Translate

Selasa, 31 Juli 2012

Bertemu muka Sang Pencipta


Bertemu muka Sang Pencipta
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Di bulan suci Ramadhan
Ketika doa-doa menguduskan semesta
setiap detik setarik napas saya
melihat Tuhan menunggu 

Hati saya merasa Dia di sini dalam diri sendiri
Hanya mereka seperti angin menduga percaya saya
               Kegilaan dan kebodohan
Yang  menertawakan dalam sejati diri
              Peduli apa tentang eksistensi Sang Pencipta

Orang-orang beriringan  menuntun tubuh
          Membiarkan diri dahaga
           Mendekatkan pada batas ketahanan diri
           Melewatinya mengubah lapar menjadi kebahagiaan
           Bersama Engkau menziarah hidup

Mengapa daku melakukan?

Seorang dari tradisi berbeda
Sedang menghayati
mengulangi pengalaman suci leluhur
Supaya mengenapi cerita menurun para kudus

Bukan karena selalu ritual berulang
Orang-orang suci  merayakan
Ketika melewati batas keterbatasan
Yang sekarang saya sedang mengalami bersama
Supaya mengerti batas dirikah?
Supaya mengerti batas ilahikah?
Supaya menghayati pengalaman bersamakah?

Serupa mengerti pertanyaan semua insan
Mengapa saya dilahirkan?
Mengapa rindu mengoyak dada
Serupa merindukan Sang Kudus
Serupa kangen kepada hidup yang
        Dilepaskan
        Rindu kasih rindu ilahi
       Tanpa rumusan sudah mendalam di hati

Mulut saya memuji Engkau Sang Pencipta
Kelimpahan bukan milik saya
Ketika masih banyak mereka lapar
Bukan karena harus berpuasa
Mereka sudah lama tidak punya makanan

Mengapa saya mau merasakan
Kesengsaraan dari dahaga
Kalau kemudian
Saya masih lupa mereka yang selalu lapar
Karena lebih lihai mendapatkan akses untuk diri sendiri

Hati saya kemana disembunyikan
Juga kalau sekarang diri saya dikelilingi  doa dan pujian
Ujilah saya sedalam lautan
Lemparkan saya dalam kesukaran mendalam
Supaya masih saya lihat keadilan Ilahi di sana

Di bulan suci Ramadhan
Seorang anak manusia
Dalam keyakinannya menuju Allah
Menguji dirinya
Menulis pengalaman hati

Di bulan suci Ramadhan
Seorang sepupu Islam, seorang Kristiani
Dalam kesengsaraan lapar
Menuliskan kebijakan dari pengalaman
Melupakan diri

Menguraikan kebaikan ilahi

Supaya  kasih sejati menggenapi
Seperti pengalaman Kristus menyerahkan diri
Kepada sahabat supaya
             mereka punya makanan lagi
supaya keadilan diterima

Hidup dirayakan kembali

Supaya keilahian Allah membumi


           




Jumat, 27 Juli 2012

Menulis Sejarah dan Sejarah Milik Siapa?: Bagian Pertama


Pengantar:
Saya mulai menulis tentang sejarah. Sebagai seorang antropolog, saya sudah lama tertarik dengan sejarah terutama karena pengkayaan yang diperoleh selama pendidikan teologi. Saya seorang teolog dengan minat studi Perjanjian Lama. Memasuki bulan Agustus 2012, yang adalah bulan Kemerdekaan Indonesia, saya ingin memulai menulis tentang sejarah, siapa yang memiliki sejarah dan bagaimana sejarah ditulis. Keinginan ini sudah lama ada pada saya, terutama menulis topik ini dalam bahasa Indonesia. Penelitian S3 saya tentang sejarah agama dan konflik sosial di Maluku ditulis dalam bahasa Inggeris. Untuk anda yang ingin membacanya bisa mengakses langsung pada situs online dari Universiteit van Radboud Njimegen di mana saya dipromosikan dengan Promotor Prof. Frans Husken seorang antropolog yang menggabungkan pendekatan sejarah dalam riset-risetnya dan menguatkan keyakinan saya tentang sejarah dalam antropologi dan antropologi dalam sejarah. Beliau meninggalkan tanggal 28 April 2010. Hari ini tanggal 28, jadi saya mau mendedikasikan tulisan saya kepada guru yang sangat saya hormati,  pak Frans.
Link ke disertasi saya, Farsijana Adeney-Risakotta,
Politics, Ritual and Identity in Indonesia. A Moluccan History of Religions and Social Conflict. The Netherlands: Radboud University Njimegen. 2005 (digital copy can be accessed at    http://webdoc.ubn.ru.nl/mono/r/risakotta_f/poliriani.pdf  )

Bagian Pertama: Menulis Sejarah dan Sejarah Milik Siapa?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pertanyaan sejarah itu milik siapa, sama dengan bertanya bagaimana sejarah dibuat. Bahasa Inggeris menggunakan kata “history” untuk menjelaskan yang dalam bahasa Indonesia disebut “sejarah”. Kata Inggeris “history” diambil dari bahasa Yunani “historia” yang berarti “makna”, “pengetahuan” yang digali mendalam. Penjelasan dari pengetahuan yang bermakna tersebut kemudian disusun menjadi suatu pengertian tentang peristiwa yang sudah terjadi pada masa lalu. Penyusunannya ternyata memerlukan seorang yang disebut sejarawan untuk bisa menjelaskan tentang hubungan antara setiap individu, kelompok yang membentuk bersama peristiwa-peristiwa penting masa lalu dalam kehidupan mereka.

Tiba pada penjelasan tentang peran sejarawan, di kalangan feminis yang lahir sesudah gerakan sipil di Amerika Serikat tahun 1960an, kata “history” kemudian diplesetkan seolah-olah kata tersebut terdiri dari dua arti, pertama “his” dan “story”.  “Story” berarti “cerita” dan “his” menunjukkan subyek yang mempunyai cerita adalah lelaki. Jadi “history” secara harafiah bisa dijelaskan sebagai cerita dari lelaki. Peristiwa periodik yang berlangsung dalam perjalanan hidup seseorang tampil sebagai cerita yang didokumentasikan oleh lelaki, yang kemudian dinamakan “history”. Peran lelaki sangat besar dalam membentuk cerita-cerita yang menunjukkan periodik kejadian dalam hidup sehari-hari.  Sehingga kaum feminisme kemudian mengusulkan supaya sejarah juga perlu didengar dari perempuan untuk menjadikan “herstory”.

Sementara arti kata sejarah diambil dari kata bahasa Arab yaitu “syajarotun” yang berarti pohon. Arti kata ini walaupun terlihat lebih netral tetapi sebenarnya juga menunjukkan bahwa pohon sebagai perumpamaan dari suatu riwayat kehidupan hanya dimiliki oleh keturunan raja-raja. Kalangan rakyat biasa tidak memerlukan tulisan rigid tentang riwajat, asal usulnya. Kalangan bangsawan memerlukan penjelasan tentang asal usul supaya keturunan mereka bisa makin membesar secara kualitas, pengaruh dan jumlah. Penjelasan diperlukan pada saat pernikahan di antara kalangan bangsawan yang dapat terjadi lintas teritori untuk tujuan-tujuan kekuasaan. Penggambaran makna sejarah ini setidaknya menjelaskan tentang peran lelaki dalam menentukan perjalanan periodik kehidupan dalam keluarga maupun klannya.

Kedua pengertian dari kata “history” maupun “syajarotun” dalam bahasa Indonesia modern ditampung menggayakan kata “sejarah”. Saya ingat sejarawan Nugroho Notosusanto pada jaman regim Soeharto tampil sangat kuat sebagai figur dari sejarawan Orde Baru. Saya pernah menulis kesamaan peran Nugroho Notosusanto, mantan menteri Pendidikan Nasional, dengan penulis-penulis sejarah pada jaman raja-raja Israel yang menghasilkan berbagai buku seperti Kitab Raja-Raja, Samuel dsb (Adeney-Risakotta: 1995). Setiap penulis sejarah lahir pada masa yang membutuhkannya, termasuk regim yang melahirkannya untuk mengabadikan nama kebesarannya dalam ingat bersama bangsanya. Dalam studi Biblika, kajian sejarah untuk melihat penulisan berbagai versi suatu silsilah secara berbeda-beda tergantung pada kepentingan dari regim yang memproduksinya. Contohnya, penonjolan tentang peran raja Daud menjadi sangat kuat dalam aliran sejarah dari pendukung keturunan Daud. Sementara aliran sejarah terkait dengan raja Saul tampil kuat dari madsab terkait dengan keturunannya. Penggambaran ini bisa membawa pada kesimpulan bahwa seorang sejarawan dapat menghasilkan tulisan sejarah berdasarkan siapa yang memesannya.

Lalu kita tiba pada pertanyaan, apakah sejarah bisa netral, bisa menjaminkan suatu tuturan kejadian yang tampil sejujur-jujurnya. Pertanyaan ini muncul dari berbagai fenomena tentang keikutsertaan individu dan komunitas dalam menarasikan sejarahnya sendiri. Sejarah bukan produk pengetahuan yang bebas nilai. Karena sejarah sebagai penggambaran tentang apa yang pernah terjadi, maka alat kerjanya yang paling utama adalah “tafsir”. Pengetahuan tentang tafsir terhadap kejadian-kejadian masa lalu dilakukan dengan memperhatikan relasi-relasi sosial dari berbagai aktor yang menyebabkan suatu peristiwa bersejarah itu terjadi. Relasi-relasi sosial bisa tampil menjelaskan stratifikasi masyarakat, di mana masing-masing aktor berfungsi, menegosiasikan kekuasaannya dan menentukan bersama keputusan kebijakan yang tepat untuk semua. Hasilnya dapat memuaskan terutama untuk mereka yang sepakat dengan proses keputusan dibuat tetapi seringkali ada banyak ketidakpuasaan sehingga memunculkan perlawanan, protes dari mereka yang merasa suaranya tidak didengar.

Lahirnya versi-versi penulisan sejarah didukung oleh fakta adanya perbedaan narator, siapa yang bercerita, menjelaskan tentang bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Sejarawan dalam kategori ini, saya sebut mereka, sejarawan berpihak. Istilah dalam studi Biblika, mereka disebut sejarawan istana. Pembedaan ini perlu dilakukan  untuk menunjukkan adanya kelompok sejarawan yang netral. Kata netral di sini dimaksudkan terutama untuk menggambarkan posisi penyeimbangan sebagai prasyaratan yang dimilik oleh seorang sejarawan. Dalam menafsir peristiwa-peristiwa yang terjadi, si sejarawan melakukannya dengan menghadirkan secara holistik perspektif dari semua aktor yang berinteraksi menghasilkan peristiwa penting yang terjadi bagi mereka. Mereka dalam kategori ini, saya sebut sejarawan independen, walaupun posisinya “netral” tetapi mereka mempunyai kepentingan, yaitu menghadirkan semua aktor sebagai narator untuk menggayakan tasfir sejarah yang sedang dikonstruksikannya. Seorang sejarawan dengan kemampuan akademik dilatih untuk memposisikan dirinya sebagai bandul yang menyeimbangkan narasi-narasi dari peristiwa masa lalu dari suatu masyarakat. Mereka inilah bisa kemudian menjadi sejarawan independen.

Masyarakat yang melewati peristiwa-peristiwa masa lalu tidak selamanya menyimpan ingatan mereka dalam dokumen-dokumen. Dunia modern membiasakan manusia menulis dan menyimpan dokumen dari catatan dirinya. Masyarakat pra sistem penulisan, menyimpan ingatannya dalam cerita-cerita turun temurun yang disebut legenda, maupun tindak-tindakan ritual yang tampil dalam berbagai upacara-upacara dari suatu lingkaran kehidupan.

Misalkan ingatan tentang pelanggaran terhadap pencaplokan tanah yang terjadi pada saat pengusiran kerajaan Portugis di Halmahera Utara. Daerah di sekitar Tobelo, yang beberapa desanya sebenarnya adalah bagian dari Galela, yaitu Gorua dengan desa-desa sekitarnya. Penduduk di desa-desa ini berbahasa Galela, tetapi mereka dimasukan ke dalam Tobelo. Penggabungan terjadi pada saat Kesultanan Ternate meminta masyarakat Tobelo membantunya untuk mengusir Portugis kira-kira 500 tahun lalu.

Pengusiran terjadi, kerajaan Moratia bisa dihancurkan dari wilayah Galela (sekitar Mede). Hadiah yang diberikan oleh Sultan Ternate kepada kapitan Tobelo adalah memberikan beberapa desa, dari Gorua sampai Luari yang aslinya adalah wilayah Galela, dimasukan ke dalam wilayah Tobelo. Sultan Ternate melakukan tanpa persetujuan dari masyarakat Galela. Sultan Ternate menganggap seluruh Halmahera adalah wilayah kekuasaan. Akan tetapi masyarakat menyimpan ketidakadilan tersebut dalam ingatan mereka. Sehingga mereka sampai saat ini menerapkan denda yang harus dibayar oleh setiap perempuan atau lelaki dari Tobelo yang menikah ke Galela. Calon pengantin dari Tobelo harus membayar denda dari kesalahan yang dilakukan oleh kapitan Tobelo ketika ia mendapat wilayah Galela yang tidak sah, sekalipun diberikan oleh Sultan Ternate kepada mereka. Denda ini disebut ciko ma bobangu   (Adeney-Risakotta: 2005, 97).

Sebagai seorang antropolog, menuliskan tentang ritual denda bagi orang Tobelo dan Galela, saya harus menghadirkan ingatan masa lalu yang merupakan peristiwa sejarah dari kedua masyarakat. Mereka masing-masing tahu, secara turun temurun apa yang terjadi dan bagaimana narasi kecil mereka tenggelam oleh kebijakan dari Sultan Ternate yang menghadirkan narasi besar dari sejarah baru pembentukan wilayah Tobelo dengan menambahkan desa-desa dari wilayah Galela sebagai hadiah untuk kapitan Tobelo. Contoh ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan antropologis, yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika seorang antropolog berada pada saat kejadian dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, pada saat itu sedang terhubungkan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang disimpan dalam ingatan bersama masyarakat melalui tindakan ritualistik mereka. Dalam cara yang berbeda, masyarakat ternyata adalah pemilik sejarah karena mereka menyimpan dan menurunkan cerita-cerita masa lalu dalam ritual.

Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Pertama, proses penulisan sejarah tampil tidak semata-mata sebagai dokumen. Sejarah dari kalangan istana cenderung mendokumentasikan peristiwa masa lalu untuk menjadi kontinuitas dari kekuasaan keluarga atau klan yang perlu dirawat. Sementara masyarakat kecil, memelihara peristiwa-peristiwa masa lalu mereka dalam bentuk ritual. Seorang penulis sejarah, atau sejarawan perlu sensitif untuk memadukan sumber-sumber informasi dari peristiwa masa lalu yang ada baik dalam dokumen dan ritual untuk menjelaskan sebab penyebab suatu peristiwa itu terjadi. Tetapi bisa terjadi juga seorang sejarawan berpihak untuk mengabadikan cerita tertentu dari perspektif dan kepentingan mereka yang berkuasa.

Kamis, 26 Juli 2012

Mengenal Napoleon, Sang Ratu Bawah Air

Mengenal Napoleon, Sang Ratu Bawah Air

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Saya senang punya waktu sedikit menelusuri kembali kenangan indah tentang Napoleon. Di Bunaken, dan di pulau Lihaga, di kabupaten Likupang, Sulawesi Utara, di sana untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan Napoleon.


Saya sebut Napoleon, sang ratu bawah air. Nama Napoleon adalah nama seorang aristrokrat Perancis yang terkenal. Raja Napoleon yang menguasai dataran Eropa di abad ke-19. Dalam sejarah, cara berpakaian Napoleon terkesan modis, serupa pejuang perempuan.


Mungkin karena gambaran kombinasi kekuatan, keindahan dan keperkasaan yang ada pada Napoleon, sehingga nama itu diberikan kepada ikan.


Di bawah laut, ketika snorkling, gerak gerik lembut Napoleon sudah menarik hati saya. Membekas ingatan saya untuk Napoleon yang anggun.

Kemarin saya menulis puisi berjudul "Mengabadikan Cinta Anakku di bulan Ramadan", dengan lebel puisi Farsijana untuk anandhi 2012.

Saya bangun tadi pagi dengan keinginan kuat melihat lagi Napoleon. Kenangannya, gerak tubuh dan pandangan matanya membekas dalam diri saya sesudah 12 tahun lalu saling bersisian di bawah laut.

Syukur informasi dari Wikipedia membantu menjawab kerinduan saya ini. Jadi saya memutuskan menulis link tentang Napoleon dalam blog saya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_Napoleon

Bersamaan dengan pencarian saya tentang Napoleon, saya membaca berita tentang polisi menangkap penampung Napoleon.

Saya mengikutkan berita tsb dalam blog ini.

http://www.tribunnews.com/2012/07/23/satpol-pp-dan-tni-gerebek-penampungan-ikan-napoleon

Harapannya analisis tentang Napoleon bisa diteruskan oleh anandhi, ananda Andhi, nama yang saya berikan kepada Rinto Andhi Suncoko,  pejuang konservasi alam, seorang muda yang peduli membangun Indonesia dengan keragaman konservasi biodiversitas lautnya.

Kepadanya, tulisan ini saya dedikasinya untuk bisa diteruskan.

Rabu, 25 Juli 2012

Mengabadikan cinta anakku di bulan Ramadhan





Mengabadikan cinta anakku di bulan Ramadhan

 Oleh Farsijana Adeney-Risakotta



Masih saya terpelana 

Bunga-bunga dalam vas masih di sana 

Dedaunan satu-satu merontok 

Saya tersentak 

Anakku telah pergi 

Dari pusat dunia di sini 

ke barat 



Bunga-bunga masih di sana 

Saya menghiasinya  

Menjadi jalan ke kamar engkau menginap 

Hanya bunga itu di sana 

Kelebatan dirimu 

Terlihat di samping vas 

Seindah bunga ketika engkau 

Menuju ke kamar merebahkan dirimu 

Sesudah berhari-hari berjalan dari timur ke barat 



Sebentar saja engkau anakku bertandang 

Menjelang Ramadhan datang 

Membawa cerita-cerita dari seberang 

Yang dialami bersama mereka 

Matamu berbinar 

Sekali-kali memilu 

Cerita-cerita mencekam 

Tentang Napoleon yang makin langka 

Ikan kesayangan saya 

sang ratu bawah air



Bunga-bunga menebarkan wewangi dalam kesegarannya 

Bunga-bunga mengering menyimpan cerita

Masih kuat saya mendengar 

Nada kecewamu

Apa yang harus dilakukan  

Melawan pasar  

Jejaring global yang menguras isi lelautan 



Bunga-bunga itu masih di sana 

Ketika dengan semangat tersisa 

Engkau bangkit 

Mengabadikan cintamu 

Kepada semesta yang dihianati tangan-tangan jahil 

Supaya Napoleon bisa berketurunan lagi

Bukan hanya dengan menulis 

Engkau akan balik ke sana 

Perairan emas di timur Indonesia 



Saya membawa keluar bunga-bunga mengering

Ke kebun saya merebahkannya

Kembalilah bunga cinta ke haribaan semesta

Saya mengingat anandhi

Dalam bulan suci Ramadhan 

Mengabadikan cinta 

Mengabadikan Napoleon untuk  

Merayakan maha karya Sang Pencipta

Minggu, 22 Juli 2012

Rentangan sejarah panjang memahami Pepera 1969


Merayakan sebulan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua

Rentangan sejarah panjang memahami Pepera 1969
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Tulisan ini baru mewujud sekarang, tetapi embrionya sudah muncul sejak pelaksanaan Seminar Nasional  bertemakan “Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 Tahun Pepera 1969”.  Walaupun pelaksanaan seminar tsb menuai pembubaran, tetapi sesudah peristiwa itu saya sudah menulis beberapa artikel. Artikel pertama berjudul Pembelajaran dari Pembubaran Seminar Nasional “Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/pembelajaran-dari-pembubaran-seminar.html . Artikel kedua berjudul “Papua adalah Korban Pertarungan Ideologi” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html

Dalam tulisan saya lainnya, saya menyinggung tentang sedikitnya ulasan tentang Pepera 1969 sebagaimana diharapkan dalam tema seminar nasional tsb.  Diskusi lebih banyak diarahkan untuk memahami kondisi sosial politik ekonomi Papua sesudah penetapan Pepera tahun 1969. Kesimpulannya terkait dengan kenyataan penelantaran pembangunan dan pengabaian pengembangan sumber daya manusia dari  warganegara NKRI Papua. Adapun pertarungan dua ideologi nasionalisme  terkait dengan pandangan pemerintah Pusat  tentang nasionalisme Papua dalam NKRI dan ideologi nasionalisme dari warganegara NKRI Papua yang diartikan dengan rendahnya  pencapaian kemerdekaan yang terukur dalam kualitas kehidupan warga.  Pertarungan ini meminta banyak korban bagi warganegara NKRI Papua.

Eskalasi pertarungan makin gencang, sulit terbentengi.  Berbagai  aksi protes yang digelarkan oleh masyarakat Papua karena kekerasan aparat terhadap warga sipil yang dianggapnya sebagai pejuang nasionalisme Papua berkedok OPM.  Tindak kekerasan yang  dilakukan aparat  kepada warga sipil  di Papua menurut informasi Komnas HAM telah mencapai batas keprihatinan. Sekalipun demikian upaya menuntaskan masalah Papua belum juga terwujud. Pada satu sisi, Pemerintah Pusat beranggapan bahwa pemberian Otsus Papua 2001 merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah Papua. Akan tetapi dalam melaksanakan Otsus ternyata ada banyak hal yang belum diimplementasikan.

Ketidakpuasaan warganegara NKRI Papua terhadap Pemerintah NKRI menyebabkan mereka menggugat kembali proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Ada dua hal yang saya akan membahas dalam tulisan ini. Pertama, apa makna gugatan warganegara NKRI Papua terhadap legitimasi NKRI bagi kedaulatan bumi Papua berintegrasi dengan Indonesia? Kedua, bagaimana sesungguhnya Pepera 1969 harus didudukkan dalam konteks pengintegrasian Papua ke dalam wilayah NKRI.

Bruce Gilley (2009) menjelaskan bahwa negara dengan tingkat kekerasan terhadap warga sipil yang tinggi, terutama upaya dengan sengaja melenyapkan mereka yang melakukan protes, sebenarnya sedang menghadapi kehilangan legitimasinya. Legitimasi adalah kekuasaan yang diterima negara dalam hal ini pemerintah dari warganegaranya.  Ada berbagai ciri dari legitimasi negara.  Legitimasi tercapai karena warganegara memberikan kepada pemerintah terpilih otoritas untuk memimpin mereka dan mengendalikan negara.  Dengan legitimasi ini, negara mempunyai kekuasaan untuk mempersatukan warganegaranya mencapai kepentingan bersama.  

Sebaliknya ketika negara tidak mempunyai legitimasi, kecenderungan untuk menggunakan regulasi sebagai alat penekan untuk mempersatukan warganegara akan makin tinggi.  Ketika warganegara menolak untuk tunduk pada regulasi yang dibuat tanpa partisipasi mereka, maka negara akan melakukan tindakan kekerasan bahkan menuju pada brutalisme.  Legitimasi negara semakin tipis ketika tingkat protes terhadap legitimasi pemerintah makin tinggi.

Dengan semakin tingginya eskalasi kekerasan di bumi Papua, di mana aparat terlibat dalam melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil sebenarnya sesuai dengan penjelasan teori legitimasi di atas, dapat dikategorikan sedang mengalami krisis legitimasi. Otoritas NKRI dipertanyakan adalah sebenarnya mempertanyakan kekuasaan pemerintahan yang sedang berkuasa, baik pemerintah Daerah maupun Pusat.  Pemerintah yang dimaksudkan adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan program-program untuk masyarakat.

Otsus Papua menyebabkan mengalirnya dana perimbangan pusat daerah yang hampir 80% dikembalikan kepada daerah dari pendapatan yang dihasilkan di dalam Papua sendiri. Akan tetapi masuknya dana tersebut kembali ke Papua, belum terlihat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Penekanan pada infrastruktur dengan banyaknya bangunan, perumahan dan prasarana lainnya  yang didirikan masih mendominasi kebijakan pembangunan di Papua. Sementara asas pemanfaatan kepada institusi dan prasarana fisik tersebut terkesan terbatas terhadap aksesitas bagi orang-orang asli Papua.  Mereka ternyata belum dipersiapkan untuk bisa siap dalam mengelola sarana prasarana institusi, organisasi, jaring-jaring pembangunan selain prasarana fisik yang sudah tersedia.

Misalkan pengalaman saya memasuki pasar-pasar di Papua, terutama pasar dengan tampilan yang canggih, bersih, luas, hanya ditempati oleh warga asli Papua yang menjual hasil-hasil bumi. Bahkan yang paling terasa adalah pembedaan dalam mengoperasikan pasar. Kebutuhan makanan dari warga non Papua bisa diperoleh melalui penjual keliling yang mengendarai motor dengan sistem lemari pajangan jualannya yang sangat canggih.  Kegiatan penjualan yang lain, dikendalikan oleh jaringan ekonomi diluar orang-orang Papua asli dan dibangun di luar areal infrastruktur ekonomi orang Papua asli. Penggambaran ini menunjukkan bahwa orang Papua melakukan transaksi dagang yang tidak berimbang. Penjualan yang dilakukan orang asli Papua bernilai rendah dengan tingkat pembelian kebutuhan lain yang sangat tinggi, bahkan melebihi batas kewajaran seperti yang dijelaskan dalam tulisan saya lainnya http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html

Warganegara NKRI mempertanyakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Daerah maupun Pusat dalam memproteksi orang-orang asli Papua. Mereka tahu dana Otsus Papua yang diberikan kepada setiap keluarga asli Papua ternyata hilang terlalu cepat. Jaringan perekonomian yang dikuasai oleh kaum pendatang, sudah menyusup sampai ke desa-desa. Misalkan hanya untuk menukar uang persembahan yang akan dibawa ke dalam ibadah di gereja, mereka harus membayar mahal untuk satu permen kepada pedagang yang sudah menunggunya di dekat tempat beribadah. Rakyat tidak punya pilihan untuk menolak pendatang yang memasuki desanya untuk berdagang. Bahkan mereka diberikan tempat yang layak untuk berdagang.

Dengan kepekaan tinggi, orang asli Papua menyimpulkan bahwa Otsus Papua 2001 dikategorikan gagal.  Selain beberapa tindakan lanjutan dari Otsus yang belum nampak seperti Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, optimalisasi kerja MRP (Majelis Rakyat Papua),  kapasitas SDM di kalangan orang asli Papua ternyata juga tidak siap untuk mengelola fasilitas negara dalam bentuk dana program yang dialokasikan kepada mereka. Kegagalan implementasi 10 tahun Otsus Papua 2001 ternyata berdampak terhadap proses penghilangan legitimasi warganegara bagi pemerintahnya sendiri, baik yang ada di Daerah maupun di Pusat.

Menarik diteruskan analisis ini, terutama untuk meninjau upaya penggoncangan legitimasi negara dilakukan oleh warganegara NKRI Papua dengan menggugat Pepera 1969.  Pertanyaan saya, bisakah Pepera 1969 dipergunakan sebagai alasan dalam meruntuhkan legitimasi NKRI yang dianggap sejak paska Pepera, artinya dalam 43 tahun ini belum menampakkan perubahan yang menuju pada kesejahteraan orang asli Papua?

Tulisan dari Tri Bangun L.Sony sebagai Asisten Deputi Peningkatan Peran Masyarakat, Kementrian Lingkungan  Hidup RI menjelaskan panjang lebar tentang pengabsahan Pepera 1969.  Pepera adalah singkatan dari Penentuan Pendapat Rakyat yang dilaksanakan kepada rakyat Papua dari tanggal 14 Juli sd 4 Agustus 1969. Pelaksanaannya disaksikan oleh utusan Sekjen PBB Duta Besar Dr. Fernando Ortiz Sanz. Pada tanggal 19 November 1969, dilakukan Sidang Umum PBB di New York untuk mendengar laporan dari Dr. Fernando Ortiz Sanz. Kemudian dilakukan pemungutan suara di kalangan anggota PBB untuk menerima hasil Pepera 1969 yang dikukuhkan dalam Resolusi 2504.  Ada 84 negara yang menyatakan setuju dengan Resolusi tersebut, termasuk di dalamnya Belanda, 30 negara abstain dan tidak ada satupun negara yang menolak.

Pelaksanaan Pepera 1969 dilakukan berdasarkan pada Persetujuan New York yang dibuat pada tanggal 15 Agustus 1962. Ada tiga hal penting diputuskan dalam Persetujuan New York 1962. Pertama, penyerahan Papua dari pemerintah Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kedua, UNTEA menyelenggarakan pemerintah yang stabil di Papua untuk kurun masa waktu tertentu.  Ketiga, UNTEA melaksanakan Pepera melibatkan warga masyarakat Papua.

Banyak analisis dari kalangan aktivis HAM Papua, mempersoalkan tentang pelaksanaan Papera 1969 yang dianggap tidak merepresentasikan kedaulatan warga Papua. Prosedur keterwakilan dan kemandirian pemilihan sangat diragukan karena pelaksanaannya Pepera tidak berjenjang dari kabupaten, tetapi hanya pada tingkat propinsi.  Lebih jauh Pepera 1969 dipandang sekedar alat legitimasi untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia sebagaimana diatur dalam Perjanjian Roma pada tahun 1957.  Dalam Perjanjian Roma ini dijelaskan bahwa pemerintahan Belanda sebagai bagian dari  Komunitas Ekonomi Eropa harus memberikan Papua kepada pemerintah Indonesia untuk digunakan dalam jangka waktu 25 tahun.

Menarik mengkaji pandangan kedaulatan suatu bangsa yang dipahami sebagai hasil dari kalah perang dunia kedua.  Kedaulatan suatu negara hampir tidak ada sama sekali sesudah Jepang dikalahkan oleh NATO dan sekutunya.  Indonesia yang mengumumkan kemerdekaannya harus berhadapan dengan penolakan pengakuan dari pemerintah Belanda yang baru bisa dipenuhi pada tahun 1949. Sementara  Belanda bisa kembali menguasai Papua Barat sampai dengan peristiwa Pepera 1969 dengan lebih dulu dilalui dengan operasi Trikora selama dua tahun dari tanggal 19 Desember 1961 sd 15 Agustus 1962.

Mempersengketakan Belanda atas pemilikan kembali Papua, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Soekarno didasarkan pada logika daerah kekuasaan kolonial Belanda yang meliputi seluruh teritori dagang dari Dutch East Indies termasuk juga Papua. Periode pendudukan Jepang di antara tahun 1942-1945 telah menghilangkan kekuasaan Belanda termasuk juga ketika Jepang kalah dalam perang dunia kedua.  Sebagai pemenang perang dunia kedua, Amerika Serikat dan sekutunya ternyata berkuasa untuk menentukan arah perjalanan suatu negara. Negara-negara Eropa termasuk Belanda adalah penerima bantuan dari Amerika Serikat melalui program Marshal Plan dari tahun 1948 sd 1953 untuk membangun negara masing-masing  sesudah perang dunia kedua. Amerika Serikat dan sekutunya juga yang turut berkuasa menentukan nasib Papua yang akhirnya dimasukan dalam rencana pengembangan komunitas Ekonomi Eropa seperti dicantumkan dalam Perjanjian Roma tahun 1957.

Mempelajari sejarah pembagian wilayah-wilayah dari suatu daerah yang kalah perang dunia kedua, menyadarkan kita tentang kekuasaan besar yang sedang dilawan oleh seluruh warganegara Indonesia termasuk Papua, adalah pertumbuhan kantong-kantong kapitalisme, eksploirasi sumber daya alam dan rendahnya pemerintah Indonesia dalam membela rakyatnya sendiri berhadapan dengan gurita perekonomian dunia. Tiba pada kesimpulan ini, menyadarkan kita semua, bahwa perjuangan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di bumi Papua, adalah juga perjuangan seluruh warganegara NKRI.

Apabila pemerintah Indonesia sendiri tidak bisa lagi memperjuangkan nasib warganegaranya, termasuk melindunginya dari eksploitasi penanaman modal asing karena alasan-alasan sejarah, kekalahan perang dunia kedua, maka saatnya untuk seluruh warganegara bergandeng tangan mengupayakan pembebasan tersebut. Jalan ke sana memang panjang tetapi harus dimulai sekarang. Caranya adalah memberikan jempol anda kepada Petisi Warganegara NKRI untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua




Jumat, 20 Juli 2012

Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik


                             (stiker ajakan joblos Jokowi & Ahok terpasang pada pintu mikrolet)


“Jokowi,  Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik”
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Memasuki Jakarta sesudah Pilkada 2012, tanggal 11 Juli 2012, menarik ditulis. Saya sendiri penasaran mengerti pikiran apa yang ada dalam benak orang-orang Jakarta sesudah pasangan Jokowi dan Ahok mengungguli perhitungan suara.
Ini cerita mereka, orang Jakarta sesudah Pilkada.  Saya menikmati centohan mereka sesudah kembali lagi ke Jakarta.  Saya pernah menulis Jakarta Jakarta Jakarta http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/05/jakarta-jakarta-jakarta.html Cerita itu tentang tantangan hidup di Jakarta.

Sekarang saya mau menulis tentang manusia Jakarta. Jakarta Jakarta Jakarta, saya sebut demikian karena setiap saya ke sini segera balik Yogya sesudah urusan selesai. Datang ke Jakarta, jangan berlama-lama di sana. Saya selalu pusing keliling-keliling di Jakarta karena macetnya. Tetapi setiap ke sana, ada banyak cerita yang bisa mengalir menjadi tulisan. Jakarta memang seru!
Jadi saya senang sekali ngobrol dengan siapa saja yang suka bercerita tentang peristiwa beberapa hari lalu. Jakarta yang mengejutkan karena Pilkada 2012  putaran pertama dimenangkan oleh Jokowi  dan Ahok.
Kata orang Jakarta, “orang daerah” datang dan menang di Jakarta. Jakarta menerima berbagai orang dari seluruh Indonesia. Dulu yang paling gencar menggagaskan konsep menggelilingi Jakarta dari pinggiran adalah kader-kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa elit PKS yang pernah saya bertemu di Amsterdam, menjelaskan  slogan tsb seumpama seseorang yang sedang makan bubur panas.  Bubur panas enak di makan tetapi bahaya di lidah karena bisa hangus. Jadi kenikmatan tsb bisa didapat dengan memulai makan dari pinggiran menuju ke tengah piring.
Apa yang diinginkan oleh kader PKS ternyata hanya mimpi. Karena yang membuktikan kebenaran dari slogan mengelilingi Jakarta dari pinggiran ternyata malahan sedang diupayakan oleh pasangan Jokowi dan Ahok yang keduanya benar-benar dari luar Jakarta. Jokowi dari Solo dan Ahok dari Bangka Belitung.
Jokowi-Ahok sedang menjadi harapan dari wong cilik Jakarta. Mereka pada umumnya bukan penduduk resmi Jakarta. Ada banyak warga Jakarta mencari hidup sendirian di ibukota sementara anggota keluarganya menetap di kampung halaman, entah di dalam atau di luar pulau Jawa. Berbekal kartu tinggal sementara, mereka menempati rumah bilik persewaan bersama dengan beberapa orang yang saling mengenal. Kantong-kantong rumah kontrakkan sederhana tersebar di berbagai wilayah di sekitar DKI Jaya. Daerah-daerah dengan “slum” yang memberikan kontribusi pada Jakarta.
Mereka inilah yang mungkin pada saat akan dilakukan Pilkada 2012 DKI sangat mau ikut tetapi tidak mendapat undangan. Akses mereka sedikit. Tetapi mereka adalah orang-orang yang yang menyebut dirinya sebagai sukarelawan yang dengan kesadaran sendiri bersedia menjelaskan kepada calon pemilih  tentang siapakah Jokowi dan mengapa ia harus dipilih. Sebagai juru kampanye independen mereka menyebarkan luaskan ajakan supaya wong Jakarta memilih Jokowi- Ahok.
Seorang bapak, Ade Feri H sudah bekerja sebagai sopir taksi Blue Bird Group selama 18 tahun, dengan NIP 01945. Ia berasal dari Tasikmalaya, tinggal di Jakarta tanpa keluarga. Mengontrak bersama beberapa temannya, ia pulang kampung setiap tiga bulan. Ia seorang dari mereka yang selalu acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada. Tetapi tahun ini pilkada, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, ia sangat penasaran.
Katanya, bukan hanya dirinya yang penasaran tetapi juga banyak orang lain.  Orang Daerah berani masuk Jakarta dan menantang mereka yang sudah punya nama di Jakarta. Hampir sulit dipercayai!, demikian ceritanya bersemangat dengan saya.
Penasaran telah menyebabkan banyak orang Jakarta secara otodidak mau tahu siapakah orang itu,  Jokowi.  Publikasinya melalui media cetak sangat kurang. Tetapi selama masa kampanye, kedatangannya ketemu rakyat kecil di kereta api, terminal, pasar-pasar sangat mengharukan banyak orang. Masyarakat penasaran. Penasaran siapakah orang ini?
Apa yang mereka ketahui tentang Jokowi? Orang Jakarta ternyata melek teknologi informasi. Seorang pedagang kecil, seorang sopir, seorang pemilik toko bisa mengoperasikan komputer dan mengakses internet di warnet.  Informasi tentang Jokowi diterima dari googling di internet. Cerita-cerita yang sangat disukai terkait dengan kedekatannya Jokowi bersama wong cilik  di Solo. Cerita-cerita kesuksesan Jokowi di Solo, kemampuannya untuk menyadarkan warga masyarakat mempertimbangkan kembali cara membangun kota Solo telah memikat hari warga Jakarta.
Kepemimpinan Jokowi untuk memediasi proses pembangunan tanpa menimbulkan konflik dengan wong cilik menghasilkan banyak jempol dari warga Jakarta. Contohnya pemindahan pedagang kaki lima (PKL) dari pasar Banjarsari yang dilakukan sesudah menjamu mereka sebanyak 53 kali makan siang di rumah dinas Wali Kota Solo. Negosiasi berwajah kelembutan dan bersahabat dengan wong cilik menjadi cerita-cerita yang  menyentuh hati orang Jakarta.
Lapisan masyarakat Jakarta terdiri dari kelas atas, para jetset sampai mereka dari kaum dufa.  Penduduk Jakarta dengan jumlah rakyat berpenghasilan rendah menempati piramida paling bawah terbanyak di DKI.   Mereka ini bisa acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada, tetapi untuk Pilkada 2012 DKI Jaya mereka rela berubah.
Katanya ketika Jokowi mulai berkampanye, di Jakarta sudah berkembang aliran Jokowisme. Eh tahunya ada “slengean”, Jokowisme atau Jokowisdom. Kata orang Jakarta, sekarang di Jakarta ada keduanya, Jokowisme dan Jokowisdom. Yokowisme yaitu aliran “Joko”, sang manusia yang  tampil polos, apa adanya, tidak ganteng tapi percaya diri. Ketokohannya telah terbukti sebagai Wali Kota Solo yang melakukan gebrakan perubahan.
Solo sesudah Reformasi terkenal sebagai daerah dengan tingkat konflik tertinggi di Jawa Tengah. Kekerasan yang terjadi pada etnis Tionghoa ketika Reformasi sedang berlangsung masih membekas dalam benak wong Solo. Memberikan perhatian kepada PKL selain mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh warga Solo juga merendam potensi konflik berbasis ekonomi. 
Dalam mempercantik dan menata kota, ada kecenderungan PKL disingkirkan karena dianggap berdagang tanpa kualitas kelas. Diskriminasi terhadap PKL bisa memicu konflik ketika wong cilik dimobilisasi melakukan kekerasan terhadap sesama anggota komunitas karena alasan SARA.  Padahal dasar masalah ada pada "gap" ekonomi.
Jokowisme dimulai melalui branding Solo sebagai “the Spirit of Java”. Setiap kota menyimpan sejarah dirinya. Menonton sendratari Ramayana baik yang dipentaskan di dalam maupun di luar gedung di candi Prambanan, segera bisa membedakan pengaruh kedirian yang membedakan antara Solo dan Yogyakarta. Ramayana yang dipentaskan di Prambanan memberikan kesan kuat tentang pengaruh Solo yang dinamis. Pengaruh Yogyakarta dikenal sebagai penjaga pakem seni klasik Jawa.
 
Pengaruh Solo tampil dalam kostum pelakon Ramayana yang berwarna cerah, meriah dalam dandanan dan semarak dengan tata rias panggung. Cuplikan potongan cerita yang menakjubkan, mencekam seperti pembakaran kerajaan Alengka mengvisualisasi percampuran pementasan cerita klasik Jawa dalam kemasan tontonan modern.

Penonton pada pementasan outdoor Ramayana seolah-olah melihat di latar belakang, candi Prambanan sedang dibakar. Api menjulut merobohkan kekuatan Rahwana.  Pengaruh Solo mendudukan kota Solo  sejak jaman kolonial sudah melatih dirinya sebagai kota  dengan kesiapan mempertontonkan budaya Jawa dalam kemasan yang dinamis kepada penonton luar negeri.
Hasil jalan-jalannya ke negara-negara Eropa sebagai seorang pedagang meubel sebelum terpilih menjadi Walikota Solo menguatkan visi Jokowi tentang Solo. Solo, kota dengan semangat Jawa yang dinamis. Penataan transportasi dalam kota yang dilakukan dengan konsep pesiar menikmati kenangan dari kota Solo menghadirkan keinginan dari pelancong untuk terus menggali sejarah kota yang sedang dikunjunginya.
Misalkan penamaan bus tingkat “WERKUDARA” jelas menunjukkan romantisme masa dulu, ketika banyak kelas menengah Jawa berbicara bahasa Belanda. Werkudara berasal dari dua kata “werk” dalam bahasa Belanda yang berarti kerja dan udara, yang mengartikan tentang Solo sebagai kota kerja, kota produksi, kota dagang yang bisa dinikmati sambil berjalan-jalan.
Dunia masa dulu, sekarang dan masa depan adalah tetap sama. Orang senang berjalan-jalan. Melalui perjalanan ada ide baru, ada tambahan jejaring, ada perdagangan.  Pengunjung ingin menceritakan tentang kota yang dikunjunginya sehingga suatu kenang-kenangan diperlukan untuk mengabadikan ceritanya tentang tempat tersebut. Jadi pelancong bisa berjalan-jalan dengan Bus Batik Solo Trans untuk berbelanja oleh-oleh batik di pasar Klewer.  Jokowi mengerti tentang keberlangsungan kota Solo dari masa lalu hingga saat ini.
Kemeja kotak-kotak menjadi branding untuk Jokowi-Ahok selama masa kampanye Pilkada 2012 DKI Jaya. Makna kotak-kotak menyebarkan isme tentang ketiadaan pengotak-ngotakan. Masyarakat adalah keragaman secara etnis, ras, agama maupun status sosial. Dengan kerja bersama, menata kota, membangun keadilan bersama, maka nasib keberuntungan terdistribusi kepada semua lapisan masyarakat secara bersama. Pemerintah harus mempunyai kebijakan yang bisa mengubah nasib orang kecil.
Branding keberpihakan pemerintah kepada wong cilik benar-benar sudah terlihat dalam kepemimpinan Jokowi. Wong cilik di Jakarta percaya dan menginginkan Jokowi menjadi pemimpin mereka. Cerita-cerita inilah yang membuat warga Jakarta, percaya Jokowisme bisa membawa kemakmuran untuk semua penduduk di DKI. Jokowisme menokohkan Jokowi sebagai pribadi dengan wajah rakyat, berhati pejabat yang peduli pada wong cilik.

Jabatan yang diduduki Jokowi adalah untuk melayani rakyat. Kepedulian Jokowi karena ia adalah pemimpin yang berada di lapangan. Jokowi seorang pemimpin akar rumput, yang tahu keberhasilan pembangunan hanya bisa diukur apabila partisipasi wong cilik diakomadasikan dalam kebijakan pemerintah.
Jadi cerita tentang keberpihakan Jokowi di Solo, diserbu oleh wong cilik  di Jakarta. Berita-berita di internet yang menulis tentang Jokowi tiba-tiba mengalirkan suatu harapan untuk sebuah kebajikan bagi ibu kota negara RI, Jakarta. Keberpihakan orang kecil bukan omong kosong, ada buktinya. Jokowisdom adalah Joko, sang manusia dengan kebajikan, ngomong sedikit tapi laku terukur.

Jokowisdom menggandeng pribadi Joko dengan wisdom, kata dalam bahasa Inggeris yang berarti kebijaksanaan. Nilai-nilai kebajikan dalam pribadi Jokowi tampil sebagai kebijaksanaan yang langka di tengah bumi Indonesia di mana para pejabat cenderung menggunakan alasan demi "wong cilik" untuk membangun kepentingannya sendiri.

Contoh, acara jalan-jalan para pejabat DPR RI  ke Eropa untuk survei penataan transportasi di sana dengan alasan penyusunan RUU Transportasi. Pemborosan perjalanan dinas dengan uang rakyat, baru saja menuai protes publik dari beberapa LSM di Jakarta.  Harusnya wakil rakyat ini jalan-jalan ke Solo belajar proses kontekstualisasi  transportasi daerah yang berhasil menerapkan standar internasional kenyamanan dan kualitas manajemen pengangkutan umum.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Jokowi sebelum menjadi Wali Kota Solo. Dengan uang sendiri sebagai pedagang meubel Jokowi berjalan-jalan di Eropa bertemu dengan para buyernya, sambil belajar tentang negara mereka. Pengetahuan ini kemudian dimanfaatkan ketika menjadi Wali Kota Solo. Ketika menjadi Wali Kota, ia sukar mendapat waktu luang berjalan-jalan lagi, malahan membangun sistem perjalanan canggih di Solo termasuk menghubungkan Solo dengan Yogyakarta melalui Prameks, kereta api antar propinsi.
Pak Ade, sopir taksi Blue Bird, mengatakan, apabila Jokowi menjadi Gubernur DKI Jaya, ia ingin kebijakan transportasi di Solo diterapkan di Jakarta. Solo memang berbeda dengan Jakarta, katanya. Mengubah Jakarta memang harus dimulai dari jalan raya yaitu dengan melatihkan kesabaran kepada pengendara sehingga mereka bisa memperlancar jalannya kendaraan. Macet disebabkan karena pengendara terburu-buru terus menyerobot tanpa menjaga jarak yang memungkinkan pergantian jalur berjalan dengan baik dan lancar.
Harapan pak Ade, semoga Jokowi bersedia berada pada titik-titik macet di jalan raya di Jakarta seperti di Semanggi, di perempatan Tomang Raya dengan jalan tol Tangerang dan masih banyak titik lainnya. Tujuannya  supaya Jokowi bisa memberikan contoh kepada orang Jakarta tentang mengendarai kendaraan dengan kesabaran yang penuh.
Setidaknya kedua isu tsb dengan pengalaman keberhasilannya menangani  PKL dan transportasi yang elegan di Solo menyebabkan Jokowi – Ahok akhirnya memenangkan putaran pertama Pilkada 2012 di DKI Jaya.  Warga Jakarta menunggu Jokowisme and Jokowisdom diterapkan menata wajah dan kehidupan masyarakat di sana. Perubahan sudah di depan mata, jadi inilah saatnya wong cilik di Jakarta menguatkan barisannya meneguhkan pemilihan putaran kedua, memilih Jokowi-Ahok.

Tepislah berbagai upaya memindahkan isu keberhasilan Jokowi ke persoalan SARA!  Perubahan ada ditangan semua warga Jakarta, yaitu mereka yang belajar dari fakta-fakta, keberhasilan pemimpin yang sangat dicintai oleh PKL di Solo. Seorang pemimpin yang membawa perdamaian di Solo sehingga kebangkitannya kembali menjadi kota dagang yang beradab dan berbudaya tampil membanggakan. 
Kesempatan itu akan tiba di Jakarta ketika semua warganya terlibat membuat perubahan saat ini. Jakarta perlu pemimpin yang berwawasan kebangsaan, perdamaian tetapi juga seorang yang tahu pembelaan kepada wong cilik harus dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang adil.  Mendistribusikan pembangunan kepada semua pihak akan memberikan kedamaian kepada warga Jakarta, yang merupakan modal sosial untuk membangun kehidupan bahagia bersama.  Itu harapan yang saya dengar di mana-mana di Jakarta saat ini. Akhirnya secercah harapan akan tiba di Jakarta!

lihat juga tulisan terkait:

"Jakarta Memilih: Politik Tubuh Fauzi Bowo-Nara versus Jokowi-Ahok"
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/09/jakarta-memilih-politik-tubuh-fauzi.html
 

Minggu, 15 Juli 2012

.........m..e..t..a..m..o..r..f..o..s..e......







...m..e..t..a..m..o..r..f..o..s..e

oleh farsijana adeney-risakotta


tubuh
mendidih
bulu-bulu kuduk menegak
siap menerbangkan
memulai mentransmisi

sulit merendam
kecuali
melepaskan dengan kata-kata
sesudah
tubuh memanas
meleleh

meneteskan lelehan melemak diri
mengikis buangan lumutan
mengembalikan hidup
..m..e..t..a..m..o..r..f..o..s..e..
mengulangi berkali-kali
kuperlu meneruskan menyakinkan hidup

perlawanan datang dari dalam
menegakkan penglihatan
tentang ketiadaan keadilan
padahal
sedang membela inkonsistensi
hanya sekedar logika atau hidup?

kita mempersoalkan fondasi
berpikir
komitmen yang dibuat sendiri
tapi menutup menimbun dalam
kebanggaan diri
pembelaan yang terpotong

apakah karena tiada mengerti
atau
mau menjadi sejati sendiri?

mungkin sulit bukan karena tiada kecerdasan
hanya melelah  mengulangi
ketajaman mengerti proses
hanya mendapatkan
perubahan melambat

sebaiknya apa?
menanya memahami
yang sulit terlihat
sekalipun menampilkan kata

kulihat tubuh mengisi kosongan
bongkahan bukan lemak tapi otot menguat
melangkah ringan
hendak menerbangkan
kendali dari
diri tiada peduli

siapakah tubuh memetrasi
mematok diri dalam tanda tapak
bumi
berdiri sejati diri menguji
berulang kali
ketulusan menggugat

kugengam kuat sejati angan-angan suci
menuntun bentukan jati diri
mewadah
dalam kedinamisan hidup

melangkahlah
berlari lagi
sesudah nanti menghenti
menanti
mensyukuri Ilahi

..m..e..t..a..m..o..r..f..o..s..e...
melintasi mewujud
menjiwai mewadahi
menyerupai laku dari angan-angan suci
sampai kepenuhan melengkap

..m..e..t..a..m..o..r..f..o..s..e..

Jumat, 13 Juli 2012

Papua adalah korban Pertarungan Ideologi


Laporan Khusus Merayakan Empat Minggu Peluncuran Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. 

Papua adalah Korban Pertarungan Ideologi
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Saya sudah menuliskan refleksi tentang pembelajaran dari pembubaran Seminar Nasional“Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua setelah 43 tahun Pepera 1969”. Sesudah mendengar dari berbagai pihak, pembubaran seminar nasional tsb harusnya menjadi anjang pembelajaran untuk kita semua. Tujuan seminar untuk membangun dialog seyogiannya dilakukan sejalan dengan makna “dialog” itu sendiri.  

Mempersiapkan seminar dengan topik yang sensitif terkait dengan kehidupan langsung setiap warganegara yang sedang merasakan hak-haknya ditindas oleh NKRI, maka maksud keobyektifan secara akademis harusnya juga didukung dengan upaya melibatkan semua pihak dalam perencanaannya bersama. Tidak cukup mengedepankan upaya berdialog akademik yang cenderung menekankan aspek kognitif dalam menyelesaikan persoalan Papua.  

Persoalan Papua perlu didekati secara holistik, termasuk memulainya dengan lebih dulu meletakkan dasar kesetaraan yang bisa dirasakan secara bersama oleh semua pihak. Memang tekanan pada penyeimbangan dan pengalaman penyetaraan ini memakan waktu dan membutuhkan kesabaran, tetapi inilah prasyaratan dari keberhasilan suatu dialog. (Baca: farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/.../pembelajaran-dari-... ) 

Saya hadir pada seminar nasional dengan berdebar-debar. Saya sudah mendengar bahwa beberapa kali pelaksanaan seminar dibubarkan oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya mereka yang berhak terhadap persoalan Papua. Jadi saya mengasumsikan panitia persiapan seminarnya sudah mengerti tentang pengalaman sebelumnya dalam penyelenggaraan seminar seperti ini.  

Anggapan ini membuat saya optimis, tentang upaya seminar tsb yang diharapkan bisa memberikan pengetahuan yang komprehensif sehingga mampu mendorong proses evaluasi bersama tentang solusi terbaik untuk menangani persoalan Papua. Sekalipun ada “insiden” pembubaran, tetapi banyak hal yang meninggalkan permenungan mendalam bagi saya. Sesudah menunggu beberapa saat untuk mengerti dari berbagai bacaan lainnya, saya memutuskan menulis sekarang refleksi tsb. 

Masih kuat dalam ingatan dan perasaan debaran saya ketika, pembicara pertama, Julius Septer Manufandu, sebagai orang Papua yang menjadi salah satu inisiator Jaring Damai Papua membuka seminar dengan menyapa peserta: “wawawawawa...” Sapaannya berbeda dengan Kania Sutisnawinata yang mengatakan: “salam anak negeri” sebagai sapaannya di Metro TV. Septer, demikian panggilan dari Sekjen Forum Lembaga Swadaya Masyarakat/ Foker LSM Papua, dalam caranya menyapa itu membuat bulu kuduk saya merinding. Saya teringat seorang teman dari Kenya dalam presentasi EATWOT (Ecumenical Association of Theologians from Third World), pernah tampil dengan sapaan yang sangat mirip penyebutannya. 

Suatu sapaan yang menyatakan ucapan syukur, kegembiraan atas pertemuan yang sedang terjadi. Ucapan keharuan tentang pertemuan yang bisa terjadi dan ucapan terima kasih untuk harapan dalam mengakhiri pertemuan bersama itu. Saya memandang wajah-wajah yang ada di kiri dan kanan, hanya basudara Papua yang menyapa balik dengan mengatakan: “wawawawa..”.Muka mereka bergembira. Ucapan itu setara dengan menyebut “assalamailakum” atau“shallom” atau “salam sejahtera”. Saya merasa seolah-olah sapaan Septer sedang menghadirkan seluruh rakyat Papua di ruang University Club UGM. 

Tanpa menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan Pepera 1969, Septer lebih banyak menjelaskan tentang dampak sesudah 43 Pepera tsb. Sesudah Septer selesai menyampaikan makalahnya, saya berharap di antara pembicara lainnya ada pengupasan tentang Pepera 1969, yang juga merupakan maksud dari seminar tsb, tetapi harapan saya tidak tercapai. Sedikit ulasan tentang Pepera 1969 disampaikan dalam sambutan Kementrian Lingkungan Hidup RI maupun dalam TOR panitia penyelenggara. Untuk maksud ini, saya mempersiapkan tulisan mandiri terpisah terkait dengan Pepera 1969. 

Memulai uraiannya dengan pembahasan dua pertarungan nasionalisme yang belum pernah terselesaikan, yaitu Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, Septer sekaligus menunjukkan dampaknya yang telah mengorbankan nyawa, materi dan waktu. Kedua pihak membuat definisi masing-masing, baik mereka yang menyebutkan dirinya sebagai pejuang Pembebasan Papua maupun pemerintah RI, sehingga konflik beraras negara tidak bisa dihindari lagi. Perjuangan pembebasan Papua bagi Septer adalah kemerdekaan bagi setiap insan Papua untuk dihargai semartabat dengan warganegara NKRI lainnya. 

Pembebasan Papua yang dimengerti oleh rakyat Papua adalah upaya untuk dirinya mencapai keadilan, kesejahteraan dan perdamaian. Sementara nasionalisme Indonesia mengerti pembebasan Papua adalah ekspresi dari politik separatisme. Sambil mempertanyakan siapakah sebenarnya yang memunculkan “separatisme”, Septer menunjukkan tentang berbagai kebijakan nasional yang dengan sengaja sedang dilakukan untuk menyingkirkan orang asli Papua.  

Pemahaman separatisme ini dibangun berdasarkan ideologi nasionalisme Indonesia yang membatasi definisinya tentang NKRI sebagai suatu kesatuan teritori tanpa melengkapinya dengan tanggungjawab ideologi kemanusiaan sebagai mutlak dari esensi nasionalisme itu sendiri. Bingkai NKRI yang diperjuangkan semata-mata materi, teritori dan bukan manusia Papuanya. Ideologi NKRI yang cenderung fisik, mengarah pada teritori fisik bukan ideologi pembebasan, pemenuhan hak-hak mendasar bagi bangsa Papua sungguh bertentangan dengan Pancasila itu sendiri. 

Tantangan makin besar buat NKRI nampak dari kevakuman dalam menceritakan kepada rakyat Papua tentang nasionalisme Indonesia. Indonesia bagaimanakah yang harus disampaikan kepada rakyat Papua, apabila dalam kenyataannya nasionalisme Indonesia sendiri tampil bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar dari bingkai penyatuaan NKRI. Apakah yang dialami rakyat Papua terkait dengan kesehatan, pendidikan dan juga pendudukan militer terlama di seluruh Indonesia yang sedang terjadi di Papua?  

Pengalaman yang mereka rasakan berbicara lain dari apa yang dimaksudkan dengan menjadi warganegara NKRI. Otsus yang diberikan kepada rakyat Papua ternyata juga tidak ditopang dengan penguatan infrastrukturnya sehingga mengalirnya uang secara cuma-cuma per rumah tangga Rp 50.000.000 per tahun ternyata tidak mengubah nasib rakyat Papua.   Ditambah dengan tingkat kemahalan di Papua, uang bantuan pemerintah tidak berarti apa-apa untuk masyarakat. Dikatakan satu sak semen di Jayapura seharga Rp 75.000,0 bisa dijual di puncak Jaya seharga di antara Rp 1.200.000 - Rp 1.500.000,-   Papua adalah propinsi dengan biaya hidup minimum yang termahal  di seluruh Indonesia.
 
Jumlah transfer Otsus sejak tahun 2001 sd 2011 yang sudah mencapai 30 triyun Rupiah ternyata terserap lebih banyak kepada rakyat non asli Papua. Sekalipun diakui 99% dari birokrat yang adalah pemimpin dari instansi pemerintah ditempati oleh orang asli Papua, tetapi lapisan berikutnya telah diisi oleh warganegara non asli Papua. Kesenjangan nampak terlihat di antara pendatang dan warganegara asli Papua dalam menduduki lapangan kerja yang ada di Papua. 

Papua sejak pengintegrasiannya dengan NKRI telah mengalami dan masih terus terjadi yaitu perampasan tanah dan eksploitasi sumber daya alamnya. Selain Freeport sebagai bentukan dari penanaman modal asing pertama di Papua, ada kurang lebih 142 perusahaan asing yang sedang beroperasi di Papua. Jumlah luas tanah-tanah yang dirampas berkisar 16 juta ha sejak tahun 1967 ketika pemerintah RI memulai perijinan kepada Freeport beroperasi di Papua. Dengan nilai ekonomis yang NKRI menerima dari eksplorasi besar-besaran tanah Papua, rakyat Papua sendiri adalah mereka yang paling termiskin di tanahnya yang sangat kaya.

Mendasari pembahasannya pada kenyataan praktek nasionalisme Indonesia di Papua, Septer kemudian dalam kesempatan tanya jawab mempertanyakan, bisakah nasionalisme Papua diterima menjadi bagian dari nasionalisme Indonesia? Tidak cukup menerbitkan Otsus yang dilihatnya sebagai titik penyeimbangan baru tanpa ditopang dengan suatu bentuk tindakan afirmasi politik.  

Penegakan Otsus bisa dicapai lagi melalui tindakan afirmasi politik bagi orang asli Papua supaya mereka bisa difasilitasi diberdayakan sampai pada titik kesiapannya untuk bisa bersaingan dengan warganegara lain, pendatang yang mencari nafkah di Papua. Dengan cara ini pemekaran daerah bukan sekedar eforia, tetapi diikuti dengan penguatan kapasitas terpasang yang penyerapan manfaatnya terdistribusi merata ke seluruh rakyat asli Papua.  

Usulan-usulan yang disampaikan oleh Septer ternyata menunjukkan kesiapan rakyat Papua untuk berdialog dengan Pemerintah RI. Menutup pembahasannya, Septer mengingatkan peserta seminar nasional tentang janji Presiden SBY untuk melakukan dialog Papua – Jakarta. Kesiapan rakyat Papua sudah terlihat sejak Kongres Perdamaian di tanah Papua pada tanggal 7 Juli 2011. Kongres ini dihadiri oleh 1000 orang utusan dari seluruh Papua, yang  memilih lima utusan rakyat Papua untuk melakukan lobbying kepada pemerintah RI mempersiapkan lebih lanjut agenda, mekanisme dan hasil yang diharapkan bersama dari proses dialog tersebut.  

Sekarang eforia Presiden SBY terhadap persoalan Papua yang seolah-olah hendak meniadakan dialog Papua-Jakarta dengan mereduksi persoalan Papua pada pernyataan NKRI sebagai harga mati sudah semakin jelas sebagai suatu upaya pembohongan publik. Pemerintah SBY sedang melakukan pemutar balikan fakta bukan saja sedang membohongi warganegara NKRI-Papua, tetapi seluruh warganegara NKRI di bumi Indonesia. Karena itulah, warganegara NKRI perlu mengingatkan Pemerintah SBY tentang kesiapan warganegara NKRI-Papua dalam melakukan dialog, karena waktu mereka sudah tiba dan tidak seorangpun, termasuk Pemerintah bisa meniadakannya.