Translate

Minggu, 31 Juli 2011

Ramadhan 2011 dan Dilema Pemberian Maaf kepada Koruptor

Ramadhan 2011 dan Dilema Pemberian Maaf kepada Koruptor
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Bulan suci Ramadhan segera dimulai. Menjelang pelaksanaannya, dalam tradisi Jawa, menurut salah seorang sahabat Muslim saya, inilah saatnya memohonkan maaf. Tujuannya adalah supaya perjalanan ibadah puasa dapat diridhoi Allah SWT. Siang ini, Minggu 31 Juli 2011, Kegiatan belajar bersama dengan ibu-ibu di basis yaitu Balai Perempuan Mekar Jaya di Kecamatan Sedayu, kabupatan Bantul ditutup dengan permohonan maaf atas kekhilafan kami sehingga keiklasan untuk memaafkan sesama akan meluruskan perjalanan ibadah selama bulan Ramadhan.

Karena kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan dan anak yang dilakukan bersama, pergaulan akrab dengan saudara-saudari saya yang beragama Islam mengajarkan tentang sikap hati yang harus dibangun sebelum memasuki puasa. Seorang yang akan berpuasa wajib untuk memohonkan maaf dari sesamanya, berlaku dari seorang yang lebih muda kepada yang lebih tua.

Teman-teman mengirimkan berita permohonan maaf supaya proses menjalani puasa berjalan dengan hikmat dari Allah. Dalam keiklasan saya pun memohonkan maaf apabila ada kekurangan saya sehingga menimbulkan hambatan dalam berelasi dengan sahabat-sahabat saya maupun masyarakat luas yang menerima pelayanan kami. Kiranya pintu maaf dibukakan sehingga ibadah puasa yang dijalani selama bulan Ramadhan bisa berjalan dengan rahmat dari Allah SWT.

Pentingnya makna permohonan maaf yang perlu diberikan di antara umat manusia kepada sesamanya menjadikan perjalanan ibadah agama mempunyai arti mendalam. Memaafkan sesama dan mendorong diri sendiri memaafkan orang lain merupakan prasyarat untuk menghadirkan Allah SWT menyempurnakan jalan menuju keselamatan bersama.

Mekanisme penyucian yang dibangunkan dalam ajaran agama seperti Islam bertujuan untuk membawa manusia kembali kepada kesadaran tentang kekilafannya. Tidak ada manusia yang sempurna. Melalui ketidaksempurnaannya, kesalahan yang ada pada dirinya manusia belajar memperbaharui dirinya.

Puasa dalam Islam tidak sekedar persoalan makan dan minum. Menahan dahaga dan lapar adalah jalan untuk mengoreksi ke dalam diri seorang manusia di hadapan Allah SWT. Puasa membukakan pintu kepada seorang manusia menengok perilaku kehidupannya yang tidak berkenaan di hadapan Allah dan sesamanya. Puasa adalah perintah dari Allah SWT supaya manusia mengkuduskan dirinya sehingga siap menjalankan kehidupan baru yang murni dan suci. Dalam rahmat Allah SWT bulan Ramadan bisa dilewati bersama, kemudian umat Islam merayakan kehidupan “yang suci”, yang fitri melalui hari raya Idul Fitri.

Puasa di bulan Ramadan adalah sunnah bagi umat Islam. Islam mengajarkan tentang berpuasa dalam bulan Ramadan sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, berbuat baik kepada sesama dan memaafkan kesalahan orang lain yang pernah berbuat salah kepada diri kita sendiri.

Di Indonesia, hanya beberapa hari menjelang puasa, koran-koran dihebohkan dengan himbauan dari salah satu Ketua DPR RI 2009-2014, Marzuki Alie dari Partai Demokrat, supaya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dibubarkan dan para koruptor dimaafkan (Kompas 29 Juli 2011). Entah himbauan ini dilakukan sengaja atau tidak, tetapi penempatannya menjelang bulan Ramadhan memberikan makna mendalam kepada kita semua. Terutama saya, untuk merefleksikannya.

Pada satu sisi, semua orang beragama diwajibkan saling memaafkan sehingga akan muncul kehidupan yang damai. Tetapi pada sisi yang lain seorang beragama juga harus mendorong terjaminnya pelaksanaan nilai-nilai agama yang diyakini bersama. Himbauan memaafkan koruptor yang disampaikan menjelang bulan Ramadhan, seolah-olah bertujuan untuk memanfaatkan kebaikan dari wajah agama yang mulia. Padahal tindakan korupsi merupakan tindakan yang dengan sengaja mementingkan diri sendiri, kelompoknya sendiri dengan mengambil uang bersama yang tidak semestinya dimiliki mereka.

Korupsi merugikan negara dan masyarakat karena uang yang dikorupsi berarti mengurangi alokasi dana untuk suatu program pembangunan yang dibutuhkan oleh warga negara lainnya. Maraknya korupsi di Indonesia sebenarnya menunjukkan pencurian uang negara yang harus dialokasikan untuk mengentas kemiskinan, angka kematian anak, peningkatan kesehatan perempuan, persamaan akses pendidikan dasar kepada seluruh warga negara dan berbagai aspek pembangunan lainnya. Korupsi berdampak bagi pemotongan jatah dan pelayanan publik yang menjadi hak dari warga negara yang miskin. Mereka yang hanya bisa makan jagung ketika stok beras sudah habis.

Himbauan yang disampaikan oleh Marzuki Alie mungkin beralasan. Sikap skeptismenya terkait dengan lemahnya kinerja KPK yang harus mengamankan sistem anti korupsi ternyata dalam proses pemberantasannya malahan terlibat dalam korupsi. KPK ternyata tidak kuat menahan godaan dari sistem korupsi yang sudah membudaya dalam kehidupan di Indonesia.

Dibulan Ramadhan, mungkin godaan besar yang harus diperangi bukan hanya tidak makan dan minum, tetapi melawan hasrat untuk mendapat uang dengan jalan korupsi. Godaan yang harus diperangi adalah menahan keinginan untuk mencapai keberhasilan tanpa kerja keras. Seorang yang melakukan korupsi adalah mereka yang dengan sengaja memilih untuk meremehkan Allah SWT yang juga turut bekerja membangun bumi ini. Kesetiaan Allah SWT dalam menyempurnakan pekerjaannya tidak dilakukan sebagai suatu lompatan. Allah bekerja setahap demi setahap. Penciptaan alam semesta dilakukan mengambil bentuk proses kerja seorang anak manusia yang berpeluh sebelum akhirnya ada waktu perhentian untuk menikmati jerih payahnya.

Orang bisa membangun argumentasi bahwa sang koruptor juga harus bekerja keras untuk menyembunyikan jejaknya sehingga tidak tertangkap dari tuduhan mengkorupsi. Ide yang paling pokok dari korupsi adalah mencuri sesuatu yang bukan miliknya. Uang-uang yang dikorupsi di Indonesia, ramai-ramai diborong di lembaga legislatif, eksekutif maupun judikatif adalah uang rakyat, uang setiap dari kita yang membayar pajak. Di sana ada uang saya sebagai pembayar pajak kepada negara.

Mencuri merupakan perbuatan yang dilarang dalam ajaran agama apapun. Apalagi kalau akibat mencuri menyebabkan hak orang miskin tidak terpenuhi. Tiada gunanya membayar zakat kepada orang miskin apabila kemudian sistem korupsi dipelihara. Korupsi merupakan upaya sistematis untuk melanggengkan kemiskinan karena hak rakyat biasa diambil dengan cara yang canggih oleh koruptor-koruptor. Upaya dengan sengaja memiskinkan rakyat karena banyaknya harta bersama yang dibayar dari pajak dikorupsi oleh kelompok tertentu harusnya menjadi keprihatinan dalam bulan Ramadhan.

Korupsi adalah proses mencuri yang dilakukan dengan sangat canggih terselubung, kecuali penampakkannya terlihat pada perubahan gaya hidup secara mendadak. Para koruptor biasanya tidak bisa menahan diri untuk tidak segera menggunakan kekayaan dadakan yang diterimanya. Ia bisa membelanjakan berbagai kebutuhannya yang mencekamkan orang-orang di sekitarnya. Karena ternyata seorang koruptor berpangkat dan bergolongan menengah, dengan gaji yang biasa saja tetapi bisa memiliki kemewahan yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Dalam bulan Ramadhan, apakah himbauan Marzuki Alie harus dilakukan supaya seorang bisa disebut sebagai seorang yang bertakwa. Himbauan Marzuki Alie untuk memaafkan seorang koruptor, menurut saya akan melibatkan seluruh masyarakat, warga negara yang bukan hanya umat Islam.

Korupsi yang merupakan budaya di Indonesia, bukan monopoli orang-orang Muslim tetapi hampir semua warga negara dari berbagai latar belakang agama bisa melakukan korupsi. Karena korupsi merupakan tindakan yang merugikan bagi negara dan masyarakat, maka para koruptor harus ditindak secara hukum. Ajakan untuk membubarkan KPK dan memaafkan koruptor harus dilawan karena ajakan ini merupakan himbauan dari mereka yang sedang berkuasa, untuk melindungi kelompok-kelompok tertentu dan jejaring yang ada di bawahnya yang sudah tercium bau korupsinya oleh KPK.

Seharusnya dalam bulan Ramadhan inilah, lembaga-lembaga keagamaan mendukung proses pemurnian tekad bersama manusia Indonesia untuk memberantas korupsi di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bisa didorong untuk bahkan mengeluarkan fatwa tentang pemberantasan korupsi sebagai upaya bersama mengoreksi kebersihan diri dan kelompok dari tipu daya pencurian uang negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Melalui cara inilah, kita semua akan makin yakin keselamatan yang dijanjikan Allah SWT kepada Indonesia, kepada setiap insan warga negara, dan anggota keluarganya akan terpenuhi.

Untuk saudara-saudari saya, Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia untuk semua, saya menyampaikan selamat memasuki bulan suci Ramadhan 1432 H. Marhaban Yaa Ramadhan. Kiranya Ibadah Puasa memberikan berkah bagi kita semua di Indonesia. Amin. Amin. Amin.

Senin, 25 Juli 2011

Anak-anak Tanoker Ledokombo untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua

Anak-anak Tanoker Ledokombo untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Sebelum ke Ledokombo, saya membayangkan suasana pedesaan seperti di Yogyakarta. Topografi Ledokombo mengombinasikan kelimpahan dari alam mendatar seperti di Bantul, dengan kelimpahan air seperti di Sleman, dan perbukitan seperti di Kulon Progo dan Gunung Kidul. Ledokombo menampilkan berbagai kombinasi keberuntungan alam yang indah, subur dan berlimpah dengan air. Perbukitan di Gunung Kidul dan Kulon Progo indah dan subur di musim hujan, tetapi ketika kemarau tiba menjadi kering keronta. Pada saat itu, masyarakat akan menjual binatang piaraannya seperti kambing untuk membeli air supaya bisa hidup selama masa paceklik.

Ledokombo di ujung utara dari kabupaten Jember yang terkenal dengan perkebunan tembakau.Karena daerahnya yang berbukitan, kebanyakan masyarakat di Ledokombo menanam tembakau daripada padi. Tembakau adalah tanaman warisan penjajahan Belanda. Kelimpahan air tidak sendirinya mencerminkan kemakmuran rakyat Ledokombo. Di sini ternyata banyak penduduk yang bekerja sebagai buruh tani. Seperti di Yogyakarta, di Bantul, banyak petani juga adalah buruh tani. Lahan pertanian mereka sudah terbagi-bagi sebagai bagian dari pewarisan. Tanah menyempit untuk bertani. Berhadapan dengan dilema penimpisan pemilikan lahan pertanian, petani di Yogya, seperti di Bantul cenderung bekerja ganda sebagai buruh bangunan sambil menunggu musim panen tiba. Petani dari Kulon Progo bahkan sesudah musim tanam akan memilih tinggal di kota Yogyakarta sebagai pemulung dari pada di desa tanpa pekerjaan.

Kesan yang sama terlihat di Ledokombo. Keterbatasan tanah pertanian menyebabkan warga melakukan migrasi ke Bali, terutama kaum lelaki untuk bekerja sebagai buruh bangunan dan pekerja lainnya. Sementara hampir sebagian besar perempuan memilih menjadi TKI ke luar negeri. Desy, gadis cilik yang cantik dan cerdas, yang memberikan nama tante Neli artinya tante nenek lincah kepada mba Julia Suryakusuma, harus berpisah dengan ibundanya karena pekerjaannya sebagai TKI ke Arab Saudi. Desy berumur 12 tahun sehari-hari adalah anggota komunitas belajar di Tanoker, Ledokombo.

Sukarelawan yang mengajar Desy dan teman-temannya, seperti mas Faruq adalah sarjana jebolan Universitas Jember fakultas Ilmu Pendidikan. Sayangnya ia bernasib sama dengan hampir semua lulusan universitas, yang harus bersaing untuk mendapat pekerjaan di sekitar Jawa Timur. Mas Faruq adalah seorang guru madrasah yang dibayar setiap bulan kurang lebih Rp 100.000.- Rendahnya bayaran kepada seorang sarjana seperti mas Faruq karena terkena berbagai potongan mulai dari kabupaten, kecamatan sampai dengan di desa. Tetapi mas Faruq masih beruntung, karena ada sekitar 8000 luluasan PT yang tahun ini berlomba untuk ujian PNS yang hanya menerima sekitar 100 orang.

Inilah wajah Ledokombo di kabupaten Jember yang mempunyai Universitas Jember ternyata masih menimbulkan persoalan kepada masyarakat sendiri. Ketersediaan Universitas belum menyelesaikan masalah banyaknya pengangguran terdidik di daerah ini. Keterbatasan lahan pertanian menyebabkan pilihan keluar daerah menjadi alternatif yang paling menjanjikan. Keluarga-keluarga yang dulu utuh mulai terpisah. Anak-anak dibesarkan oleh seorang ayah, atau seorang ibu dengan ditemanin oleh nenek dan kakek. Ciri khas keluarga besar yang tinggal bersama mulai berubah menjadi keluarga-keluarga atom, yaitu keluarga yang terpecah-pecah.

Di dalam konteks masyarakat pedesaan bercirikan keluarga-keluarga atom inilah mba Ciciek Farha dan mas Supoharjo dipanggil pulang ke Ledokombo. Ibunda mas Supo semakin menua. Sebagai anak tunggal muncul tanggungjawab merawat ibunda yang mencintai tanah kelahirannya di mana air sungai mengalir di kebun belakang rumahnya. Saya menikmati mandi dari pancuran di hari panas sesudah tiba di Ledokombo. Pancuran alam meninggalkan kesan kehidupan bersahaja masyarakat yang jauh dari penggambaran UU pornografi dan pornoaksi dimana lelaki dan perempuan bukan dari satu keluarga bisa mandi dari masing-masing akses sumber air yang mengalir. Di desa yang berlimpah air, ditemanin oleh Moksha dan Nezo, kedua anak lelaki mba Ciciek dan mas Supo, mereka sekarang sesudah dua tahun mulai membawa harapan baru kepada masyarakat di sana.

Tanoker adalah kelompok belajar untuk anak-anak. Kata "tanoker" berasal dari bahasa Madura yang berarti kepompong. Banyaknya orang Madura dan Jawa yang tinggal di Jember menghasilkan perpaduan budaya yang menarik, yang disebut Pendalungan dengan tampilan bahasa dan keseniannya yang sangat khas. Kekhasan inilah yang hendak dilestarikan oleh kelompok belajar Tanoker. Di tanoker, selain anak-anak belajar, mereka juga bermain bersama. Moksha ketika masih di Jakarta, menjalani pendidikan di rumah. Home schooling yang dibimbing oleh kedua orang tuanya, mba Ciciek dan mas Supo, bisa bersaing dengan anak-anak lainnya. Moksha sekarang kembali ke sekolah di kelas I SMU. Tetapi semangat dari pola belajar mandiri membentuknya menjadi pemimpin sehingga bisa mengorganiser kegiatan belajar Tanoker. Anak-anak di sekitar desa Ledokombo bahkan dari desa-desa terdekat bergabung dengan kelompok Tanoker.

Ada sekitar 200 anak yang terkabung dengan Tanoker. Mereka bertemu rutin untuk belajar berbagai materi tambahan dari sekolah sambil menari. Pada festival anak nasional di Jember tahun lalu, 2010 anak-anak Tanoker keluar sebagai pemenang juara umum untuk semua jenis pertandingan. Keberhasilan anak-anak Tanoker ini mulai menarik perhatian seorang mahasiswa sosiologi dari Universitas Brawijaya untuk meneliti dampak perubahan sosial yang sedang terjadi di sini.

Bunyi-bunyi patahan bambu dan kayu menghentak berirama. Tanah seolah-olah hendak terbuka memberikan kembali kelimpahan yang ada dibalik rerumputan. Kelincahan kaki dan kekuatan ketegapan kaki menampilan ketrampilan tarian egrang yang sangat dinamis. Anak-anak ini adalah anak-anak yang rata-rata terlahir dari keluarga Indonesia masa kini. Pekerjaan menjadi masalah, sehingga orang tua terpisah dan meninggalkan keluarganya untuk mencari sesuap roti. Tanoker memberikan harapan dan cinta kasih kepada anak-anak ini. Yoga, seorang anak SD yang kekar, kalau sedang menari egrang mengingatkan saya kepada penampilan Hanoman, sang monyet sakti, tetapi ini adalah Hanoman ala Ledokombo. Kira-kira berumur 7 tahun dari muka Yoga terpancar kharisma keteguhan hatinya. Yoga ingin mengubah masa depan anak-anak di Ledokombo.

Karena anak-anak inilah, saya memutuskan ke Ledokombo. Festival Egrang kedua 2011 diikuti oleh 47 peserta kelompok anak-anak di seluruh kecamatan Ledokombo. Mba Ciciek dan mas Supo mulai sedikit lega ketika melihat perhatian pemerintah untuk mempertimbangkan egrang sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Keterlibatan anak-anak dari berbagai sekolah mewarnai kompetisi yang berlangsung dengan meriah. Sebagai seorang juri, bersama dengan teman-teman lain, seperti mba Julia Suryakusuma, Columinst Jakarta Post, Emma Baulch dari Australia National University, Yati Kaprawi dari Malaysia, saya menikmati kegerakan kebangkitan harapan dari anak-anak ini (Koran Surya Minggu, 24 Juli 2011, hal.6)

Mereka adalah anak-anak yang akan mengubah Indonesia. Mereka akan memberikan inspirasi bagi anak-anak lain di seluruh Indonesia. Mereka juga bahkan akan menyatukan orang tuanya yang berpisah, dan masyarakatnya yang terpecah-pecah karena garis politik dan aliran agama yang berbeda-beda.

Ketika saya menulis catatan tentang mereka, saya terikat bersama dengan mereka naik truk, barengan dengan mba Ciciek menemani anak-anak untuk membawa mereka pentas di kantor Kabupaten. Di sinilah mereka mempresentasikan tarian egrang yang sebelumnya dipentaskan di lapangan kecamatan Ledokombo pada tanggal 23 Juli, tetapi pada tanggal 24 Juli sebelum Jember Fashion Carnaval berlangsung, anak-anak menari di hadapan bupati, Akbar Tanjung, Nina Akbar Tanjung dan ibu-ibu dan bapak-bapak dari WWI (yayasan Warna Warni).

Mey sedang dirias dan di belakangnya berdiri Desy memang tulisan berjudul Jember Jiwaku


Anak-anak inilah yang telah merebut hati Mey, anak dari Prof Emma yang ingin berdandan seperti penari-penari perempuan cilik. Jadi di atas truk ketika sedang berjalan, saya mengabadikan ketenangan seorang anak Australia yang membiarkan mukanya dirias oleh seorang ibu dari Ledokombo. Inilah bukti persahabatan antar bangsa yang terbangun dari ketulusan anak-anak Ledokombo. Mengingat mereka, mengingat anak-anak saya yang ada di mana-mana, kepada mereka saya ingin menulis dan bekerja untuk Indonesia. Terima kasih mba Ciciek dan mas Supo yang mendorong saya memasuki keindahan kehidupan di sana. Persahabatan dan persaudaraan kita menguatkan perjalanan bersama melayani untuk semua, Indonesiaku, Indonesiamu, Indonesia untuk semua.

Selasa, 19 Juli 2011

Tudung kepala dan penerusan pergerakan perempuan

Tudung kepala dan penerusan pergerakan perempuan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)

Koalisi Perempuan Indonesia bukan pondok pesantren di mana para santri putri tinggal bareng-bareng. Tetapi selama 10 hari kami tinggal bersama di sini, mungkin mirip seperti tinggal di pesantren. Pendidikan Kader Lanjutan bukan sekolah. Sepuluh hari hidup bersama teman-teman memberikan pengalaman lain bagi saya. Hidup bersama perempuan menyatukan kami semua tanpa perbedaan kelas, latar belakang pendidikan dan pengalaman. Ini pengalaman pertama berkamar dengan dua teman Muslim dari Aceh dan Nusa Tenggara Barat.

Menuliskan tentang pengalaman perempuan merupakan titik berangkat membangun kesadaran siapakah seorang perempuan. Umur saya 46 tahun. Kesadaran tentang eksistensi keperempuaan makin menggetarkan dalam hidup saya sesudah menyaksikan tentang kekerasan massa di tahun 1999 sd 2003 dalam perang saudara di Maluku yang memisahkan warga berdasarkan agamanya. Ketika itu, perempuan yang biasanya menggunakan tutup kepala sebagai tradisi yang lazim ditemukan di pedesaan Maluku harus bersedia melepaskan tradisinya ini.

Perempuan-perempuan Kristiani diteror apabila mereka mengenakan tutup kepalanya, mereka akan ditembak oleh penembak gelap. Pengalaman ini sangat mendalam mempengaruhi perubahan arah perjuangan saya. Saya berjanji untuk diri sendiri bahwa saya akan selalu bersama perempuan.

Kekuatan militer menjadikan perempuan Kristiani takut dan mengubah kebiasaannya untuk menutupi kepalanya. Hanya perempuan-perempuan Muslim yang dibolehkan untuk meneruskan tradisinya karena dianggap sebagai bagian dari ibadah.

Intervensi militer terhadap tubuh perempuan menyusup bersama dalam ajaran agama. Upaya memecahkan kesatuan masyarakat dari tradisi terjadi ketika tubuh perempuan dipandang sebagai sarana identitas berbasis agama. Peristiwa kekerasan di Maluku menampilkan kepada saya suatu gambaran tentang intervensi negara terhadap pengubahan cara ekspresi perempuan.

Tiba pada kenyataan ini saya kemudian memutuskan untuk menggunakan tutup kepala supaya mendorong perempuan-perempuan kristiani kembali melakukan kebiasaannya. Sekitar 7 tahun gerakan menutup kepala saya lakukan dalam solidaritas dengan perempuan-perempuan korban perang di Maluku.

Keputusan saya menggunakan tutup kepala ternyata juga tidak mudah. Perempuan-perempuan Kristiani menunjukkan keprihatinan mereka karena keberanian saya memasuki wilayah mereka sambil menggenakan tutup kepala. Tutup kepala itu bukan jilbab. Tetapi konstruksi militer yang sudah terbangun dalam masyarakat bahwa seorang yang menutup kepalanya adalah seorang Muslim ternyata harus berhadapan dengan saya.

Kunjungan-kunjungan saya ke kampung-kampung Kristiani dicurigai sebagai seorang Muslim yang sedang menyusup. Saya pernah ditahan untuk dimintai keterangan tentang identitas saya ketika saya memasuki satu desa di pulau Ambon di propinsi Maluku. Mereka ingin memastikan tentang siapakah perempuan bertudung itu?

Bertudung kepala merupakan strategi awal membangun pergerakan saya tentang menjadi seorang Indonesia. Indonesia saat ini adalah Indonesia tentang kebangsaan. Reformasi membawa kebebasan meraih keadilan dan demokrasi bagi Indonesia, tetapi pada saat yang sama Indonesia ternyata terikat dengan kenyataan-kenyataan pemisahan yang dengan sengaja dibentuk dalam negara.

Pemisahan warga masyarakat termasuk pembentukan identitas perempuan dari apa yang digunakannya merupakan proses reduksi yang sedang terjadi dalam politik Indonesia saat ini. Saya merefleksikan titik awal pergerakan saya dengan pengalaman belajar bersama selama hampir 10 hari. Kesempatan hidup bersama dengan teman-teman saya yang Muslim membangun keyakinan saya tentang solidaritas mendalam yang dapat dikembangkan karena kita bersama ingin pengalaman tersebut ada.

Salah satu pengalaman yang selalu akan saya kenang adalah ucapan akrab dari bu Khaidir setiap kali memasuki kamar kami. Saya biasanya ada di kamar sedang membaca atau mengetik ketika bu Khaidir mengatakan “assalamailakum”. Saya membalas: “walaikum salam”. Kemudian kami mendiskusikan tentang apa yang pernah saya dengar tentang larangan mengucapkan kalimat assalamailakum kepada seorang non Muslim.

Saya menanyakan mengapa bu Khaidir menyapa saya dengan itu, padahal saya seorang Kristiani. Jawabannya sungguh mengharukan hati saya. Bu Khaidir mengatakan bahwa ia menyapa saya karena saya seorang sahabatnya. Tinggal satu kamar membuat ia merasa saya seperti saudarinya. Kalimat “assalaimailakum” merupakan kalimat yang dekat di hatinya. Menyapanya kepada saya adalah suatu rahmat kepada dirinya sendiri.

Pengalaman membuat kita berbicara melintasi kata-kata. Pengalaman mendorong kita melintasi sekat ciptaan manusia dan negara. Pengalaman feminis ini adalah keinginan kami semua untuk melepaskan sekat-sekat perbedaan yang ada pada kami. Negara bisa memisahkan warganya. Agama mengisolasikan umat dari sesamanya. Tetapi saya percaya visi bersama yang mengalir dalam semangat Koalisi Perempuan Indonesia menyatukan kita semua. Terima kasih banyak sahabat-sahabat saya.

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself