Translate

Selasa, 03 Desember 2013

Kekuatan makna dalam keterbatasan manusia! Catatan hari difabel internasional


Kekuatan makna dalam keterbatasan manusia!
Catatan hari difabel Internasional

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Setiap orang dilahirkan dengan sensifitas menangkap suara-suara di sekitarnya. Suami saya selalu katakan saya dikelilingi dengan banyak imajinasi. Saya mengekspresikan imajinasi dalam bentuk yang bisa digambarkan dengan kata-kata, disentuh dan diamati. Saya sering melihat bentuk dan rupa yang bisa dimaknai sebagai sesuatu yang pernah saya kenal. Tetapi kadang-kadang ada tampilan bentuk dan rupa yang tidak pernah saya kenal sebelum di dalam ekspresi saya kecuali penggambaran yang saya lihat dalam pengalaman saya melukis. Kemudian dari lukisan, saya membangun pengertian baru yang memberikan makna, penjelasan yang berbeda dari pengalaman asli yang tercermin pada kata-kata.

Filsuf Ludwig Wittgenstein mengatakan tentang keterbatasan bahasa berhubungan dengan terbatasnya di dalam kata yang merepresentasikan pengalaman.  Kata bisa tampil sangat statis untuk mempertahankan pengalaman yang dicerminkan dari kata yang sama tetapi telah terjadi banyak perubahan pada tingkat kenyataan. Kadang-kadang kata berkembang dengan makna yang sangat berbeda dari pengalaman semula yang mencerminkan kata aslinya. Kesimpulan terlihat dalam pemikiran Wittgenstein adalah ketika penjelasan tidak bisa diuraikan, manusia terbatas membahasakan pengalamannya.  

Michel Foucault sebaliknya menegaskan keterbatasan pengalaman dan bahasa terjadi karena ada pembatasan yang dilakukan dalam norma-norma. Pengalaman yang baik dan bahagia seringkali lebih mudah diungkapkan dalam kata. Di bawah sadar manusia ditekan untuk mengalami pengalaman yang berbeda dari harapan yang disediakan dalam kata-kata. Ketika manusia sungguh menderita tetapi karena ajaran agama menyebabkan pengalaman penderitaan dipahami tanpa pengakuan kesakitan.

Saya menerima surat dari sahabat-sahabat kami tentang keadaan saya  yang sedang memakai body brace mengelilingi tubuh. Apa yang saya rasakan? Apakah saya menggunakannya sepanjang hari? Pertanyaan ini menarik. Saya ingin mengembangkan tulisan  ini terkait dengan pertanyaan di atas sekaligus menghubungkannya dalam rentangan dinamika penjelasan Wittgenstein maupun Foucault. Saya akan memulai dari penjelasan sederhana saja tentang bagaimana saya hidup dalam kondisi saat ini.

Body brace adalah penemuan terbaru dalam teknologi ortopedis sejalan dengan perkembangan pengetahuan komputer. Sepuluh tahun lalu, ketika seseorang mengalami patah tulang pada anggota tubuhnya, bagian yang patah itu harus dibalut dengan permanen gipsum. Enam bulan yang lalu, di awal bulan Mei 2013, tangan kanan saya harus dibalut dengan plester gipsum selama tiga minggu. Sesudah plester dilepaskan saya menjalani fisioterapi selama dua bulan untuk mengembalikan fleksibilitas dari tangan kanan.  Kesakitan adalah penjalanan kepada kesembuhan.

Selama masa fisioterapi, semakin lama saya merasakan tangan saya tidak sakit lagi sekalipun saya masih melatihnya untuk kembali bisa menyentuh muka sendiri. Pelan-pelan tangan kanan bisa menyentuh seluruh muka saya sehingga dengan sangat mudah saya membersihkan muka sendiri. Signal kesakitan sudah ditransmisi oleh otak saya menjadi tindakan yang normal selayaknya fungsi tangan. Saya merasa koordinasi signal berjalan sangat baik antara tangan saya dengan otak sehingga saya bisa mengoperasikan fungsi tangan dalam pemahaman yang sama sekali baru. Saya bisa merumuskan suatu pengertian dari pengalaman baru dengan penjelasan yang lebih komprehensif.

Pada saat itu, saya mengerti Michel Foucault yang mampu membahasakan pengalaman ngeri melewati batas pengertian yang belum terumuskan dalam kesadaran yang dibatasi oleh norma-norma. Saya menguraikan setiap tarikan napas kesakitan dengan membimbing diri sendiri menerima pengalaman sakit sebagai jalan mengembalikan fungsi normal dari tangan kanan.  Saya ingin mencuci muka saya seperti semula, meraupkan setiap tetasan air pada dahi mengelilingi seluruh wajah. Ketika kenormalan itu tiba, pengalaman mengkayakan diri dalam bahasa yang melebihi sekedar struktur logis karena kedalaman saya dalam menggambarkan setiap segmen dari sensifitas yang tertangkap sebagai pengertian yang bermakna. Pada tingkat inilah saya mengerti keterbatasan menjelaskan pengalaman secara logis seperti yang diuraikan oleh Wittgenstein. Sebenarnya hal ini  menguraikan setiap segmen dari reaksi signal tentang pengertian mendalam dari seluruh pembentangan diri sehingga tergambar dengan sangat jelas dari bahasa yang logis yang menggetarkan dan terfahami.

Menggunakan perisai (body brace) bertujuan supaya T-11 dan L-4 bisa berdiri tegak dalam strukturnya sambil mengizinkan tisu-tisu dan otot yang luka disembuhkan sebelum akhirnya menjadi kuat untuk menopang tulang belakang saya. Saya memberi izin kepada diri sendiri untuk membebaskan otot-otot yang mengalami trauma untuk disembuhkan. Penahapan penyembuhan terjadi dengan membuka diri pada pengetahuan yang dibagikan dari para ahli ortopedis. Mereka mengajarkan saya tentang rehabilitasi bertingkat yang bisa dilakukan oleh setiap orang yang sakit sambil sedikit demi sedikit mengembalikan kekuatan kemandiriannya.

Body brace yang saya gunakan harus dipakai ketika saya tidak di tempat tidur. Sebelum keluar dari tempat tidur, saya perlu bantuan seseorang untuk memasang perisai bagian belakang pada posisinya yang tepat. Saya berguling seperti balok kayu  ke bagian posisi menyamping di sebelah kanan untuk dipasangkan perisai belakang. Kemudian saya berguling lagi dengan perisai belakang ke posisi menyamping kiri untuk diselaraskan kedudukannya sebelum bagian depan perisai diletakkan. Melekatkan perekat kiri dan kanan pada perisai bagian depan harus dilakukan sekaligus dimulai dari bagian bawah.

Ada tiga tingkat yang harus diikat. Melekatkan dengan kuat sangat penting karena perisai akan melindungi tulang yang sedang diizinkan untuk sembuh. Suami saya dengan tangannya yang kuat melakukannya dengan sangat baik. Sesudah itu saya bisa bangun dengan pelan-pelan menghindari sempoyongan. Rasa pusing karena ketika saya berbaring, saya tidak boleh membalik tubuh ke samping kiri dan kanan. Posisi tubuh yang datar tanpa membengkokkan adalah syarat untuk mengembalikan tulang pada struktur tulang belakang yang sudah ada.

Pergi tidur atau bangun saya memerlukan bantuan untuk memasang dan membuka perisai bagian belakang. Ketika saya sendirian  saya pergi tidur tanpa membuka perisai belakang. Saya bangun dengan memasang kembali perisai depan dan bangkit perlahan-lahan sebelum kemudian berjalan seperti kura-kura.  Gerakan saya lambat tetapi mandiri.  Mungkin apabila kecelakaan ini terjadi di Indonesia, saya perlu berhari-hari di rumah sakit. Tetapi saya hanya dua hari setengah di rumah sakit Ventura County Medical Center. Dalam waktu yang singkat saya dilatih oleh dua orang fisioterapi tentang bagaimana saya harus berjalan tegak, masuk dan keluar dari tempat tidur dan ke toilet. Kemudian seorang fisioterapi yang khusus melatih penggunaan alat-alat tambahan untuk menolong kemandirian saya menjelaskan tentang cara memasang kaus kaki, sepatu, mengambil sesuatu yang saya perlu dengan pertolongan dari alat-alat tambahan itu.  

Kemandirian fisik penting dibangun bersamaan dengan kemandirian emosi dan intelektual. Dampak secara emosional dari keterbatasan tubuh saat ini adalah saya mencoba mengerti makna dari kecelakaan kami. Segera sesudah keluar dari rumah sakit, saya sadar tentang hubungan dari kesakitan saya dengan penderitaan saudara-saudari saya di Papua. Seseorang dari sahabat kami bertanya bagaimana saya tahu tentang kecelakaan ini dalam kaitan dengan pengalaman saya sebelumnya sampai dengan saatnya saya mengerti tentang maksud ini. Saya sebenarnya sudah menjelaskan dalam tulisan saya lainnya tentang kekuatan Allah yang bekerja di dalam pergumulan manusia. Saya ingin mengulangi lagi dengan meletakkannya dalam cara pengungkapan yang sedang saya gunakan mengikuti kedua tokoh filsafat yang sangat berpengaruh dalam diri saya. Bagaimana saya tahu tentang apa terjadi sekarang dengan mengkaitkan pada tanda-tanda yang sebelumnya?

Pertanyaan ini sangat kontektual karena yang bertanya adalah seseorang yang mengerti tentang cerita-cerita saya ketika kami sedang di New Mexico. Saya merasa New Mexico seperti tempat di mana saya diingatkan pada pengalaman yang sudah pernah terjadi dalam hidup saya. Bebek yang berada pada batu mengingatkan saya tentang masa awal saya ke Belanda untuk belajar tetapi harus berjuang dengan musim dingin yang belum pernah saya alami. Batu dengan bebek yang saya temukan di sungai Animas, kemudian oleh seseorang diingatkan bahwa nama sungai tersebut berarti “spirit”.  Kami tiba di New Mexico, tempat pertama yang kami kunjungi adalah sungai Animas, dan tanpa kami sadari, tempat terakhir yang kami datangi juga adalah reruntuhan kebudayaan chaco  yang dibangun di samping sungai Animas.

New Mexico juga adalah tempat pertama sepuluh tahun yang lalu di mana saya memulai perjalanan saya untuk bekerja di Indonesia. Pada saat itu, suami saya sudah bekerja di Universitas Kristen Duta Wacana di Yogyakarta. Sambil menunggu ujian S3 saya di  Belanda, saya diundang oleh Universitas Kristen Duta Wacana untuk membangun Kantor Internasional dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.  Presbyterian Church USA yang telah mendukung suami saya, menerima saya untuk bekerja sama dengan suami saya di negara saya, Indonesia.  Ghost Ranch di New Mexico adalah tempat di mana saya dilengkapi dengan keterampilan tentang bagaimana bekerja di daerah pedesaan. Saya sudah pernah bekerja di daerah pedesaan di Maluku Utara selama 5 tahun di Pusat  Pengembangan dan  Pelatihan Pedesaan di Tobelo. Tapi  di Ghost Ranch, New Mexico, saya bisa belajar yang baru dan merefleksikan pekerjaan saya dulu di pedesaan di Maluku Utara. Jadi ketika kami pergi ke New Mexico di bulan Oktober 2013, saya merasa seperti aku pulang ke rumah sendiri. Perjalanan ke New Mexico dilakukan sebelum kami melakukan perjalanan ke California Selatan di mana saya mengalami kecelakaan mobil.

Kesadaran tentang kembali ke rumah sendiri makin kuat ketika pada perjalanan ke Nex Mexico itu saya ternyata mendapatkan selimut  Navajo yang diberi nana “Hin—mah—too—yah—lat—kert” yang menurut seorang teman adalah selimut yang diberikan kepada seorang bayi perempuan dari suku Indian. Selimut ini mempunyai makna yang mendalam yang saya hubungkan dengan masa remaja saya ketika membayangkan menjadi seorang anak dari kepala suku Indian. Desain dari selimut tersebut bernama Chief Yosef yang memberikan makna mendalam untuk saya menghubungkannya dengan penduduk asli Papua yang sedang berjuang untuk keadilan dan perdamaian di tanah Papua.

Kemandirian emosi diperlukan dalam mengerti tentang makna kesakitan yang terjadi pada manusia. Tetapi apakah penjelasan saya menjawab pertanyaan sahabat saya itu, suatu pertanyaan yang ingin tahu bagaimana saya tahu tentang hubungan antara kecelakaan dengan panggilan saya untuk memperjuangkan penderitaan saudara-saudara saya di tanah Papua. Saya tidak tahu tentang kecelakaan yang terjadi dengan kami. Saya tidak punya firasat tentang akan adanya kecelakaan. Seseorang yang membaca blog saya bercerita tentang perasaannya yang sering muncul membayang apa terjadi kalau ia mengalami kecelakaan. Saya tidak tahu tentang kapan kecelakaan menimpa saya, tetapi saya tahu tentang diri sendiri terutama apabila peristiwa yang terjadi dengan hasilnya ternyata terlihat melemahkan tampilan saya sebagai apa yang disebut normal. Ketika yang terjadi bertentangan dengan kelogisan, kenormalan, kebutuhan yang diharapkan, saya percaya kejadian itu diluar kendali saya sehingga saya segera menyerahkan kendalinya pada kekuatan yang Maha Besar yang sedang mengendalikan saya. Saya segera merasakan kehendakanNya sehingga memintaNya untuk membimbing saya.

Kita hanya tahu tentang suatu kejadian terjadi saat ini sebagai akibat dari kemampuan sensifitas untuk melihat koneksi dengan pengalamam-pengalaman masa lalu yang mengikat kepada kejadian sekarang dan masa depan. Sementara kepastian tentang masa depan juga belum bisa saya mengerti. Enam bulan lalu tangan saya dibalut dengan gipsum ketika saya sedang mempersiapkan pameran, tetapi darinya saya mengalami keajaiban sehingga bisa melukis diluar kesadaran saya bahwa saya tahu tentang apa yang sedang saya lukiskan.  Keanehan terjadi terutama karena ada orang lain yang melihat dan bertanya bagaimana saya tahu tentang apa yang saya lukiskan. Ketika itu saya melukis dari puisi yang berjudul Eksekusi Allah.

 

Saya masih berdiri di sini
Pada tanah air
Ketika merasakan getaran
Buldoser menghancurkan
Rumah Allah
Begitu fana tiang-tiang kokoh
Meleleh

 
Burung-burung bangau terbang
Memberitahu datangnya bencana
Suara anjing menggonggong
Getaran menguat
Pepohonan menginjik
Memberitakan tahun-tahun kesesakan

 

Kaki saya berpijak
Pada tanah air
Sudah saya rasakan tangan sang Khalik
Berdiri bersama
Jiwa-jiwa pendiri negeri
Menatap mendalam
Kepongahan broduser
atas nama hukum
merobohkan
rumah Allah
pada tanah milikNya

 

Pada tanah air
Suara gemuruh
Air datang
Bersama ikan-ikan
Menyampaikan peringatan
Kesombongan
Mereka yang berkuasa
Mengambil hak hidup
Atas nama Allah

 

Pada tanah air
Saya teruskan perjalanan
Mengukir kefanaan
Dalam perjuangan
Menyejarah
Supaya keabadian memfana
Mengingat perjuangan
Pernah kefanaan dicabut
Oleh mereka
Atas nama Allah

 

Pada tanah air
Semua fana sudah ludes
Hanya jiwa saya berdiri di sana
Bersama Sang Khalik
Saya kunjungi rumah Allah
Ketika keteduhan tercabut
Hanya tersisa kefanaan
Mereka pencabut fana
Gundah gelisah menguaraikan
Nuraninya


                                                           Lukisan saya "Eksekusi Allah"
 
Puisi ini adalah ratapan saya sesudah saudara-saudara saya di Madura yaitu Islam Shiah dikejar-kejar dan dibunuh.  Ketika mesjid saudara-saudara Ahmadiah di Tasikmalaya Jawa Barat dihancurkan.  Rumah ibadat umat Kristiani di Bekasi disingkirkan dengan buldoser. Saya meratap mengapa manusia harus membunuh sesamanya karena klaim kebenaran tentang Tuhan. Dalam puisi itu, saya menulis Tuhan sangat marah dan sedih karena tanah di mana Tuhan berada telah dihancur oleh manusia. Saya berikan gambar foto Semar yang saya ambil dari atap rumah pendopo kami untuk dipasangkan melengkapi puisi Eksekusi Allah. Jadi ketika saya melukis visualisasi puisi Eksekusi Allah saya bermaksud melukis Semar seperti terlihat pada foto yang menghiasi puisi ini di dalam blog saya, Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua.

Mulailah saya melukis menyerupai dalam foto seperti yang ada pada puisi tersebut. Berkali-kali saya lakukan, ternyata tampil lukisan saya tidak menyerupai foto tersebut. Akhirnya saya mengikuti saja apa yang ingin dilukis oleh tangan kiri saya. Belum pernah seumur hidup saya menggunakan tangan kiri, tetapi hanya karena tangan kanan saya dibalut, saya melukis dengan tangan kiri. Sesudah saya selesai melukis, saya sadar bahwa tangan kiri saya melukiskan Semar sedang berada dalam rumah yang tiangnya sedang ditarik oleh dua tangan, di sebelah kiri dan kanan seolah-olah sedang meruntuhkan tiang di mana bangun suci itu berdiri. Kedua tangan itu kemudian melebar menjadi palu yang bertuliskan Perda (Peraturan Daerah) dan SKBM yaitu Surat Keputusan Bersama Menteri. Tangan kiri saya melukiskan Semar yang sangat berbeda dengan foto aslinya yang sedang saya amati sebagai contoh untuk menggambar rupanya. Dalam lukisan dengan tangan kiri saya itu, Semar menjadi seorang yang ganteng, gagah yang sedang menunjukkan kegeramannya dan saya memberikan matanya berwarna hijau. Saya juga tidak tahu mengapa saya memberikan matanya berwarna hijau.

Seorang teman saya, seorang muslim yang saleh tetapi juga seorang yang sangat dekat dengan pewayangan Jawa. Ia seorang perempuan, datang ke rumah saya untuk menengok persiapan pameran saya. Ketika ia melihat lukisan tersebut, hatinya berdebar-debar. Ia memanggil saya untuk datang mendekat pada lukisan tersebut supaya saya bisa menjelaskan kepadanya. Lukisan yang diinginkan penjelasannya adalah Eksekusi Allah. Kemudian saya menjelaskan seperti yang saya sedang gambarkan di atas. Tetapi teman saya ini bertanya: “Bagaimana kamu tahu tentang Semar bermata hijau? Pertanyaannya mirip dengan kesimpulan yang dibuat oleh Ludwid Wittgenstein, ketika kata-kata terbatas pengalaman tidak bisa diungkapkan.

Saya tidak bisa menjelaskan dalam bahasa bagaimana saya tahu tentang Semar akan berubah bentuk badan dan warna bola mata dari warna coklat menjadi hijau ketika marah.  Saya tidak pernah tahu tentang pewayangan seperti yang diketahui oleh teman saya. Sebaliknya teman saya hanya tahu tentang Semar bermata hijau sebagai suatu cerita yang didengar dalam pewayangan. Kenyataan yang dihadapi baik oleh teman saya dan saya sangat menarik untuk mengerti bahwa kata dan bahasa sebagai suatu pengalaman bisa bermakna ketika terkait dengan kenyataan real yang menghubungkan antara kebiasaan lama dalam suatu tindakan yang baru di dunia saat ini. Tindakan intuitif membimbing saya untuk menguatkan gambar dengan menghubungkan pada pewarnaan yang berbicara tentang peristiwa tertentu. Kepekaan intuitif menggetarkan jari-jari dari tangan kiri saya untuk melukiskan wajah wibawa dari Semar dengan nuansa keberanian yang nampak pada seorang lelaki yang dalam pewajahannya tampil sebagai seorang tampan. Saking kharima memikat pandangan dari mereka yang melihat seolah-olah pewajahannya menyerupai seorang yang muda dan kesaktria. Perasaan yang ada dalam permenungan diri kemudian mengalir kuat melalui jemari kiri menggambarkan presentasi Semar yang dilahirkan dalam imajinasi diri sebagai kekuatan yang sudah ada lama sekali menunggu untuk ditampilkan.

Tapi saya tidak menjelaskan sebagaimana saya menulis di atas. Kepada teman itu saya katakan: “Saya tidak tahu, saya hanya ingin memberikan warna matanya hijau”.  Teman saya ini kaget dan menatap saya mendalam. Ia katakan saya dibimbing Tuhan ketika melukiskan lukisan tersebut. Kemudian teman saya menjelaskan bahwa dalam perwayangan Semar ketika menjadi marah, rupanya berubah menjadi muda, ganteng dan matanya berwarna hijau. Semar adalah salah satu dewa dalam perwayangan Jawa yang menceritakan tentang Sifat Sang Pencipta dalam rupa manusia yang sangat jelek tetapi merepresentasikan kehidupan manusia yang menderita. Semar adalah satu-satunya tokoh dewa yang dikembangkan dalam pewayangan di Jawa Hindu. Jadi cerita Semar tidak ada dalam mitologi Hindu yang berada di India dan tempat lainnya.

Saya memilih Semar karena di Indonesia, terutama di Jawa, kita tahu bahwa Semar adalah pembela orang-orang kecil. Semar sebagai bagian dari cerita punakawan adalah perlambangan tentang pembelaan Sang Pencipta kepada orang-orang yang terpinggirkan. Menggambarkan puisi tentang eksekusi rumah ibadah dalam rupa Semar yang ada pada rumah ibadah menunjukkan bahwa rumah-rumah ibadah ini adalah milik Sang Pencipta yang berpihak pada orang-orang kecil, mereka yang adalah minoritas.  Kebenaran terhadap agama mayoritas cenderung memaksa kelompok minoritas untuk maksud menguasai kepatuhan manusia demi membatasi keragaman ekspresi manusia dalam menyembah Sang Pencipta. Keluasan dan kedalaman Sang Pencipta yang tidak bisa dirumuskan dalam bahasa Manusia, ternyata bisa direduksi dalam keyakinan tentang keaslian pewahyuan yang diklaim sebagai yang paling benar. Peraturan yang dibuat oleh manusia, seperti pemerintah dianggap mengandung kebenaran Allah yang atasnya manusia bisa melakukan kekerasan kepada sesamanya.

Jadi pertanyaan teman saya ini sama dengan seorang teman di New Mexico, bagaimana saya tahu tentang sekarang yang bisa dihubungkan dengan tanda-tanda dari masa lalu dan masa depan. Saya menulis sekarang mungkin bisa menjelaskan pertanyaan teman saya di di New Mexico.  Penjelasan saya mungkin dianggap tidak rasional terutama dihubungkan dengan pernyataan teman saya bahwa Sang Maha Kuasa memberikan saya hikmat dan sensifitas untuk mengerti tentang Semar sekalipun saya tidak pernah tahu cerita pewayangan tentang perubahan mata dan rupa Semar ketika ia sedang marah. Saya tahu bahwa semua bentuk kehancuran, kecelakaan dan kematian yang disebabkan dari manusia tidak dikendalikan oleh Allah. Ketika saya bertanya tentang mengapa manusia ingin menghancurkan sesamanya karena perbedaan cara memahami Allah, saya sebenarnya sedang diizinkan oleh Sang Pencipta untuk menjelaskan penderitaan sesama manusia yang bisa dicatat dalam bentuk narasi yang akan selalu mengingatkan tentang pembinasaan yang pernah dilakukan manusia atas nama Allah. Sang Pencipta dengan caranya yang mahakuasa akan sendiri menyentuh orang-orang yang mengatasnamakan Allah sedang membunuh sesamanya. Allah mempunyai kuasa yang tidak bisa dijelaskan dalam pengalaman manusia sekalipun ingin dimengerti oleh Michel Foucault dan Ludwig Wittgenstein untuk menguraikan perjalanan penderitaan yang bisa dijelaskan di dalam bahasa keintiman manusia tentang kemahakuasaan Allah.

Apakah kemudian saya bisa memastikan tentang sesuatu yang akan menimpa di depan berdasarkan pengalaman sesudah dua kali berturut-turut saya dalam keadaan tidur dan terbangun mendapatkan tangan kanan saya sudah tergeser ketika saya terjatuh di lantai dari tempat tidur dan dibangunkan suami ketika kami mengalami kecelakaan dengan api berada dibawah mobil? Saya menulis surat kepada teman kami yang saya merasa mereka seperti rumah yang mempersiapkan kami menghadapi dengan tabah dan bersyukur menghadapi kecelakaan ini. Saya katakan, mungkin hidup saat ini menandakan tantangan ke depan yang akan kami hadapi. Kepada adik saya, saya menuliskan tentang penderitaan sebagai cara untuk melatih diri sendiri menghadapi masa sulit yang harus kita lalu. Kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi dalam keterbatasan fisik ada banyak latihan untuk kita melalui kesulitan-kesulitan dalam membangun pemahaman hidup bersama di tengah masyarakat demi perdamaian dan kebahagiaan. Mengundang Tuhan menguatkan kita untuk berjalan dalam dunia adalah cara yang paling bijaksana karena sebagaimana manusia, sensifitasnya terus dipertajam untuk mengerti tanda-tanda jaman tanpa harus mempercepat proses tersebut karena kendalinya sebenarnya berada pada tangan Sang Pencipta.

Sekarang saya menulis artikel ini kepada banyak orang yang menjadi cacat karena kekerasan yang terjadi pada mereka. Mereka lahir dengan cacat  karena ditolak sebelum dilahirkan oleh ke dunia. Mereka adalah korban perang . Mereka yang tubuhnya catat karena memperjuangkan keadilan. Saya menulis untuk menunjukkan bahwa keterbatasan fisik , emosional dan intelektual tidak dapat menghambat  orang-orang dalam memahami misteri yang terjadi di sekitar kita . Seseorang, yang dianggap orang-orang difabel merupakan yang paling sensitif dalam memahami setiap pengalaman karena bisa menjelaskan hubungan antara masa lalu dan masa depan dengan menghadirkan penjelasannya pada tanda yang bermakna dalam konteks sekarang.  Ruang gelap di dalam tanah dapat dijelaskan bila hanya tubuh yang terletak langsung di tanah . Tanpa rasa takut , dalam keterbatasan kita , orang diluar penampilan yang normal bisa menjelaskan kepada semua orang yang normal tentang kebutuhan manusia untuk memilih cara bahwa dunia terus diwariskan dalam damai .  Mereka memiliki sensifitas karena  melatihkan seluruh tubuh manusia untuk mendengar langsung ke alam semesta di mana keberadaan Allah hidup dan berbagi kehidupan dengan manusia. Tubuh mereka difabel tetapi jiwa, roh dan iman mereka hidup bersama Sang Pencipta. Mereka lebih baik dari orang-orang yang kuat menggunakan buldozer, senjata, kekerasan untuk memaksa orang lain tunduk kepada kehendak diri yang bukan berasal dari Sang Pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar