Kekuatan makna dalam keterbatasan manusia!
Catatan hari difabel Internasional
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Setiap orang dilahirkan dengan sensifitas menangkap
suara-suara di sekitarnya. Suami saya selalu katakan saya dikelilingi dengan
banyak imajinasi. Saya mengekspresikan imajinasi dalam bentuk yang bisa
digambarkan dengan kata-kata, disentuh dan diamati. Saya sering melihat bentuk
dan rupa yang bisa dimaknai sebagai sesuatu yang pernah saya kenal. Tetapi
kadang-kadang ada tampilan bentuk dan rupa yang tidak pernah saya kenal sebelum
di dalam ekspresi saya kecuali penggambaran yang saya lihat dalam pengalaman
saya melukis. Kemudian dari lukisan, saya membangun pengertian baru yang
memberikan makna, penjelasan yang berbeda dari pengalaman asli yang tercermin
pada kata-kata.
Filsuf Ludwig Wittgenstein mengatakan tentang keterbatasan
bahasa berhubungan dengan terbatasnya di dalam kata yang merepresentasikan
pengalaman. Kata bisa tampil sangat
statis untuk mempertahankan pengalaman yang dicerminkan dari kata yang sama
tetapi telah terjadi banyak perubahan pada tingkat kenyataan. Kadang-kadang
kata berkembang dengan makna yang sangat berbeda dari pengalaman semula yang
mencerminkan kata aslinya. Kesimpulan terlihat dalam pemikiran Wittgenstein
adalah ketika penjelasan tidak bisa diuraikan, manusia terbatas membahasakan
pengalamannya.
Michel Foucault sebaliknya menegaskan keterbatasan
pengalaman dan bahasa terjadi karena ada pembatasan yang dilakukan dalam
norma-norma. Pengalaman yang baik dan bahagia seringkali lebih mudah
diungkapkan dalam kata. Di bawah sadar manusia ditekan untuk mengalami
pengalaman yang berbeda dari harapan yang disediakan dalam kata-kata. Ketika
manusia sungguh menderita tetapi karena ajaran agama menyebabkan pengalaman
penderitaan dipahami tanpa pengakuan kesakitan.
Saya menerima surat dari sahabat-sahabat kami tentang
keadaan saya yang sedang memakai body
brace mengelilingi tubuh. Apa yang saya rasakan? Apakah saya menggunakannya
sepanjang hari? Pertanyaan ini menarik. Saya ingin mengembangkan tulisan ini terkait dengan pertanyaan di atas sekaligus
menghubungkannya dalam rentangan dinamika penjelasan Wittgenstein maupun
Foucault. Saya akan memulai dari penjelasan sederhana saja tentang bagaimana
saya hidup dalam kondisi saat ini.
Body brace adalah penemuan terbaru dalam teknologi ortopedis
sejalan dengan perkembangan pengetahuan komputer. Sepuluh tahun lalu, ketika
seseorang mengalami patah tulang pada anggota tubuhnya, bagian yang patah itu
harus dibalut dengan permanen gipsum. Enam bulan yang lalu, di awal bulan Mei 2013, tangan kanan saya
harus dibalut dengan plester gipsum selama tiga minggu. Sesudah plester
dilepaskan saya menjalani fisioterapi selama dua bulan untuk mengembalikan
fleksibilitas dari tangan kanan. Kesakitan adalah penjalanan kepada kesembuhan.
Selama masa fisioterapi, semakin lama saya merasakan tangan
saya tidak sakit lagi sekalipun saya masih melatihnya untuk kembali bisa
menyentuh muka sendiri. Pelan-pelan tangan kanan bisa menyentuh seluruh muka
saya sehingga dengan sangat mudah saya membersihkan muka sendiri. Signal
kesakitan sudah ditransmisi oleh otak saya menjadi tindakan yang normal
selayaknya fungsi tangan. Saya merasa koordinasi signal berjalan sangat baik
antara tangan saya dengan otak sehingga saya bisa mengoperasikan fungsi tangan
dalam pemahaman yang sama sekali baru. Saya bisa merumuskan suatu pengertian dari
pengalaman baru dengan penjelasan yang lebih komprehensif.
Pada saat itu, saya mengerti Michel Foucault yang mampu
membahasakan pengalaman ngeri melewati batas pengertian yang belum terumuskan
dalam kesadaran yang dibatasi oleh norma-norma. Saya menguraikan setiap tarikan
napas kesakitan dengan membimbing diri sendiri menerima pengalaman sakit
sebagai jalan mengembalikan fungsi normal dari tangan kanan. Saya ingin mencuci muka saya seperti semula,
meraupkan setiap tetasan air pada dahi mengelilingi seluruh wajah. Ketika
kenormalan itu tiba, pengalaman mengkayakan diri dalam bahasa yang melebihi
sekedar struktur logis karena kedalaman saya dalam menggambarkan setiap segmen
dari sensifitas yang tertangkap sebagai pengertian yang bermakna. Pada tingkat
inilah saya mengerti keterbatasan menjelaskan pengalaman secara logis seperti
yang diuraikan oleh Wittgenstein. Sebenarnya hal ini menguraikan setiap segmen dari reaksi signal
tentang pengertian mendalam dari seluruh pembentangan diri sehingga tergambar
dengan sangat jelas dari bahasa yang logis yang menggetarkan dan terfahami.
Menggunakan perisai (body brace) bertujuan supaya T-11 dan L-4 bisa
berdiri tegak dalam strukturnya sambil mengizinkan tisu-tisu dan otot yang luka
disembuhkan sebelum akhirnya menjadi kuat untuk menopang tulang belakang saya.
Saya memberi izin kepada diri sendiri untuk membebaskan otot-otot yang
mengalami trauma untuk disembuhkan. Penahapan penyembuhan terjadi dengan
membuka diri pada pengetahuan yang dibagikan dari para ahli ortopedis. Mereka
mengajarkan saya tentang rehabilitasi bertingkat yang bisa dilakukan oleh
setiap orang yang sakit sambil sedikit demi sedikit mengembalikan kekuatan
kemandiriannya.
Body brace yang saya gunakan harus dipakai ketika saya tidak
di tempat tidur. Sebelum keluar dari tempat tidur, saya perlu bantuan seseorang
untuk memasang perisai bagian belakang pada posisinya yang tepat. Saya
berguling seperti balok kayu ke bagian
posisi menyamping di sebelah kanan untuk dipasangkan perisai belakang. Kemudian
saya berguling lagi dengan perisai belakang ke posisi menyamping kiri untuk
diselaraskan kedudukannya sebelum bagian depan perisai diletakkan. Melekatkan
perekat kiri dan kanan pada perisai bagian depan harus dilakukan sekaligus
dimulai dari bagian bawah.
Ada tiga tingkat yang harus diikat. Melekatkan dengan kuat
sangat penting karena perisai akan melindungi tulang yang sedang diizinkan
untuk sembuh. Suami saya dengan tangannya yang kuat melakukannya dengan sangat
baik. Sesudah itu saya bisa bangun dengan pelan-pelan menghindari sempoyongan. Rasa pusing karena ketika saya
berbaring, saya tidak boleh membalik tubuh ke samping kiri dan kanan. Posisi
tubuh yang datar tanpa membengkokkan adalah syarat untuk mengembalikan tulang
pada struktur tulang belakang yang sudah ada.
Pergi tidur atau bangun saya memerlukan bantuan untuk
memasang dan membuka perisai bagian belakang. Ketika saya sendirian saya pergi tidur tanpa membuka perisai
belakang. Saya bangun dengan memasang kembali perisai depan dan bangkit
perlahan-lahan sebelum kemudian berjalan seperti kura-kura. Gerakan saya lambat tetapi mandiri. Mungkin apabila kecelakaan ini terjadi di
Indonesia, saya perlu berhari-hari di rumah sakit. Tetapi saya hanya dua hari
setengah di rumah sakit Ventura County Medical Center. Dalam waktu yang singkat
saya dilatih oleh dua orang fisioterapi tentang bagaimana saya harus berjalan
tegak, masuk dan keluar dari tempat tidur dan ke toilet. Kemudian seorang
fisioterapi yang khusus melatih penggunaan alat-alat tambahan untuk menolong
kemandirian saya menjelaskan tentang cara memasang kaus kaki, sepatu, mengambil
sesuatu yang saya perlu dengan pertolongan dari alat-alat tambahan itu.
Kemandirian fisik penting dibangun bersamaan dengan
kemandirian emosi dan intelektual. Dampak secara emosional dari keterbatasan
tubuh saat ini adalah saya mencoba mengerti makna dari kecelakaan kami. Segera
sesudah keluar dari rumah sakit, saya sadar tentang hubungan dari kesakitan
saya dengan penderitaan saudara-saudari saya di Papua. Seseorang dari sahabat
kami bertanya bagaimana saya tahu tentang kecelakaan ini dalam kaitan dengan
pengalaman saya sebelumnya sampai dengan saatnya saya mengerti tentang maksud
ini. Saya sebenarnya sudah menjelaskan dalam tulisan saya lainnya tentang
kekuatan Allah yang bekerja di dalam pergumulan manusia. Saya ingin mengulangi
lagi dengan meletakkannya dalam cara pengungkapan yang sedang saya gunakan
mengikuti kedua tokoh filsafat yang sangat berpengaruh dalam diri saya.
Bagaimana saya tahu tentang apa terjadi sekarang dengan mengkaitkan pada
tanda-tanda yang sebelumnya?
Pertanyaan ini sangat kontektual karena yang bertanya adalah
seseorang yang mengerti tentang cerita-cerita saya ketika kami sedang di New
Mexico. Saya merasa New Mexico seperti tempat di mana saya diingatkan pada
pengalaman yang sudah pernah terjadi dalam hidup saya. Bebek yang berada pada
batu mengingatkan saya tentang masa awal saya ke Belanda untuk belajar tetapi
harus berjuang dengan musim dingin yang belum pernah saya alami. Batu dengan
bebek yang saya temukan di sungai Animas, kemudian oleh seseorang diingatkan
bahwa nama sungai tersebut berarti “spirit”.
Kami tiba di New Mexico, tempat pertama yang kami kunjungi adalah sungai
Animas, dan tanpa kami sadari, tempat terakhir yang kami datangi juga adalah
reruntuhan kebudayaan chaco yang dibangun di samping sungai Animas.
New Mexico
juga adalah tempat pertama sepuluh
tahun yang lalu di mana saya memulai perjalanan saya untuk bekerja di
Indonesia. Pada saat itu, suami saya sudah
bekerja di Universitas Kristen Duta
Wacana di Yogyakarta. Sambil menunggu
ujian S3 saya di Belanda,
saya diundang oleh Universitas Kristen Duta Wacana untuk
membangun Kantor Internasional dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Presbyterian Church USA yang telah
mendukung suami saya, menerima
saya untuk bekerja sama dengan
suami saya di negara saya, Indonesia.
Ghost Ranch di New
Mexico adalah tempat di mana saya
dilengkapi dengan keterampilan tentang
bagaimana bekerja di daerah pedesaan. Saya sudah pernah bekerja di daerah pedesaan di Maluku Utara selama 5
tahun di Pusat Pengembangan dan Pelatihan Pedesaan di Tobelo.
Tapi di Ghost Ranch, New
Mexico, saya bisa belajar yang baru dan merefleksikan pekerjaan saya dulu
di pedesaan di Maluku Utara. Jadi ketika kami pergi ke New Mexico
di bulan Oktober 2013, saya merasa seperti aku pulang ke rumah sendiri. Perjalanan ke New
Mexico dilakukan sebelum kami melakukan perjalanan ke California Selatan di mana saya mengalami kecelakaan mobil.
Kesadaran tentang kembali ke rumah sendiri makin kuat ketika
pada perjalanan ke Nex Mexico itu saya ternyata mendapatkan selimut Navajo yang diberi nana “Hin—mah—too—yah—lat—kert”
yang menurut seorang teman adalah selimut yang diberikan kepada seorang bayi
perempuan dari suku Indian. Selimut ini mempunyai makna yang mendalam yang saya hubungkan dengan
masa remaja saya ketika membayangkan menjadi seorang anak dari kepala suku
Indian. Desain dari selimut tersebut bernama Chief Yosef yang memberikan makna
mendalam untuk saya menghubungkannya dengan penduduk asli Papua yang sedang
berjuang untuk keadilan dan perdamaian di tanah Papua.
Kemandirian emosi diperlukan dalam mengerti tentang makna
kesakitan yang terjadi pada manusia. Tetapi apakah penjelasan saya menjawab
pertanyaan sahabat saya itu, suatu pertanyaan yang ingin tahu bagaimana saya
tahu tentang hubungan antara kecelakaan dengan panggilan saya untuk
memperjuangkan penderitaan saudara-saudara saya di tanah Papua. Saya tidak tahu
tentang kecelakaan yang terjadi dengan kami. Saya tidak punya firasat tentang
akan adanya kecelakaan. Seseorang yang membaca blog saya bercerita tentang
perasaannya yang sering muncul membayang apa terjadi kalau ia mengalami
kecelakaan. Saya tidak tahu tentang kapan kecelakaan menimpa saya, tetapi saya
tahu tentang diri sendiri terutama apabila peristiwa yang terjadi dengan hasilnya
ternyata terlihat melemahkan tampilan saya sebagai apa yang disebut normal.
Ketika yang terjadi bertentangan dengan kelogisan, kenormalan, kebutuhan yang
diharapkan, saya percaya kejadian itu diluar kendali saya sehingga saya segera
menyerahkan kendalinya pada kekuatan yang Maha Besar yang sedang mengendalikan
saya. Saya segera merasakan kehendakanNya sehingga memintaNya untuk membimbing
saya.
Kita hanya tahu tentang suatu kejadian terjadi saat ini sebagai
akibat dari kemampuan sensifitas untuk melihat koneksi dengan
pengalamam-pengalaman masa lalu yang mengikat kepada kejadian sekarang dan masa
depan. Sementara kepastian tentang masa depan juga belum bisa saya mengerti.
Enam bulan lalu tangan saya dibalut dengan gipsum ketika saya sedang
mempersiapkan pameran, tetapi darinya saya mengalami keajaiban sehingga bisa
melukis diluar kesadaran saya bahwa saya tahu tentang apa yang sedang saya
lukiskan. Keanehan terjadi terutama
karena ada orang lain yang melihat dan bertanya bagaimana saya tahu tentang apa
yang saya lukiskan. Ketika itu saya melukis dari puisi yang berjudul Eksekusi
Allah.
Saya masih berdiri di sini
Pada tanah air
Ketika merasakan getaran
Buldoser menghancurkan
Rumah Allah
Begitu fana tiang-tiang kokoh
Meleleh
Burung-burung bangau terbang
Memberitahu datangnya bencana
Suara anjing menggonggong
Getaran menguat
Pepohonan menginjik
Memberitakan tahun-tahun kesesakan
Kaki saya berpijak
Pada tanah air
Sudah saya rasakan tangan sang
Khalik
Berdiri bersama
Jiwa-jiwa pendiri negeri
Menatap mendalam
Kepongahan broduser
atas nama hukum
merobohkan
rumah Allah
pada tanah milikNya
Pada tanah air
Suara gemuruh
Air datang
Bersama ikan-ikan
Menyampaikan peringatan
Kesombongan
Mereka yang berkuasa
Mengambil hak hidup
Atas nama Allah
Pada tanah air
Saya teruskan perjalanan
Mengukir kefanaan
Dalam perjuangan
Menyejarah
Supaya keabadian memfana
Mengingat perjuangan
Pernah kefanaan dicabut
Oleh mereka
Atas nama Allah
Pada tanah air
Semua fana sudah ludes
Hanya jiwa saya berdiri di sana
Bersama Sang Khalik
Saya kunjungi rumah Allah
Ketika keteduhan tercabut
Hanya tersisa kefanaan
Mereka pencabut fana
Gundah gelisah menguaraikan
Nuraninya
Lukisan saya "Eksekusi Allah"
Puisi ini adalah ratapan saya sesudah saudara-saudara saya
di Madura yaitu Islam Shiah dikejar-kejar dan dibunuh. Ketika mesjid saudara-saudara Ahmadiah di
Tasikmalaya Jawa Barat dihancurkan.
Rumah ibadat umat Kristiani di Bekasi disingkirkan dengan buldoser. Saya
meratap mengapa manusia harus membunuh sesamanya karena klaim kebenaran tentang
Tuhan. Dalam puisi itu, saya menulis Tuhan sangat marah dan sedih karena tanah
di mana Tuhan berada telah dihancur oleh manusia. Saya berikan gambar foto Semar
yang saya ambil dari atap rumah pendopo kami untuk dipasangkan melengkapi puisi
Eksekusi Allah. Jadi ketika saya melukis visualisasi puisi Eksekusi Allah saya
bermaksud melukis Semar seperti terlihat pada foto yang menghiasi puisi ini
di dalam blog saya, Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua.
Mulailah saya melukis menyerupai dalam foto seperti yang ada
pada puisi tersebut. Berkali-kali saya lakukan, ternyata tampil lukisan saya
tidak menyerupai foto tersebut. Akhirnya saya mengikuti saja apa yang ingin
dilukis oleh tangan kiri saya. Belum pernah seumur hidup saya menggunakan
tangan kiri, tetapi hanya karena tangan kanan saya dibalut, saya melukis dengan
tangan kiri. Sesudah saya selesai melukis, saya sadar bahwa tangan kiri saya
melukiskan Semar sedang berada dalam rumah yang tiangnya sedang ditarik oleh
dua tangan, di sebelah kiri dan kanan seolah-olah sedang meruntuhkan tiang
di mana bangun suci itu berdiri. Kedua tangan itu kemudian melebar menjadi palu
yang bertuliskan Perda (Peraturan Daerah) dan SKBM yaitu Surat Keputusan
Bersama Menteri. Tangan kiri saya melukiskan Semar yang sangat berbeda dengan
foto aslinya yang sedang saya amati sebagai contoh untuk menggambar rupanya.
Dalam lukisan dengan tangan kiri saya itu, Semar menjadi seorang yang ganteng,
gagah yang sedang menunjukkan kegeramannya dan saya memberikan matanya berwarna
hijau. Saya juga tidak tahu mengapa saya memberikan matanya berwarna hijau.
Seorang teman saya, seorang muslim yang saleh tetapi juga
seorang yang sangat dekat dengan pewayangan Jawa. Ia seorang perempuan, datang
ke rumah saya untuk menengok persiapan pameran saya. Ketika ia melihat lukisan
tersebut, hatinya berdebar-debar. Ia memanggil saya untuk datang mendekat pada
lukisan tersebut supaya saya bisa menjelaskan kepadanya. Lukisan yang
diinginkan penjelasannya adalah Eksekusi Allah. Kemudian saya menjelaskan
seperti yang saya sedang gambarkan di atas. Tetapi teman saya ini bertanya:
“Bagaimana kamu tahu tentang Semar bermata hijau? Pertanyaannya mirip dengan
kesimpulan yang dibuat oleh Ludwid Wittgenstein, ketika kata-kata terbatas
pengalaman tidak bisa diungkapkan.
Saya tidak bisa menjelaskan dalam bahasa bagaimana saya tahu
tentang Semar akan berubah bentuk badan dan warna bola mata dari warna coklat menjadi hijau ketika
marah. Saya tidak pernah tahu tentang
pewayangan seperti yang diketahui oleh teman saya. Sebaliknya teman saya hanya
tahu tentang Semar bermata hijau sebagai suatu cerita yang didengar dalam
pewayangan. Kenyataan yang dihadapi baik oleh teman saya dan saya sangat
menarik untuk mengerti bahwa kata dan bahasa sebagai suatu pengalaman bisa
bermakna ketika terkait dengan kenyataan real yang menghubungkan antara
kebiasaan lama dalam suatu tindakan yang baru di dunia saat ini. Tindakan
intuitif membimbing saya untuk menguatkan gambar dengan menghubungkan pada
pewarnaan yang berbicara tentang peristiwa tertentu. Kepekaan intuitif menggetarkan
jari-jari dari tangan kiri saya untuk melukiskan wajah wibawa dari Semar dengan
nuansa keberanian yang nampak pada seorang lelaki yang dalam pewajahannya
tampil sebagai seorang tampan. Saking kharima memikat pandangan dari mereka
yang melihat seolah-olah pewajahannya menyerupai seorang yang muda dan
kesaktria. Perasaan yang ada dalam permenungan diri kemudian mengalir kuat
melalui jemari kiri menggambarkan presentasi Semar yang dilahirkan dalam
imajinasi diri sebagai kekuatan yang sudah ada lama sekali menunggu untuk
ditampilkan.
Tapi saya tidak menjelaskan sebagaimana saya menulis di
atas. Kepada teman itu saya katakan: “Saya tidak tahu, saya hanya ingin memberikan
warna matanya hijau”. Teman saya ini
kaget dan menatap saya mendalam. Ia katakan saya dibimbing Tuhan ketika
melukiskan lukisan tersebut. Kemudian teman saya menjelaskan bahwa dalam
perwayangan Semar ketika menjadi marah, rupanya berubah menjadi muda, ganteng
dan matanya berwarna hijau. Semar adalah salah satu dewa dalam perwayangan Jawa
yang menceritakan tentang Sifat Sang Pencipta dalam rupa manusia yang sangat
jelek tetapi merepresentasikan kehidupan manusia yang menderita. Semar adalah
satu-satunya tokoh dewa yang dikembangkan dalam pewayangan di Jawa Hindu. Jadi
cerita Semar tidak ada dalam mitologi Hindu yang berada di India dan tempat
lainnya.
Saya memilih Semar karena di Indonesia, terutama di Jawa,
kita tahu bahwa Semar adalah pembela orang-orang kecil. Semar sebagai bagian
dari cerita punakawan adalah perlambangan tentang pembelaan Sang Pencipta
kepada orang-orang yang terpinggirkan. Menggambarkan puisi tentang eksekusi
rumah ibadah dalam rupa Semar yang ada pada rumah ibadah menunjukkan bahwa
rumah-rumah ibadah ini adalah milik Sang Pencipta yang berpihak pada
orang-orang kecil, mereka yang adalah minoritas. Kebenaran terhadap agama mayoritas cenderung
memaksa kelompok minoritas untuk maksud menguasai kepatuhan manusia demi membatasi
keragaman ekspresi manusia dalam menyembah Sang Pencipta. Keluasan dan
kedalaman Sang Pencipta yang tidak bisa dirumuskan dalam bahasa Manusia,
ternyata bisa direduksi dalam keyakinan tentang keaslian pewahyuan yang diklaim
sebagai yang paling benar. Peraturan yang dibuat oleh manusia, seperti
pemerintah dianggap mengandung kebenaran Allah yang atasnya manusia bisa melakukan
kekerasan kepada sesamanya.
Jadi pertanyaan teman saya ini sama dengan seorang teman di
New Mexico, bagaimana saya tahu tentang sekarang yang bisa dihubungkan dengan
tanda-tanda dari masa lalu dan masa depan. Saya menulis sekarang mungkin bisa
menjelaskan pertanyaan teman saya di di New Mexico. Penjelasan saya mungkin dianggap tidak
rasional terutama dihubungkan dengan pernyataan teman saya bahwa Sang Maha
Kuasa memberikan saya hikmat dan sensifitas untuk mengerti tentang Semar
sekalipun saya tidak pernah tahu cerita pewayangan tentang perubahan mata dan
rupa Semar ketika ia sedang marah. Saya tahu bahwa semua bentuk kehancuran,
kecelakaan dan kematian yang disebabkan dari manusia tidak dikendalikan oleh
Allah. Ketika saya bertanya tentang mengapa manusia ingin menghancurkan
sesamanya karena perbedaan cara memahami Allah, saya sebenarnya sedang
diizinkan oleh Sang Pencipta untuk menjelaskan penderitaan sesama manusia yang
bisa dicatat dalam bentuk narasi yang akan selalu mengingatkan tentang
pembinasaan yang pernah dilakukan manusia atas nama Allah. Sang Pencipta dengan
caranya yang mahakuasa akan sendiri menyentuh orang-orang yang mengatasnamakan
Allah sedang membunuh sesamanya. Allah mempunyai kuasa yang tidak bisa
dijelaskan dalam pengalaman manusia sekalipun ingin dimengerti oleh Michel
Foucault dan Ludwig Wittgenstein untuk menguraikan perjalanan penderitaan yang
bisa dijelaskan di dalam bahasa keintiman manusia tentang kemahakuasaan Allah.
Apakah kemudian saya bisa memastikan tentang sesuatu yang
akan menimpa di depan berdasarkan pengalaman sesudah dua kali berturut-turut
saya dalam keadaan tidur dan terbangun mendapatkan tangan kanan saya sudah
tergeser ketika saya terjatuh di lantai dari tempat tidur dan dibangunkan suami
ketika kami mengalami kecelakaan dengan api berada dibawah mobil? Saya menulis
surat kepada teman kami yang saya merasa mereka seperti rumah yang
mempersiapkan kami menghadapi dengan tabah dan bersyukur menghadapi kecelakaan ini. Saya
katakan, mungkin hidup saat ini menandakan tantangan ke depan yang akan kami
hadapi. Kepada adik saya, saya menuliskan tentang penderitaan sebagai cara
untuk melatih diri sendiri menghadapi masa sulit yang harus kita lalu. Kita
semua tidak tahu apa yang akan terjadi. Tetapi dalam keterbatasan fisik ada
banyak latihan untuk kita melalui kesulitan-kesulitan dalam membangun pemahaman
hidup bersama di tengah masyarakat demi perdamaian dan kebahagiaan. Mengundang
Tuhan menguatkan kita untuk berjalan dalam dunia adalah cara yang paling
bijaksana karena sebagaimana manusia, sensifitasnya terus dipertajam untuk
mengerti tanda-tanda jaman tanpa harus mempercepat proses tersebut karena
kendalinya sebenarnya berada pada tangan Sang Pencipta.
Sekarang saya menulis
artikel ini kepada banyak orang yang menjadi cacat karena kekerasan yang
terjadi pada mereka. Mereka lahir
dengan cacat karena ditolak sebelum dilahirkan
oleh ke dunia. Mereka adalah korban perang . Mereka yang tubuhnya
catat karena memperjuangkan keadilan. Saya
menulis untuk menunjukkan bahwa keterbatasan fisik , emosional dan intelektual
tidak dapat menghambat orang-orang dalam
memahami misteri yang terjadi di sekitar kita . Seseorang,
yang dianggap orang-orang difabel merupakan yang paling sensitif dalam memahami
setiap pengalaman karena bisa menjelaskan hubungan antara masa lalu dan masa
depan dengan menghadirkan penjelasannya pada tanda yang bermakna dalam konteks
sekarang. Ruang
gelap di dalam tanah dapat dijelaskan bila hanya tubuh yang terletak langsung
di tanah . Tanpa
rasa takut , dalam keterbatasan kita , orang diluar penampilan yang normal bisa
menjelaskan kepada semua orang yang normal tentang kebutuhan manusia untuk
memilih cara bahwa dunia terus diwariskan dalam damai . Mereka memiliki sensifitas karena melatihkan seluruh tubuh manusia untuk
mendengar langsung ke alam semesta di mana keberadaan Allah hidup dan berbagi
kehidupan dengan manusia. Tubuh mereka difabel tetapi jiwa, roh dan iman mereka
hidup bersama Sang Pencipta. Mereka lebih baik dari orang-orang yang kuat menggunakan
buldozer, senjata, kekerasan untuk memaksa orang lain tunduk kepada kehendak
diri yang bukan berasal dari Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar