara/I saya sebangsa umat muslimin yang dengan cinta kasih sejati turut mendukung sesama warga negara berjalan dalam cara Allah mencapai keselamatan bersama. Kefitraan telah tiba, sambutlah rahmat Allah SWT untuk dapat memperbaharui Indonesia dan dunia di sekitarnya.

Kemenangan ini disyukuri bersama dengan pertama-tama saya memohonkan maaf lahir dan bathin apabila ada banyak kesalahan dalam cara mengungkapkan pemahaman dan cerita-cerita yang sedang dibaca. Hanya inilah cara saya berziarah bersilahturahmi dengan saudara/i sebangsa untuk membangun Indonesia yang adil, sejahtera dan damai untuk semua. Allahuakbar Allahuakbar... Amin.

*) Blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself

Minggu, 28 Agustus 2011

Menginspirasi puasa dengan dialog antar agama. Renungan Minggu IV di bulan Ramadhan 2011

Menginspirasi puasa dengan dialog antar agama: Renungan Minggu IV di bulan Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Kerja-kerja yang saya lakukan melalui komunitas Tali Rasa di mana anak-anak dari latar belakang agama Islam dan Kristen menari bersama disebut praktek bekerja bersama antar agama. Saya memberikan khusus waktu untuk kegiatan anak-anak dan perempuan karena saya yakin, kerja-kerja bersama antara agama sangat diperlukan untuk membangun keakraban, kepercayaan, keadilan dan cinta kasih.

Menyatukan anak-anak dilakukan dalam gerakan menari. Gerakan mempunyai dasar dalam bahasa dan pengertian sehingga menjelaskan kepada anak-anak tentang maksud dari tarian tersebut sangat penting. Saya memulai dengan mengembangkan ide untuk tarian dari tema yang akan digarap. Kemudian bersama mba Tina, saya mengusulkan beberapa penggunaan gerakan yang dimodifikasi dari tarian tertentu. Mba Tina kemudian akan memoles menyempurnakannya menjadi kesatuan tarian. Lagu-lagu yang dipergunakan untuk menggarap tarian diambil dari berbagai koleksi CD saya yang dibeli dari perjalanan-perjalanan saya ke mana-mana. Sebagai seorang Kristiani, mba Tina pernah menciptakan tarian Salawat, yaitu cerita tentang perjalanan kehidupan nabi Muhammad SAW dengan menggunakan lagu Salawat.



Sudah sekitar sepuluh tahun mba Tina, guru tari jebolan Institut Seni Indonesia bersama saya saling melengkapi mendampingi anak-anak dalam komunitas Tali Rasa. Saya meminta mba Tina mengajar menari di beberapa tempat sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Saat ini kegiatan tersebar di Sewon, Sribit dan Karanggayam. Mba Tina dan saya menulis pengalaman kami menggunakan seni untuk mengolah perdamaian dalam tulisan berjudul Seni Bumi sebagai salah satu bagian dari buku Perempuan dan Bencana (Adeney-Risakotta, 2007).

Walaupun mba Tina yang mengajarkan setiap tarian tetapi memulai latihan dilakukan sesudah saya memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang maksud tarian itu. Misalkan tarian yang sedang kami persiapkan berjudul “Tarian bumi mengikuti pelangi”. Tarian ini dipersiapkan khusus untuk mengisi acara pertemuan Theolog dunia ketiga (EATWOT) yang direncanakan akan dilaksanakan di Indonesia. Kadang-kadang saya libatkan anak-anak dari komunitas lain untuk menari sesuai dengan tujuan dari pementasan yang akan dilakukan. Misalkan festival anak yang berpindah di berbagai tempat kelilingi Yogyakarta.

Dalam kegiatan bersama inilah, ketika anak-anak saling mempercayai satu dengan lainnya, maka sering muncul dialog mendalam terkait dengan spiritualitas mereka. Kadang-kadang anak-anak, seperti yang pernah saya dengar, mendiskusikan pertanyaan apakah orang Kristiani bersembayang sambil membandingkan dengan anak-anak muslim yang bersholat. Jadi dialog-dialog tampil sebagai proses alamiah yang terjadi karena kedekatan di antara anak-anak. Dialog-dialog itu bisa merupakan dialog spiritualitas dan teologi yang terjadi disela-sela kegiatan utama mereka yaitu menari.

Hal yang sama juga terjadi dengan kegiatan-kegiatan saya bersama Koalisi Perempuan Indonesia, perspektif teologi dan spiritualitas tampil dalam bentuk pernyataan teman-teman seperti saya akan sholat, pergi ke gereja atau kebaktian dsbnya. Dalam dialog kehidupan, isu keadilan paling sering tampil didiskusikan bersama di antara berbagai gerakan perempuan. Dialog teologi yang terkait dengan iman untuk mengupas peran agama masing-masing dalam kehidupan umat manusia belum pernah dilakukan dengan resmi. Kecuali doa, ada anggapan bahwa ulasan teologi adalah domain dari pendalaman iman di mesjid atau dilaksanakan hanya di kalangan sesama orang beragama.

Jadi saya berdiskusi dengan anak-anak dan ibu-ibu mereka tentang ide menyelenggarakan buka puasa bersama. Kami sudah beberapa kali melakukan buka puasa bersama. Tetapi anak-anak Kristiani perlu belajar langsung dari tangan pertama tentang puasa dan Islam. Jadi anak-anak setuju malahan makin antusias karena sekaligus sesudah berbuka bersama, akan ada perayaan hari ulang tahun mba Tina. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta yang juga sedang merencanakan berbuka puasa bisa melakukan bareng dengan komunitas Tali Rasa, begitu pikiran saya.



Begitulah akhirnya kemarin sore, hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, komunitas Tali Rasa dan Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta melakukan buka puasa bersama di Pondok Tali Rasa. Saya mengundang kolega saya dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, bu Siti Ruhaini Dzuhayatin untuk memimpin doa dan menyampaikan khotbah sebelum acara berbuka tiba. Anak-anak masih berlatih menari. Seperti biasanya ibu-ibu anak-anak juga datang. Tetapi kegiatan dilakukan lebih sore sekitar jam 3 supaya dekat dengan acara buka puasa bersama. Ketika mereka sedang berlatih, bu Siti Ruhaini tiba.



Kami, bu Ruhaini dan saya sedang menyelesaikan artikel yang ditulis bersama dengan judul “Perempuan dalam tradisi Agama”. Artikel ini akan menjadi salah satu bagian dari buku yang sedang diterjemahkan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, yaitu “Muslim and Christian Understanding. Theory and Application of A Common Word”. Buku yang disunting Waleed El-Ansary an David Linnan merupakan tindak lanjutan dari inisiatif 70 muslim intelektual sedunia untuk melakukan dialog konkrit dengan pemuka agama dan intelektual Kristen sedunia menanggapi sambutan kontroversial dari Paus Benedict XVI yang terjadi pada tahun 2007 (New York: Palgrave, 2010).

Pertanyaan yang diangkat adalah bisakah umat Islam dan Kristen mencintai Allah dan sesama sebagai suatu keimanan yang mempersatukan. Kontributor penulis beragam dari beberapa negara, termasuk Inggeris, Amerika Serikat, Vatikan, Mesir, Jordania, dan Indonesia. Dalam artikel ini, bu Ruhaini sebagai seorang muslim berdialog secara teologis dengan saya sebagai seorang Kristiani. Dimulai dari mendialogkan tentang bentuk pewahyuan, artikel ini menyentuh persoalan tafsir dan dampaknya dalam kehidupan manusia terutama terhadap perempuan.

Dialog merupakan kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Istilah dialog menjadi makin penting ketika ia dipakai sebagai bahasa teknis dari dialog agama. Dari bahasa Yunani, dialog berasal dari kata “dia” dan “logos”. Dia berarti dengan orang lain dan “logos” berarti kata atau pengertian. Jadi dialog berarti pengertian muncul karena bersama dengan orang lain. Pengertian tampil sebagai akibat dari pendengaran yang dilakukan dengan hati, tanpa interupsi, mengalir menyentuh jiwa dan akal budi semua pendengar.

Di Indonesia pengalaman seperti ini dianggap sebagai upaya dakwah. Padahal menurut saya, pengalaman dialog akan menolong pendengar untuk mengerti hubungan imannya dengan Allah. Dalam dialog sangat perlu ditetapkan tema. Pada buka puasa bersama ini bu Ruhaini dan saya bermaksud mengkonkritkan dialog yang sudah dimulai dalam artikel. Dapatkah kita mencintai Allah dan sesama sebagai suatu bentuk iman yang menyatukan umat beragama?

Kami mencoba menghadapi pertanyaan ini sebagai pertanyaan yang menghubungkan kerja-kerja sehari-hari sebagai praktek dari iman yang muncul dari tanggapan manusia terhadap ajaran mengikuti Allah. Menghindari menjawab pertanyaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk ekspresi iman yang cenderung sentralitas dalam kebenaran komunitas sendiri. Sehingga tampilannya hadir sebagai iman yang monolitik karena internalisasi keyakinan cenderung memuaskan diri manusia bukan untuk mengikuti jalan Allah, mengasihi sesama manusia. Pertanyaan ini adalah renungan kami di hadapan anak-anak, perempuan dan bapak-bapak. Mereka yang semuanya sudah saling mengenal karena bertahun-tahun bekerja bersama-sama.

Saya mengantarkan pertemuan buka puasa dengan menyambut anak-anak dan teman-teman yang hadir. Setiap waktu adalah berkat dari Allah, dan kemarin, hari Sabtu ini adalah hari kita bersama. Ada waktu untuk menari, ada waktu untuk merenung. Sekarang waktunya untuk kita bersama merenung mengapa anak-anak masih terus menari. Mereka semua setuju, menyampaikan ketika saya bertanya mengapa anak-anak berada sekarang ini di Pondok Tali Rasa. Semua menyambutnya dengan mengatakan bahwa mereka suka menari. Anak-anak dipertemukan karena kesamaan kesenangan menari.

Mereka menarikan tarian-tarian bertema perdamaian. Tarian sebagai alat untuk menyampaikan pesan damai. Mereka setuju bahwa dengan pengalaman perdamaian menghindarkan mereka dari pertengkaran. Pertengkaran terjadi karena masing-masing dari kita merasa paling benar. Banyak pertengkaran terjadi karena perbedaan agama. Supaya kita belajar untuk menerima satu dengan lainnya, kita perlu belajar untuk berdialog, mengenal tradisi dan alasan pelaksanaannya pada agama-agama yang dianut oleh sesama kita. Bisakah orang beragama hidup rukun? Hidup rukun adalah agenda dari anak-anak. Anak-anak adalah duta-duta perdamaian. Ketika dialog tidak lagi bisa dilakukan kita sedang memusnakan manusia dan alam semestanya.

Sesudah pengantar yang singkat saya menyerahkan pelaksanaan doa dan khotbah kepada bu Ruhaini. Bu Ruhaini membuka dengan membaca doa dalam bahasa Arab menyucikan situasi dan tempat ketika kita semua berada kemarin sore. Suasana spiritualitas makin terasa. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan tentang hubungan antara puasa dengan perdamaian. Islam mengajarkan perdamaian yang terkait dengan mencintai Allah, nabi Muhammad SAW, orang tua, dan sesama manusia.

Ajaran Islam tentang berapa lama kemarahan bisa disimpan adalah hanya tiga hari. Kemudian bu Ruhaini bertanya dari anak-anak Kristiani apa yang diajarkan di sekolah Minggu. Berapa lama kemarahan bisa ditahan? Dijawab oleh anak-anak Kristiani bahwa Yesus mengatakan kemarahan tidak bisa disimpan sampai matahari terbit. Pertengkaran harus diselesaikan secepatnya dengan melibatkan kemurahan Allah untuk menyentuh hati kedua pihak yang sedang bertengkar. Hanya sesudah berdamai, mereka yang bertengkar bisa berdoa kepada Allah.

Kepada anak-anak bu Ruhaini bertanya mengapa mereka berpuasa. Puasa merupakan salah satu dari lima kewajiban dalam Islam. Empat kewajiban Islam lainnya adalah menyebutkan syahadah, memberikan zakat, sholat lima waktu, dan melakukan ibadah haji. Bu Ruhaini menjelaskan sambil berdialog dengan anak-anak menanyakan mereka siapa yang berpuasa. Anak-anak muslim semuanya berpuasa. Bahkan ada seorang anak lelaki kecil berumur lima tahun mengangkat tangannya mengatakan berpuasa setengah hari. Dikatakan oleh bu Ruhaini bahwa puasa adalah kepunyaan Allah SWT. Sambil menyinggung anaknya yang bertanya mengapa Allah yang Maha Pencipta memerlukan manusia untuk melakukan puasa kepadanya. Pertanyaan itu dijawab bu Ruhaini dengan menggambarkan bahwa yang memerlukan Allah adalah manusia.

Puasa adalah kepunyaan Allah tetapi manusia memerlukannya supaya ia bisa hidup. Puasa adalah tindakan yang disengaja oleh manusia, supaya tidak makan dan minum. Tujuan puasa adalah manusia bisa merasakan penderitaan sesamanya. Merasakan perasaan dan pengalaman orang lain sangat penting untuk mencapai jalan ke Allah. Karena dari pengalaman ini akan ada upaya untuk mengatasi penderitaan dari mereka yang menderita karena miskin.

Anak-anak sangat terkesima dengan penjelasan bu Ruhaini terutama ketika mendengar pertanyaannya tentang apa yang anak-anak tahu tentang agama lain dari teman-temannya yang Kristiani. Apa yang anak-anak Kristiani tahu tentang Islam. Islam dan Kristen mempunyai banyak kemiripan, karena berangkat dari tradisi agama Ibrahim yang sama. Walaupun Islam kemudian mengembangkan tradisi ibadah dan teologi yang berbeda dari Kristiani.

Menurutnya sangat penting anak-anak mendapat pelajaran agama yang benar dari orang-orang disekitarnya. Apa yang diajarkan oleh ibu terhadap anak akan mempengaruhi anaknya seumur hidup. Diambil contoh dari anaknya sendiri yang pada suatu waktu pulang sekolah sambil menangis. Ia sangat terganggu dengan penjelasan dari guru agama bahwa orang non Muslim kalau meninggal tempatnya di neraka.

Anaknya menangis karena teringat Rebecca dan Bude, tetangga mereka yang beragama Kristen Katolik. “Bude dan Becca adalah orang baik. Tidak mungkin mereka masuk neraka bu”. Bu Ruhaini meniru perkataan anaknya. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan kepada anaknya bahwa setiap orang yang berbuat baik akan masuk sorga karena yang punya sorga adalah Allah SWT.

Hanya Allah yang tahu siapa yang betul-betul berbuat baik dan memperhitungkannya. Sesudah mengatakan demikian anaknya tenang. Bu Ruhaini menasihati supaya ibu-ibu bersiap sedia menyambut anak-anak yang makin kritis dan mempunyai akses untuk belajar tentang agama lain dari sumber-sumber yang tersedia di media.

Bersama anak-anak dan perempuan berbuka puasa bersama sangat mengharukan hati saya. Berbuka puasa dilakukan ketika bu Pronti dan bu Wati, PRT saya sudah mudik pasti tidak gampang. Selain mendapat dukungan dari anggota keluarga yang turun tangan membersihkan dan menata rumah, ibu-ibu anak-anak memutuskan untuk memasak dan membantu mencucikan piring. Bu Kamil, nenek asli dari Palu, Sulawesi Tengah yang bertahun-tahun tinggal di Yogya untuk membesarkan cucu-cucunya membantu memasak Coto Makassar dan es pisang ijo untuk makanan pembuka puasa.

Pagi-pagi, saya mengajak anak Tirza ke pasar Patuk untuk membeli daging dan ceroan yang sudah dipesan sehari sebelumnya. Pasar Patuk terletak di belakang jalan Malioboro tepatnya di belakang toko Ramai. Belanja di pasar Patuk sangat praktis terutama kalau saya punya hajatan untuk tamu-tamu lebih dari 50 orang. Sehari-hari bu Pronti dan bu Wati berbelanja di pasar Demangan.

Saya membersihkan daging, ceroan, babat dan iso kemudian merebusnya sebelum saya pergi menghadiri rapat EATWOT jam 10 pagi. Perjalanan pulang ke rumah dari rapat Eatwot pada jam 1 siang, di garasi saya sudah mencium bau coto Makassar. Hati saya senang dan bersyukur. Rumah akan dipenuhi dengan anak-anak dan teman-teman nanti sore.

Saya kemudian membuat dua buah kue black forest sebagai kue HUT untuk mba Tina. Sesudah siap, kedua kue ini dipanjangkan di atas meja marmer di tengah ruangan. Setelah berbuka puasa, saya mengundang mba Tina membakar lilin, meniupkan kedua lilin yang diletakkan di tengah-tengah masing-masing kue. Saya katakan karena ketulusan hati mba Tina mencintai anak-anak maka Allah memberikan rahmat untuk kami semua merayakan hari kelahiran mba Tina yang ke 43 pada bulan Ramadhan 2011. Kami menyanyikan lagu panjang umur ketika mba Tina meniupkan lilinnya. Mba Tina memotong kue dan membagikan kepada semua. Sesudah itu anak-anak dan para tamu bersholat.

Permulaan dari awal berdialog secara teologis adalah kesiapan untuk mendengar dengan hati. Buka puasa hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, beberapa hari sebelum Idul Fitri akan dikenang oleh anak-anak dan perempuan sebagai hari penting. Karena kami merenungkan bersama bahwa kami bisa mencintai Allah dan sesamanya dengan keindahan dan kebaikan dari Tuhan sendiri. Yesus Kristus mengajarkan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dan kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.

Keindahan ini adalah bagian dari pengalaman mendialogkan kehidupan di hadapan Allah dan manusia sehingga pengertian teologis tampil meneguhkan tindakan iman bersama yang sudah terjadi. Mengingatnya membuat saya bernyanyi seperti kekhusutan pengajian dari suara mesjid Al Istiqomah yang sedang menenangkan hati semua umat di malam bulan Ramadhan.

*)blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself

Kamis, 25 Agustus 2011

"Mudik", kembalinya kefitraan di rumah Allah. Refleksi II Ramadhan 2011

"Mudik", kembalinya kefitraan di rumah Allah. Refleksi II Ramadhan 2011
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Itu terjadi di awal minggu ini. Atas saran bu Pronti, saya kembali dari Carrefour dengan kue-kue kaleng yang akan dibagi-bagi di sekitar rumah kami di Karanggayam, sebelum mereka mudik kampung hari ini. Seperti lingkaran, kami menetapkan tetangga yang mengelilingi rumah kami sebagai saudara terdekat. Kitab Amsal menasihatkan, tetangga dekat seperti saudara yang jauh. Kedekatan membuat kita saling membutuhkan.

Kalau di Alas Wegode, Parangtritis, apabila saya perlu singkong, saya berjalan ke kebun pak Sukijo tetangga kami untuk meminta darinya. Meminta merupakan cara untuk membangun keakraban, persaudaraan sehingga orang lain juga bisa berani meminta dari kami. Bu Sar menanam cabe, jadi saya ke Alas Wegode tidak membawa cabe, cukup meminta dari bu Sar. Iapun kemudian tanpa segan meminta bumbu dapur kalau kehabisan.

Biasanya di Karanggayam pada bulan Ramadhan, warga saling membantu untuk mendukung panitia menyediakan makanan buka puasa di mesjid. Sebagai keluarga Kristen di kampung, partisipasi mendukung kegiatan mesjid sudah dilakukan beberapa tahun. Kejadiannya ketika kami mengunjungi pak Zainal, teman kami, yang pada waktu itu menjadi ketua RT. Ketika suami dan saya tiba di rumahnya pak Zainal kaget. Ia berkata: “Saya baru saja mau ke rumah bapak dan ibu. Kok malahan sudah dikunjungi”. Kemudian ia menjelaskan bahwa mereka kehabisan beras untuk menyediakan makanan buka puasa di mesjid. Sesudah pak Zainal selesai bicara, saya mengatakan kami datang untuk memberikan bantuan kepada mesjid. Kemudian suami saya memberikan amplop kepada pak Zainal.

Beliau kaget lalu bertanya: “Bagaimana bapak dan ibu tahu bahwa kami memerlukan bantuan?”. Sebelum menjawab saya balik bertanya, “Mengapa pak Zainal memilih datang ke rumah kami untuk maksud tersebut?”. Jawabannya: “Kami tahu bapak dan ibu tetangga yang peduli”. Kemudian saya menjawab kepadanya: “Kami datang karena disuruh Allah. Suara Tuhan, Roh Tuhan mendorong kami ke sini. Kami perhatikan mesjid memberikan makan kepada banyak jemaah setiap buka puasa, jadi kami ingin membantu.” Pak Zainal terkesima. Kami juga diam. Benar Roh Tuhan sedang menjamah kami sebagai orang beragama untuk saling menyentuh hati, saling membisikan doa sehingga satu sama lain bisa menangkap kerinduan dari kebutuhan yang mendesak.

Saya suka dengan sengaja memelihara keistimewaan setiap hari besar. Hanya ketika bulan puasa kami akan membuat kolak yang enak. Karena saya suka masak, saya senang variasi makanan yang disajikan sehari-hari. Kolak berwarna menarik harus ada pada bulan puasa. Kalau dibeli, kolak sering dibuat dengan warna-warna buram, terlalu kecoklatan dan kemanisan. Bulan puasa bu Pronti dan bu Wati yang membantu saya juga berpuasa. Sebagai orang muslimin, mereka tetap melakukan kerja mereka seperti biasa termasuk memasak untuk keluarga. Mereka sungguh seorang muslim sejati. Saya meminta mereka ke pasar untuk mencari ubi jalar (petatas), yang warnanya kuning. Warna kuning di dalam kolak! Wow cerah. Saya bayangkan.

Sesudah saya kembali dari kerjaan, bahan-bahan sudah dikupaskan, kemudian kami bersama membuat kolak. Saya mencicipi sesudah gula, garam dan daun pandan ditambahkan pada campuran petatas, pisang dan kolang kaling. Hanya sedikit santan encer saya tuangkan ke dalam kolak sekedar menambahkan rasa gurih. Ini adalah corak kolak di Pondok Tali Rasa. Kolak dengan rasa manis secukupnya. Sesudah selesai, kami membagikan kepada tetangga-tetangga, mereka dalam lingkaran saudara maupun tambahan teman-teman kampung yang menerima kami sejak kami menetap di Karanggayam.

Cerita tentang makanan hari raya, ketika lebaran, ada tetangga atau teman mengirim ketupat dan opor ayamnya. Tetapi yang paling berkesan adalah tradisi makan kambing hanya pada saat perayaan Idul Adha. Pada saat itu, saudara-I muslim sekampung memberikan daging korban kepada kami. Kami menyebut hari Idul Adha hari istimewa karena setahun sekali makan daging kambing. Saya meminta bu Pronti membuat sate kambing, tongseng dan gule kambing. Pada hari Idul Adha, aroma lingkungan berbeda. Angin bertiup dari sisi kiri dan kanan, semuanya berbau bakaran daging kambing. Hanya hari ini dari seluruh waktu di tahun berjalan, menu utama keluarga adalah kambing.

Tadi pagi bu Pronti dan bu Wati mudik. Hari ketika mereka membantu membagikan kue-kue kaleng itu, mereka merasa puasa sudah hampir selesai. Saya terdiam mencoba memikirkan perasaan mereka dan komentar yang dikeluarkan. Sekarang puasa tinggal beberapa hari, kurang dari sepuluh jari. Tetapi pada waktu bu Pronti merasakan puasa sudah hampir selesai, sebenarnya puasa masih lebih dari sepuluh hari. Bu Pronti tidak bermaksud mempercepat puasa. Mungkin dibenaknya, ia sudah rindu keluarganya. Sehingga semakin dekat waktu seminggu sebelum lebaran, semakin cepat ia akan mudik. Berpikir ini saya langsung tersenyum membaca pikiran bu Pronti. Siang tadi, saya menerima sms pendek mereka sudah tiba dengan selamat di Wonosobo. Mereka akan di kampung selama dua minggu.

Tiga puluh hari berpuasa adalah waktu yang panjang untuk ziarah mencapai kefitraan. Puasa adalah tampilan disiplin yang semula hanya berlaku dikalangan kaum sufis, di ruang-ruang biara dan di catat sebagai disiplin iman yang dilakukan oleh nabi-nabi. Dalam tradisi Kristiani, Isa Almasih, Yohanes pembaptis, atau Jahya sang pembaptis melakukan puasa sambil tinggal di hutan belantara. Cerita ini mengingatkan saya tentang perjalanan Sunan Kalijaga Waliyullah Tanah Jawi yang melakukan perjalanan melintasi hutan, sungai, dalam pertapaannya. Di sela-sela waktu inilah, ia berpuasa.

Cara hidup disiplin kaum sufis menjadi bagian dari kehidupan jamaah sebagai suatu sunnah yang diwajibkan kepada umat Muslimin. Saya merenungkan perjalanan puasa lebih sekedar dari ketaatan untuk tidak makan dan minum. Puasa adalah perjalanan untuk berziarah keluar dari diri manusia melintasi imannya menuju Allah. Manusia modern beda dengan manusia pada jaman Isa Almasih, Yohanes Pembaptis atau Sunan Kalijaga. Dalam Alkitab dikatakan bahwa makanan dari Yohanes pembaptis ketika di hutan adalah madu, susu dan belalang. Yesus dikatakan puasa selama 40 hari tanpa makan dan minum.

Puasa di dunia modern adalah puasa yang menggerakkan roda perekonomian pada sore hari. Menjelang jam 4 sore sudah banyak penjual mulai menempati sepanjang jalan raya menunggu pembeli mencari makanan berbuka puasa. Pemusatan penjualan di sepanjang jalan meninggalkan problem pengolahan plastik. Seolah-olah hubungan antara berpuasa dengan memelihara lingkungan dari rumah semesta terpotong. Berbagai produk makanan dihasilkan pada bulan puasa. Kue-kue kaleng dengan berbagai merek muncul menjelang lebaran. Cerita-cerita yang tertulis sebagai catatan-catatan kehidupan dalam kitab suci maupun tulisan tentang Sunan Kalijaga sudah berbeda dengan kehidupan jamaah beragama pada jaman modern.

Kadang-kadang saya bertanya, dan sekarang saya mau menulisnya, bagaimanakah dalam alam modern kefitraan bisa dicapai ketika kehidupan sehari-hari tampil dengan kelimpahan yang hampir menyebabkan kita melupakan campur tangan Allah. Protes kaum muslimin terhadap upaya memanfaatkan keuntungan dari suara adzan seperti yang tampil di TV-TV setidaknya menunjukkan upaya jemaat untuk mensakralkan ritus puasa di dunia modern dengan kualitas kedalaman yang sama seperti pada masa berabad-abad lalu. Suatu masa yang membawa balik kepada praktek para peziarah yang menghadirkan kerinduan manusia untuk diampuni dirahmati Sang Khalik. Mereka yang berjalan mencari tanda-tanda perjumpaan untuk bertemu dengan Penciptanya.

Perjalanan manusia pulang kepada Allah mungkin secara sosiologis bisa digambarkan seperti perjalanan mudik jamaah dari kota-kota besar kembali ke tempat asalnya. Mudik adalah pulang ke rumah di mana kasih sayang berlimpah menunggu kita. Pulang melewati waktu panjang dalam kehati-hatian adalah perjalanan spiritual penyerahan hidup manusia kepada Allah. Puasa 30 hari adalah mudik ke rumah Allah kembali kepada kefitraan yang dibentuk Allah dalam rumahNya. Rumah di mana manusia bisa bercermin siapakah sejati dirinya. Rumah Allah adalah tempat berlabuh sesudah mengembara seluas lautan setinggi gunung sedalam tebing mencari kefitraan sejati. Rumah di mana bau busuk dibersihkan dari tubuh supaya ada kebangkitan baru, kehidupan yang segar. Rumah di mana kenangan kemesraan dalam jalan Allah dirawat dalam ingatan agar kita selalu terjaga dari kesengajaan yang melupakan.

Ketika jalan menuju kefitraan makin sulit, karena pelaksanaan puasa dilakukan ditempat yang tersulit di mana seseorang sedang bertugas, maka mudik kepada Allah berarti menyerahkan hatinya dibelai hanya oleh suara cinta kasih dari Sang Pencipta. Pengalaman berpuasa yang dilakukan jauh dari keramaian, gegap gempita kota besar, mungkin malahan menguatkan pertemuan pada kefitraan diri yang disempurnakan kembali oleh Allah. Kebiasaan sahur dan buka bersama dengan sanak keluarga, tetapi puasa kali ini harus dihadapi sendiri. Rasa sepi dari kebiasaan yang lazim terjadi dalam bulan puasa malahan menguatkan iman seorang yang sedang berpuasa. Inilah keindahan puasa yang sebenarnya karena meneguhkan diri manusia mendekat dalam jalan Allah.

Saya menulis ini sambil membayangkan pengalaman puasa dari bu Pronti dan bu Wati di tengah-tengah keluarga kristiani. Kesendirian pada masa lalu ketika saya berjalan dari desa ke desa di Halmahera turut menerangi cara saya menghayati makna perjalanan mencapai kefitraan dari Allah. Manusia memerlukan waktu sendiri dengan Allah. Ajakan berpuasa hanya berpengaruh ketika seorang anak manusia mengerti tentang perjalanan ziarah dirinya. Pada saat ini ia akan lebih siap bertanggungjawab terhadap keperbedaan yang dipilihnya bukan sekedar menjadi sama dengan lainnya. Ia siap untuk bertanggungjawab, mengatakan tidak kepada suatu yang dianggapnya benar walaupun untuk itu ia ditolak dari komunitasnya.

Kecenderungan manusia Indonesia adalah melakukan tindakan-tindakan yang sama. Ketika semua orang ingin mobil berwarna hitam, maka di jalan-jalan penuh dengan warna hitam. Ketika semua orang berani melakukan korupsi, maka orang-orang yang hidup lurus dianggap sok suci. Kesucian ternyata dicelah karena dianggap munafik terutama kalau harus dilakukan tanpa suatu ritus ibadah. Kefitraan di bulan ramadhan akan terus menjadi berkat kepada diri kita maupun seluruh manusia Indonesia apabila kesuciaan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari yang diperlukan juga ketika tidak ada ritus sakral seperti puasa.

Mudik kepada Sang Khalik adalah menemukan jalan pulang yang kepada keasalan kita dari mana kita datang dan kemana kita pergi. Tantangan untuk terus memelihara kefitraan dari pengalaman “mudik” kepada Allah adalah berani hidup suci dalam cara Allah. Suatu cara yang datang dari dalam diri kita, yang bukan dilakukan karena kita diancam hukuman, tetapi terutama karena kita mengerti bahwa jalan kehidupan itu adalah jalan menuju ke Allah.

Kefitraan yang tampil dari kekuatan perjalanan ini, menurut saya lebih dari kewajiban, ia adalah hakiki dari kehidupan. Kita akan selalu mudik kepada Allah untuk mendapatkan ridho tentang jalan yang baik atau jalan kutuk. Mencintai jalan Allah membuat kita bersedia melakukan semua kebaikan menurut jalan Allah walaupun ritus-ritus besar keagamaan yang diwajibkan sudah berakhir.

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Melintasi iman, berjalan dalam jalan Allah. Renungan Minggu III di bulan Ramadhan 2011

Melintasi iman, berjalan dalam jalan Allah. Renungan Minggu III di bulan Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Bulan Agustus 2011 akan saya kenang sebagai bulan berkat karena inilah bulan Ramadhan. Sebagai seorang Kristiani, saya tidak berpuasa. Ada tradisi puasa yang masih dipelihara dalam gereja. Biasanya puasa dilakukan pada masa sebelum Paskah dan sebelum Natal, yaitu masa Advent, masa persiapan untuk kedatangan Natal.

Akan tetapi pada bulan inilah saya banyak merenungkan tentang dampak beragama bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin kesetiaan permenungan ini dipelihara sehingga saya bisa diberikan ilham menulis setelah dipicu oleh desakan yang menghebohkan dari Marzuki Ali untuk memberikan maaf kepada koruptor. Sejak itu saya mulai membagikan permenungan saya.

Hari Minggu ini adalah minggu ke-3 di mana saya ingin berbagi tentang pengalaman iman saya. Itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Agustus. Saya menghadiri upacara pemakanan seorang pemuda, anak dari kawan seperjuangan saya di Koalisi Perempuan Indonesia. Pemuda ini bernama Wawan, berumur 20 tahun. Ibunya bernama bu Suyatmi. Bersama suaminya, pak Subadar, mereka menerima bantuan sepasang kambing untuk diternak. Sesudah setahun dua anak kambing lahir yang siap digulirkan kepada anggota lainnya di Balai Perempuan. Mereka tinggal di dusun Sribit, desa Sendang Tirto, kabupaten Sleman.

Wawan bekerja di Pangkal Pinang, Bangka Belitung di perusahan gas. Kematiannya tragis. Metromini yang ditumpanginya ditabrak bus. Ada tiga orang yang meninggal di tempat, empat orang luka parah termasuk Wawan dan lainnya luka ringan. Seminggu di Bangka tanpa perubahan berarti, Wawan diterbangkan ke Solo dimana ia dirawat di ICU selama 12 hari sebelum akhirnya meninggal. Selama 12 hari di RSU Klaten, Wawan dirawat oleh ibundanya.

Saya tidak pernah bertemu dengan Wawan. Beberapa kali saya berkunjung ke orangtuanya, tetapi pada waktu itu Wawan sudah berangkat ke Bangka. Suatu kali kira-kira dua bulan dari sekarang ketika ada kegiatan di Sribit, saya menyempatkan diri melihat perkembangan kambing-kambing tersebut. Kami mampir di rumah bu Suyatmi. Pada waktu itu ia bertanya kepada saya, “Bu anak saya kerja di Bangka. Saya tahu itu sulit, apakah saya iklas ya bu?”, tanya bu Suyatmi. Saya jawab: “Ibu yang tahu jawabannya. Ketika ibu mengiklaskan anak-anak di mana saja mereka akan bekerja, mereka akan tenang!”. Saya menjawab sambil menguatkan hatinya. Bu Suyatmi tersenyum dan berkata:”Iya bu, saya belajar mengiklaskannya”.

Pemakaman Wawan berjalan dengan indah. Kebaktian dilakukan secara muslim. Sesudah doa Alfateha dibacakan, jenazah diusung ke makam kampung tidak jauh dari rumahnya, kira-kira 100 meter. Memasuki makam dengan kaki tanpa alas. Saya melepaskan sepatu untuk pertama kalinya mengalami pengalaman yang berbeda. Di rumah saya kerja di kebun sering kali tanpa sepatu atau sandal. Tetapi berjalan dengan hormat memasuki areal pemakaman tua di kampung tanpa kasut membuat saya merasa sangat dekat dengan semua orang yang ada di situ. Saya merasa dekat karena kita semua hanyalah manusia.

Saya ingat perkataan dalam kitab Kejadian: ”...engkau kembali lagi ke tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (ayat 19b-19c). Melepaskan kasut, mendekatkan diri pada tanah mengingatkan kita kepada Sang Pencipta. Mentari sore membakar tubuh kami semua. Tanpa keluhan di tengah semua berpuasa, orang-orang menyentuh tanah menyelimuti tubuh Wawan yang terbalut kain kafan. Sebuah kelapa dibelah, airnya ditumpahkan ke gundukan tanah yang membaringkan Wawan. Wawan terbaring dalam haribaan Penciptanya setidaknya tanda kelapa terbaca sebagai harapan dari doa yang dipanjatkan semua terhadap kebaikan yang dilakukan Wawan. Perasaan keiklasan menjadi lengkap ketika kami semua membasuh muka, tangan dan kaki sesudah dari kuburan.

Saya berdoa. Hanya Allah yang tahu mengapa Wawan dipanggil pulang dalam usia yang sangat muda. Sebagai seorang Kristiani, saya percaya seorang manusia lahir dan meninggal berada dalam tangan Allah, sang Pencipta. Bersama Allah dan Kristus, tubuh manusia yang mati juga akan dibangkitkan. Saya berdoa dalam iman saya.
Bahasa iman kita bisa berbeda, tetapi cinta kasih umat manusia menyatukan. Itu terjadi ketika bu Suyatmi berada dalam proses menenangkan dirinya. Seringkali perasaan kehilangan dilarang diungkapkan. Tanda bertakwal adalah tenang dan mengiklaskan. Tetapi duabelas hari bersama Wawan sebenarnya adalah masa-masa kedekatan mendalam sekaligus pemisahan yang mengoyak ketegaran bu Suyatmi.

Jadi ketika semua orang sudah pulang, saya masih di sana. Saya mendengar dan membiarkan ia berbicara. Kemudian bu Suyatmi bercerita tentang rencana Wawan untuk pulang ke Yogya sebelum puasa. Setahun lalu, seminggu sebelum bulan puasa dimulai, Wawan tinggalkan keluarganya ke Bangka untuk bekerja . Tahun ini, seminggu sebelum bulan Ramadhan, Wawan menelepon ibundanya, menanyakan: “Bu, aku ento mule neng umah boten”. Bu Suyatmi menjawab: “Nduk, niki umah mu, ento wae!”. Bu Suyatmi bertanya mengapa untuk pulang ke rumah Wawan harus minta izin. Saya yang ditanyakan begitu, harus bilang apa? Kemudian saya mengatakan kepada bu Suyatmi, bisakah ibu percaya bahwa sebenarnya suara minta izin itu adalah suara Allah. Allah meminta izin dari ibu karena ibulah yang melahirkan Wawan.

Kemudian, ibunya bertanya lagi: “Mengapa harus pulang dalam keadaan begitu, dipulangkan kemudian harus pergi selamanya?”. Ibu Suyatmi tidak bisa mengerti mengapa semuanya terjadi. Saya meneruskan dialog dengan bu Suyatmi. Saya bertanya apakah bu Suyatmi merasakan diberikan kesempatan untuk merawat Wawan sebelum ia pergi selamanya. Bisa saja Allah sudah mengambilnya ketika masih di Bangka, tetapi Wawan diberikan kesempatan untuk pulang ke Jawa supaya memberi peluang kepada dirinya merasakan cinta kasih dengan ibu, ayah, dan adik-adiknya. Sebaliknya keluarganya berkesempatan merawat Wawan.

Pertanyaan saya mengalirkan cerita mendalam dari bu Suyatmi. Dua hari sebelum Wawan meninggal ia bisa berbicara dengan baik. Semua orang punya harapan kepadanya, walaupun setiap hari ada dua botol darah yang harus ditransfusi ke dalam tubuhnya. Kemudian diketahui bahwa ginjalnya sudah tidak berfungsi sehingga darah yang ditransfusi masuk ke perut, paru-paru dan organ lainnya. Pada hari terang itu, Wawan meminta ibunya untuk mengeloninya. Bahkan minta ibunya untuk mengendong dirinya. Ibunya yang kecil hanya memijat dan membelainya. Wawan sangat tenang dan merasakan kasih sayang bundanya. Bu Suyatmi merasakan mendalam kesempatan untuk merawat anaknya seperti sedang melayaninya ketika Wawan masih bayi.

Kesempatan untuk merawat juga diterima oleh sang ayah. Di malam Senin di antara jam 11-12 malam, tiba-tiba Wawan berada dalam keadaan krisis. Tanda-tanda zakaral maut tampil di depan keluarganya. Bu Suyatmi meminta suaminya berhadapan dengan Wawan untuk mengantarkannya memasuki perjalanan zakaral maut. Kemudian ibunya bersama saudara-saudarinya yang lain melakukan sholat di luar kamar. Wawan sedang dibimbing sang ayah untuk berdoa sendiri. Ayahnya bisa merasakan Wawan melakukan doa mendalam walaupun sulit sampai akhirnya ia dilepaskan dalam keadaan seperti sedang tertidur. Ada senyum tipis di wajahnya yang tenang.

Menunggu sampai ceritanya selesai. Menunggu sampai penafsiran bu Suyatmi dibawa kepada penjelasan yang diterima dalam iman. Menunggu sampai bu Suyatmi mengakui kebaikan Allah, sang Pencipta kepada Wawan. Menunggu sampai bu Suyatmi siap untuk bersujud kembali kepada Allah. Menuggu sampai ia merasakan sukacita tentang kesempatan “merawat” anaknya yang mengubah dirinya dalam perasaan sayang yang dikembalikan kepada sang Pencipta. Menunggu sampai saya bisa melihat makna kehidupan dalam diri sesama manusia. Saya disana untuk mengerti kebesaran Allah yang maha pengasih, karena saya mau menunggu. Menanti.



Memasuki pertalian bathin dengan sesama umat beragama, dalam penderitaan untuk mengerti jawaban-jawaban dari semua pertanyaan yang ada, bisa terjadi karena dituntun oleh Allah sendiri. Kekuatan melintasi, memasuki bathin sesama bukan semata-mata karena kemampuan manusia. Bukan hanya karena manusia berani. Pengalaman melintasi memasuki kekayaan bathin bu Suyatmi terjadi ketika saya sebenarnya sedang merenungkan tentang makna “merawat”. Saya sungguh merasa diberkati menyaksikan pengalaman “merawat” dialami bu Suyatmi ketika saya sedang juga meminta dari Allah untuk bisa mempunyai pengalaman yang sama, “merawat” anak-anak.

Sekarang saya sedang menulis pengalaman ini. Pengalaman penghayatan saya menyaksikan Allah mengizinkan seorang ibu, bu Suyatmi mengalami pengalaman “merawat” dan saya membahasakannya dalam perasaan saya. Inilah keadilan Allah yang harus saya terima. Kekuatan melintasi iman sendiri dituntut oleh tangan Allah sehingga saya bisa mengalami dari cara pengalaman seorang perempuan, bu Suyatmi “merawat” anaknya sesuai dengan permintaan anaknya sebelum akhirnya ia pergi selama-lamanya. Mata iman saya dibukakan melalui pengalaman bu Suyatmi.

Kekuatan seperti ini tampil dalam bentuk lain seperti disenandungkan oleh Irwansyah Harahap dan Rithaony Hutajulu, dalam album koleksi mereka berjudul "Lebah". Bung Irwansyah dan istrinya, Ritha, pernah terlibat bareng dalam penampilan bersama akademisi dan artis dari beberapa negara selain Indonesia untuk perdamaian antara agama di Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta pada bulan April 2010. Kompas melaporkan dengan judul berita "berbagi panggung untuk perdamaian" (lihat Kompas, 6 April 2010). Waktu itu saya mengorganisir anak-anak dan perempuan untuk menari dan menyanyi untuk perdamaian antar agama. Ritha dan suaminya bergabung dengan kelompok Suarasama yang menyanyikan lagu-lagu ciptaan Irwansyah berirama gurun pasir.

Dalam album “Lebah” ada tiga lagu yang sangat menyentuh hati saya. Saya mengetik ulang lirik lagu-lagu itu. Musiknya sedang bersenangdung dalam perasaan saya. Saya bersyukur diberikan pengalaman iman melintasi memasuki iman dari para penyanyi itu. Sehingga saya juga bisa melihat jalan Allah untuk membimbing umat seperti tertulis dalam Al Quran. Irwansyah membahasakan firman Allah dalam bahasa yang menyentuh iman saya sehingga saya bersyukur dan memuliakan Allah. Pertama, lagu berjudul Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah. Kedua, lagu dengan judul Ibrahim Alaihissalam. Ketiga, lagu dengan judul Isa Alaihissalam.

Saya mengutipnya lengkap

1. Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah

Habibullah..Ya Rasullulah
Ya Muhammad, Nabi Mulia
Shalawat dan salamku padamu..wahai Rasul

Janji Allah’ kan kekasihNya
Ya Muhammad, rahmat semesta
Karunia’kan kehidupan pembawa umat
Penerang jalan kepadaNya

Ya…Rasullulah …Ya…Rasullulah
Ya…Rasullulah…Ya..Habibullah

2. Ibrahim Alaihissalam

Lama sudah menunggu, hasrat hati merindu
Do’a pada Tuhanku, atas keinginanku
Dikau member janji, ikhlas untuk memberi
Aku yang menyendiri, sujud pada Ilahi

Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyerah padaMu Rabbi
Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyukur padaMu Ilahi Rabbi

Bulan berganti tahun, waktu jadi penuntun
Dua benih serumpun, asal di mula kaum
Ia beri pertanda, kebesaran Khaliknya
Dua yang bersaudara, dua rahim ibunda

Ia menjadi kisah, Nabi Khalik Pencipta
Diuji ‘tlah hatinya, taqwa pada Tuhannya
Ia diberi sapa oleh umat manusia
Ditinggikan maqamnya, dipujikan namanya
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
(Ya Rabbi, Ya Rabbi, Ya Rabbi)

3. Isa Alaihissalam

Bintang Nun gemerlapan,
Awan putih terbentang
Burung pun bersahutan,
Sambut Kekasih datang

Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam

Ia yang dilahirkan,kuasa diberikan
Dia yang disuruhkan, bawa pesan pujian

Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam

Ia ajarkan cinta, kasih dan pengharapan
Ia ingatkan dosa bagi keselamatan

Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam

Ia yang ditakdirkan jadi penerang jalan
Dia yang dibangkitkan bawa pesan pujian

Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself

Selasa, 16 Agustus 2011

Merenungkan Kemerdekaan Indonesia ke 66 di bulan Ramadhan 2011

Merenungkan Kemerdekaan Indonesia ke 66 di bulan Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Setiap merayakan hari kemerdekaan RI, saya ingat seorang perempuan yang menjahit bendera merah putih. Ibu Fatmawati Soekarno, perempuan muslim yang taat adalah penjahit bendera pusaka Merah Putih yang dikibarkan pertama kali pada saat proklamasi Republik Indonesia diumumkan ke dunia. Sejak awal kemerdekaan keterlibatan perempuan telah terlihat. Pemimpin bangsa, kaum lelaki memikirkan secara konten dari isi kenegaraan Indonesia baru. Pancasila dirumuskan sebagai hasil pemikiran bersama. Soekarno, Muhammad Yamin, dua tokoh yang dikenang memberikan kontribusi terbesar bagi pemikiran ideologi negara. Bersama, Muhammad Hatta, Ahmad Soebarjo, Soekarno, menyempurnakan teks proklamasi.

Bersama pemuda-pemuda yang dipimpin oleh Sukarni, pengawalan rencana proklamasi dilakukan dengan matang termasuk menculik Soekarno kemudian dibawa ke Rengasdengklok untuk memastikan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Peristiwa kemerdekaan bergulir cepat terutama sesudah pemerintahan Jepang di Indonesia berantakan karena kekalahannya dalam Perang Dunia ke-2. Jadi tanggal 17 Agustus 1945, pada hari Jumat Legi di bulan Ramadhan proklamasi Kemerdekaan bangsa dilaksanakan.

Sejarah mencatat bahwa diperlukan sekitar 37 tahun sejak deklarasi Budi Utomo sebelum kemerdekaan Indonesia tercapai. Dari gerakan Budi Utomo ke Kemerdekaan Indonesia ada banyak perkembangan ideologi yang terjadi. Pada era ini , masa Budi Utomo sampai dengan Sumpah Pemuda pendasaran pergerakan kemerdekaan bersifat agamis dan kesukuan. Gerakan ini terlihat dari berbagai organisasi masyarakat yang dibentuk dengan mengikatkan diri pada sejarah kesukuan dan agama.

Soekarno muda yang terlahir dalam masa pergolakan dari tarikan ideologi kesukuan, keagamaan dan humanism sekular mampu memadukan dengan cerdas nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi penyatuan Indonesia yang bersifat lokal sekaligus global. Minatnya kepada sejarah pemikiran bangsa-bangsa, Soekarno memfasilitasi penggalian ide-ide yang telah berada dalam praktek kehidupan bersama di negara jajahan Belanda. Soekarnopun sadar bahwa Belanda dan kemudian Jepanglah yang turut mempersatukan keIndonesiaan.

Peranan Belanda penting dalam menyatukan teritori kedirgantaraan di atas payung kepentingan ekonomi dari the United Dutch East India Company. Sesudah kebangkrutan VOC, pemerintah Belanda mengambil alih penguasaan daerah kepulauan nusantara ini, yang kemudian di tahun 1942 kepemilikannya diambil paksa oleh pendudukan Jepang. Belanda di depak seperti anjing-anjing liar oleh Jepang yang menganggap dirinya sebagai matahari dari timur, sang pembebas semua penjajahan barat di Asia.

Ide-ide besar sebagai representasi dari praktek kehidupan sehari-hari perlu dikenal dalam tradisi, agama dan kemoderan manusia di Indonesia sebelum kemudian diterima sebagai ideologi yang mengikat semua. Pengakuan tentang kemuliaan yang akan dicapai dari Indonesia merupakan bagian dari nilai-nilai yang ada dalam tradisi dan agama-agama besar yang telah menjadi jati diri orang-orang di nusantara. Indonesia adalah nama diri yang dipilih, suatu nama yang sudah diterima dalam perdagangan para saudagar untuk menyebut daerah kepulauan kaya dengan rempah-rempah di sebelah selatan India.

Nama ini berakar dalam sejarah daerah-daerah, sejarah pergerakan keagamaan yang sangat menginspirasikan pemikiran baru dari eksistensi dan identitas yang diterima sebagai bangsa yang bebas dan merdeka. Inspirasinya mengalir dari semangat hak-hak dasar kehidupan yang dijaminkan negara kepada semua warganegaranya. Hak-hak ini meliputi hak untuk hidup dengan kepercayaannya, agama yang diyakininya. Hak-hak untuk diperlakukan sebagai manusia. Hak-haku untuk bersatu sebagai warganegara Indonesia, dan hak-hak bermusyawarah bermufakat dan untuk mencapai keadilan sosial.

Sekarang Indonesia sudah 66 tahun. Ide-ide kenegaraan dan ideologi negara sudah teruji berkali-kali. Pemikir dan bapak bangsa seperti Soekarno pernah gagal karena kesetiaannya pada ideologi yang dipercayainya. Pilihan terhadap sosialisme dalam bentukan ekstrim komunis merupakan reaksi terhadap dominasi dan penjajahan barat. Soekarno melakukannya dengan konsekuensi mendapat tekanan dari negara-negara sekutu yang berjuang untuk menghancurkan komunisme karena ajarannya menolak eksistensi agama. Ujian Pancasila terjadi dengan peristiwa tahun 1965. Dampak dari gerakan anti 30 September PKI mengantar pada penguatan legitimasi kepemimpinan militer di bawah pemerintah Soeharto selama 32 tahun.

Reformasi adalah masa kita saat ini. Merayakan kemerdekaan Indonesia pada masa reformasi adalah berarti mengembalikan Indonesia pada cita-cita awal kemerdekaan. Itu juga berarti upaya untuk belajar dari masa lalu, pemerintahan otoritas yang melemahkan partisipasi masyarakat untuk membangun sistem demokrasi negara yang kuat. Tiga belas tahun masa reformasi berlangsung, Indonesia sudah menemukan bentuk demokrasi, tetapi proses ini masih meninggalkan pertanyaan besar kepada kita semua.

Bukti demokrasi dalam politik negara adalah pemilihan dan pembatasan jabatan kepala negara dan wakil rakyat. Amandemen UUD 1945 dilakukan untuk menampung aspirasi dari ide-ide terhadap suatu praktek yang dibayangkan mengandung pengertian demokrasi. Selain itu, pemilu dan pemiluka yang adalah produk dari demokrasi ternyata menghasilkan harga yang mahal dalam politik negara. Termasuk adanya dugaan maraknya korupsi karena tekanan pemenangan dari kompetisi tajam selama pemilu/pemilukada.

Di bulan Ramadhan 2011, yang seluruhnya terjadi pada bulan Agustus, bisakah kita bertanya apa yang diridhoi Allah untuk umat Muslim dan umat beragama lain merefleksi dirinya terkait dengan persoalan bersama bangsa. Sejak digulirkan oleh Marzuki Ali untuk permohonan maaf kepada koruptor sampai dengan penemuan Nazaruddin, pelarian koruptor kasus gedung atletik Sea Games, anggota wakil rakyat dari partai Demokrat, kita semua bertanya apa ada tanda untuk pembaharuan Indonesia di bulan Ramadhan 2011?

Reformasi yang menyebabkan transparansi dan keterbukaan dalam membangun ketata negaraan bangsa perlu terus dikawal sehingga menjadi komitmen setiap anak bangsa. Di berbagai artikel saya yang di tulis untuk blog “Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua”, saya sudah menjelaskan tentang pentingnya kewaspadaan terhadap politik korupsi. Penampakan dari politik korupsi terlihat pada istilah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Kedua, membangun sikap yang sehat dalam berelasi dengan uang. Kita semua perlu uang, tetapi uang adalah mammon karena ia bisa mengubah sikap hati manusia dengan sangat gampang. Alasan-alasan yang terkait dengan penderitaan, kesakitan, membantu biaya sekolah anak bisa menjadi bumerang untuk mengubah seorang yang berhati suci menjadi seorang koruptor. Godaan di lingkaran kekuasaan sangat besar terutama untuk menyogok pengetokan anggaran yang ternyata dari ketokan itu harus diberikan biaya administrasi,biasa sosialisasi yang semuanya sebenarnya representasi dari korupsi.

Ketiga, sistem sudah dibuat tetapi manusia Indonesia tahu mengakalinya. Misalkan fungsi anggota dewan ada tiga yaitu fungsi legilasi, penganggaran dan kontrol. Tetapi dengan banyaknya koruptor yang tertangkap ketika menjabat sebagai wakil rakyat di DPR dan DPRD, maka kita bertanya bagaimana dengan sistemnya? Apakah sistem harus diperketat? Jelas sekali diperlukan konsistensi untuk memastikan tidak ada uang yang digelembungkan. Karena itu, sistem evaluasi dan monitoring dengan melibatkan warga masyarakat dan instansi yang berwenang sangat diperlukan dalam membantu menegakkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Keempat, kefitraan manusia. Kefitraan manusia ada ketika manusia menjalani kehidupannya dalam terang Ilahi. Ketika manusia berdiri di hadapan Allah sekaligus ingin mengambil hak dari sesamanya, maka saat itu manusia ini sedang kehilangan kefitraannya. Kefitraan itu muncul karena manusia bisa melihat ada jalan yang menuju terang atau sebaliknya.

Kesetiaan pada nilai kehidupan merupakan pegangan yang diperlukan oleh kita semua. Tidak salah apabila refleksi ini dibangun dengan mengambil contoh ketegasan prinsip dari Fatmawati. Sebagai seorang muslim yang taat, Fatmawati mengerti bahwa keadilan yang diperjuangkan Soekarno kepada Indonesia harus dimulai dari rumah tangganya sendiri. Pada saat prinsip ini tidak terlihat, Fatmawati memilih untuk berpisah ketika Soekarno berkeinginan melakukan poligami. Cintanya kepada Soekarno utuh tetapi ia tidak tunduk kepada praktek keadilan dari interpretasi sepihak yang sebenarnya tidak adil. Ketika Soekarno meninggal ia mengirimkan karangan bunga dengan tulisan “Tjindamu yang selalu mendjiwai rakyat. Tjinta Fat”.

Indonesia perlu pemimpin yang memberikan inspirasi karena mengerti nilai-nilai untuk tidak saling mempertentangkan. Mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan merupakan suatu rahmat yang penting untuk fondasi membangun bersama untuk saling mengingatkan dan tidak saling menjebak. Seorang pemimpin yang tegas menegakan keadilan kepada dan demokrasi berasas partisiptasi masyarakat yang sesuai dengan konstitusi negara.

Indonesia perlu warganya yang setia pada pemahaman nilai tradisi, agama dan ideologi apapun sehingga masing-masing membangun tujuan mendorong orang lain untuk melakukan kebaikan yang sama untuk semua. Laki-laki dan perempuan terpanggil meneruskan perjalan bangsa negara Indonesia. Tua, pemuda dan anak-anak tanpa pandang bulu berpacu berulang kali menyempurnakan cita-cita kemerdekaan bangsa.

Kefitraan inilah yang sangat mendekatkan orang dari berbagai agama untuk bisa bekerja sama mengatasi persoalan bangsa. Sebagai seorang Kristiani, gerakan anti korupsi merupakan tugas yang perlu saya renungkan dan siasati dalam kehidupan pergerakan saya sehari-hari.

Menulis sejak hari pertama untuk menghormati bulan suci Ramadhan 2011 dengan tema Korupsi merupakan suatu berkat yang saya bisa lihat sebagai bagian dari tanggungjawab saya bersama dengan yang lain untuk berhati-hati dan berusaha mencari jalan membangun Indonesia yang sesuai dengan perintah Allah kepada semua umat untuk melakukannya. Kepada Indonesia inilah, saya ingin memberikan bunga cinta seperti bu Fatmawati memberikan kepada Soekarno. Cuma bunga saya adalah bunga kelahiran semangat baru untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Selamat HUT Indonesia untuk semua.

*) Penulis adalah blogger tiga blog Farsidarasjana, a cliff house in java, empowering women transforming myself

Minggu, 14 Agustus 2011

Menghayati kehidupan warga Gabug, Gunung Kidul di musim kering. Renungan Minggu II di bulan Ramadhan 2011

Menghayati kehidupan warga Gabug, Gunung Kidul di musim kering. Renungan Minggu II di bulan Ramadhan 2011

Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Gunung Kidul berarti gunung di sebelah selatan Yogya. Bersama, dengan kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, kabupaten Tulungagung di Jawa Timur, sebagai kabupaten dari propinsi DIY, Gunung Kidul termasuk dalam deretan pegunungan sewu. Simon Winchester,penulis buku terlaris, Krakatao (2003) mengupas proses pengangkatan dasar laut di sekitar bagian selatan dari lautan Indonesia, sebagai akibat dari adanya pertemuan dua lempengan bumi yaitu Indo-Australia dan Eurasia di dasar samudra.

Di areal Pondok Jati Rasa di mana suami dan saya menghabiskan waktu menyelesaikan berbagai laporan, mempersiapkan perkuliahan termasuk menulis sebelum semester 2011/2012 dimulai, setiap pagi kami hiking. Kami mengelilingi hutan dimana saya menemukan fosil-fosil yang menunjukkan kemungkinan kebenaran dari teori Winschester. Daerah Alas Wegode, hutan di sekitar tebing di mana rumah pusaka berdiri dulunya pernah berada di bawah laut.

Sekarang sedang musim kering. Kami hidup dengan air yang dibeli dari Giritirto yang disalurkan melalui pipa untuk mengalirkan air bawah tanah dari goa Plawan. Sebelumnya, masyarakat termasuk kami bisa mendapatkan air dari sungai bawah tanah di Goa Plawan. Organisasi masyarakat pengelola air sungai dari goa Plawan diketuai oleh pak Tumijo yang bersama dengan bu Sar, isterinya menjaga Pondok Jati Rasa. Dengan bantuan dari mahasiswa KKN UGM, pemerintah pusat dan daerah, sekitar 6 tahun lalu air bisa diangkat dan didistribusikan kepada warga termasuk dialirkan dengan pipa sekitar 3 km dari dusun Gabug ke lokasi kami di Alas Wegode.

Tetapi sekarang pompa pengangkat air sedang rusak. Masih diperlukan beberapa tahapan perbaikannya. Tanpa tambahan air dari sungai di bawah tanah di goa Plawan yang dalamnya sekitar 100 meter, kekeringan sedang membawa balik situasi kami ketika air hujan menjadi satu-satunya penolong di musim kering. Sekarang kekeringan sudah memasuki lebih dari tiga bulan tanpa hujan. Persediaan air hujan yang ada di bak penampung air di rumah-rumah warga mulai mengering. Pohon-pohon merontokkan dedaunannya. Hutan menjadi terbuka, sinar mentari terpancar jauh menyentuh pori-pori kulit. Pada musim hujan, semak-semak bertumbuh di bawah hutan dengan pepohonan berdaun padat menahan mentari langsung ke tubuh.

Dalam situasi puasa sekaligus berhadapan dengan kekeringan, saya bertanya bagaimanakah warga bisa bertahan. Keinginan tahu ini mendorong saya melakukan perjalanan seharian untuk mengenal mereka. Ditemanin bu Sar, kami meninggalkan Alas Wegode di pagi hari dan baru kembali sebelum matahari terbenam. Itu terjadi hari Rabu kemarin ketika saya tinggal sendirian beberapa hari di Alas Wegode sesudah suami balik ke Yogya untuk berbagai aktivitas di sana. Saya belajar banyak dari perjalanan tersebut.

Ke kampung adalah mengunjungi keluarga. Dulu pertama kali saya menjadi penduduk di Gunung Kidul, saya diadopsi oleh pak Kadus, pak Parijo. Di kartu keluarganya ada nama saya, seorang Farsijana yang beragama Kristen. Desa Giri Cahyo, terutama di dusun Gabug warganya semua beragama Islam. Jadi pengangkatan saya seorang Kristiani sebagai bagian dari keluarga pak Kadus menunjukkan kedalaman pemahaman dan iman dari pak Parijo tentang hidup persaudaraan di antara sesama umat.

Saya diterima warga sejak saya mulai mengurusi pemilikan lahan hutan di mana rumah pusaka, Pondok Jati Rasa berdiri sekarang. Seluruh pengurusan pemilikan tanah saya lakukan sendiri dengan melibatkan pak Kadus, Kepala Desa, sampai pelaksanaan PPAT di kantor Kecamatan. Untuk melakukannya saya harus menyopir dari Yogya ke Gagub melewati Parangtritis mengelilingi perbukitan sekitar hampir 3 jam sebelum tiba di Wonosari. Hasilnya memberikan pembelajaran kepada masyarakat sekitar yang biasanya takut berhubungan dengan pejabat pemerintah. Pengalaman saya mendorong masyarakat untuk makin mengerti tentang hak-haknya yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Misalkan pemerintah melakukan sosialisasi tentang kepemilikan sertifikat tanah pertanian untuk mendorong masyarakat mengurusnya tanpa harus takut.

Masyarakat Gunung Kidul adalah warga hutan. Hutan merupakan bank dari masyarakat. Dari hutanlah kehidupan di desa dibangun. Setiap keluarga mempunyai lahan yang ditanami pepohonan seperti jati, akasia, mahoni, pule negaran dll. Di sela-sela pohon-pohon disediakan lahan untuk menanam padi, jagung dan singkong. Penanaman hanya dilakukan sekali pada musim hujan. Sesudah padi dan jagung yang dipanen dalam waktu tiga bulan, lahan akan diisi dengan singkong. Singkong dipanen sesudah lebih dari 10 bulan di musim kering.

Memasuki lahan pertanian, di perbatasan setiap lahan yang ditumpuki batu-batuan, samar-samar terlihat deretan tumpukan putih. Saya bertanya dalam hati, apa itu. Semakin dekat saya tahu tumpukan itu adalah singkong. Mereka sedang membuat gaplek dengan mengikuti proses penjemuran alamiah. Gaplek adalah bahan dasar untuk membuat tepung tapioka, tiwul, gatot dan makan khas lainnya. Harga jual gaplek lebih menguntungkan daripada nilai singkong. Singkong dihargai Rp 500 per kg sedangkan gaplek bisa dibayar per kg adalah Rp 1000. Gaplek akan menjadi makanan andalan selama musim kering walaupun setiap hari warga makan nasi.

Padi dari ladang sudah dipanen lebih awal sehingga untuk mendapatkan sajian nasi, mereka harus membeli dari pasar/toko. Di sinilah, hutan yang ditanami warga menjadi sumber pendapatan. Di hari-hari biasa, warga membawa bekal meninggalkan rumahnya sejak pagi dan baru kembali sebelum magrib. Di bulan puasa, kebiasaan untuk bekerja di ladang dimulai sejak jam 6 pagi. Pada jam 10 pagi orang-orang sudah kembali ke kampung dan beraktivitas di sekitar rumah saja.

Jadi di antara jam 6 sd 10 pagi seorang lelaki bisa mengumpulkan kayu yang akan dijual dengan menerima bayaran sekitar Rp 8.000,- Kira-kira ada empat ikatan kayu bakar yang bisa diperoleh dari waktu kerja di bulan puasa. Satu ikatan dihargai Rp 2.000.- Dari uang penjualan kayu bakar bisa dibelanjakan untuk membeli beras, minyak, sedikit ikan kering sedang sayuran diambil dari ladangnya sendiri. Perempuan juga mengumpulkan kayu.

Pemandangan tanah terbelah  musim kering di Gunung Kidul

Alam musim kering mendatangkan keadilan yang mengejutkan kepada saya. Setiap pagi tanah ditutupi embun yang mengandung air sehingga pengolahan lahan menjadi sangat ringan. Kenyataan ini mengubah bayangan kengerian dalam diri saya, seolah-olah musim kering adalah musim yang terkejam dalam siklus kehidupan masyarakat di Gunung Kidul. Manusia hidup menyesuaikan dengan alam akan menolong dirinya untuk bertahan. Angin dingin yang segar bertiup dari arah pantai menikam ke pegunungan di mana lahan-lahan warga berada. Keadilan alam kembali tampil beriringan dengan kemuliaan penciptaan karya Tuhan yang terasa pada wajah gerah saya. Suasana sejuk memungkinkan petani kuat mempersiapkan lahannya sebelum musim hujan tiba. Semua dilakukan dengan kesabaran dan ketakwaan sebagai seorang Muslim yang sedang berpuasa.


Saya merenungkan kehidupan petani-petani yang tampil bersahaja dan tulus. Mereka bergembira bertemu dengan saya dan menjawab semua pertanyaan saya. Seorang ibu, bu Sukiman sedang memanen singkongnya untuk membersihkan lahan. Ia mengeluh tentang pembelian dua tanki air sejak musim kering tiba. Satu tanki harganya Rp 120.000.- Satu tanki berisi 5000 liter. Dari pencarian kayu di hutannya, ia bisa membeli air tersebut.

Di hutan juga terdapat sumber makanan untuk ternak. Alam menyediakannya karena banyak rumput yang tumbuh di bawah pepohonan. Ketika makanan ternak sulit, warga akan mencari dedaunan di pepohonan. Semakin lama masa kering, makanan ternak makin langka. Pada saat itulah petani akan mengambil pelepah dalam dari batang pisang untuk dimasak kemudian dicampur dengan dedak dari padi sebagai makanan yang disukai baik oleh kambing maupun sapi. Perempuan dan lelaki mencari pakan ternak. Pembedaannya adalah dalam cara membawa pakan tersebut. Perempuan mengendong dengan melilitkan kain di bahunya sedangkan lelaki menjungging di kepala.

Kami melindungi hutan di sekitar Alas Wegode dan meminta warga untuk tidak mengambil kayu-kayu yang tumbang, rerumputan dan dedaunan untuk makanan ternak. Tetapi dalam musim kering ini, kami belajar untuk berbagi dengan mereka yang mungkin datang dari pinggiran kampung di mana persediaan makanan ternak kurang. Suami saya terutama merefleksikan dari cerita tentang Ruth, menantu seorang janda bernama Naomi yang pergi mengumpulkan sisa-sisa panen dari ladangnya Boas. Cerita ini menunjukkan ajaran Nabi Musa yang mengajarkan petani kaya untuk memberikan hak kepada petani miskin untuk mengambil sisa-sisa panen. Musa meminta umat Israel untuk tidak membersihkan semua hasil panennya tetapi menyisakan apa yang bisa disisakan kepada mereka yang tidak punya lahan supaya mereka juga bisa hidup.

Hidup bersama satu desa mengajarkan kita berbagi. Saya tidak membawa apa-apa kepada mereka ketika saya mengunjungi warga di Gabug. Ketika kami memerlukan air, saya tahu mereka juga memerlukan air. Air seperti emas di musim kering. Jadi saya meminta pak Parijo mencari air untuk disumbangkan kepada warga. “ Sedikitpun sumbangannya sangat berarti kepada mereka”, demikian pak Parijo.

Kelangkaan air mengajar kepada saya tentang penyerahan tubuh manusia mendekati alam. Ketika seorang bayi lahir, entah di Gunung Kidul maupun di Yogya, tidak nampak perbedaan. Saya bertemu dengan seorang bayi, cucu dari pak Wandi yang masih berusia tiga minggu. Pak Wandi dulu menjual lahannya kepada kami kemudian membeli lahan di lokasi yang dekat kampung. Mereka pada umumnya menjual lahan dengan alasan tanahnya tidak bisa ditanami apa-apa. Alasan lainnya adalah banyak monyet yang sering mencuri dari lahan petani terutama karena kurangnya pengawasan terhadap lokasi kebun yang jauh dari kampung. Pertemuan saya dengan bayi cucu pak Wandi menginspirasikan saya mengamati evolusi tubuh yang terjadi pada warga. Semakin mereka tua, kaki, tangan dan mukanya semakin dekat dengan tekstur tanah. Tapak kakinya seperti membatu.

Saya memeluk ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak dan merasakan kepolosan yang keluar dari dirinya. Ketika kami mengunjungi ibunda bu Sar, bu Kaniyem, ia mengatakan bahwa sangat kangen dengan putrinya. Bu Sar dan pak Tumijo tinggal di rumah kecil, rumah batu yang kami buat kepada mereka. Pak Tumijo kerja di kantor desa sehingga ia hampir setiap hari pulang balik ke kampung. Tetapi bu Sar senang tinggal di Alas Wegode. Ia keliling untuk merawat jalan setapak mengelilingi areal Alas Wegode sekitar 9 ha. Keasyikan inilah yang menyebabkan bu Sar jarang pulang ke kampung apalagi melihat ibunya. Ia baru pulang kalau ada pengajian atau acara lainnya. Kedua anaknya, Wulan dan Anna selalu berakhir pekan di Alas Wegode. Lokasi di mana Pondok Jati Rasa berdiri sebenarnya adalah tempat rumah kebun dari nenek bu Sar. Kebiasaan sejak kecil di Alas Wegode menyebabkan bu Sar berani.

Saya memperhatikan reaksi bu Sar ketika berulang kali ibunya, bu Kaniyem mengatakan kangen kepadanya. Ia hanya tersenyum tanpa menghibur ibunya. Mungkin hanya ketika masih kecil, anak-anak dipeluk dan memeluk orang tuanya. Ketika makin dewasa, anak dilepaskan ke alam sehingga kedekatan mereka dengan orang tua terjadi tanpa sentuhan. Akhirnya sayalah yang memeluk ibunya, yang kebetulan sudah lebih dari 12 tahun tergantung pada obat untuk menenangkannya. Ia sangat senang dan saya juga bahagia.

Kebahagian yang sama ketika saya mengunjungi pak Torjo yang sudah berumur 120 tahun. Ia tinggal dengan anak dari isterinya yang ke tujuh. Semua isterinya sudah meninggal, tetapi pak Torjo masih hidup. Ia sudah buta tetapi mengenal orang melalui suara dan sentuhan. Ia mau menyentuh wajah saya. Saya membiarkan ia meraba. Ia tersenyum dan mengatakan:”Ibu ayu”! Saya tersenyum terharu mendengar suaranya. Ia kemudian bercerita tentang tanahnya di dekat hutan kami. Ia masih waras, mengingat dengan jelas setiap areal di seantero desa.

Saya bahagia, di usia yang sudah udzur, pak Torjo masih memelihara rasa keindahan dan humornya yang menyebabkan ia masih hidup sampai saat ini. Rumahnya sangat sederhana. Ia tidur tanpa alas kasur. Dipannya diberikan “galang” yaitu potongan bambu yang dihaluskan untuk mengalas tempat tidur. Ada tiga tempat tidur di dalam kamar itu, selain dipannya sendiri, ada dipan anak perempuannya, bu Ngadiyem yang dekat dengan dipan ayahnya, dan dipan dari suami bu Ngadiyem, pak Tuji. Kemurahan Allah sungguh maha besar sehingga dengan hidup sederhana, pak Torjo masih terus hidup. Ia sudah minta terus supaya dipanggil pulang oleh Allah tetapi ia masih terus hidup. Makannya hanya sayuran terutama daun papaya, dedaunan yang tersedia di hutan, nasi, tiwul dan gatot.

Menulis tentang mereka di kampung mengingatkan saya kepada banyak kampung yang sudah saya kunjungi. Saya datang ketika mereka mengalami kekeringan, kebanjiran, terkena letusan gunung, mengalami gempa bumi. Ada banyak kebajikan saya terima dari perlawatan itu di masa yang tepat ketika saudara-saudara memerlukan kehadiran orang lain untuk sekedar mendengar cerita mereka. Saya sudah mendengar dan melihat sendiri hidup mereka. Menceritakan ulang cerita hidup mereka saya lakukan untuk menguatkan iman kita semua.

Kehidupan adalah kelimpahan dari ucapan syukur yang kita bagikan terhadap apa yang kita terima dari alam, dari sesama dan dari Tuhan Sang Pemberi Hidup. Iman saudara-saudari saya, iman mereka yang sedang berpuasa mengajarkan kepada saya tentang keiklasan dan kebijakan menyelaraskan hidupnya dengan ritme alam. Cerita mereka menghibur hati saya karena memberikan inspirasi untuk meraih ketulusan, keluhuran kehidupan dari dalam diri sendiri menuju kepada Allah. Iman mereka membawa saya menemukan iman saya. Saya berharap pembaca lainpun merasakannya. Selamat hari Minggu dan selamat meneruskan puasa. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself

Rabu, 10 Agustus 2011

Membawa pulang pelarian koruptor. Makna penemuan Nazaruddin di bulan Ramadhan 2011

Membawa pulang pelarian koruptor. Makna penemuan Nazaruddin di bulan Ramadhan 2011.
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Menjadi pelarian sekalipun di dunia modern adalah penyiksaan. Pelarian berbeda dengan peziarah. Peziarah adalah tindakan yang dipilih dengan ketakwalan menyusuri perjalanan diri menuju jalan yang diharapkan dikenali sebagai jalan Sang Pencipta. Suatu jalan kehidupan yang mengalirkan air kehidupan kepada mereka yang berdahaga.

Pelarian adalah narapidana yang melepaskan diri dari penjara. Pelarian adalah mereka yang tertuduh. Jaman ketika belum ada transportasi modern seperti pesawat terbang, seorang digolongkan sedang melakukan tindakan pelarian tergambar dari kalimat klasik “run away to sea”. Tindakan melarikan diri ke laut adalah pilihan yang dilakukan oleh seorang lelaki yang mendapatkan dirinya melakukan suatu kesalahan yang mencemarkan namanya, atau nama keluarganya. Lautan adalah alam bebas yang akan menyambut seseorang, mengujinya, menghukum dan membentuknya secara baru. Apalagi dalam “run away to sea”, sang pelarian ini harus melewati Tanjung Pengharapan yang legendaris dianggap tanjung penjemput maut.

“Run away to sea” adalah proses penghukuman yang dipilih seseorang dengan berada di atas suatu kapal yang membawanya ke tempat yang tidak diketahuinya. Di atas kapal inilah, ia akan diterima untuk bertahan hidup atau meninggalkan namanya saja untuk dibawa pulang kepada keluarganya. Lautan bebas seperti kuburan yang bisa menelan semua orang yang nasibnya harus mati karena kehilangan ketulusan, keluhuran untuk memperbaharui dirinya.

Dalam tradisi agama-agama Abrahamik, Yahudi, Kristen dan Islam, cerita nabi Junus menggambarkan tentang laut sebagai hakim yang adil untuk menguji motivasi dan keluhuran diri seseorang mengikuti jalan Allah. Karena keluhuran yang terbit dalam hati nabi Junus, ia membuang diri untuk menenangkan laut supaya kapal yang ditumbanginya tidak hancur. Nabi Junus kemudian ditelan oleh ikan paus yang membawanya ke kota Niniwe. Nabi Junus mencapai keluhurannya dengan mendengar kembali suara Allah yang memintanya ke Niniwe, yaitu suatu kota yang harus didatanginya untuk menyampaikan pesan pertobatan yang perlu diterima oleh orang-orang di sana.

Tantangan lautan yang mahadasyat menjadi ukuran untuk seseorang yang melakukan kesalahan besar menghukum dirinya sendiri. Seorang yang selamat dari “run away to sea” adalah seorang yang kembali kepada keluarga dan masyarakatnya dalam keadaan selamat dan sudah diubah oleh alam raya yang mahadasyat dari perjalanan pelarian tsb. Keberhasilannya akan mengubah penerimaan orang-orang di sekitarnya. Ia akan diterima kembali. Hukuman yang telah diberikan alam dirasakan sudah cukup. Sehingga kalau ia selamat pulang kembali berarti ia sudah dibebaskan dari kutukan suatu kematian yang bisa mengambilnya ketika masih di laut.

Saya ingat membaca sejarah perjalanan para pelarian di museum maritim (Nederlands Scheepvaart Museum) Amsterdam. Menjadi pelaut bisa terjadi karena melarikan diri. Dulu dari sekolah saya di Amsterdam School School for Social Science Research di UVA, yang menggunakan gedung VOC, Vereenigde Oostindische Compagnie atau United Dutch East India Company, di Indonesia dikenal dengan nama Kompeni, di areal sekitar Spinhuis, sebelum banyak bangunan dibangun di abad 17, seseorang bisa naik ke teras “attic” dari bangunan-bangunan tua di sekitarnya. Banyak “attic” atau loteng dari bangunan-bangunan tua di Amsterdam di buat sebagai tempat seorang “lover”, perempuan yang merindukan seorang kekasihnya pulang. Ia akan naik ke teras dari “attic” untuk memandang ke laut atlantik yang terlihat dari Spinhuis, bayangan kapal yang mungkin akan datang membawa kekasihnya pulang. Lelaki melakukan pelarian untuk menebus kesalahan yang dilakukannya. Termasuk kesalahan karena mencintai seseorang yang kemudian tidak diizinkan untuk menikah walaupun kekasihnya sudah hamil.

Kerinduan kepada mereka yang sedang melakukan perjalanan sebagai pelarian dilagukan dalam irama “fado”. Fado berirama dan berlirik kerinduan dari musik berakustik yang sangat romantis dalam tradisi Portugis. Fado adalah warisan lagu-lagu yang bercerita tentang rindu laut, rindu kekasih yang tidak pernah pulang. Saya ingat kami menikmati seorang juru masak yang menyanyikan lagu-lagu fado di suatu restoran lokal di sekitar Alfama, di daerah perbukitan di atas kota Lisbon di Portugis. Kesasar menyusuri jati diri leluhur saya, “da Costa”, ternyata di salah satu restoran yang jauh dari publikasi turis, kami memutuskan makan di situ yang ternyata pada malam itu ada keajaiban perasaan yang terjadi. Ketika perempuan, juru masak itu selesai ber”fado”, menyanyi dengan perasaan rindu mendalam semua orang sudah menitikkan air mata mereka. Mungkin mereka mengingat ceritanya sendiri. Suatu cerita cinta kasihya yang kandas, atau menghadirkan perasaan dulu dari bayangan kebersamaan dengan seorang yang dicintainya.

Pelarian para koruptor dari Indonesia adalah pelarian yang tidak mengalami proses penyiksaan dari alam. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka bahkan hidup senang di tempat baru lokasi pelariannya. Negara- negara yang dikatakan mempunyai tingkat korupsi zero ternyata yang paling sering memberikan perlindungan bagi keamanan uang yang dilarikan maupun pemiliknya. Sebut saja Swiss dan Singapura. Pelarian koruptor Indonesia hidup nyaman di pengasingan sampai ini ditemukan. Jadi penemuan Nazaruddin harus membawanya pulang ke Indonesia supaya ia menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Berita penangkapan Nazaruddin, mantan bendaharawan partai Demokrat di Kolombia, menambah daftar negara baru yang dapat menjadi target pelarian koruptor Indonesia. Nunun Nurbaiti pernah dikabarkan sedang menyembunyikan jejaknya di sekitar pegunungan di Thailand. Akses mobilisasi di Thailand Utara, seperti di Chaing Rai ke daerah golden triangle, daerah pertemuan sungai Mekong yang mempertemukan batas teritori Burma, Thailand, Laos dan Kamboja, di mana transaksi opium terlarang terjadi diluar kendali negara, sekarang termasuk daerah target pelarian koruptor Indonesia. Pernah berada di sana, saya bisa membayangkan mengapa sampai sekarang Nunun Nurbaiti belum ditemukan.

Nazaruddin melarikan diri di Cartagena, Kolombia. Cartagena adalah kota dipinggiran pantai utara sebelah selatan Bogota yang berhadapan dengan kepulauan Karibia. Daerahnya selalu panas walaupun di Bogota, ibu kota Colombia bisa tampil dengan suhu di bawah 10 derajat di musim dingin. Saya ingat ke Baranccabermeja juga di daerah pantai utara, di sebelah selatan dari Bogota, naik pesawat dengan berlapisan pakaian dari Bogota hanya sejam kemudian sudah tiba di Baranccabermeja dengan harus menanggalkan semua lapisan pakaian karena suhunya panas seperti di Jakarta.

Di Cartagena, Nazaruddin melarikan diri. Ia rindu Indonesia, menyanyikan lagu-lagu melankolis rindu lautan, hawa dan makanan Indonesia. Tetapi ia bukan pelarian dari berabad lalu yang terdampar di Cartagena. Nazaruddin memilih menerbangkan diri pindah dari pelarian sebelumnya di Singapura ke sana. Sayang pelariannya selama 77 hari akhirnya terungkap melalui Voip sehingga sekarang dalam proses untuk dibawa pulang ke Indonesia. Voip adalah sistem komunikasi yang menyebabkan Nazaruddin terjaring oleh tim polisi bekerja sama dengan pakar ICT memburu pelarian koruptor Indonesia. Semula saya menyangka Nazaruddin di sekap oleh anjing-anjing pelacak, setinggi kurang lebih 1 meter lebih, yang terlatih berkeliaran bersama petugas keamanan di seantero kota-kota penting di Kolombia yang merupakan negara tertinggi di dunia yang akitivis politiknya dibunuh atau dilenyapkan secara misterius.

Sudah pasti, seorang pelarian koruptor Indonesia bukan peziarah! Tetapi bisakah kita bayangkan dalam diri seorang pelarian ada jeritan seorang peziarah. Pertanyaan mendasar dari seorang peziarah adalah mengapa saya sedang berjalan atau berziarah saat ini di dunia? Mengapa saya sedang berada di dunia saat ini? Mengapa saya dilahirkan di dunia saat ini? Mengapa saya diberikan tugas untuk mengemban dunia saat ini? Apa rencana Sang Pencipta untuk saya? Apa maksudnya saya diberikan banyak berkat oleh Allah? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar dari seorang manusia.

Apapun orangnya apakah ia seorang yang percaya adanya Tuhan maupun tidak, seseorang pernah dalam hidupnya akan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertanyaan seperti inilah yang menyebabkan seorang ateis membangun kepeduliannya terhadap sesama bukan pertama-tama karena alasan keberadaan eksistensi Tuhan tetapi karena ada penderitaan yang mendalam pada manusia lainnya yang menyentuhkan hatinya untuk menolong. Banyak program-program bantuan dari lembaga-lembaga dana internasional yang dinikmati oleh pemerintah, LSM-LSM maupun masyarakat luas di Indonesia berasal dari sumbangan-sumbangan kaum humanis yang tidak sedang membawa agama untuk melakukan tindakan kemanusiaan.

Koruptor-koruptor dari Indonesia adalah mereka yang membawa-bawa agamanya sebagai identitas dirinya. Tetapi mereka inilah yang telah melepaskan makna keberagamaannya. Tidak ada satupun agama mengajarkan manusia untuk melakukan perbuatan mencuri termasuk mencintai dirinya sendiri. Ada ajaran pengorbanan dan pengekangan diri dalam agama-agama. Siklus ritual pemurniaan misalkan bertujuan untuk memulihkan kelakuan manusia mendekat pada keluhuran. Keluhuran seperti suatu cita-cita yang mulia untuk melepaskan semua keinginan yang kita miliki supaya memperoleh kefitraan yang ada pada kesuciaan Sang Pencipta. Dalam keluhuran ada cinta sejati yang bisa membangun dan mengalami rumusan baru tentang cinta tanpa harus memiliki secara fisik dan material.

Menemukan Nazaruddin di bulan Ramadhan kiranya mengajarkan kepada kita semua di Indonesia, tentang kefitraan yang sudah hilang dari manusia-manusia Indonesia yang mengatas namakan Allah untuk membenci sesamanya. Hanya orang yang mencintai dirinya sendiri yang bisa merampok, mencuri uang-uang rakyat. Mereka yang mencintai dirinya sendiri yang merasa seolah-olah mencintai Sang Pencipta, adalah mereka yang rela menghina, meremehkan, menghujat pengalaman iman sesamanya. Orang-orang ini merasa imannya sendiri adalah yang paling benar dan semua orang harus mengikuti jalan imannya. Mereka ini menghalalkan darah sesama penganut agama untuk kebenaran agama yang diyakininya. Pemaksaan karena iman merupakan tirani dari cara beragama yang merusaki tatanan kehidupan yang damai dalam cinta kasih.

Pengalaman iman tidak bisa dibahasakan dalam hukum agama. Hukum agama bisa bersifat politis tergantung kekuasaan mana yang memproduksinya. Ketika semua pengalaman iman di bukukan sebagai hukum, capaian dari keluhuran agama yang hendak dijangkau manusia menjadi kering keronta. Manusia kehilangan imajinasi untuk menemukan sendiri pengalaman kebersamaan dengan Allah dalam pengalamannya sendiri kecuali mengerti karena memprosesnya sebagai suatu hapalan belaka.

Pengalaman agama bukan sekedar suatu hapalan. Doa yang dihapalkan menjauhkan pengendapan dari keinginan untuk melakukan jalan Allah dalam hidup yang konkrit. Manusia menjadi sekedar robot tanpa mengerti mengapa ia sedang berdoa dan apa artinya untuk hidupnya sehari-hari. Mungkinkah maraknya korupsi di Indonesia karena kita semua menjadikan doa-doa seperti mantra untuk mendapatkan keajaiban yang tanda-tanda kejadiannya tak terduga termasuk mendapatkan jalan memperoleh uang yang tidak dibayangkan?

Doa-doa mereka yang koruptor adalah semoga mendapat uang berjubel seperti sedang memenangkan lotere tetapi dengan harapan dijauhkan dari penciuman publik. Karena uang yang diterimanya adalah uang haram. Doa-doa mereka seperti dukun yang menggunakan matra untuk memberikan kenyamanan dan ketenangan supaya mereka bisa melakukan kejahatan tanpa merasa bersalah dan terhukum oleh penglihatan Sang Pencipta. Doa-doa ini bertumpu pada kepentingan dirinya sendiri bukan doa keluhuran sebagai pancaran Ilahi.

Pelajaran berharga penemuan Nazaruddin di bulan suci Ramadhan kiranya membuat doa-doa umat beragama di Indonesia sebagai doa keiklasan yang membawa kefitraan. Suatu doa untuk membangun bangsa Indonesia untuk semua warga negara tanpa pandang bulu agama, tradisi, budaya dari mana kita berasal. Hanya dengan dasar doa inilah, Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua diridhoi berkat dari Sang Pencipta. Amin.

*Penulis adalah blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in Java, dan empowering women transforming myself

Sabtu, 06 Agustus 2011

Memikir ulang relasi "uang" untuk memberantas korupsi. Renungan Minggu di bulan Ramadhan 2011

Memikir ulang relasi “uang” untuk memberantas korupsi. Renungan Minggu di bulan Ramadhan 2011
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Cerita tentang uang adalah cerita tentang relasi. Pertama, uang berkaitan dengan diri kita sendiri. Kedua, uang terkait dengan orang lain. Ketiga, uang berhubungan dengan Tuhan, Sang Pencipta.

Kekaguman Hildred Geertz di tahun 60 an ketika meneliti di Jawa terkait dengan uang yang dikelola oleh perempuan. Perempuan adalah tulang punggung keluarga, sebagai pencari nafkah sekaligus pengelola uang bersama dari pendapatan suami. Peran ini tidak berubah sesudah hampir setengah abad hasil etnografi Geertz dipublikasikan.

Di kampung Karanggayam, Sleman, Yogyakarta, di mana saya tinggal, 80% perempuan adalah pencari nafkah. Sebagai daerah pemasok penjual gudeg, saya selalu mencium aroma gudeg di pagi hari ketika saya sedang jogging. Pagi-pagi sekali, ibu-ibu menumpangi becak mulai menyebar menjajakan gudeg sebagai sarapan pagi khas Jogja di berbagai sudut kota di Sleman bahkan sampai di alun-alun utara. Mereka baru kembali menjelang sore bersamaan dengan waktu saya juga pulang rumah. Kami sering berpapasan. Kadang-kadang ada dua ibu yang bergabung menyewa andong untuk membawa pulang bahan-bahan kebutuhan untuk membuat gudeg. Dengan andong, kayu bakar dan kulit kelapa bisa diangkut semua. Mereka terbenam diantara timbunan barang-barang. Pemandangan yang mengharukan. Tetapi perempuan-perempuan pembuat gudeg turut melestarikan andong.

Perempuan pencari nafkah di abad milinium ada diberbagai tingkatan dari kalangan masyarakat. Caranya mencari nafkah berbeda dengan saya. Tetapi sebagai “saya”, kesamaannya ada ketika sebagai perempuan, kita harus mengelola keuangan keluarga. Peran ini menjadi sumber perdebatan panjang dari perspektif feminis. Saya menghindari membahasnya panjang lebar di sini. Tergantung siapa perempuannya, peran ini bisa menunjukkan kebebasan memilih dari seorang perempuan atau hanya tekanan yang memberatkan dirinya. Suami saya kaget sesudah menikah dengan saya mendapatkan komitmen saya yang sudah lama mendukung anggota keluarga lain termasuk ibu saya. Kepulangan ayah ketika kami masih muda, menyebabkan kami mendukung satu dengan lainnya.

Ternyata tanggung jawab ini berkembang. Sesudah menikah, dukungan diperlebar terutama untuk mendorong gerakan hidup bersama secara damai dalam masyarakat. Saya harus bisa mengatur berbagi gaji saya untuk program memelihara keluarga dan masyarakat. Kadang-kadang pengelolaannya berhasil seringkali diatur apa adanya, yang penting setiap kegiatan bisa berjalan. Semangat mengurus keluarga mendorong saya berbagi dengan masyarakat, perempuan dan anak. Mereka menjadi bagian dari keluarga saya.

Ketika saya merefleksikan uang dalam relasi dengan diri sendiri, saya teringat wajah-wajah perempuan di sekitar saya. Saya juga ingat cerita dalam Alkitab tentang seorang janda yang cara hidupnya dipilih sebagai contoh dari Isa Almasih untuk menegur perilaku “relasi terhadap uang” dari orang kaya.

Injil Lukas menuliskan tentang persembahan seorang janda miskin (Lukas 21: 1-4). Narasinya, saya kutip utuh. “Ketika Yesus mengangkat mukaNya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya”.

Janda di manapun “tidak dianggap” ada oleh masyarakat. Tulisan Injil menjelaskan juga perilaku masyarakat terhadap janda. Kalau jandanya seorang yang muda, akan dianggap sebagai sumber penggodaan. Kalau jandanya seorang tua, dianggap miskin dan papa. Menjadi janda, serba salah. Tetapi janda-janda seperti inilah adalah mereka yang kuat. Ibu saya seorang janda. Ketika suaminya meninggal, ayah saya, ia mengatakan kepada anak-anaknya: “Sekarang Tuhan sudah mengambil ayahmu, suami saya sekarang adalah Allah sendiri”. Kata-kata ibu saya bukan bertujuan menghina Allah. Kata-kata itu memastikan kepada ia dan semua anak-anaknya bahwa hidupnya dulu sampai sekarang ada karena kemurahan dan perlindungan Allah sendiri. Allah menjadi sahabatnya. Nafasnya adalah doa yang terpanjat diam-diam kepada Allah.

Relasi yang mendalam dengan Allah menyebabkan ibu saya memberikan kembali apa yang menjadi hak Allah. Ceritanya sama seperti janda miskin yang ditulis dalam Injil Lukas. Ia hidup dari kemurahan Allah bukan kebaikan dari anak-anak walaupun setiap bulan kami mengirimkan berkat kami kepadanya. Sikap hidupnya mengajarkan kepada saya tentang sikap hidup janda yang menginspirasikan Yesus untuk mengingatkan mereka yang kaya.

Sikap hidup berbagi adalah semangat yang bisa ditemukan di kalangan mereka yang berkekurangan. Ketulusan untuk memberi dari apa yang ada kepada seseorang yang membutuhkan akan mendorong orang tersebut menerima balik pada saat yang dibutuhkan. Sikap memberi dari apa yang ada secara logis akan ada balasannya. Tetapi memberikan dari kekurangan kepada Allah seperti yang dilakukan oleh janda miskin, merupakan pertanda bahwa ia sedang memastikan pemeliharaan hidupnya ada pada tangan Allah. Hatinya yang tulus akan menggugah semua orang yang ada di sekitarnya untuk berbagi dengannya dari apa yang mereka miliki.

Sikap hati seorang janda miskin dijadikan contoh untuk mengajarkan orang kaya adalah tanda kepedulian Allah untuk meluruskan hati manusia. Uang bukan barang haram bagi manusia. Manusia perlu uang untuk hidup. Tetapi uang bukanlah jalan
untuk membawa manusia kepada Allah. Manusia bisa memusatkan hatinya pada uang, bukan pada Allah, sumber kehidupan.

Ketika kami tidak punya uang hidup di Jakarta, saya harus kerja untuk membantu ibu saya. Saya lakukan dengan penyerahan diri karena tahu uang dari kerja itu tidak cukup untuk membayar biaya sekolah adik-adik. Ada perasaan takut, tentang masa depan. Akan tetapi sesudah proses pembentukan hidup berlangsung yang mengubah kita dari kelimpahan menjadi kecukupan, saya belajar tentang kehidupan bersahaja dalam mendekati uang. Saya belajar mengatur dari apa yang ada bukan dari yang harus saya miliki. Cara pikir ini mungkin berbeda dengan kebanyakan pola progressif pengembangan ekonomi yang digiatkan oleh pasar. Bidikan banyaknya uang yang masuk harus seiring dengan perencanaan konsumsi yang harus dipenuhi. Pilihan hidup seperti ini menjadikan manusia sebagai budak terhadap kerja. Kerja tidak menghasilkan sukacita tetapi kesepian tanpa makna kehidupan. Mungkin café-café penuh dengan kita yang sepi melarikan diri pada kesenangan yang diterima dari minuman dan pertemanan sesaat.

Janda miskin tahu berhubungan dengan uang. Ia juga tahu bagaimana uangnya harus dipakai. Memberi dengan ketulusan kepada Allah merupakan sikap hidup yang akan menular mempengaruhi dalam kegiatan hidup lainnya. Menetapkan bahwa Allah adalah sumber kehidupan akan mendorong kita untuk berbagi dengan sesama sebagai ucapan syukur terhadap berkat-berkat yang sudah diterima dari Allah. Siang dan malam diberikan Allah kepada semua umat manusia tanpa pandang bulu tentang asal agama, budaya dan etnis. Hujan dan panas diberikan kepada kita semua untuk bisa mengatur persediaan lumbung-lumbung sebagai stok makanan keluarga.

Ketika manusia mengerti bahwa sumber hidupnya ada pada Allah, maka orang kaya tidak perlu menyuap orang miskin supaya mereka mau memberikan suaranya mendukung keinginan orang kaya menjadi wakilnya di parlemen. Sebaliknya, orang miskin pun tidak menggunakan kemiskinannya untuk memaksakan orang kaya memberikan uang kepadanya. Pemberian yang diberikan untuk mendapat suara seperti dilakukan pada masa Pemilu/pemilukada kualitasnya rendah. Pemberian ternyata terlalu murahan untuk membayar harga dari suatu kebijakan negara yang harus diperjuangkan bersama baik oleh calon wakil rakyat dan pendukungnya.

Pola pemberian tersebut mengajarkan masyarakat untuk melupakan jati dirinya. Pola ini menghilangkan harga diri orang miskin maupun orang kaya. Pola ini menghilangkan ketulusan dan keramahtamahan sejati yang ada di hati masyarakat. Lebih dari itu pola ini menumpulkan sejak dini fungsi kritis masyarakat untuk mengawal kebijakan-kebijakan negara yang akan diproses oleh wakil rakyat pilihannya. Kualitas mereka yang dipilihpun belum bisa mengamodasikan kebutuhan bersama untuk membuat kebijakan yang membawa keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Rakyat memilih tanpa mengenal siapakah mereka yang mewakili dirinya. Uang membutakan perjalanan ke depan membangun bangsa yang menjadi tanggungjawab seluruh warga negara.

Politik pemilu/pemilukada menjadikan masyarakat Indonesia berhati kejam. Kita semua menjadi budak uang. Beban yang harus dipikul seseorang untuk menjadi pejabat publik adalah harus bisa memberikan sogokan kepada mereka yang memilihnya. Beban ini dibawa terus sampai di posisi yang memungkinkan berbagai cara mendapatkan uang melalui rekayasa untuk pengembalian pengeluaran atau hutang yang sudah dipakai menyogok rakyat. Siklus ini tampil untuk menjelaskan mata rantai korupsi yang sedang menghancurkan sistem kehidupan manusia-manusia beragama di Indonesia.

Kalau sudah seperti begini hidup bernegara, apa yang kita mau pilih, sikap hati seperti seorang janda miskin atau orang kaya? Ternyata sikap hidup orang kaya bisa merusak kehidupan orang banyak. Jadi lebih baikkah memilih hidup seperti seorang janda miskin yang mendatangkan damai hati untuk Allah dan sesama? Dari tradisi agama masing-masing bisa menjelaskan apa untuk memikir ulang relasi uang supaya korupsi bisa diangkat dari bumi Indonesia? Saya berbagi pertanyaan ini baik kepada saudara-saudari Kristiani, Muslim, Hindu, Budha, Konghucu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya untuk merenungkan bersama. Semoga kita semua membawa balik spirit ketulusan dan loyalitas membangun hidup yang bersih untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Selamat hari Minggu. Selamat berpuasa bagi saudara/i Muslim. Tuhan memberkati kita semua. Amin.