Translate

Minggu, 28 Oktober 2012

Negara Gerakan Paska Reformasi: Refleksi Sumpah Pemuda untuk pemuda-pemudi Indonesia


Negara Gerakan Paska Reformasi: Refleksi Sumpah Pemuda untuk pemuda-pemudi Indonesia
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Sebenarnya artikel ini sudah mulai ditulis sejak tahun lalu. Cuma karena judulnya mengandung kata “gerakan”, saya memutuskan untuk menunda merilisnya. Alasan saya terutama terkait dengan pengalaman sendiri mengerti “negara gerakan”. Kata “gerakan” sudah saya hayati sebagai kehidupan sehari-hari dalam pelayanan saya kepada masyarakat sipil, yaitu anak-anak, pemuda dan perempuan terutama di DI.Yogyakarta. Tetapi Indonesia bukan hanya Daerah Istimewa Yogyakarta.  Saya perlu tahu bagaimana gerakan kemasyarakatan terjadi di daerah lain.

Saya sudah berjalan di semua pulau-pulau di mana mayoritas dari delapan teritori etnis membentuk ikatan budaya, ikatan kemasyarakatan dalam NKRI. Saya mengamati apa yang sedang terjadi dengan Indonesia. Kedelapan teritori etnis tersebut disinggung oleh Muhammad Yamin tentang pembentukan Indonesia yang terjadi dari delapan teritori etnis yaitu Sumatera, Melayu, Kalimatan, Jawa, Sulawesi, Sunda Lesser, Maluku dan Papua (Yamin: 1945:1-4).

Untuk merayakan Hari Sumpah Pemuda, saya memutuskan berjalan ke bagian utara pintu Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Medan sekitarnya. Saya ingin menghayati kehidupan berbangsa dari perspektif teritori Melayu dan Minangkabau. Di sinilah, sejak perjalanan di Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam saya menulis kembali artikel yang tertahan sejak tahun lalu, untuk Sumpah Pemuda 2011. Sejak tahun lalu, ternyata artikel ini juga sudah mengalami banyak perubahan.

Hari ini, 28 Oktober 2012, hari Sumpah Pemuda ke 84, saya memutuskan pergi ke pulau Weh, tempat km 0 untuk menghitung permulaan teritori Indonesia.  Mungkin KM 0 juga sangat simbolis untuk saya karena penghayatan tentang “gerakan” dari KM 0 meluas ke seluruh Indonesia, ke Merauke, Papua. Kedekatan hari Sumpah Pemuda dengan hari raya Idul Adha 1433 H yang saya rayakan bersama satu keluarga muslim di Padang, juga memberikan inspirasi kepada saya untuk menguatkan pemahaman saya tentang kata “gerakan”.

Negara gerakan. Sebagai suatu judul, “negara gerakan” sengaja dipilih untuk membedakan tentang NKRI sebelum reformasi. Regim Orde Baru menerima maklumat dari pejuang reformasi tentang negara yang otoriter. Berbagai kajian baik ilmiah maupun populer telah memberikan label tentang Orba sebagai jaman kevakuman demokrasi. Gerakan pro demokrasi berbangga hati tentang pengulingan regim Soeharto dan antek-anteknya pada saat Reformasi 1998. Sejak itu, harapan percepatan demokrasi dan cita-cita Reformasi yang digelarkan oleh mahasiswa/mahasiswi dalam pendudukan mereka atas gedung rakyat, gedung MPR/DPR RI menjadi tonggak sejarah baru.

Cita-cita Reformasi, sesudah penggulingan Soeharto adalah kembalikan Indonesia kepada visi awal pendirian NKRI, yaitu peneguhan persatuan dan kesatuan nasional, penegakan kedaulatan rakyat, penyelenggaraan pemerintahan otonomi daerah, penghapusan dwi fungsi ABRI, dan pengusutan KKN yang merugikan negara. Buah dari Reformasi telah meningkatkan partisipasi warganegara dalam penyelenggaraan negara seperti terlihat pada proses pemilihan langsung dimulai dari RI 1 sd Kepala Daerah Tingkat I dan II di seluruh Indonesia.

Memperhatikan pelaksanaan cita-cita Reformasi seperti digambarkan di atas, terasa bagi saya, seolah-olah pencapaiannya melepaskan pemuda-pemudi yang telah meletakkan momentum Reformasi. Mensejajarkan gerakan Reformasi dengan Sumpah Pemuda yang juga melibatkan pemuda-pemudi untuk merumuskan komitmen bersama terhadap kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa, setidaknya menghadirkan peran penting pemuda-pemudi dalam mengendalikan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Tetapi pemuda-pemudi ini bukan hanya mereka yang mempunyai kesempatan mengecap pendidikan kritis, sehingga berani terlibat dalam berbagai gerakan penyadaran diri bersama membangun masyarakat di sekitarnya.

Masih banyak pemuda-pemudi di seluruh Indonesia yang belum sepenuhnya menyadari perannya untuk mendorong perjalanan idealisme negara mewujudkan kehidupan yang adil dan demokratis. Mereka ini adalah pemuda-pemudi yang tidak terekspos oleh media karena jauh dari pusat pemerintah dan ibu kota negara. Pemuda-pemudi ini berada di mana-mana yang sedang bergumul dengan tantangan sekarang, mengatasi tekanan dari beban sosial yang makin tinggi. Pemuda-pemudi ini sedang bergumul untuk mengerti tentang identitas dirinya sebagai Indonesia.

Ketika Sumpah Pemuda 84 tahun lalu dicetuskan, kehidupan pemuda-pemudi sudah bertemu dengan pengaruh dari luar daerahnya, dari luar komunitasnya. Mereka sadar tentang dirinya sebagai warga kelas dua di alam Indonesia yang melahirkannya. Komitmen untuk menyatukan diri dalam Indonesia telah mengubah garis hidup mereka, meletakkan dasar bagi perjuangan kemerdekaan yang diraih 27 tahun kemudian.

Musuh yang dihadapi pemuda-pemudi saat itu sangat jelas, penjajah yang telah merampas alam raya dan hak dirinya untuk hidup. Sekarang Indonesia sudah merdeka, bahkan gerakan Reformasi telah mengantarkan kembali perjalanan bangsa kepada cita-cita bersama kemerdekaan. Akan tetapi, di mana-mana dalam perjalanan saya sekarang ini, semakin sadar adanya kegelisahan di antara pemuda-pemudi tentang identitas dirinya.

Menjadi pemuda-pemudi, secara psikologis akan berhadapan dengan pergolakan pencarian identitas diri. Delapan puluh empat tahun lalu, pencarian identitas diri terkait dengan siapakah pemuda-pemudi yang lahir di bumi kaya raya Indonesia sementara kenyataannya telah terjadi berbagai diskriminasi di tanah sendiri. Sumpah Pemuda terlahir dari kesadaran marginalisasi yang dialami berabad-abad terhadap insan-insan persada bangsa ini.

Sekarang ini, siapakah musuh bersama yang sedang di hadapi? Indonesia adalah negara merdeka yang masih berlimpah dengan susu dan madu. Pemuda-pemudi di mana-mana masih menikmati kelimpahan Indonesia tersebut. Walaupun demikian tidak semua pemuda-pemudi mempunyai kesempatan untuk sepenuhnya menikmati kelimpahan Indonesia tersebut, karena kemiskinan yang mengelilingi keluarganya. Di tengah keberadaan kemiskinan, kesederhanaan hidup yang dialaminya, pemuda-pemudi di seluruh Indonesia sedang berhadapan dengan tekanan bisnis, iklan yang terus memaksanya untuk membeli, membeli, membeli produk-produk “berkelas” yang bisa membuat mereka menjadi seorang yang disebut orang muda.
Iklan-iklan terkait dengan minuman, makanan, pakaian, dll menjadi incaran kepada pemuda-pemudi. Saya tinggal di kabupaten Sleman, DI.Yogyakarta yang memperoleh pendapatan daerah dari iklan-iklan, sehingga tidak terlalu terkejut dengan kehadiran iklan di daerah-daerah lain. Tetapi ketika saya memasuki Bukittinggi dari Padang, saya sungguh kaget melihat gambaran citra diri pemuda-pemudi terkait dengan mobil, minuman bir, pakaian levis, rokok dll. Terbesit dalam benak saya, di manakah gambar atau patung bung Hatta ketika memasuki Bukittinggi. Kecuali di istana Bung Hatta di areal Jam Gadang, sebuah patung dari sepuhan emas dengan wajah bung Hatta yang tersenyum berdiri tegak. Sebuah patung Bung Hatta berwarna hitam ditunjukkan oleh Uda Yus, yang membawa mobil memasuki pusat kota Bukittinggi, tetapi sangat gelap untuk menarik hati pelalu lalang di sana.

Di Bukittinggi, kota kedua sesudah DI.Yogyakarta sebagai ibukota RI, bersama dengan kota-kota lainnya, di mana-mana pemuda-pemudi di Indonesia sedang menjadi target dari kapitalisme. Iklan-iklan yang mengeksploitasi ketubuhan orang muda cenderung merangsang munculnya sikap jagoan sehingga menyebabkan banyak tawuran antara pemuda-pemuda terjadi bukan saja di pusat negara tetapi sampai ke pelosok-pelosok. Peningkatan kekerasan seperti pemerkosaan yang saya dengar dari teman-teman di Kabupaten Pariaman, Sumatera Barat, terjadi karena dampak dari eksploitasi secara publik iklan-iklan ketubuhan tsb maupun aksesitas film-film syuur dari media internet yang tersedia di warnet sampai ke pelosok-pelosok.

Pemandangan itu saya rekam dalam foto seperti terlihat di bawah ini, untuk membuktikan ketidakberpihakannya pemerintah terhadap keamanan warganya, terutama untuk melindung pemuda-pemudinya dari serangan eksploitasi iklan terhadap tubuh yang kuat, sehat dan indah dari seorang anak manusia. Musuh terselubung dari pemuda-pemudi Indonesia adalah iklan-iklan yang mencuci otak mereka untuk tertarik dan membeli produk-produk hedonisme tsb.

Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)

Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)
 
Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)
Foto memasuki kota Bukittinggi, Sumatera Barat (tanggal 25 Oktober 2012)


Pada sisi lain, reaksi terhadap gencarnya kapitalisme menyerbu pemuda-pemudi Indonesia malahan menguatkan penerimaan ajaran agama yang cenderung indoktrinasi.  Tarikan untuk menjadi pemuda-pemudi yang modern tetapi sekaligus beriman harusnya menjadikan pemuda-pemudi Indonesia semakin kritis sehingga bisa menyeleksi berbagai pengaruh iklan yang hendak mempengaruhinya. Iklan yang muncul di TV maupun pengaruh dari internet harusnya mendorong pemuda-pemudi Indonesia untuk menolak kehadirannya. Uang dari pemasangan iklan-iklan ini menguntungkan kepada pemerintah tetapi bukan untuk melindungi hak-hak dasar pemuda-pemudi untuk tidak diusik, dicekokin dengan iklan-iklan hedonisme tsb. 

Kadang-kadang pemuda-pemudi memerlukan kreatifitas untuk mengatasi ketegangan yang saling tarik menarik di antara tekanan kapitalisme dan kesetiaan kepada tradisinya. Selain kreatifitas, sangat penting adalah keyakinan untuk menjadi dirinya sendiri. Pemuda-pemudi Indonesia dalam pencarian dirinya perlu difasilitasi sehingga mereka bisa menentukan siapakah dirinya sendiri. Penetapan diri secara individu maupun kolektif sangatlah penting dihadapi oleh pemuda-pemudi Indonesia dengan dimulai dari apa yang ada di sekitarnya.

Dalam perjalanan pulang dari pulau Weh ke Banda Aceh, saya duduk di kapal Pulo Rondo bersebelahan dengan seorang pemudi yang sedang membaca majalah. Pemudi ini berjilbab. Ia begitu tertarik pada halaman yang memampang foto tata rias rambut. Sambil menggaguminya, si pemudi ini kemudian menjelaskan kepada saya bahwa foto tata rias rambut kepang dengan hiasan bagian depan pengganti poni sangat menarik hatinya. Katanya:”Saya mungkin akan mencoba membuatnya untuk menghadiri pesta HUT”. Kemudian ia menjelaskan bahwa pelaksanaan pesta di rumah, biasanya aman karena tidak ada sidak dari Wilayatul Hisbah (polisi syariah).

Menjadi diri sendiri sangat penting seperti diperlihatkan oleh si pemudi, si inong Aceh. Tampilannya sangat bersahaja, dengan jilbab yang akan selalu dipakainya sebagai seorang muslimah yang menghargai dirinya, diri seorang perempuan yang takut kepada Allah SWT. Pemudi, lulusan D3 yang sekarang bekerja di toko penyalur motor Suzuki, dengan sadar membutuhkan majalah-majalah fashion tetapi sekaligus bisa menyaring bagian mana yang cocok untuk kehidupan mudanya.

Pemuda-pemudi Indonesia diberikan anugerah lahir di bumi yang indah. Kesempatan untuk berjalan ke mana-mana di seluruh Indonesia untuk belajar dari masyarakat berbeda akan menguatkan visi dan kepemimpinannya di masa depan. Ketika seseorang berjalan bertemu dengan orang-orang lain yang berbeda, ada banyak permenungan dan ide-ide baru yang muncul menguatkan dirinya. Saya ingat membaca novel bestseller dari Ahmad Fuadi, yang berjudul Negeri 5 menara. Dorongan orang tua untuk seorang pemuda-pemudi keluar dari rumahnya menuntun ilmu di tanah seberang menjadi titik berangkat keberhasilan menemukan keunikan diri sendiri.
Keberhasilan ini menurut teman saya, seorang yang saya panggil Bundo, ternyata makin langka. Prinsip merantau yang merupakan ajaran dari masyarakat Padang, saat ini berhadapan dengan kenyataan baru yaitu pemuda-pemuda yang cenderung menerima dengan gampangan saja dukungan terus menerus dari orang tuanya. Kesibukan orang tuanya juga berpengaruh untuk membayar kehilangan waktu bersama dengan terus memberikan dukungan material kepada anaknya daripada penguatan kemandirian yang perlu dibangunkan ke dalam kehidupan anak-anaknya.

Terhadap perubahan-perubahan yang sedang terjadi dengan pemuda-pemudi Indonesia, sangatlah penting untuk terus memberikan kesempatan kepada pemuda-pemudi untuk bertumbuh. Motivasi untuk membangun dirinya sendiri yang bisa dilakukan di berbagai tingkatan dalam kehidupan masyarakat bisa dicapai melalui keterlibatan pemuda-pemudi dalam berbagai kompetisi untuk menguatkan kompetensinya. Semakin banyak pemerintah dan masyarakat memberikan ruang terhadap perluasan gerakan menguatkan kompetensi dan kualitas pemuda, semakin bermakna esensi dari karakteristik pemuda-pemudi di Indonesia dalam menegakkan identitasnya.

Negara gerakan adalah kesempatan yang lebih luas diberikan oleh masyarakat dan pemerintah dalam memposisikan pemuda-pemudi untuk terus membangun kekuatan dirinya yang unik bermanfaat bagi banyak orang di sekitarnya. Perlindungan negara untuk memberikan rasa aman bagi pemuda-pemudi Indonesia adalah prioritas sehingga mereka tidak merasa terancam dalam kehidupannya. Negara gerakan akan mengupayakan pemuda-pemudi Indonesia untuk dilindungi dari musuh-musuh terselubung seperti iklan di TV, internet, dan di jalan-jalan. Hanya dengan cara inilah, pemuda-pemudi di Indonesia bisa berbangga hati bahwa mereka punya pemerintah yang peduli kepadanya.

Negara gerakan adalah memfasilitasi pemuda-pemudi untuk keluar dari sikap egosentrisnya, menoleh ke alam yang memerlukan uluran tangannya. Isu-isu terkait dengan lingkungan, kepedulian untuk pelayanan bagi masyarakat miskin di bidang kesehatan, pengurangan resiko HIV/Aids, pengolahan pangan dstnya masih terbuka untuk keterlibatan pemuda-pemudi Indonesia. Pemuda-pemudi dengan kapasitas kerja  bersama, baik melalui organisasi mahasiswa maupun organisasi massa pemuda-pemudi bisa terus berkarya untuk bangsa dan negara. Tubuh sehat dan kuat dari pemuda-pemudi Indonesia sudah saatnya dipersembahkan untuk membangun bangsa dan negara, melayani warga masyarakat yang membutuhkan. Selamat merayakan Sumpah Pemuda 2012.

Rabu, 17 Oktober 2012

Pertemuan dan Perubahan


Pertemuan dan Perubahan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pertemuan berasal dari kata temu. Sebagai kata, “temu” bersifat aktif. Inisiatif untuk bertemu memungkinkan pertemuan. Dalam kata temu mengandung juga aspek menyingkapan. Ketika seseorang sering bertemu dengan orang lain dalam keluarga atau tempat kerja, sering kali sisi penyingkapan hilang dari keseharian pertemuan. Pertemuan menjadi kegiatan yang rutin membiasa tanpa inspirasi. Sesudah abad informatika mengubah hidup manusia, pertemuan mulai teratasi dengan jaringan sosial maya.  Mereka yang hilang ditemukan kembali melalui pertemanan di Facebook atau media jejaring lainnya. Tetapi pertemuan jejaring ini belum memastikan adanya pengalaman “menemukan” seperti yang terjadi muka dengan muka. Jejaring sosial maya memang menyediakan ruang untuk saling bersua, tetapi tingkat kedalamannya terbatas. Tampilan diri yang muncul dalam foto mungkin belum mewakili diri yang sebenarnya.

Manusia menyimpan ingat masa lalunya seperti foto yang bersifat statis. Sekalipun foto-foto terbaru terpampang merekam perubahan diri seseorang, tetapi ingatan diri yang tersimpan dengan mendalam ternyata ada dalam kontak memori lama. Saya ingat bulan Mei lalu bertemu dengan seorang teman lama di Bali. Dalam perjalanan bertemu dengannya sesudah belasan tahun tidak pernah bersua, saya masih menyimpan kenangan teman ini sebagai seorang yang “kurus”, tinggi dan lembut. Kesan kepribadiannya yang fleksibel masih sangat kuat dalam diri saya. Kemudian betapa kagetnya saya, secara fisik teman ini sudah berubah. Tingginya masih sama, seperti juga kepribadiannya yang fleksibel, tetapi tubuhnya sendiri tampil kokoh dan gede. Perubahan sedang terjadi dengan teman saya ini sementara saya hanya bisa mengoreksinya sesudah mengalami lagi pertemuan dengannya.

Dalam pertemuan, aspek-aspek yang mendorong pada perubahan perlu disadari karena membantu kita untuk berinteraksi dengan ringan tanpa ekspetasi yang berlebihan. Kadang kala perubahan bisa terjadi secara ekstrim, baik tampilan fisik, ketubuhan maupun kepribadiannya. Mungkin saya seperti itu. Kesadaran tentang diri dikokohkan ketika dengan terbuka mendengar ingatan orang lain yang tersimpan dalam rekaman mereka tentang “siapa saya”.  Mereka tidak saja merekam ingatan tentang profil potret diri seperti dalam tampilan foto, tetapi juga mengingat karakter, kebiasaan, kedirian orang lain.  Mendengar testimoni teman tentang siapakah saya pada masa lalu bisa membuat diri sendiri terbelalak. Saya hampir lupa dengan siapakah saya pada masa lalu, karena saya berubah terus. Masa lalu sangat indah, memberikan fondasi bagi pertumbuhan kejiwaan, emosi, intelektual, kehidupan sosial dsbnya. Masa lalu sudah berubah dalam peleburan diri kita dengan tempat, kondisi, persoalan dan cara menghadapinya yang percepatan perubahannya tak tertahankan.

Tinggal bersama dalam keluarga atau hidup dalam relasi pekerjaan yang stabil dan lama, mungkin membuat kesadaran tentang perubahan diri terjadi dengan halus. Kadang-kadang tidak disadari karena keseharian pertemuan menghilangkan kesan dari esensi perubahan.  Mereka tidak saling menyadari tentang perubahan yang sedang terjadi. Setiap orang seolah-olah memegang potret diri dari sesamanya seperti pertama kali mereka saling mengenal. Ketika perubahan tampil menjadi menguat, baru goncangan dari kekagetan makin terasa di antara mereka. Dalam konteks ini mereka tidak saling merelakan terjadinya perubahan pada masing-masing diri.

Orang-orang di sekitar diri hidup dengan pengetahuan tentang sesamanya dari masa lalu. Konflik-konflik mungkin dengan sangat mudah terjadi dalam relasi kedekatan di antara saudara maupun teman dekat dibandingkan dengan kondisi pertemanan yang disimpan dari masa lalu.  Penjarakan yang terjadi secara alamiah malahan menghadirkan keluwesan untuk saling menerima perubahan yang sedang terjadi di antara masing-masing diri. Orang bertemu untuk merayakan perubahan tanpa ada penyesalan. Perubahan bagian dari kehidupan yang mendasar diterima sebagai nasib dari kehidupan yang terjadi dengan diri masing-masing. Masalah lalu, rekaman foto dan cerita diri dalam karakter kemudian tampil sangat bersahaja menyentuh sisian perubahan yang sedang terus terjadi dengan seorang manusia.

Inilah yang saya syukuri dari suatu pertemuan, kedinamisannya untuk bergerak berinteraksi meneguhkan perjalanan diri untuk bersentuhan dengan sesama. Pertemuan menyingkapkan kedirian yang terekam dalam ingatan diri sendiri maupun orang lain, untuk membentuk alur perjalanan ke depan.  Kedinamisan perubahan ternyata berelasi bukan hanya dengan diri sendiri, tetapi dengan siapa diri sendiri hidup. Intensitas perubahan perlu dihadirkan dengan respek mendalam pada komitmen yang sudah dibangunkan dengan mereka yang hidup bersama. Perubahan bergerak mengisi janji-janji yang pernah dibuat, didengungkan pada saat pernikahan, dalam sumpah persahabatan maupun visi bersama membangun kehidupan yang berkeadilan dengan sesama warga di mana kita berdiam.  Janji-janji yang abstrak menyewantahkan dirinya dalam pengalaman tindakan yang mendalam. Kata-kata tentang visi dan misi besar tampil mewadahi dalam penjelasan tentang apa yang sedang mengubah hidup bersama. Pertemuan ternyata memungkinkan penceritaan diri mengkayakan.

Siapapun tidak bisa menghindari pertemuan. Pertemuan seperti takdir yang datang mengundang diri sendiri untuk bergabung dengannya. Pertemuan mendewasakan diri sendiri untuk membelalakan kesadaran tentang perubahan yang sedang terjadi dalam diri sendiri maupun yang menjadi dengan orang lain. Tidak ada yang kekal di muka bumi, demikian kata-kata yang saya rekam dari kitab suci. Kekekalan ada dalam perubahan dan pertemuan itu sendiri. Agama menyebutnya adalah Sang Pencipta. Allah! 

Melepaskan diri sendiri dibimbing dalam perubahan ketika pertemuan terjadi adalah kebijakan yang langka. Lepaskan. Lepaskan. Seperti air yang mengalir mencari jalannya menyalurkan kekuatan diri, demikianlah diri yang berpindah dalam setiap detik pertemuan yang sedang terjadi sepanjang hidup ini. Sayapun sudah melepaskan supaya dari pertemuan akan ada penyingkapan baru. Suatu singkapan yang indah mengharukan dan meneguhkan. Saya ternyata terus berjalan.

Dalam pertemuan dan perubahan ada kematangan. Ekspresi kematangan tampil menua sekaligus memuda. Hanya dengan kesegaran dalam mengalami perubahan, suatu pertemuan dapat dihadapi sebagai takdir yang membebaskan, meringankan sekalipun tertangkap dalam “ruang” dan “waktu” yang menua. Kematangan adalah kesederhanaan dalam menanggapi diri yang sedang menjadi, mengubah. Kematangan makin kuat mempesona ketika perubahan dari pertemuan mulai bisa dijelaskan secara sederhana sehingga diri sendiri mengerti setiap langkah yang sudah membekas dan menjelaskan alasan keberadaannnya. Kematangan memesonakan dalam bahasa yang mengalir menguat seperti aliran sungai sedang mencari jalannya ke samudara raya.

Pertemuan dan perubahan harusnya membawa untuk menyingkapkan kehidupan. Kata kehidupan adalah kata yang mendalam, kaya, meluas, berat, kompleks tanpa menguraikan isinya. Ketika kematangan tiba, penguraian kehidupan bisa dihayati seperti mengunyah makanan dengan nikmat tanpa tergesa-gesa meneguk minuman. Biarkanlah takdir pertemuan dihadapi tanpa penolakan. Mungkin di sana pernah ada cinta, mungkin di sana pernah ada putus asa, mungkin di sana pernah ada duka, mungkin di sana pernah ada benci, mungkin di sana pernah ada persaingan. Seperti air, pertemuan harus terjadi sebagai persinggungan menyentuh meneteskan kesegaran lagi. Pengikisan dari pengalaman yang menggetarkan, yang ditolak, yang dipelihara pelan-pelan juga mulai terjadi sampai tanpa disadari diri sendiri sudah sungguh-sungguh segar, berubah. Ada yang tertinggal dalam kekekalan pertemuan dan perubahan adalah ungkapan kelegaan, keringanan, pembebasan.

Saya sedang menulis, saya juga sedang menjadi. Tubuh bisa rentan, semangat bisa menurun, syukur penggapaian kehidupan masih terus terjadi. Menguraikan kehidupan menjadi bagian yang bisa dituturkan dalam pengalaman setiap individu mungkinlah yang paling penting daripada mengingat terus rekaman yang sudah pernah terjadi dalam diri sendiri. Biarlah saya mengalami cinta, biarlah saya mengalami duka, biarlah saya mengalami sukacita, biarlah saya mengalami dendam.

Momentum sudah terekam, pernah ada dalam diri tetapi begitulah cepatnya iapun mengalir ke samudera raya berbaur dengan aliran-aliran kehidupan lainnya membentuk kematangan kekuatan air yang bergulung-gulung selalu mencari menyentuh kembali jejari peziarah di pepantaian. Mengingatkan pertemuan dan perubahan kemudian merekamnya dalam perasaan supaya bisa menuangkan dengan keindahan dan kegetaran bahasa mungkin adalah ekspresi kematangan diri saya. Saya mensyukurinya sekarang sesudah kata-kata terasa cukup untuk mengekspresikan diri sendiri.

Tutuplah segera tulisan ini dengan kata-kata yang sudah menunggu di pintu ingatan, dari masa lalu hingga saat ini sebelum akhirnya ia menjadi untaian puisi.
 

Diri sendiri

Bisakah terwakili dalam kata

Kalimat bukanlah diri sendiri

Sekalipun keindahan kekuatan kemagisan menyingkapkan diri

Diri adalah kematangan dari pencampuran aliran mengakarkan

Menyentuh jiwa

Membakar emosi

Menggairahkan pemikiran

Menyemangati tubuh

Membangunkan kesadaran

Diri sendiri

Adalah takdir yang membebaskan

Dari kata dan juga tindakan

Biarlah ia terus menjadi

Mengubah mengkayakan

Kehidupan

Menziarahkan menaburkan cinta

Menumbuhkan harapan

Kehidupan baru

Bagian dari siklus takdir

Yang membahagiakan

Pohon berbentuk leher gajah di areal Alas Wigode Parangtritis
 

 

 

Selasa, 16 Oktober 2012

Menulis: Membagi Diri atau Mengutuhkan Diri?


                                 Menulis:  Membagi Diri atau Mengutuhkan Diri?
                                            Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Tahun 2006 ketika gempa Yogya, saya menyaksikan perempuan dengan multi perannya melakukan berbagai hal secara serentak.  Peran utamanya untuk memelihara keluarga, tugasnya memasak, bisa dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan anggota masyarakat lainnya.  Keadaan darurat menyebabkan perempuan tampil kuat. Dalam lokakarya penulis buku, pengamatan saya makin dikuatkan dengan mendengar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh teman-teman perempuan yang terlibat dalam penulisan tsb. Kemudian saya merumuskan, perempuan bisa melakukan banyak hal sekaligus sambil juga memikirkan pertanyaan-pertanyaan mendalam terkait dengan kebencanaan (Adeney-Risakotta: 2007).  Sehingga memfasilitasi waktu kepada perempuan untuk menulis pertanyaan dan menjawabnya merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi mereka.

Sudah enam tahun berlalu.  Saya masih percaya kepada kesimpulan itu.  Perempuan itu adalah saya, dan juga banyak perempuan lain.  Sudah hampir tiga minggu berlalu, saya masih belum menulis lagi. Biasanya setidaknya saya menulis sekali seminggu untuk blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Hari Minggu lalu, saya diingatkan oleh seorang majelis jemaat, yang ingin tahu bagaimana bisa  tulisan-tulisan saya beredar di Facebook.  Beliau bertanya sebelum saya diantar ke mimbar untuk memimpin ibadah di salah satu gereja Kristen Jawa di Yogyakarta.  Saya agak kaget karena saya jarang juga membuka Facebook untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan sahabat-sahabat saya.  Jadi saya mengatakan kepada penatua gereja itu bahwa mungkin tulisan tersebut adalah tulisan-tulisan saya di blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Komunitas di Facebook adalah pembaca pertama dan utama dari tulisan-tulisan di blog itu. Majelis ini sangat tertarik dan meminta saya untuk terus menulis.

Menulis untuk Indonesia adalah kewajiban saya. Seorang pembaca dari tulisan saya berjudul  “Kehidupan Intelektual sesudah Pembakaran Buku” mendorong saya untuk terus menulis untuk Indonesia.  Menerima dorongan dari pembaca, baik mereka yang saya kenal langsung maupun tidak memberikan kepada saya kebahagiaan. Saya semakin sadar, saya menulis bukan untuk diri sendiri lagi. Saya menulis untuk Indonesia.  Kedengarannya, “menulis untuk Indonesia”, terkesan berlebihan.  Siapakah saya sehingga mendapat mandat menulis untuk Indonesia?      Ketika pertanyaan ini sampai dalam kesadaran saya, tentu saja saya harus berani menjawabnya.  Saya sudah lama pikirkan tentang jawaban saya terhadap klaim menulis untuk Indonesia.

Mungkin penderitaan saya terbesar adalah punya banyak waktu tetapi bukan untuk menulis.  Maksud saya adalah menulis sesuatu yang saya senangi. Menulis untuk kehidupan. Menulis dari pengembaraan saya terhadap kenyataan kehidupan yang saya temukan hari demi hari. Selama tiga minggu ini saya menulis banyak tetapi bukan kepada blog saya. Saya tersihir menulis tulisan yang disebut “akademik”.  Saya pikir tulisan-tulisan tersebut bersifat kritis tapi bukan milik saya. Tulisan itu harus diberikan untuk mereka yang akan mempublikasikannya. Saya ingin menulis tulisan yang menjadi milik saya untuk bisa diunggah sehingga siapapun dapat mengaksesnya. Tulisan-tulisan yang gratis, tidak perlu dibayar. Tulisan gratis bukan tulisan yang murahan, tetapi tulisan bermutu yang menggugah permenungan mendalam dari mereka yang membacanya.

Sekarang ini di dunia modern, dunia uang, menulis menjadi kegiatan yang menghasilkan uang.  Lebih parah lagi, setiap orang ingin menulis sehingga kehidupan sehari-hari dibanjiri dengan berbagai informasi. Saya ingin menulis bukan sekedar informasi. Saya ingin menulis isu yang sederhana dalam kemasan yang indah, anggun, menarasikan kekuatan pengungkapan tanpa kehilangan disiplin dalam penyampaiannya.  Menulis dari pertanyaan kritis dan kegelisahan saya.   Saya ingin menulis bukan pertama-tama karena ada yang merindukan tulisan saya. Tulisan saya harusnya memberikan inspirasi kepada diri saya sendiri ketika saya membacanya lagi. Sering kali terjadi demikian. Saya terkaget-kaget. Kok saya bisa menulis seperti itu ya? Pertanyaan sederhana ini harus ada dalam pikiran saya, pertanyaan yang mendorong saya menyakinkan saya tentang sesuatu yang saya tulis , isu lama dengan perspektif dan kemasan menginterpretasikan fenomena sosial dari kacamata yang baru.

Sekarang ini sesudah saya memulai menulis lagi, dengan melepaskan diri dari penderitaan tulisan-tulisan pesanan,  saya merasa berbahagia.  Kebahagiaan ini sangat sulit diungkapkan kecuali bisa dirasakan karena kata-katanya mengalir dengan lancar seperti aliran air yang mengulir. Kadang-kadang aliran air tsb saling berebutan sehingga ada loncatan-loncatan kecil seolah air sedang melompati tumpukan bebatuan di dalam aliran sungai. Ada keindahannya ketika membayangkan pikiran sendiri juga sedang mencari jalan mengeluarkan dirinya dari saya.

Pikiran saya sudah bosan dipersemaikan. Ketika saya sibuk sehingga belum punya waktu untuk menulis, saya mengatakan saya sedang mengerami pemikiran sendiri. Agaknya pikiran saya tahu alasan yang saya buat dan mereka memprotesnya. Mereka ingin dibebaskan, mewujud entah dalam bentuk apa.  Setiap kata-kata yang membentuk diri, saya bisa mendengar ucapan terima kasih dari mereka. Begitu kuatnya dorongan untuk melahirkan ide, pemikiran dalam kata-kata mewujud sebagai suatu pribadi, sampai-sampai saya merasakan loncatan-loncatan pemikiran tersebut.

Kembali kepada siapakah saya? Banyak orang tahu saya menulis isu-isu tentang hidup bersama di Indonesia. Banyak orang tahu saya juga menulis puisi. Saya menulis sejarah diri seseorang, suatu kampung, dan perjalanan pemikiran. Saya menulis apa saja yang menyentuh hati saya.  Saya menulis dari pengalaman saya berinteraksi, bersentuhan dengan sesama saya.  Kerja-kerja sangat luas berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, anak, pemuda, mahasiswa sambil melakukan perjalanan-perjalanan seolah-olah membentangkan tempat persemaian bagi tumbuhnya ide-ide mendalam untuk tulisan saya. 

Hidup saya menjadi sangat jelas melebihi gerakan tubuh, tampil dalam kata-kata. Ketika kata-kata mewujud, saya merasakan pembebasan dari kesakitan pengeraman yang seolah-olah menahun.  Uraian di atas apakah kemudian menjadikan saya seorang penulis.  Bisakah saya mengklaim saya seorang penulis? Mungkin bisa, tetapi saya gunakan saja istilah yang sudah ada dalam teknik publikasi dunia maya. Secara elektronik, istilah blogger diberikan karena konsisten publikasi tulisan-tulisan pada blog.  Mungkin dari sisi inilah, saya bisa berani  menyebut diri saya seorang blogger.

Ketika saya membandingkan tulisan-tulisan saya dengan blogger lainnya, saya merasa tulisan saya mungkin agak serius.  Topik-topik yang sensitif, mulai dari kekerasan, terorisme, keberagaman, keadilan, peminggiran, politik diskriminatif dan isu senada lainnya menjadi pilihan yang sangat sering saya membongkarnya dalam tulisan untuk konsumsi pembaca di  blog.  Saya ingin menulis bukan sekedar menulis. Saya tahu setiap penulis mempunyai karakter sendiri. Saya ingin karakter saya sangat jelas terlihat. Bisakah saya menemukan karakter dalam tulisan-tulisan saya? Saya mencium baunya, saya merasakan sentuhan kata-kata, saya menikmati gigitannya, saya tak menduga penglihatannya, saya bergetar menyadari perumusannya.  Kepekaan saya semakin tajam seperti sebilah pisau yang sedang diasah.

Sekalipun saya sudah mencoba membebaskan diri dengan menulis, tetapi ada hal yang belum terselesaikan.  Saya masih harus belajar untuk menulis dalam benak sehingga ketika saya tampil seutuhnya dalam suatu pengalaman kehidupan, saya bisa menulis serempak lebih dari dua topik karena asumsi saya bisa mengerjakan hal-hal yang penting secara serentak.  Ada kesiapan diri untuk merefleksikan proses yang sedang terjadi.   Menulis diperlukan untuk memberikan ruang bagi diri saya sendiri menjelaskan tentang di mana saya ketika sesuatu yang menggetarkan di sekitar sedang terjadi.

Karena tugas-tugas penulisan “akademik”, tanpa mengurangi kegiatan mengajar, pembimbingan mahasiswa, pendidikan akar rumput dan rapat-rapat organisasi, mengurus keluarga, masak dan menari untuk peringatan delapan windu suami tercinta dan berbagai perjalanan saya, semestinya saya terus menulis untuk blog. Kerinduan menulis terlalu kuat, tetapi saya sadar tentang keterbatasan diri sendiri. Bisakah saya membagi diri sendiri? Tidak. Tidak. Jawabannya tidak. Saya tetap saya. Farsijana! Saya ingin menjadi perempuan utuh yang menulis. Saya sudah berjanji untuk tidak menyederhanakan hidup. Ketika pertanyaan saya mendalam, saya harus membiarkannya mengganggu saja.  Kemudian secara perlahan, saya membangun pemahaman untuk disampaikan dalam tulisan yang memikat sekaligus tajam dalam pengungkapannya.

Pernyataan membagi diri bisa tampil karena adanya ketakutan kehilangan momentum dalam penulisan.  Dunia digital yang memperpendek keluasan bumi, seolah-olah sedang juga membentuk saya untuk mengikuti iramanya, yaitu cepat dan cekatan.  Tetapi saya hanya manusia biasa, ada keterbatasannya. Saya menimpali dan menggugat. Saya ingin membebaskan diri dari jaringan digital yang cenderung mendikte apa yang harus saya pikirkan.  Saya ingin menulis dari minat sendiri bukan yang sedang didikte oleh jejaring digital. Saya ingin menulis sesuatu yang reflektif sebagai jalan untuk terus menjadi matang dalam penemuan diri sendiri.  Jadi alasan inilah yang menyebabkan saya mengoreksi kembali tentang anggapan membagi diri. Saya yakin dalam keutuhan saya, pengungkapan tulisan mempunyai aura. Sebaliknya membagi diri untuk menulis menghadirkan diri saya yang mentah. 

Tulisan terakhir saya di blog dibuat beberapa hari sebelum pemiluka DKI Jaya putaran kedua. Sekarang Jokowi-Ahok sudah dilantik. Apakah saya kehilangan momentum dari peristiwa maha penting itu? Mungkin saja, saya terpotong dari interaksi yang mendalam dengan jejaring sosial yang ingin berdialog melalui pembacaan tulisan saya. Untuk kenyataan ini, saya ingin menyampaikan permohonan maaf. Saya hanya seorang manusia yang terbatas. Kemudaan saya ternyata makin luntur, sehingga terasa sekali cepat menjadi capai. Dampak dari kerja-kerja yang terus menerus membebani saya sehingga sudah hampir dua minggu saya masih batuk. Pernah di awal sakit tsb saya kehilangan suara, walaupun begitu saya harus menjadi juri untuk bisnis festival di kampus, saya mencicipi dan menikmati makanan yang dilarang karena batuk. 

Jadi membiarkan keutuhan diri adalah jawaban yang bijaksana daripada membagi diri untuk tetap ngotot seperti seorang superwoman terus menulis.  Saya menulis untuk mengutuhkan diri, mengenal makna diri karena hanya dengan cara ini saya bisa makin memahami pergumulan, pemikiran dari sesama. Saya ingin benar-benar memberikan diri seutuhnya dalam menulis. Saya mestinya harus berani menciptakan tempat dan waktu yang istimewa untuk menulis. Walaupun kesempatan itu baru bisa dilakukan sesudah saya menyelesaikan tugas-tugas prioritas. Saya bersyukur masih menerima kesempatan itu. 
 
 
 
Saya bisa  terus mempertajam perasaan, kepekaan, penalaran, daya imajinasi, untuk memahami representasi kehidupan yang  bersisian dengan perjalanan saya di muka bumi ini. Saya sedang mengutuhkan diri untuk kembali dengan ringan menulis lagi. Kebahagiaan ini seperti pengampunan dari pengertian yang berbelas kasih terpancar keluar melalui sinar pandangan mereka yang membaca tulisan ini. Seperti saya bersyukur bisa merangkai lagi kata demi kata menjadi tulisan, mereka tersenyum mengerti makna yang nampak dari setiap penjelasannya. Saya sudah merelakan kebersamaan berjalan melangkah lagi dalam narasi kehidupan.  Hanya melalui menulis, saya terus mengutuhkan diri berjalan.