Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tahun 2013 segera berlalu. Tahun berganti, bumi tetap
berotasi. Saya masih menggunakan body brace, berjalan pelan-pelan seperti mama
kura-kura. Hari ini sesudah hampir 2 bulan penuh, saya memasak makanan siang.
Biasanya kami makan sandwich dan buah di siang hari. Tetapi saya masak karena
ada tamu dari jauh, seorang Indonesia, mahasiswa ICRS Yogya yang membantu saya
membawa kiriman dari Yogya. Saya masak brown rice, ikan yang dibumbui bawang
putih, kunyit, sereh dan lada hitam digoreng dengan "butter", dan pear panggang.
Sayurannya saya sebut buncis, ketimun dimasak dengan tomat, bawang bombai dan
bawang putih panggang.
Saya masak makanan dengan sistem bakar karena saya suka harum alami dari bau sayuran yang dipanggang. Nasi terdiri dari beras dan biji-bijian yang sudah siap dalam paket brown rice medley produksi dari Trade Joe. Kami menikmati makan siang. Saya pergi istirahat, meninggalkan suami masih bercerita dengan pak Andreas Susanto.
Teknik pembuatan sayur diinspirasi dari roasted tomatoes
orang Inggeris, cara masak ketimun orang Halmahera, roasted garlic and onion
ala Italian and California saute green beans. Ide roasted pear dari the best restaurant di New Haven ketika
menjamu suami merayakn hari ulang tahunnya. Semuanya dipakai untuk membuat
sayur enak sehat itu. tulah Farsijana's meals. Saya menjelaskan ketika semua
bertanya tentang penampilannya yang cerah dan tidak biasa.
Saya masak makanan dengan sistem bakar karena saya suka harum alami dari bau sayuran yang dipanggang. Nasi terdiri dari beras dan biji-bijian yang sudah siap dalam paket brown rice medley produksi dari Trade Joe. Kami menikmati makan siang. Saya pergi istirahat, meninggalkan suami masih bercerita dengan pak Andreas Susanto.
Sekarang saya mau menulis tentang mama kura-kura untuk
mengakhiri tahun 2013. Saya sudah memikirkan tentang topik ini lebih lama,
sejak saya rela dipanggil sebagai mama kura-kura. Sebenarnya sebutan mama
kura-kura dimulai sejak saya masih di Ventura County Medical Center ketika saya
diharuskan menggunakan body brace setiap keluar dari tempat tidur. Body brace dibuat
dari campuran bahan plastik, karet busa dan nilon. Tekstur dari body brace adalah bahan licin,
padat, keras dan berbunyi ketika
diketuk-ketuk. Karena sifatnya yang
padat, seperti kulit kura-kura.
Saya harus menggunakkannya supaya tulang belakang (T-11) dan
(L-4) sembuh. Dua bulan lalu, kami mengalami kecelakaan, mobil hancur, hampir
terbakar, tetapi Tuhan menyelamatkan kami. Saya tahu sejak dua hari sesudah
keluar dari rumah sakit, tentang maksud Tuhan untuk saya menulis selama masa
penyembuhan, karena hanya jari-jari tangan saya yang bisa dengan ringan
mengetik. Saya menulis tentang penderitaan saudara-saudari saya di tanah Papua.
Sejak itu saya sudah menulis lebih dari 28 artikel dalam bahasa Indonesia dan
28 artikel yang sama diterjemahkan dalam bahasa Inggeris.
Kekuatan yang saya terima, adalah kekuatan seekor kura-kura.
Saya sudah lama menyukai kura-kura, kira-kira 13 tahun lalu, sesudah saya
kembali dari perayaan milinium dengan suami di pulau Bunaken dan Lihaga, di Sulawesi
Utara. Pada saat itu, saya terpesona kepada keindahan kura-kura di dasar laut
di sekitar pulau Bunaken sebelum kami berkemah merayakan pergantian milinium di
pulau Lihaga. Pulau Bunaken adalah pulau turis di mana orang dari seluruh dunia
datang untuk menikmati keindahan bawah laut. Di sini saya juga menikmati
keanggunan ikan Napoleon.
Sesudah saya kembali ke Yogyakarta, saya memutuskan
memelihara dua kura-kura kecil yang saya berikan nama Buna dan Buni untuk
mengingatkan saya kepada Bunaken di mana saya melihat kura-kura besar di dasar
laut ketika saya sedang snorkling di tengah lautan mendalam sesudah dilepaskan
oleh kapal yang membawa rombongan penyelam. Saya ingat sangat takut karena
tidak ada tempat berpijak, tetapi saya bisa snorkling sampai kapal kembali
menyemput kami, kira-kira sejam lamanya.
Buna dan Buni hidup bersama kami beberapa tahun di kolam
depan rumah kami di Yogyakarta. Suatu
saat kami sedang di Amerika Serikat untuk waktu lama, kami pulang mendapat
berita bahwa kedua kura-kura kecil meninggalkan kolam ketika air kolam penuh
pada waktu hujan. Saya sangat sedih mendengarnya, tetapi tidak terburu-buru
menggantikan Buna dan Buni. Saya senang menonton Buni dan Buna bekerjasama
ketika mereka bergiliran akan berjemuran di atas kayu mangrove yang kami
letakkan di dalam kolam.
Saya makin mengerti keterhubungan antara kura-kura yang saya
lihat di dalam laut Bunaken di Sulawesi Utara, dengan kura-kura kecil saya yang
bernama Bumi sesudah kami berada di Cina. Kura-kura dalam realitas ada
hubungannya secara kosmik.
Di Xian, kota kuno Cina yang
terkenal sebagai pusat perjalanan sultra dari timur ke barat, saya dikejutkan
dengan filosofis bahwa bumi yang manusia hidup sebenarnya dipegang oleh
kura-kura. Bahkan di mesjid besar, the Great Mosque di Xian, ada dua kura-kura
yang memikul dua loh batu bertulisan Cina yang memuat Sahada. Islam
kontektualisasi di Cina seperti terlihat
pada mesjid, menempatkan kura-kura sebagai
ciptaan Tuhan yang pertama-tama membawa Sahadat yaitu pernyataan
keyakinan.
Sahadatnya pada batu pertama, Saya bersaksi bahwa tiada Ilah
selain Allah. Pada batu kedua “ dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul
(utusan) Allah”.
1.
Jangan ada
padamu Allah lain dihadapanku
2.
Jangan
membuat patung untuk disembah
3.
Jangan
menyebut nama Tuhan dengan sembarangan
4.
Kuduskanlah
hari Sabat
5.
Hormatilah
Orangtuamu
6.
Jangan
membunuh
7.
Jangan
berzinah
8.
Jangan
mencuri
9.
Jangan
berdusta
10.
Jangan
mengingini milik orang lain.
Pengalaman saya mengerti kura-kura dan menamakannya sebagai Bumi sebelum saya ke Xian, kemudian menguatkan saya tentang ziarah manusia menuju kepada Allah.
Suatu hari sesudah saya pulang dari kantor dan diteruskan dengan kerja mengunjungi kelompok di akar rumput, saya sangat gelisah tanpa alasan. Kegelisahan itu mendorong saya menulis doa dan posting di blog saya, sehingga kapan saja saya merasa gelisah saya akan beristirahat di dalam tangan Tuhan. Saya memilih kura-kura yang sedang memikul dua batu sahadat sebagai foto dari blog saya yang berjudul “Farsijana’s journey to God”. Saya memilih foto itu dengan sangat sadar tentang kata-kata Sahadat yang tertulis pada batu itu.
Mungkin akan ada banyak kebingungan seolah-olah dengan
meletakan kedua batu yang berisi Sahadat Islam berarti saya berkeyakinan sama
seperti ummah pada umumnya. Jawaban ini agaknya terlalu sederhana. Saya seorang
Kristiani, yang melihat kebenaran dalam ekspresi ummah Islam di the Great
Mosque yang mengingatkan saya tentang pengalaman sendiri menamakan kura-kura
sebagai “Bumi” yang kemudian saya mengerti bahwa ada pandangan bahwa kura-kura
berfungsi memegang bumi. Apakah penamaan kura-kura kecil saya adalah suatu
kebetulan, saya tidak tahu, tetapi saya mengakui keterhubungan antara
pengertian saya tentang Bumi dengan Kura-kura sama seperti yang terjadi dengan
ummah Islam di Xian yang melihat kura-kura juga mengakui dan membawa sahadat
pada punggungnya? Dalam benak muslim Xian, kura-kura berubah peran membawa
sahadat karena itulah keyakinan yang membawa ummah Islam melihat Allah sang
Pencipta bumi. Kura-kura membawa sahadat menunjukkan adanya transformasi dalam
pengertian ummah Islam tentang Pencipta dunia yaitu Allah.
Sekarang saya menghayati diri saya sebagai seorang
kura-kura, saya mengizinkan diri sendiri memanggil saya sebagai mama turtle.
Manusia perlu simbol. Kecelakaan yang kami alami memungkinkan saya menggunakan
perisai, jalan lambat. Sifat-sifat baru yang ada pada diri sendiri adalah
bagian dari karakter yang ada pada kura-kura. Karakter ini saya sudah terima
lama sekali sebelum kecelakaan terjadi.
Saya sudah dipersiapkan untuk mengerti kekuatan kura-kura baik yang saya
temukan dalam mitologi Cina, maupun sehari-hari saya bergaul dengan kura-kura
di kolam di rumah saya.
Bersama dengan anak-anak yang setiap hari Sabtu datang
di rumah kami untuk menari, saya membawa mereka ke tempat konservasi kura-kura.
Saya mendukung kegiatan anak-anak dan sekaligus anak-anak muda yang peduli
kepada kura-kura. Ketika kami tiba di pantai Samas, anak-anak diberikan
berbagai kegiatan, seperti penjelasan tentang hubungan tanggungjawab mereka di
kota dengan pelestarian alam, terutama lingkungan yang membawa air dari sungai
ke pantai. Anak-anak dinasihati untuk tidak membuat sampah pelastik di dalam
sungai karena akan terhanyut ke laut di mana sangat mudah dimakan oleh
kura-kura yang menyangka plastik seperti ubur-ubur. Kemudian anak-anak di bawah
ke kolam perawatan dimana perawatan pemulihan diberikan kepada anak kura-kura
yang ditangkap anggota kemudian mengalami luka yang perlu disembuhkan. Di kolam
perawatan inilah anak kura-kura dipulihkan sampai siap dilepaskan kembali ke
laut.
Saya mengajarkan tarian kura-kura kepada anak-anak di
depan kolam perawatan tsb karena ada halaman berpasir yang cukup luas. Saya
meminta anak-anak membayangkan gerakan ombak yang membawa mama kura-kura dari
lautan ke pantai untuk mencari lokasi bertelur. Ombak yang bergulung-gulung
dilewatinya pelan-pelan. Mama kura-kura merayap menghindari sinar mentari untuk
mencari lokasi bertelur. Kami menari dan tarian ini menjadi salah satu tarian
yang disukai anak-anak.
Pada saat saya sakit saat ini, saya menarikan kembali
tarian kura-kura. Perbedaannya sangat terasa. Sekarang saya merasakan benar-benar
seperti mama kura-kura. Gerakan lambat melewati goncangan ombak sambil terus
bergerak ke arah pantai mencari tempat aman untuk menetaskan telur-telur
menjadi tanda tentang situasi saya saat ini. Saya bergerak pelan untuk terus
menulis karena dalam cara yang aman inilah saya menulis dengan bimbingan Tuhan
untuk menyuarakan penderitaan dari sesama warganegara NKRI di Papua terhadap
kekerasan yang terjadi selama ini kepada mereka.
Saya tuangkan imajinasi saya tentang mama kura-kura
yang membawa globe di punggungnya bergerak sambil menebarkan perdamaian.
Mukanya yang bahagia merupakan anugerah dari Tuhan sehingga tanggungjawab
menebarkan perdamaian dilakukan dengan sukacita yang gemilang tanpa rasa lelah.
Ketika mama kura-kura melewati setiap daerah, seolah-olah seluruh alam semesta
dengan warna-warna yang indah dan cerah menyambutnya. Matahari dan bulan keluar
menemaninya. Perdamaian disambut dan diterima sebagai kekuatan dalam diri
sendiri, karena dari sini, pendamaian dalam Tuhan bisa menolong saya untuk
terus menulis dan bergerak dengan bimbinganNya untuk menyuarakan keadilan dan
hidup yang rukun di antara sesama warganegara dan bangsa di seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar