Translate

Selasa, 21 Januari 2014

Kerentanan saya dan kelangsungan perjuangan Papua pada perayaan hari Martin Luther King

With Lorie at Walker Center. I do not have to wear a body brace anymore!

Kerentanan saya dan kelangsungan perjuangan Papua pada perayaan hari Martin Luther King

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Hari ini, 20 Januari 2014,  hari pertama saya mulai menulis lagi sesudah tanggal 11 Januari 2014 saya melepaskan body brace. Ketika body brace dipasang untuk menopang struktur tulang belakang, saya merasa tenang sementara menulis. Saya bersyukur semakin sehat. Sehari sebelum body brace dilepaskan, saya berenang di Kolam Renang Boston University. Dokter merekomendasikan supaya memasuki bulan ke tiga, saya bisa bergerak tanpa body brace. Body brace memberikan banyak proteksi kepada tubuh. Hari ini, pertama kali saya mengunjungi pusat rehabilitasi untuk memulai terapi. Sebelumnya saya lakukan sendiri di rumah, termasuk ketika berenang saya melakukan gerakan-gerakan untuk menguatkan kembali otot yang tidak berfungsi selama tulang belakang yang patah disembuhkan.

 

Kegiatan yang paling menyenangkan sesudah body brace dilepaskan adalah melukis. Gerakan menulis di laptop berbeda dengan gerakan melukis. Saya merasa tidak capek ketika melukis. Jadi saya memutuskan untuk melukis sejak memasuki tahun 2014. Saat ini saya menyelesaikan lukisan untuk mengingat perjuangan orang asli Papua di Indonesia. Saya menafsirkan cerita dari 12 tokoh Papua yang disunting oleh Farhardian, buku yang saya baca ketika keluar dari rumah sakit di Ventura.  Tokoh-tokoh Papua lahir di daerah yang sangat indah. Saya sudah berjalan banyak di berbagai tempat, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, hanya Papua yang mengingatkan saya kepada negara bagian di sebelah barat dari USA, yaitu Oregon dan Washington. Kami dalam perjalanan  bulan Juli 2013 ke Boston di sebelah pantai timur, melewati dari Oregon dan Washington di bagian barat dari Berkeley, San Francisco, California. Saya selalu terkagum dengan keindahan dibalik gunung ada jalan raya dan kota kecil yang indah.

 

Papua berbeda. Jalan raya yang menghubungkan daerah pedalaman dan pesisir belum tersedia sehingga satu-satu pengangkutan adalah menggunakan pesawat. Washington State di bagian timur sangat berkesan bagi saya, karena dari sinilah, apel Washington dikirim ke Indonesia. Kami bisa membeli apel Washington di Yogyakarta, kota di mana saya tinggal di pantai selatan pulau Jawa.  Perubahan kemajuan di Washington Timur di mulai sejak tahun 1930s ketika jalan raya mulai dibangun. Gunung dipotong untuk bisa menembusi perkampungan di belakangnya. Ketika kami melewati jalan raya di Washington Timur, saya membisik kepada diri sendiri, harusnya Papua dengan tekstur alam yang sama, gunung-gunung, lembah-lembah dan sungai bisa menikmati jalan-jalan raya seperti ini. Terutama sesudah Papua memberikan banyak kontribusi kepada perusahaan tambang terbesar di dunia yaitu, Freeport, suatu perusahaan Amerika Serikat.

 

Jadi ketika saya tidak bisa menulis dua minggu lalu karena ketidaknyamanan pada tubuh, saya melukis Papua dengan merasakan pengalaman perjalanan di Washington Timur maupun ketika saya ke Papua mengunjungi Jayapura, Biak, Serui dan Waropen. Melukis alam Papua yang melahirkan pemimpinnya mendorong saya merefleksikan secara mendalam suasana bathin orang asli Papua.

 

Hari ini saya bercerita kepada therapis, Teresa Townsend tentang keinginan saya menulis lagi. Bisakah saya dibantu sehingga merasa nyaman menulis. Dengan bantuannya saya sekarang mengerti bahwa kenyamanan itu ada pada cara saya duduk. Ketika saya menggunakan body brace, saya duduk di separuh dari bagian tengah ke depan kursi. Saya merasa nyaman, sambil setiap 30 menit bisa berdiri untuk merenggangkan tubuh. Tetapi sesudah body brace dilepaskan, posisi duduk ini sangat tidak menyenangkan. Konsentrasi saya terganggu setiap 15 menit, saya mulai merasa sakit pada punggung dan lengan. Tadi pagi, terapis saya memperbaiki cara saya duduk.

 

Teresa menggulung handuk putih dan memberikan kepada saya untuk dipasangkan di bagian belakang dari tulang belakang supaya saya bisa  menyandarkan tubuh padanya yang akan menekan ke kursi. Sekarang saya melakukannya sambil mengetik tulisan ini. Kadang-kadang gulungan handuk meluncur dari bagian tengah punggung ke dudukan kursi bagian belakang. Saya berhenti memperbaikinya. Tetapi saya merasa tenang menulis sesudah praktek duduk yang benar untuk menguatkan otot yang lemah sesudah dua bulan lebih tidak berfungsi.

 

Sambil membandingkan otot kecil dari kaki seorang yang dibalut gibs selama beberapa bulan, terapis saya menjelaskan, kondisi otot tulang belakang saya yang juga kecil seperti otot kaki ketika dilepaskan dari gibs. Saya tidak pernah menyadarinya, karena sebelum kecelakaan, saya adalah seorang jogger. Saya lari seminggu 25 miles. Saya juga senam, dan menari. Tubuh saya sehat dan kuat untuk menanggung pekerjaan fisik seperti memacul pekarangan samping di rumah kami saat ini untuk membuat kompos. Dengan tubuh yang sehat ini saya mengendarai motor atau mobil ke desa-desa untuk mengajar perempuan di seluruh propinsi DI. Yogyakarta.

 

Saya juga bersyukur mendapat penjelasan yang penting sehingga saya bersama Teresa akan pelan-pelan bekerja bersama membangun kekuatan otot saya lagi. Tulang belakang T-11 dan L-4 yang patah sudah bertumbuh dengan baik sebagaimana dijelaskan oleh dokter ortopedik. Teresa juga dengan tersenyum menjelaskan tentang posisi tulang saya yang sangat baik. "Tidak ada masalah dengan tulang sekarang tetapi sekarang adalah waktunya untuk saya menahan diri membangun kembali kekuatan otot yang pernah ada",  demikian dikatakan oleh Teresa.

 

"Saya siap", demikian saya mengatakan kepada Teresa. Teresa membuat video tentang latihan yang saya lakukan tadi sehingga saya bisa menonton diri sendiri sambil mengulangi gerakan dasar untuk menguatkan otot bagian punggung dan perut. Teresa juga menambah waktu saya untuk melakukan terapi selama 9 kali di dalam satu bulan latihan. Pelan-pelan tingkat  kesulitan latihan otot ditambahkan. Selain berenang yang sangat disarankan, karena memberikan efek fleksibilitas untuk otot, saya disarankan menahan diri melakukan gerakan tubuh membungkuk yang mendalam seperti pada gerakan-gerakan Yoga. Teresa menjelaskannya karena saya mulai minggu depan akan mengikuti latihan yoga untuk penyembuhan. Teresa meminta saya menjelaskan kepada pelatih Yoga tentang kondisi tulang belakang saya yang masih perlu waktu untuk benar-benar menjadi kuat lagi seperti semula. Saya telah mengajarkan Yoga untuk meditasi kepada beberapa pemuda pada saat workshop tentang Gender dan homoseksualitas di Yogyakarta, tapi pelajaran Yogya penyembuhan yang berbeda. Saya menunggunya dan juga bahagia mempunyai komunitas untuk penyembuhan bersama.

Menulis pengalaman mengupayakan penyembuhan sangat penting untuk saya, karena saya ingin bisa terus menulis, dan melukis untuk perjuangan penegakkan hak azasi manusia di Papua. Sesudah melakukan fisioterapi saya mengendarai kendaraan pulang untuk menghadiri acara ramah tamah untuk komunitas di Walker Center di mana kami tinggal saat ini. Pertemuan ini juga untuk memperingati  kelahiran Martin Luther King yang dirayakan hari ini. Kelahirannya dirayakan sebagai hari Nasional di Amerika Serikat.  Terutama untuk masyarakat di Boston, Martin Luther King sangat khusus karena perjuangannya dimulai ketika ia masih menjadi mahasiswa teologi di Boston University.  Sekalipun Martin Luther King ditembak, tetapi perjuangan untuk mengatasi diskriminasi hak-hak masyarakat sipil di Amerika Serikat sudah mendapat tempat dalam kesadaran politik bangsa ini. Martin Luther King mewarisi prinsip perjuangan anti kekerasan kepada masyarakat dari berbagai bangsa di Amerika Serikat. Perjuangan anti kekerasan harus dipilih sebagai strategi tanpa harus merasakan takut terhadap kemungkinan kekerasan yang akan dialami oleh tubuh.

 

Jadi dalam pertemuan tadi di antara komunitas Walker Center, saya merenungkan tentang kerentanan tubuh manusia. Kelembutan kepada tubuh sendiri perlu diberikan tempat kepada setiap orang yang kerja dalam membangun kesadaran mengatasi diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berbeda karena ras, golongan, status sosial dan agama. Kerentanan dihayati dengan membiarkan penderitaan orang lain mengalir keluar dari tubuh sendiri yang sedang mengalami kesakitan. Saya jelaskan tentang pengalaman mengalirkan kerentanan saya untuk mengerti kerentanan yang sedang diperjuangan oleh saudara-saudara asli Papua. Saya bersyukur menerimanya dan masih terus bekerja keras untuk membangun kekuatan tubuh dari kerentanan yang terjadi.

 

Ketika saya semakin sembuh, saya makin terharu karena nasib saudara-i Papua belum juga berubah. Apakah yang saya lakukan, menulis, dan melukis memberikan makna kepada perubahan yang sedang menuju meraih hasilnya? Terbesit pertanyaan tentang akhir dari perjuangan itu? Hari ini saya lihat pada kerentanan Martin Luther King, saya dibangunkan lagi untuk meneruskan percaya saya dalam iman di mana saya akan melihat satu saat harapan itu terwujud. Seperti lagu "We shall overcome", lagu yang sangat mengiris-iris hati  semua orang yang berjuang untuk kesamaan hak-hak hidup di Amerika Serikat. Ya percaya hari ini, perjuangan saudara-saudara saya di Papua akan tampil sebagai hasil dari kesabaran bersama untuk tidak pernah putus asa meminta dunia Indonesia, dunia  di Amerika Serikat dan di seluruh jagad raya menghadirkan keadilan dan perdamaian di Papua.

 

Di samping saya, seorang ibu berumur 99 tahun, Lorie. Lorie adalah pekerja sukarelawan untuk membantu mahasiswa asing menulis paper mereka supaya bisa mendapat nilai A. Dengan mata bangga dan berapi-api, Lorie menyayikan lagu-lagu perjuangan kesamaan hak-hak di Amerika Serikat selama gerakan masyarakat sipil yang dipimpin oleh Martin Luther King. Umurnya menjadi saksi tentang apa yang pernah terjadi dalam sejarah Amerika Serikat.  Lebih jauh, kematangannya untuk menggunakan kerentanananya melayani mahasiswa asing yang tinggal di Walker Center telah membuatnya bisa terus melayani sesama juga ketika ia sudah berusia 99 tahun. Perayaan ulang tahunnya ke-99 dilakukan pada tanggal 6 November 2013 yang pada saat itu saya sedang mondok di RS Ventura, California. Saya menunjukkan gelang pasien yang saya masih melilit lengan kiri saya  kepada Lorie. Ia tersenyum dan mengatakan, "God has plans for you dear!. Benar, Tuhan punya rencana untuk hidup setiap orang, saya merasa mengerti apa yang Tuhan ingin saya lakukan pada masa penyembuhan diri yaitu bersama dengan Papua saya sekaligus disembuhkan, dan Papua juga makin disembuhkan. Ini adalah iman, yang sesuatu yang saya lihat yang sekaligus menjawab keraguan saya tentang ketika saya semakin sembuh mengapa Papua belum berubah. Lorie benar! Tuhan sedang menyembuhkan saya juga menyembuhkan Papua dengan meluaskan suara orang asli Papua didengar ke seantero jagad raya.

 

Suami saya, pak Bernie juga berbagi pengalaman tentang masa pergerakan sipil yang ketika itu juga memunculkan gerakan black power dengan penekanan pada konflik sebagaimana digagaskan oleh Marcolm X. Sejarah diskriminasi terhadap orang Afrika Amerika memunculkan pilihan perjuangan politik yang mendasarkan pada konflik. Tetapi Martin Luther King berbeda. Dibesar dari tradisi Kristiani, ajaran anti kekerasan yang disadarkan pada kehidupan Kristus menjadi inspirasinya, demikian penjelasan dari seorang anggota lain dari komunitas Walker Center.  Alice, seorang mahasiswi di Boston College yang tinggal di Walker Center mengingatkan bahwa ajaran Martin Luther King menolong masyarakat untuk tidak takut juga terhadap kemungkinan kematian, karena ada harapan di balik kehidupan saat ini. Kekuatan anti kekerasan lahir dari Allah sendiri yang memberikan manusia kekuatan untuk menghadapi kemungkinan diperlakukan dengan kekerasan tanpa melawan balik.  Kematian yang terjadi di Papua adalah peristiwa pembunuhan yang harus dihentikan. Teriakan untuk meminta penghentian terus diperdengarkan oleh pemimpin-pemimpin Papua tanpa rasa takut dan tidak menggunakan kekerasan. Inilah harapan yang berakar dalam iman para pemimpin yaitu mereka yang Kristiani, melihat Yesus sebagai pejuang yang  bersama-sama dengan orang asli Papua bekerja untuk menegakan keadilan, kebenaran dan perdamaian.


We shall overcome, we shall overcome,
We shall overcome someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

The Lord will see us through, The Lord will see us through,
The Lord will see us through someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall overcome someday.

We're on to victory, We're on to victory,
We're on to victory someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We're on to victory someday.

We'll walk hand in hand, we'll walk hand in hand,
We'll walk hand in hand someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We'll walk hand in hand someday.

We are not afraid, we are not afraid,
We are not afraid today;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We are not afraid today.

The truth shall make us free, the truth shall make us free,
The truth shall make us free someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
The truth shall make us free someday.

We shall live in peace, we shall live in peace,
We shall live in peace someday;
Oh, deep in my heart, I do believe,
We shall live in peace someday.

 

Kami akan mengatasi , kami akan mengatasi
Kami akan mengatasi suatu hari nanti ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kami akan mengatasi suatu hari nanti .

Tuhan akan melihat kita melalui , Tuhan akan melihat kita melalui ,
Tuhan akan melihat kita melalui suatu hari nanti ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kami akan mengatasi suatu hari nanti .

Kami sedang menuju kemenangan , Kami menuju kemenangan ,
Kami sedang menuju kemenangan suatu hari nanti ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kami sedang menuju kemenangan suatu hari nanti .

Kita akan berjalan bergandengan tangan , kita akan berjalan bergandengan tangan ,
Kita akan berjalan bergandengan tangan suatu hari nanti ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kita akan berjalan bergandengan tangan suatu hari nanti .

Kami tidak takut , kami tidak takut ,
Kami tidak takut hari ini ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kami tidak takut hari ini.

Kebenaran akan membuat kita bebas , kebenaran akan membuat kita bebas ,
Kebenaran akan membuat kita bebas suatu hari nanti ;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kebenaran akan membuat kita bebas suatu hari nanti .

Kita akan hidup dalam damai , kita akan hidup dalam damai ,
Kita akan hidup di suatu hari nanti perdamaian;
Oh , jauh di dalam hati saya , saya percaya ,
Kita akan hidup di suatu hari nanti damai .



 "We shall over come", lagu Martin Luther King adalah bagian dari iman yang saya percaya orang asli Papua juga hidup di dalamnya. Seperti terlihat dari ke-12 tokoh Papua. Saya melukis mereka dan bergetar dengan cerita mendalam dari pejuangan mereka untuk semua orang yang adalah saudara-saudarinya sendiri di tanah Papua. Siapapun tidak  bisa mengambil perjuangan yang sudah bergulir, juga diri orang asli Papua sendiri. Tuhan sedang bersama dengan saudara-saudari dalam perjuangan keadilan dan perdamaian di tanah Papua. Amin
 

Minggu, 12 Januari 2014

Helena Matuan bertemu Tuhan ditanahnya Papua

Helena Matuan adalah satu dari 12 tokoh Papua dalam buku suntingan Charles Farhadian ( West Papua: Deiyai, 2007, hal 116-127).

Rabu, 08 Januari 2014

Kampung saya di lembah Baliem Papua dibakar.

Lukisan ini saya buat berdasarkan cerita dari salah tokoh Papua yaitu Uma Markus Kilungga. Beliau dilahir di dekat sungai Baliem di desa Silibi. Tahun 1977 tentara membakar kampungnya dan ayahnya meninggal. Kisahnya diambil dari buku yang disunting Charles Farhadian berjudul Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua (West Papua: Deiyai, 2007, hal 164-180).


Jumat, 03 Januari 2014

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014. Suatu Refleksi Penggenapan!


Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 berada pada posisi pertama dalam pencarian Googling
 

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014.
Suatu Refleksi Penggenapan!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


“Biarkan lukisan berbicara dan menyentuh hati orang. Kalau mau menulis pisahkan tulisan dari lukisan”, Kata suami saya. Saya ketika itu melukis tanggal 31 Desember 2013 dan memberikan judul Justice for Papua untuk lukisan yang sangat disukai suami sebelum diberikan judul. Hatinya gundah ketika melihat lukisan saya. Semula suami berpikir saya melukis bunga dalam vas. Lama diamati, dia baru sadar lukisan itu adalah turso manusia yang sedang berteriak.

Saya melukis sebagai cara menyuarakan teriakan orang asli Papua. Justice for Papua sebagai lukisan akhirnya saya publikasikan di blog tanpa mendengar komentar suami saya. Lukisan itu, dari dekat terlihat sebagai kepala orang Papua tetapi dari jauh seperti serangkaian bunga dalam vas. Orang Papua sedang dirantai dengan besi hitam yang terlihat seperti vas bunga. Memang orang Papua indah, diluar dan dalam. Ketulusan mereka bisa berubah menjadi ganas ketika tahu sedang diperalat oleh seseorang. Ini ciri manusia di mana saja!

Jadi nasihat suami saya pertimbangkan. Tanggal 1 Januari 2014 hati saya sangat gelisah. Kami sedang menonton Rose Bowl yang American football yang dimainkan oleh universitas atau college di seluruh Amerika Serikat. Kemudian saya mulai lihat dalam benak sendiri orang yang berada dalam penjara.  Banyak sekali manusia berada pada satu  bilik yang kecil.  Mereka berdesak-desakan.  Diantara mereka ada yang berteriak-teriak. Mereka berteriak sampai tertidur.  Sipir tidak datang menenagkan mereka. Saya gelisah dengan gambaran penjara dalam benak. Sedang menonton, saya menutup mata membaringkan kepada di pundak suami.  Saya tertidur tetapi tubuh saya terasa sakit tidur dalam posisi sambil menggunakan body brace.  Jadi saya mohon permisi dari keluarga untuk ke studio saya di mana saya mulai melukis gambaran yang ada dalam benak dan perasaan saya.

Papua dan Penjara dalam lukisan 1 Januari 2014 adalah judul yang saya berikan terpisah dari gambar itu sendiri. Saya putuskan untuk mempublikasikannya tanpa menulis apa-apa pada lembaran lukisan tersebut. Saya juga menunda penjelasan lukisan yang sudah saya persiapkan setelah menyelesaikan tulisan tersebut. Sekalipun saya sangat ingin segera mempublikasikan tulisan ini bersamaan dengan lukisan tersebut.

Apakah keadaan penjara di mana orang-orang Papua di tahan seperti yang saya lihat dalam gambaran benak? Saya mempersiapkan kertas dan perlengkapan lainnya untuk melukis.  Warna yang sudah ada tidak cocok dengan warna dalam perasaan saya. Kemudian saya mengambil warna dasar kuning dan mencampurnya dengan warna hitam.  Warna kuning juga saya campurkan dengan warna merah, kuning dengan hijau, kuning dengan coklat. Kuning menjadi warna dasar karena saya merasa orang Papua adalah wahyu yang diberikan Tuhan kepada Indonesia untuk merefleksikan dirinya sendiri. Sebagai negara yang beriman, beragama, Indonesia bisa mencerminkan keimanannya kepada Tuhan dari caranya memperlakukan orang asli Papua. Mengapa orang Papua harus dipenjarakan karena tuduhan mereka makar?

Menurut Papuan Behind Bars, pada bulan November 2013, ada 537 kasus penangkapan rakyat bisa yang kemudian 71 orang dinyatakan sebagai tahanan politik (tapol).


 

Identifikasi terhadap penahanan mereka dihubungkan dengan tuduhan makar, yaitu upaya warga masyarakat untuk menunjukkan sikap politik pemisahan dari NKRI.  Tanda makar yang selalu dipakai sebagai alasan penuduhan adalah upaya pengorganisasian masyarakat untuk berkumpul sehingga bisa menaikkan bendera Bintang Kejora.  Tragedi Biak Berdarah yang melibatkan militer menembak dari atas kapal ke arah pelabuhan Biak di mana masyarakat sedang berkumpul menyebabkan puluhan orang meninggal. Sedangkan mereka yang selamat diangkut ke dalam kapal dan ditenggelamkan di dalam laut.

 Link


and


Tragedi Biak berdarah terjadi pada tanggal 6 Juli 1998. Orang asli Papua menolak lupa tragedi Biak berdarah. Peristiwa Biak berdarah ini dimulai dari protes yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam protes itu mereka menaikan bendera yang kemudian menyebabkan pembantaian kepadanya.

Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap ketidakadilan yang dialami oleh orang asli Papua telah mendorong dihasilkannya UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Adeney-Risakotta, 2013). Dalam UU ini pemerintah Indonesia menetapkan peraturan di tingkat nasional yang terkait dengan upaya untuk menyelesaikan masalah Papua.  Bentuk penyelesaikan diletakkan dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memungkinkan dan mengizinkan negara bersama warganegara Indonesia, yaitu orang asli Papua terlibat dalam dialog untuk mendudukkan sejarah intergrasi Papua. Untuk itu, Komisi Kebenaran dan Perdamaian ditetapkan dalam UU Otonomi Khusus supaya bisa mengatur proses klarifikasi sejarah tersebut.

Orang Papua juga diberikan kesempatan untuk menaikan bendera Bintang Kejora bersama-sama dengan bendera Merah Putih. Bintang Kejora diterima sebagai identitas orang Papua bukan sebagai tanda kedaulatan Papua yang terpisah dengan NKRI karena secara hukum Papua adalah bagian dari NKRI.

Mengeruhnya konflik Papua diperburuk oleh rendahnya komitmen Pemerintah Indonesia untuk memenuhi perundangan yang sudah ditetap. Pemerintah SBY mungkin menganggap bahwa UU No.21 Tahun 2001 adalah produk dari pemerintahan Presiden Megawati yang menandatanganinya sehingga mengabaikan kepastian hukum yang ada pada perundangan tersebut. Orang asli Papua dilindungi oleh UU No.21 Tahun 2001 karena Negara Republik Indonesia mengakui haknya untuk melestarikan dan menghadirkan identitas suku Papua dalam kehidupan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia bahkan diwajibkan untuk memfasilitasi upaya klarifikasi sejarah Papua.

Argumentasi lain yang sering muncul dalam berbagai ulasan media ketika ditanyakan mengapa pemerintah tidak mau melakukan dialog adalah untuk menghindari orang asli Papua meminta kemerdekaan. Sambil menyinggung upaya LSM asing yang bekerja sedang mengkampanyekan ketidakadilan di tanah Papua, pemerintah cenderung memang persoalan Papua yang dicoba dimunculkan di tingkat nasional terkait dengan strategi negara-negara tertentu yang mempunyai kepentingan ekonomi untuk mengeksploitasi Papua.

Maka pertanyaan lain muncul adalah apakah selama masa integrasi Papua ke dalam NKRI termasuk ketika UU No 21 Tahun 2001 yang memberikan pengalihan pengaturan daerah langsung dilakukan oleh daerah telah berhasil mensejahterahkan rakyat Papua?  Studi yang dilakukan oleh Centre For Public Policy and Management Studies dari Universitas Katolik Parahyangan tiba pada kesimpulan bahwa perundangan Otonomi Khusus yang menyebabkan adanya alokasi dana tambahan kepada Papua, tidak sedikitpun mengubah kinerja otonomi daerah Papua yang ternyata berada diurutkan paling terakhir dari seluruh propinsi di Indonesia. Akibatnya, maksud pembangunan yang harusnya bisa dirasakan oleh orang asli Papua hanya merupakan kue yang bisa dirasakan oleh para elit Papua dan pejabat pemerintah di Jakarta.

Saya merenungkan semua ini ketika saya sedang menggambar Papua dan Penjara. Ternyata penjara untuk menjebloskan orang asli Papua sangat banyak di seluruh Papua. Tanahnya yang subur adalah milik orang Papua sekarang seperti penjara, yang dikapling-kapling menurut sel masing-masing.  Istilah “penjara” tidak secara literer seolah-olah terkait  penjara di mana orang-orang ditahan karena dianggap melakukan pelanggaran oleh negara.  Orang asli Papua tidak menghendaki grasi dari Presiden, yang dikendali adalah kejujuran pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan aturan hukum yang dihasilkan oleh pemerintah itu sendiri.

Paling diherankan sesudah tragedi Biak Berdarah, kemudian berbagai tragedi lainnya bermunculan, seperti Abepura berdarah tanggal 7 Desember 2000, Wasior berdarah tanggal 13 Juni 2001, Wamena berdarah tanggal 6 Oktober 2000 dan 4 April 2003, diikuti dengan pembunuhan Theys Hiyo Eluway serta penghilangan sopir pribadinya, Aristoteles Masoka pada tanggal 10 November 2001. Pada tanggal 16 April 2006, terjadi lagi tragedi pelanggaran HAM. Data-data tragedi ini dicatat baik oleh Komisi Nasional HAM yang berhasil menghimpunnya kemudian menyerahkan kepada pengadilan tetapi sampai saat ini tidak ditindaklanjutkan oleh pemerintah. Menurut catatan dari KONTRAS, satu-satunya pelanggaran yang disidangkan adalah tragedi Abepura tanggal 7 April 2000 yang sudah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar. Kasus-kasus tragedi ini melibatkan aparat keamanan (TNI – Polri).


 

Seperti dalam lukisan Papua dan Penjara, kebenaran secara alamiah sedang mengikuti orang Papua. Daun-daun yang adalah napas kehidupan ilahi bertumbuh ke arah orang asli Papu. Keadilan seperti daun yang tidak pernah mati karena bertumbuh pada pohon yang berakar mendalam. Daun-daun menerobos trali besi untuk menyentuh memberikan dorong kepada orang Papua.  Orang asli Papua dalam lukisan Papua dan Penjara menjadi satu untuk meminta keadilan dari pemerintah. Kehidupan dan keadilan adalah bagian dari iman yang tidak akan bisa diambil oleh siapapun termasuk pemerintah RI. Maka bersatulah orang asli Papua dan sesama warganegara NKRI untuk mendesak pemerintah RI memenuhi tuntutan hukum yang ada pada perundangan negara RI.