Papua dan Afrika
Selatan: Perbandingan Pengalihan Kekuasaan.
Oleh Farsijana
Adeney-Risakotta
Artikel ini bisa diakses dengan googling kata kunci "Papua dan Afrika Selatan"
Saya sudah jelas
dalam benak untuk menulis tentang relevansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
dalam praktek Afrika Selatan kepada Papua.
Tetapi saya ingin menuntaskan keinginan tahu saya untuk mengerti isu
pengalihan kekuasan yang pernah terjadi di Papua maupun di Afrika Selatan. Keinginan tahu ini makin besar sesudah saya
menyelesaikan pembacaan biografi Nelson Mandela “Long Walk to Freedom” dan
dokumen penting yang saya kemudian terjemahkan berjudul “Latar belakang West
New Guinea dan United Nation Security Forces’’.
Akan tetapi
untuk menulis artikel yang bisa membandingkan proses pengalihan kekuasan
terjadi di Papua dan Afrika Selatan, saya juga memerlukan sumber-sumber lain
selain naskah dari United Nation Security Forces. Ada dua dokumen penting yang saya terjemahkan
dari website. Kedua dokumen ini bersama dua buku lainnya memberikan informasi
kepada saya tentang kondisi sosial,
kehidupan masyarakat di Papua lebih jelas dari yang ditulis dalam
dokumen UNSF. Kedua terjemahan ini berjudul. Pertama, “Pengalaman saya sebagai
PNS di Papua Barat (New Guinea) oleh Amapon J. Marey. Tulisan ini adalah salah
satu makalah dari konferensi yang dilakukan dan dikoordiner oleh Dr. P.J
Drooglever di The Hague tentang Act of Free Choice (PEPERA) di Papua. PEPERA
adalah akronim atau singkat yang berarti Pemungutan Suara Rakyat yang sejajar
dengan istilah bahasa Inggeris “popular vote”.
Pidato dari Dr.
P.J. Drooglever saya terjemahkan dan merupakan sumber kedua yang memberikan
gambaran tentang situasi masyarakat di Papua di luar pembahasan politik ketika pelaksanaan
PEPERA berlangsung. Kedua sumber yang
diterjemahkan memberikan informasi terhadap naskah dalam bahasa Inggeris yang
bisa ditemukan secara online. Saya
mendokumentasikan terjemahannya pada blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia
untuk semua dan blog PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity).
Di samping itu
ada dua sumber naskah yang tidak saya terjemahkan karena ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bisa dibaca secara online. Pertama, tulisan dari J.R. G. Djopari yang menulis satu artikel berjudul
“The Free Papua Movement”. Tulisan ini adalah salah satu dari kumpulan tulisan
dalam buku Indonesia in the Soeharto
Years. Issues, Incidents and Images, suntingan John H.Mc.Glynn (Leiden,
Holland: KLTIV Press, 2005). http://books.google.com/books?id=SBUlQq7sz9cC&lpg=PP1&ots=MF0iXtIzBK&dq=%22Indonesia%20in%20the%20Soeharto%20Years%22&pg=PP1...
Sedang tulisan
dari Nikolaas Jouwe yang disunting oleh Charles Farhardian sekalipun sudah saya
selesaikan pengetikannya belum bisa diposting terutama pada forum Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua, karena
menunggu proses publikasi online ditangani langsung oleh Farhardian. Saya
menghormati keinginannya dan merujuk perbincangan Jouwe sejauh dibutuhkan dalam
diskusi (Farhardian, 2007).
Pada masa
pemerintahan Orde Baru, J.R.G. Djopari menulis buku yang diberikan judul Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka
(Jakarta: Gramedia, 1993). Tulisan lainnya adalah bagian dari buku yang ditulis
oleh P.J. Drooglever, Tindakan Pilihan
Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (Yogyakarta: Kanisius,
2010). Link kepada penggalan tulisannya bisa dilihat pada:
Kemudian sementara saya menulis, saya
menemukan dokumen lain yaitu satu disertasi yang ditulis oleh John Francis
Saltford dan dipertahankan untuk gelar PhD pada University of Hull, dengan
judul UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West New Guinea During the
1960’s. Disertasi berjumlah 400 halaman lebih sangat lengkap menggambarkan
tentang keterlibatan PBB yang dilakukan dengan semangat melawan fungsi dari PBB
itu sendiri.
Informasi ke link bisa dilihat pada:
Satu tulisan lain yang terbit pada
tahun 2005, ditulis oleh Daniel Gruss, dengan judul tulisan “UNTEA and West New
Guinea”, diterbitkan sebagai bagian dari bunga rampai “Max Plank Yearbook of
United Nations Law, Vol.9, 2005, p.97-127, (The Netherlands: Koninklijke Brill
N.V, 2005). Linknya bisa diakses pada http://www.mpil.de/files/pdf2/mpunyb_gruss_9_97_126.pdf
Kedua tulisan diatas menunjukkan
kesimpulan yang sama terkait dengan situasi perang dingin sehingga kehadiran
UNTEA tidak menegakkan sistem pemungutan suara yang telah disepakati yaitu one
man one vote. Kesimpulan ini yang sama ini sudah tergambar dalam tulisan saya
sebelumnya berjudul “Apa yang terjadi pada tanggal 1 Desember di Papua” yang
diposting pada blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua.
Dalam tulisan saya sekarang ini lebih mengeksplorasi situasi masyarakat
yang ada di Papua pada saat pelaksanaan Pengalihan Kekuasaan berlangsung.
Aspek-aspek yang diperhatikan dalam mengerti bagaimana pengalihan kekuasaan
berlangsung diamati dalam empat faktor. Pertama, terkait dengan kemampuan dan
keterlibatan masyarakat dalam sistem pemerintahan. Kedua, peran mediator dalam
memproses pengalihan kekuasaan. Ketiga,
faktor-faktor yang mendorong pelaksanaan pemungutan suara. Keempat, tindakan
tindaklanjut sesudah pengalihan kekuasaan.
Ketika Nelson
Mandela terlibat dalam gerakan pembebasan appartheid, PBB telah
menerbitkan resolusi untuk melarang politik appartheid karena bertentangan
dengan Hak Azazi Manusia. Resolusi diterbitkan pada tahun 1960, tetap tidak
menghilangkan kebijakan kaum putih Afrikaans untuk mengubah politik appartheid
(Adeney-Risakotta, 2013). Amerika Serikat melakukan embargo ekonomi untuk
menekan pemerintah Afrika Selatan yang menggunakan berbagai cara untuk
melanggengkan politik appartheid.
Ketika Nelson
Mandela masih di penjara, Desmond Tutu sudah menerima hadiah Nobel sebagai
tanda dukungan dunia terhadap penghapusan appatheid. Memang pada waktu itu,
appertheid masih terus dipraktekkan sehingga hadiah nobel kepada Desmond Tutu
adalah terkait dengan upayanya untuk melawan diskriminasi yang diakibatkan
karena politik appartheid.
Barulah, sesudah
27 tahun di penjara, Nelson Mandela berhasil melakukan negosiasi dengan pemerintah
Afrika Selatan sehingga sistem politik appartheid yang tidak membolehkan
keterwakilan warga berlatar belakang Afrika pada parlemen dan menerima semua
hak-hak masyarakat yang sejalan bisa diruntuhkan. Politik appartheid sebagai
politik diskriminasi berkembang secara bertahap dimulai dari pemisahan
klasifikasi ras, kemudian teritori, sampai pada pencabutan kesetaraan hak-hak
terjadi dalam kurun waktu tiga abad.
Puncak segregasi yang kemudian dinamakan appartheid terjadi ketika
kelompok mayoritas, yaitu Afrika dikembalikan penggolongan kependudukannya pada
status sebagai penduduk dari klan yang tidak mempunyai keterwakilan dalam
pemerintahan negara. Pada waktu warga Afrika diorganisir melalui ANC (African
National Conggress) sebagai organisasi politik yang juga menjadi kendaraan
perjuangan Nelson Mandela.
Politik
appartheid menimbulkan resistensi dari masyarakat Afrika. Perlawanan mereka
menyebabkan pemerintah melakukan penembakan dan pembunuhan kepada pemimpin
pergerakan yang berakibatkan banyak warga sipil yang meninggal. Bom mematikan warga. Bom diledakkan di tengah
orang-orang yang sedang berkumpul untuk protes termasuk membunuh Ruth First
yaitu salah satu pemimpin perempuan anti-appartheid.
Ketika Nelson
Mandela baru keluar dari penjara, segera ia sadar tentang jumlah warga yang
meninggal sekaligus munculnya kemarahan dari masyarakat yang ingin melakukan
perlawanan terhadap mereka yang dibunuh oleh negara. Dalam bukunya, Nelson
Mandela mengatakan kekagetannya ketika membawa poster yang dikerumuni oleh
laki-laki. Poster itu tertulis Berikanlah kami senjata untuk membunuh mereka.
Tekanan dari penderitaan masyarakat inilah menyebabkan Nelson Mandela mempercepat
negosiasinya dengan pemerintah kelompok minoritas.
Sistem
keterwakilan mulai dibahas bersama. Semula, pemerintah minoritas tidak
berkeinginan supaya hak veto dari kelompok putih Afrikaan
dihilangkan. Sejak politik appartheid dilakukan dari tahun 1948, ada kira-kira
46 tahun keterwakilan warga Afrikan tidak terlihat pada sistem pemerintahan. Bisa dikatakan warga Afrika kehilangan satu
generasi untuk membangun bersama Afrika Selatan. Kemanakah mereka ketika negara
menyingkirkannya. Para pemimpin Afrika Selatan berada di tahanan selama puluhan
tahun. Mereka yang tidak terlalu ditakuti oleh pemerintah, karena pengaruhnya
sedikit tidak dibunuh. Banyak yang menjadi pengungsi internasional (IDP) ke
negara tetangga Afrika atau ke Inggeris. Ketika Nelson Mandela dibebaskan, ada
banyak harapan dari masyakat yang kemudian kembali ke Afrika Selatan untuk
memulai hidup dan kerja di sana.
Situasi
ketersediaan sumber daya manusia menjadi alasan tentang adanya kesiapan
masyarakat Afrika untuk meminta pengubahan sistem kekuasaan yang memungkinkan
keterwakilan waktu terlihat langsung. Sekalipun demikian, perubahan struktur
hanya bisa terjadi apabila sistem keterwakilan masyarakatnya dibangun dalam
mekanisme Pemilu yang bebas, rahasia dan langsung. Sesudah kran negosiasi
dibukan oleh Presiden F.W.de Klerk, Nelson Mandela dan pemimpin-pemimpin rakyat
bisa membangun sistem Pemilu yang memungkinkan terjadi pemilihan langsung per
orang (one person one vote). Sistem pemilu langsung mampu menyizinkan rakyat
memilih Nelson Mandela sebagai Presiden yang pada masa itu kemudian melakukan
kebijakan TRC untuk membangun rekonsiliasi bersama di seluruh Afrika Selatan.
Khusus tentang TRC akan saya bahas terpisah.
Faktor terakhir,
sesudah pemerintah resmi terpilih, pada saat penyelenggaraan Pemilu langsung
(one person one vote), rakyat memilih Nelson Mandela yang kemudian membangun
sisitem rekonsiliasi dan kebenaran yang dikendalikan oleh suatu komisi khusus.
Bagian keempat ini akan dibahas dalam tulisan terpisah.
Selanjutnya saya
ingin melihat ke-tiga aspek yang disinggung di atas pada saat pengalihan
kekuasaan di Papua.
- Papua
Status Papua
sebagai daerah yang terbelakang tanpa infrastruktur dan sumber daya manusia
ketika pengalihan kekuasaan dari Belanda ke UNTEA sebelum ke Indonesia sangat
terlihat dengan jelas dalam laporan UNSF. Selain kerusakan yang disebabkan perang TRIKORA yang
dilancarkan oleh Soekarno untuk menyingkirkan Belanda keluar dari Papua,
menurut catatan dokumen UNSF, infrastruktur publik tidak memadai di Papua. Warga Papua juga secara sumber daya belum disiapkan
dalam pengalihan kekuasaan tersebut. Infrastruktur sosial yang melayani
kebutuhan masyarakat secara luas rata-rata dikaryakan kepada warga Belanda.
Papua dikuasai
Belanda sejak tahun 1828 tetapi hanya sesudah diakui oleh Sultan Tidore pada
tahun 1878, Belanda baru memberikan perhatian kepada Papua. Perhatian utama
yang diberikan adalah melakukan riset terkait dengan eksplorasi alam untuk
mengerti kekayaan alam yang terkandung di Papua. Sebelumnya, Papua adalah
bagian dari sumber pendapatan Sultan Tidore dalam perdagangan budak. Pemerintah
Belanda harus membayar kepada Sultan Tidore untuk menghentikan perdagangan
budak karena situasi dunia yang telah berubah.
Belanda
melakukan eksplorasi dan penelitian,
yang kemudian memungkinkan pengelolaan proyek perminyakan dengan tujuan
ekspor ke Jepang dan negara-negara lain bisa berjalan. Pada pengalihan
kekuasan, proyek ini kemudian diteruskan
oleh UNTEA. Dokumen UNSF juga
menyinggung tahanan politik yang dipindahkan dari Papua. Boven Digoel, di Papua
merupakan tempat untuk menampung politisi-politisi Indonesia yang bertentangan
dengan pemerintah Belanda. Di antara mereka, dua tokoh pemuda yang kemudian
menjadi pemimpin Indonesia dibuang di sana, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan
Sjahrir. Ketika penyerahan Papua dilakukan, dikatakan bahwa Soekarno terbang
melewati Boven Digoel tetapi tidak mampir.
Soekarno tidak
pernah dibuang di Boven Digoel, tetapi sesudah Papua berintergrasi dengan
Indonesia, mulai mengalir cerita bahwa Soekarno pernah dibuang di Boven Digoel.
Dokumen-dokumen sejarah tidak pernah mencatat tentang hal ini, termasuk adik
Sjahrir yang menulis buku tentang kehidupan di penjara Boven Diegoel juga tidak
pernah menyebut tentang hal ini. Sementara ada beredar interpretasi di kalangan
masyarakat Papua sendiri yang melihat tanpa integrasi Papua ke Indonesia karena
ide pembebasan dari kolonialisasi dipersiapkan oleh pemimpin masa depan
Indonesia ketika mereka dipenjara di Boven Digoel. Boven Digoel seperti Pulau Robben di mana
Nelson Mandela dipenjara. Sejarah mencatat bahwa Mohammad Hatta diizinkan
membawa dua kotak bukunya ke Boven Digoel. Hal ini sama dengan Nelson Mandela
yang mendapat gelar hukum sesudah menempuh ujian dari penjara di Pulau Robben.
Mandela mengatakan bahwa Pulau Robben adalah satu penjara universitas.
Dalam tulisan
D.J. Drooglever (2010) dijelaskan tentang alasan Belanda membangun tempat pembuangan di Boven Digoel. Tujuannya
adalah untuk melatih orang Papua berkomunikasi
dengan tahan-tahan politik. Boven Digoel mulai dioperasikan tahun
1930an. Upaya Belanda melakukan pemberdayaan masyarakat dimulai dengan
membangun kebiasaan masyarakat untuk hidup saling rukun. Sebelumnya masyarakat
di sepanjang pantai dan sungai yang cenderung berpostur tubuh besar, adalah
mereka yang terlibat sebagai perampok-perampok. Mereka masuk dalam jalur
perdagangan budak yang dikuasai oleh Sultan Tidore. Mereka ada suku-suku yang sangat kuat, kejam
dan terlibat peperangan di antara suku-suku Papua sendiri. Misalkan suku Marind
di Kepala Burung. Masyarakat di pedalaman, adalah orang-orang berpostur kecil
dan telah mengembangkan pertanian yang menetap. Misalkan suku Ekari dan Dani.
Mereka digambarkan secara antropologis sebagai kelompok yang bersahabat,
menerima orang luar. Pemerintah Belanda
mengorganiser suku-suku dalam teritori afdeling yang secara administratif masih
dibawah pemerintahan Keraton Tidore sekalipun tidak terlibat dalam pembinaan masyarakat
yang mengubah mereka menjadi warga yang beradab. Dalam catatan Drooglever, ahli-ahli Belanda
menemukan masyarakat yang sudah bisa menggunakan angka dari 1 sampai 100.
Pengorganisasian Belanda terkait dengan memastikan setiap suku berada dalam
wilayah masing-masing yang terlibat secara adil dalam pertukaran pelayanan dan
pengembangan ekonomi. Sekalipun perang
dunia ke-2 berdampak besar terhadap perubahan perilaku masyarakat karena
Belanda yang harus didesak keluar sesudah pendudukan Jepang, tetapi keinginan masyarakat
untuk membangun kembali daerahnya sangat besar.
J. R.G. Djopari
melihat kemajuan yang dialami masyarakat Papua sangat didorong oleh Jan van
Eechoud, yang kemudian disebut sebagai Bapak Papua. Ia adalah seorang polisi
yang ditempatkan sebagai residen di Papua. Kebijakan Politik Etis yang sudah
dimulai sejak awal abad 20, diteruskan di Papua sebagai kebijakan politik etis
kedua. Sesudah perang dunia ke-2,
masyarakat menerima pendidikan hukum dan Penertiban Masyarakat, Administrasi
Publik, Teologi, Pertanian, Perhutani, Peternakan dan Pertukangan. Tokoh-tokoh Papua seperti Marcus, Frans
Kaisipo, Lucas Rumkorm, Nicolaas Jouwe, Filemon Jafuway, Frans Djopari, August
Matani, Abdullah Arfan, Herman Wormsiwor dan Amapon J. Marey adalah anak-anak
Papua yang dikirimkan untuk belajar di Sekolah Adaministrasi Umum di Kota Nica
di Papua. Pada tahun 1948, untuk pertama
kalinya di Biak dibentuk Lembaga Pengadilan pada tahun 1948. Pada tahun 1959
dibentuk Dewan Regional Parleman di Biak dan Numfor. Pada tanggal 5 April 19961
sudah terpilih 28 orang yang duduk pada Dewan Papua (Parlemen di tingkat Propinsi
di Papua).
Pemilihan Dewan
Papua difasilitasi oleh Belanda sesudah Pertemuan Dunia di United Nation pada
tahun 1957 menghasilkan resolusi untuk mengakhiri kolonialisasi. Pertemuan Umum
PBB tahun 1957 adalah yang ketiga kalinya, dan pada saat itu Menteri Luar
Negeri Subandrio mengatakan bahwa tidak akan mencari penyelesaikan Papua Barat
lagi di PBB. Belanda mempersiapkan Papua
untuk mampu mengelola daerahnya sendiri seperti dijelaskan oleh Robert C. Bone
pada bukunya berjudul The Dynamics of the West New Guinea
Problem, terutama
halaman 135-153 yang diterbitkan di Jakarta, Equinox Publishing tahun 2009.
Pada tanggal 1
Desember 1961, sebenarnya Dewan Papua diresmikan. Pada saat itulah Bendera
Bintang Kejora yang merupakan hasil desain dari Nicolaas Jouwe dinaikan. Jadi dalam masyarakat sebelum
pengalihan kekuasaan dari Belanda ke UNTEA sudah bisa mengorganisir dirinya
sendiri. J.R.G Djopari juga menjelaskan
tentang situasi masyarakat yang terpecah sesudah terjadi pengalihan kekuasaan,
terbagi atas kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan. Penolakan-penolakan terhadap integrasi dengan
Indonesia telah menyebabkan beberapa pemberontakan yang akhirnya mengikutkan
militer Indonesia dibawah pimpinan Sarwo Edhie untuk melakukan negosiasi dengan
kelompok pro-kemerdekaan.
Pengalihan
kekuasaan yang menyebabkan banyak orang Belanda meninggalkan Papua, tidak
memberikan kesempatan kepada orang Papua asli untuk menangani kantor-kantor
yang kosong. Keprihatinan UNTEA ini dianggap tidak beralasan karena
pengangguran yang dikuatirkan sebenarnya bisa dilakukan dengan mengisi
kekosongan petugas yang bekerja pada proyek-proyek yang ditinggalkan oleh
Belanda. Misalkan proyek minyak yang sudah dioperasikan Belanda sebelum terjadi
perang dunia kedua. Ekspor minyak yang terbesar dilakukan ke Jepang. Pengisian
tenaga kerja malahan dilakukan dengan menunggu kedatangan orang-orang dari
Indonesia. Pada waktu itu, lapangan kerja yang semula diisi oleh
pekerja-pekerja dari Maluku pada perang dunia ke-2, sudah mulai diganti oleh
orang-orang Papua sesudah mereka kembali dari tugas belajar sebagai kebijakan
Belanda sesudah tahun 1949.
Terkait dengan
pelaksanaan pemungutan suara yang menggunakan sistem musyawarah dari Indonesia
sebenarnya juga menunjukkan kelemahan karena Indonesia sendiri ketika melakukan
Pemilu tahun 1955 sudah dilakukan dengan sistem "one person one vote" untuk memilih
anggota parlemen seperti dijelaskan oleh Leo Suryadinata dalam bukunya berjudul
Election and Politics in Indonesia (Singapore:
Institute of Southeast Asia Studies, 2006). Hasil PEPERA dengan 1026 voter
seperti yang dijelaskan dalam berita acara UNSF terkait dengan orang-orang yang
memilih dengan merujuk pada sistem pemilihan di Indonesia, yaitu musyawarah
sebenarnya sangat melemahkan penegakkan demokrasi yang diemban oleh PBB.
Masyarakat sendiri juga melihat ada banyak cara yang digunakan oleh militer
Indonesia untuk menghentikan upaya kehadiran warga dalam Act of Free Choice.
Dikatakan bahwa oleh Djopari bahwa ada orang-orang yang disuntik anti malaria
dan vitamin sebelum hari pelaksanaan PEPERA sehingga mereka tidak bisa hadir.
Ada yang diberikan bir. Jadi pemungutan suara hanya dilakukan dengan berbicara
pada tokoh-tokoh masyarakat tanpa melibatkan seluruh warga Papua.
III. Kesimpulan
Afrika Selatan
yang didukung oleh resolusi PBB dan tekanan masyarakat memungkinkan Nelson
Mandela dan ACT setuju dengan sistem keterwakilan dan mekanisme pemungutan
suara. Akhirnya penerapan "one person one vote" bisa menyebabkan Nelson Mandela
menjadi presiden. Sementara di Papua, di mana struktur masyarakat dengan
kemampuan yang tersedia karena mereka adalah warga pada kampung sendiri, tidak
dilibatkan pada proses pemungutan pendapat (PEPERA). Proses pengalihan kekuasaan di Afrika Selatan
yang sebelumnya diwarnai dengan pembunuhan dan kekerasan ternyata bisa berakhir
dengan proses rekonsiliasi nasional.
Sementara di
Papua, perpecahan dalam masyarakat Papua, terkait dengan pro-integrasi dan
pro-kemerdekaan, yang sebelumnya dimulai dengan kekerasan sampai sekarang masih
menimbulkan kekerasan yang menjurus pada pembantai warga. Pemimpin-pemimpin
Papua yang telah mengisi posisi pekerja dari Maluku karena fungsinya
menjalankan tugas pemerintahan, pendidikan dan kesehatan yang dikembangkan oleh
pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1949, ternyata tidak dilibatkan dalam pengalihan kekuasaan. Orang
Indonesia merupakan pekerja yang masuk mengisi posisi-posisi yang ditinggalkan
oleh orang-orang Belanda. Mereka yang berada pada posisi pro-kemerdekaan
dilihat sebagai musuh negara yang menyebabkan negara atas nama kesatuan
teritori telah melakukan pembunuhan kepada rakyat Papua. Rekonsiliasi yang menjadi bagian dari UU
Otonomi Khusus Papua belum bisa dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar