Translate

Minggu, 15 Desember 2013

Papua dan Afrika Selatan: Perbandingan Pengalihan Kekuasaan


Papua dan Afrika Selatan: Perbandingan Pengalihan Kekuasaan.
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

                  Artikel ini bisa diakses dengan googling kata kunci "Papua dan Afrika Selatan"

Saya sudah jelas dalam benak untuk menulis tentang relevansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam praktek Afrika Selatan kepada Papua.  Tetapi saya ingin menuntaskan keinginan tahu saya untuk mengerti isu pengalihan kekuasan yang pernah terjadi di Papua maupun di Afrika Selatan.  Keinginan tahu ini makin besar sesudah saya menyelesaikan pembacaan biografi Nelson Mandela “Long Walk to Freedom” dan dokumen penting yang saya kemudian terjemahkan berjudul “Latar belakang West New Guinea dan United Nation Security Forces’’.  

Akan tetapi untuk menulis artikel yang bisa membandingkan proses pengalihan kekuasan terjadi di Papua dan Afrika Selatan, saya juga memerlukan sumber-sumber lain selain naskah dari United Nation Security Forces.  Ada dua dokumen penting yang saya terjemahkan dari website. Kedua dokumen ini bersama dua buku lainnya memberikan informasi kepada saya tentang kondisi sosial,  kehidupan masyarakat di Papua lebih jelas dari yang ditulis dalam dokumen UNSF. Kedua terjemahan ini berjudul. Pertama, “Pengalaman saya sebagai PNS di Papua Barat (New Guinea) oleh Amapon J. Marey. Tulisan ini adalah salah satu makalah dari konferensi yang dilakukan dan dikoordiner oleh Dr. P.J Drooglever di The Hague tentang Act of Free Choice (PEPERA) di Papua. PEPERA adalah akronim atau singkat yang berarti Pemungutan Suara Rakyat yang sejajar dengan istilah bahasa Inggeris “popular vote”.  

Pidato dari Dr. P.J. Drooglever saya terjemahkan dan merupakan sumber kedua yang memberikan gambaran tentang situasi masyarakat di Papua di luar pembahasan politik ketika pelaksanaan PEPERA berlangsung.  Kedua sumber yang diterjemahkan memberikan informasi terhadap naskah dalam bahasa Inggeris yang bisa ditemukan secara online.  Saya mendokumentasikan terjemahannya pada blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua dan blog PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity).

Di samping itu ada dua sumber naskah yang tidak saya terjemahkan karena ditulis dalam bahasa Indonesia dan bisa dibaca secara online. Pertama, tulisan dari  J.R. G. Djopari yang menulis satu artikel berjudul “The Free Papua Movement”. Tulisan ini adalah salah satu dari kumpulan tulisan dalam buku Indonesia in the Soeharto Years. Issues, Incidents and Images, suntingan John H.Mc.Glynn (Leiden, Holland: KLTIV Press, 2005).  http://books.google.com/books?id=SBUlQq7sz9cC&lpg=PP1&ots=MF0iXtIzBK&dq=%22Indonesia%20in%20the%20Soeharto%20Years%22&pg=PP1...

Sedang tulisan dari Nikolaas Jouwe yang disunting oleh Charles Farhardian sekalipun sudah saya selesaikan pengetikannya belum bisa diposting terutama pada forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua,  karena menunggu proses publikasi online ditangani langsung oleh Farhardian. Saya menghormati keinginannya dan merujuk perbincangan Jouwe sejauh dibutuhkan dalam diskusi (Farhardian, 2007).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, J.R.G. Djopari menulis buku yang diberikan judul Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (Jakarta: Gramedia, 1993). Tulisan lainnya adalah bagian dari buku yang ditulis oleh P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (Yogyakarta: Kanisius, 2010). Link kepada penggalan tulisannya bisa dilihat pada:


Kemudian sementara saya menulis, saya menemukan dokumen lain yaitu satu disertasi yang ditulis oleh John Francis Saltford dan dipertahankan untuk gelar PhD pada University of Hull, dengan judul UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea During the 1960’s. Disertasi berjumlah 400 halaman lebih sangat lengkap menggambarkan tentang keterlibatan PBB yang dilakukan dengan semangat melawan fungsi dari PBB itu sendiri.

Informasi ke link bisa dilihat pada:


 

Satu tulisan lain yang terbit pada tahun 2005, ditulis oleh Daniel Gruss, dengan judul tulisan “UNTEA and West New Guinea”, diterbitkan sebagai bagian dari bunga rampai “Max Plank Yearbook of United Nations Law, Vol.9, 2005, p.97-127, (The Netherlands: Koninklijke Brill N.V, 2005). Linknya bisa diakses pada http://www.mpil.de/files/pdf2/mpunyb_gruss_9_97_126.pdf

 

Kedua tulisan diatas menunjukkan kesimpulan yang sama terkait dengan situasi perang dingin sehingga kehadiran UNTEA tidak menegakkan sistem pemungutan suara yang telah disepakati yaitu one man one vote. Kesimpulan ini yang sama ini sudah tergambar dalam tulisan saya sebelumnya berjudul “Apa yang terjadi pada tanggal 1 Desember di Papua” yang diposting pada blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua.

 

Dalam tulisan saya sekarang  ini lebih mengeksplorasi situasi masyarakat yang ada di Papua pada saat pelaksanaan Pengalihan Kekuasaan berlangsung. Aspek-aspek yang diperhatikan dalam mengerti bagaimana pengalihan kekuasaan berlangsung diamati dalam empat faktor. Pertama, terkait dengan kemampuan dan keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan. Kedua, peran mediator dalam memproses pengalihan kekuasaan.  Ketiga, faktor-faktor yang mendorong pelaksanaan pemungutan suara. Keempat, tindakan tindaklanjut sesudah pengalihan kekuasaan.

 
1.Afrika Selatan

 
Ketika Nelson Mandela terlibat dalam gerakan pembebasan appartheid, PBB telah menerbitkan resolusi untuk melarang politik appartheid karena bertentangan dengan Hak Azazi Manusia. Resolusi diterbitkan pada tahun 1960, tetap tidak menghilangkan kebijakan kaum putih Afrikaans untuk mengubah politik appartheid (Adeney-Risakotta, 2013). Amerika Serikat melakukan embargo ekonomi untuk menekan pemerintah Afrika Selatan yang menggunakan berbagai cara untuk melanggengkan politik appartheid.

Ketika Nelson Mandela masih di penjara, Desmond Tutu sudah menerima hadiah Nobel sebagai tanda dukungan dunia terhadap penghapusan appatheid. Memang pada waktu itu, appertheid masih terus dipraktekkan sehingga hadiah nobel kepada Desmond Tutu adalah terkait dengan upayanya untuk melawan diskriminasi yang diakibatkan karena politik appartheid.

Barulah, sesudah 27 tahun di penjara, Nelson Mandela berhasil melakukan negosiasi dengan pemerintah Afrika Selatan sehingga sistem politik appartheid yang tidak membolehkan keterwakilan warga berlatar belakang Afrika pada parlemen dan menerima semua hak-hak masyarakat yang sejalan bisa diruntuhkan. Politik appartheid sebagai politik diskriminasi berkembang secara bertahap dimulai dari pemisahan klasifikasi ras, kemudian teritori, sampai pada pencabutan kesetaraan hak-hak terjadi dalam kurun waktu tiga abad.  Puncak segregasi yang kemudian dinamakan appartheid terjadi ketika kelompok mayoritas, yaitu Afrika dikembalikan penggolongan kependudukannya pada status sebagai penduduk dari klan yang tidak mempunyai keterwakilan dalam pemerintahan negara. Pada waktu warga Afrika diorganisir melalui ANC (African National Conggress) sebagai organisasi politik yang juga menjadi kendaraan perjuangan Nelson Mandela.

Politik appartheid menimbulkan resistensi dari masyarakat Afrika. Perlawanan mereka menyebabkan pemerintah melakukan penembakan dan pembunuhan kepada pemimpin pergerakan yang berakibatkan banyak warga sipil yang meninggal.  Bom mematikan warga. Bom diledakkan di tengah orang-orang yang sedang berkumpul untuk protes termasuk membunuh Ruth First yaitu salah satu pemimpin perempuan anti-appartheid.

Ketika Nelson Mandela baru keluar dari penjara, segera ia sadar tentang jumlah warga yang meninggal sekaligus munculnya kemarahan dari masyarakat yang ingin melakukan perlawanan terhadap mereka yang dibunuh oleh negara. Dalam bukunya, Nelson Mandela mengatakan kekagetannya ketika membawa poster yang dikerumuni oleh laki-laki. Poster itu tertulis Berikanlah kami senjata untuk membunuh mereka. Tekanan dari penderitaan masyarakat inilah menyebabkan Nelson Mandela mempercepat negosiasinya dengan pemerintah kelompok minoritas.

Sistem keterwakilan mulai dibahas bersama. Semula, pemerintah minoritas tidak berkeinginan supaya hak veto dari kelompok putih Afrikaan  dihilangkan. Sejak politik appartheid dilakukan dari tahun 1948, ada kira-kira 46 tahun keterwakilan warga Afrikan tidak terlihat pada sistem pemerintahan.  Bisa dikatakan warga Afrika kehilangan satu generasi untuk membangun bersama Afrika Selatan.  Kemanakah mereka ketika negara menyingkirkannya. Para pemimpin Afrika Selatan berada di tahanan selama puluhan tahun. Mereka yang tidak terlalu ditakuti oleh pemerintah, karena pengaruhnya sedikit tidak dibunuh. Banyak yang menjadi pengungsi internasional (IDP) ke negara tetangga Afrika atau ke Inggeris. Ketika Nelson Mandela dibebaskan, ada banyak harapan dari masyakat yang kemudian kembali ke Afrika Selatan untuk memulai hidup dan kerja di sana.

Situasi ketersediaan sumber daya manusia menjadi alasan tentang adanya kesiapan masyarakat Afrika untuk meminta pengubahan sistem kekuasaan yang memungkinkan keterwakilan waktu terlihat langsung. Sekalipun demikian, perubahan struktur hanya bisa terjadi apabila sistem keterwakilan masyarakatnya dibangun dalam mekanisme Pemilu yang bebas, rahasia dan langsung. Sesudah kran negosiasi dibukan oleh Presiden F.W.de Klerk, Nelson Mandela dan pemimpin-pemimpin rakyat bisa membangun sistem Pemilu yang memungkinkan terjadi pemilihan langsung per orang (one person  one vote). Sistem pemilu langsung mampu menyizinkan rakyat memilih Nelson Mandela sebagai Presiden yang pada masa itu kemudian melakukan kebijakan TRC untuk membangun rekonsiliasi bersama di seluruh Afrika Selatan. Khusus tentang TRC akan saya bahas terpisah.

Faktor terakhir, sesudah pemerintah resmi terpilih, pada saat penyelenggaraan Pemilu langsung (one person one vote), rakyat memilih Nelson Mandela yang kemudian membangun sisitem rekonsiliasi dan kebenaran yang dikendalikan oleh suatu komisi khusus. Bagian keempat ini akan dibahas dalam tulisan terpisah.

Selanjutnya saya ingin melihat ke-tiga aspek yang disinggung di atas pada saat pengalihan kekuasaan di Papua.

  1. Papua

Status Papua sebagai daerah yang terbelakang tanpa infrastruktur dan sumber daya manusia ketika pengalihan kekuasaan dari Belanda ke UNTEA sebelum ke Indonesia sangat terlihat dengan jelas dalam laporan UNSF. Selain kerusakan yang disebabkan perang TRIKORA yang dilancarkan oleh Soekarno untuk menyingkirkan Belanda keluar dari Papua, menurut catatan dokumen UNSF, infrastruktur publik tidak memadai di Papua.  Warga Papua juga secara sumber daya belum disiapkan dalam pengalihan kekuasaan tersebut. Infrastruktur sosial yang melayani kebutuhan masyarakat secara luas rata-rata dikaryakan kepada warga Belanda.

Papua dikuasai Belanda sejak tahun 1828 tetapi hanya sesudah diakui oleh Sultan Tidore pada tahun 1878, Belanda baru memberikan perhatian kepada Papua. Perhatian utama yang diberikan adalah melakukan riset terkait dengan eksplorasi alam untuk mengerti kekayaan alam yang terkandung di Papua. Sebelumnya, Papua adalah bagian dari sumber pendapatan Sultan Tidore dalam perdagangan budak. Pemerintah Belanda harus membayar kepada Sultan Tidore untuk menghentikan perdagangan budak karena situasi dunia yang telah berubah.

Belanda melakukan eksplorasi dan penelitian,  yang kemudian memungkinkan pengelolaan proyek perminyakan dengan tujuan ekspor ke Jepang dan negara-negara lain bisa berjalan. Pada pengalihan kekuasan, proyek ini kemudian  diteruskan  oleh UNTEA.   Dokumen UNSF juga menyinggung tahanan politik yang dipindahkan dari Papua. Boven Digoel, di Papua merupakan tempat untuk menampung politisi-politisi Indonesia yang bertentangan dengan pemerintah Belanda. Di antara mereka, dua tokoh pemuda yang kemudian menjadi pemimpin Indonesia dibuang di sana, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Ketika penyerahan Papua dilakukan, dikatakan bahwa Soekarno terbang melewati Boven Digoel tetapi tidak mampir.

Soekarno tidak pernah dibuang di Boven Digoel, tetapi sesudah Papua berintergrasi dengan Indonesia, mulai mengalir cerita bahwa Soekarno pernah dibuang di Boven Digoel. Dokumen-dokumen sejarah tidak pernah mencatat tentang hal ini, termasuk adik Sjahrir yang menulis buku tentang kehidupan di penjara Boven Diegoel juga tidak pernah menyebut tentang hal ini. Sementara ada beredar interpretasi di kalangan masyarakat Papua sendiri yang melihat tanpa integrasi Papua ke Indonesia karena ide pembebasan dari kolonialisasi dipersiapkan oleh pemimpin masa depan Indonesia ketika mereka dipenjara di Boven Digoel.  Boven Digoel seperti Pulau Robben di mana Nelson Mandela dipenjara. Sejarah mencatat bahwa Mohammad Hatta diizinkan membawa dua kotak bukunya ke Boven Digoel. Hal ini sama dengan Nelson Mandela yang mendapat gelar hukum sesudah menempuh ujian dari penjara di Pulau Robben. Mandela mengatakan bahwa Pulau Robben adalah satu penjara universitas.

Dalam tulisan D.J. Drooglever (2010) dijelaskan tentang alasan Belanda membangun  tempat pembuangan di Boven Digoel. Tujuannya adalah untuk melatih orang Papua berkomunikasi  dengan tahan-tahan politik. Boven Digoel mulai dioperasikan tahun 1930an. Upaya Belanda melakukan pemberdayaan masyarakat dimulai dengan membangun kebiasaan masyarakat untuk hidup saling rukun. Sebelumnya masyarakat di sepanjang pantai dan sungai yang cenderung berpostur tubuh besar, adalah mereka yang terlibat sebagai perampok-perampok. Mereka masuk dalam jalur perdagangan budak yang dikuasai oleh Sultan Tidore.  Mereka ada suku-suku yang sangat kuat, kejam dan terlibat peperangan di antara suku-suku Papua sendiri. Misalkan suku Marind di Kepala Burung. Masyarakat di pedalaman, adalah orang-orang berpostur kecil dan telah mengembangkan pertanian yang menetap. Misalkan suku Ekari dan Dani. Mereka digambarkan secara antropologis sebagai kelompok yang bersahabat, menerima orang luar.  Pemerintah Belanda mengorganiser suku-suku dalam teritori afdeling yang secara administratif masih dibawah pemerintahan Keraton Tidore sekalipun tidak terlibat dalam pembinaan masyarakat yang mengubah mereka menjadi warga yang beradab.  Dalam catatan Drooglever, ahli-ahli Belanda menemukan masyarakat yang sudah bisa menggunakan angka dari 1 sampai 100. Pengorganisasian Belanda terkait dengan memastikan setiap suku berada dalam wilayah masing-masing yang terlibat secara adil dalam pertukaran pelayanan dan pengembangan ekonomi.  Sekalipun perang dunia ke-2 berdampak besar terhadap perubahan perilaku masyarakat karena Belanda yang harus didesak keluar sesudah pendudukan Jepang, tetapi keinginan masyarakat untuk membangun kembali daerahnya sangat besar.

J. R.G. Djopari melihat kemajuan yang dialami masyarakat Papua sangat didorong oleh Jan van Eechoud, yang kemudian disebut sebagai Bapak Papua. Ia adalah seorang polisi yang ditempatkan sebagai residen di Papua. Kebijakan Politik Etis yang sudah dimulai sejak awal abad 20, diteruskan di Papua sebagai kebijakan politik etis kedua.  Sesudah perang dunia ke-2, masyarakat menerima pendidikan hukum dan Penertiban Masyarakat, Administrasi Publik, Teologi, Pertanian, Perhutani, Peternakan dan Pertukangan.  Tokoh-tokoh Papua seperti Marcus, Frans Kaisipo, Lucas Rumkorm, Nicolaas Jouwe, Filemon Jafuway, Frans Djopari, August Matani, Abdullah Arfan, Herman Wormsiwor dan Amapon J. Marey adalah anak-anak Papua yang dikirimkan untuk belajar di Sekolah Adaministrasi Umum di Kota Nica di Papua.  Pada tahun 1948, untuk pertama kalinya di Biak dibentuk Lembaga Pengadilan pada tahun 1948. Pada tahun 1959 dibentuk Dewan Regional Parleman di Biak dan Numfor. Pada tanggal 5 April 19961 sudah terpilih 28 orang yang duduk pada Dewan Papua (Parlemen di tingkat Propinsi di Papua). 

Pemilihan Dewan Papua difasilitasi oleh Belanda sesudah Pertemuan Dunia di United Nation pada tahun 1957 menghasilkan resolusi untuk mengakhiri kolonialisasi. Pertemuan Umum PBB tahun 1957 adalah yang ketiga kalinya, dan pada saat itu Menteri Luar Negeri Subandrio mengatakan bahwa tidak akan mencari penyelesaikan Papua Barat lagi di PBB.  Belanda mempersiapkan Papua untuk mampu mengelola daerahnya sendiri seperti dijelaskan oleh Robert C. Bone pada bukunya berjudul The Dynamics of the West New Guinea Problem, terutama halaman 135-153 yang diterbitkan di Jakarta, Equinox Publishing tahun 2009.

Pada tanggal 1 Desember 1961, sebenarnya Dewan Papua diresmikan. Pada saat itulah Bendera Bintang Kejora yang merupakan hasil desain dari Nicolaas  Jouwe dinaikan. Jadi dalam masyarakat sebelum pengalihan kekuasaan dari Belanda ke UNTEA sudah bisa mengorganisir dirinya sendiri.  J.R.G Djopari juga menjelaskan tentang situasi masyarakat yang terpecah sesudah terjadi pengalihan kekuasaan, terbagi atas kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan.  Penolakan-penolakan terhadap integrasi dengan Indonesia telah menyebabkan beberapa pemberontakan yang akhirnya mengikutkan militer Indonesia dibawah pimpinan Sarwo Edhie untuk melakukan negosiasi dengan kelompok pro-kemerdekaan.

Pengalihan kekuasaan yang menyebabkan banyak orang Belanda meninggalkan Papua, tidak memberikan kesempatan kepada orang Papua asli untuk menangani kantor-kantor yang kosong. Keprihatinan UNTEA ini dianggap tidak beralasan karena pengangguran yang dikuatirkan sebenarnya bisa dilakukan dengan mengisi kekosongan petugas yang bekerja pada proyek-proyek yang ditinggalkan oleh Belanda. Misalkan proyek minyak yang sudah dioperasikan Belanda sebelum terjadi perang dunia kedua. Ekspor minyak yang terbesar dilakukan ke Jepang. Pengisian tenaga kerja malahan dilakukan dengan menunggu kedatangan orang-orang dari Indonesia. Pada waktu itu, lapangan kerja yang semula diisi oleh pekerja-pekerja dari Maluku pada perang dunia ke-2, sudah mulai diganti oleh orang-orang Papua sesudah mereka kembali dari tugas belajar sebagai kebijakan Belanda sesudah tahun 1949.

Terkait dengan pelaksanaan pemungutan suara yang menggunakan sistem musyawarah dari Indonesia sebenarnya juga menunjukkan kelemahan karena Indonesia sendiri ketika melakukan Pemilu tahun 1955 sudah dilakukan dengan sistem  "one person one vote" untuk memilih anggota parlemen seperti dijelaskan oleh Leo Suryadinata dalam bukunya berjudul Election and Politics in Indonesia (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 2006). Hasil PEPERA dengan 1026 voter seperti yang dijelaskan dalam berita acara UNSF terkait dengan orang-orang yang memilih dengan merujuk pada sistem pemilihan di Indonesia, yaitu musyawarah sebenarnya sangat melemahkan penegakkan demokrasi yang diemban oleh PBB. Masyarakat sendiri juga melihat ada banyak cara yang digunakan oleh militer Indonesia untuk menghentikan upaya kehadiran warga dalam Act of Free Choice. Dikatakan bahwa oleh Djopari bahwa ada orang-orang yang disuntik anti malaria dan vitamin sebelum hari pelaksanaan PEPERA sehingga mereka tidak bisa hadir. Ada yang diberikan bir. Jadi pemungutan suara hanya dilakukan dengan berbicara pada tokoh-tokoh masyarakat tanpa melibatkan seluruh warga Papua.

III. Kesimpulan

Afrika Selatan yang didukung oleh resolusi PBB dan tekanan masyarakat memungkinkan Nelson Mandela dan ACT setuju dengan sistem keterwakilan dan mekanisme pemungutan suara. Akhirnya penerapan "one person  one vote" bisa menyebabkan Nelson Mandela menjadi presiden. Sementara di Papua, di mana struktur masyarakat dengan kemampuan yang tersedia karena mereka adalah warga pada kampung sendiri, tidak dilibatkan pada proses pemungutan pendapat (PEPERA).  Proses pengalihan kekuasaan di Afrika Selatan yang sebelumnya diwarnai dengan pembunuhan dan kekerasan ternyata bisa berakhir dengan proses rekonsiliasi nasional.

Sementara di Papua, perpecahan dalam masyarakat Papua, terkait dengan pro-integrasi dan pro-kemerdekaan, yang sebelumnya dimulai dengan kekerasan sampai sekarang masih menimbulkan kekerasan yang menjurus pada pembantai warga. Pemimpin-pemimpin Papua yang telah mengisi posisi pekerja dari Maluku karena fungsinya menjalankan tugas pemerintahan, pendidikan dan kesehatan yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1949, ternyata tidak  dilibatkan dalam pengalihan kekuasaan. Orang Indonesia merupakan pekerja yang masuk mengisi posisi-posisi yang ditinggalkan oleh orang-orang Belanda. Mereka yang berada pada posisi pro-kemerdekaan dilihat sebagai musuh negara yang menyebabkan negara atas nama kesatuan teritori telah melakukan pembunuhan kepada rakyat Papua.  Rekonsiliasi yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus Papua belum bisa dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar