Translate

Minggu, 29 April 2012

Tubuh-identitas-moralitas-iman


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian ketujuh: Tubuh-identitas- moralitas-iman

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Masih tentang tubuh. Masih tentang identitas. Masih tentang moralitas. Sekarang saya ingin menambah, di manakah iman dalam diskusi tentang LGTB-IQ?.   Saya juga ingin memastikan keterhubungan dari titik-titik pembahasan ini. Setidaknya uraian sederhana ini dapat membantu saya meluruskan pengertian paradoksif dalam memahami orientasi seksualitas yang berbeda.  
  
Secara ilmiah, pandangan tentang orientasi seksual yang berbeda sudah direvisi, tidak dianggap lagi sebagai penyakit. Akan tetapi yang masih belum diselesaikan adalah pandangan dari kalangan agama. LGTB-IQ adalah sesat, berdosa, tidak bermoral. 

Secara ilmiah, sangat jelas bagi saya ketegangan yang masih terpelihara antara agama dan LGTB-IQ. Agama yang saya maksudkan adalah institusi yang mempunyai kuasa dan otoritas untuk menghukum, menghakimi mereka yang dianggap berdosa. 

Masih segar dalam ingatan saya apa yang dikatakan mas Dede Utomo.  Apabila diparafrase kira-kira begini. Agama-agama yang berkotbah kepada orang-orang LGTB-IQ mungkin harus bersiap-siap untuk kecewa.  Orang-orang LGTB-IQ tidak akan berubah.  LGTB-IQ bukan profesi. LGTB-IQ adalah identitas.  LGTB-IQ adalah orientasi seksual yang berbeda.  Pernyataan mas Dede Utomo keluar dari seorang yang memandang identitas sebagai suatu pencarian yang sejati yang tidak akan berubah.  Pandangan ini dikategorikan esensialisme. 

Pekerjaan apapun yang dianggap sebagai “profesi” mungkin akan menyebabkan perubahan.  Contohnya, perubahan profesi “PSK” (pekerja seksual komersial).  Profesi bisa berubah karena waktu.  Semakin manusia menua,  fungsi-fungsi tubuh akan melemah sehingga harus “berhenti” mengerjakan pekerjaan yang selama waktu panjang dilakukannya terus menerus.

Memperbandingkan LGTB-IQ dengan PSK ternyata juga problematis. Pandangan yang menganggap PSK adalah profesi sebenarnya menunjukkan penerimaan sistem global ekonomi yang menindas perempuan sehingga menjadi PSK. 

PSK adalah korban dari ketidakadilan sistem dunia. Perempuan terjebak dan dijebak oleh sistem ekonomi.  Bahkan klaim perempuan atas hak dasarnya untuk hidup, bisa dipakai sebagai alasan memperjuangkan kepentingannya tanpa menyadari tentang eksploitasi dari sistem dunia kepada dirinya sendiri. Misalkan tubuh perempuan dikuasai oleh “germonya”. Jadi PSK membayar pajak dari  “profesinya” tanpa terjadi perubahan kesejahteraan dirinya. 

Muncul pertanyaan mendasar lain!  Bagaimana membedakan antara identitas sebagai hak dasar manusia untuk memilih dengan “perilaku elastisitas seksual”?.  Perilaku elastisitas seksual adalah praktek pencampuran klaim identitas dan pergantian relasi seksual yang terjadi pada rentangan keruangan dari Diri seorang berorientasi seksual berbeda. Misalkan, seseorang yang bolak balik berganti orientasi seksualitasnya, dari seorang homoseksual menjadi heteroseksual menjadi homoseksual dengan sekaligus mengganti-ganti pasangan. 

Klaim ini mencampurkan dua kenyataan. Pertama, adanya perbedaan realitas terkait dengan identitas dan nilai. Kedua, mempertentangkan nilai dalam tampilan tindakan yang kontradiktif, yaitu kebebasan dan individualitas dengan nilai lainnya, kesetiaan – komitmen dan tanggungjawab.  

Hak dasar manusia sebenarnya mengandung berbagai nilai yang tidak bertentangan, seperti kekebasan, kesetiaan, komitmen, tanggungjawab, individualitas dan komunalitas.  Dalam nilai  kebebasan ada kesetiaan, ada tanggungjawab, ada komitmen.  Kebebasan lebih dari sekedar keamanan diri, bebas dari rasa takut, bebas membuat pilihan.  

Tetapi kadang-kadang bisa didapati seorang yang mendewakan kebebasan ternyata orang yang takut sekaligus tidak bertanggungjawab. Ketakutannya bukan disebabkan karena ditakuti, tetapi penyebabnya adalah proteksi yang terlalu ketat pada diri sendiri. Rasa iba, kasihan pada diri sendiri menyebabkan munculnya ketakutan.   

Saya menduga, kerancuan mengartikan “perilaku elastisitas seksual” menjadi penyebab kesalahan kaprah yang menimpa relasi tidak harmonis antara kelompok LGTB-IQ, masyarakat umumnya terutama kaum beragama. Relasi tidak harmonis terjadi karena masing-masing mengabaikan berkomunikasi, supaya bisa mengerti posisinya sendiri-sendiri.  
  
Jadi apa terjadi kalau seorang berorientasi seksual berbeda menerapkan nilai-nilai yang mendukung “perilaku komitmen seksual” dalam memelihara identitasnya?  “Perilaku komitmen seksual” adalah praktek seksual yang dilakukan karena adanya komitmen, keterbukaan secara publik di antara dua manusia berorientasi seksual berbeda untuk saling setia pada pasangnya sendiri.  

Dalam kondisi ini, apakah kaum beragama akan menerima mereka sebagai warga bumi, warga negara yang setara? Mungkinkah mereka diizinkan untuk berpasangan dan membentuk “keluarga”?  Untuk menjawab pertanyaan ini saya ingin bercerita. Kisah nyata seorang partisipan yang sangat menyentuh hati saya.

Ia seorang kristiani,  seorang pemuda. Sesudah menyelesaikan pendidikan teologi, ia mulai menjalankan tugas untuk mempersiapkan diri menjadi seorang pendeta (masa vikariat).  Jemaat menerimanya dengan antusias.  Ia terlibat dalam berbagai kegiatan pelayanan di gereja. Jemaat merasakan pelayanannya.  

Bulan berjalan sampai tiba waktunya ia akan menyelesaikan masa vikariat.  Mulai muncul pertanyaan di kalangan jemaat kapan pemuda calon pendeta ini akan menikah.  Kebetulan selain dirinya ada juga seorang  pemudi yang bersamanya sedang mengikuti masa vikariat di gereja yang sama. Karena masa vikariat hampir selesai yang berarti, ia akan ditahbiskan sebagai seorang pendeta, jemaatnya mendorong pemuda ini segera menikah. Mereka bahkan mendorongnya untuk berpacaran dengan pemudi calon pendeta yang sehari-hari bersamanya.   

Hatinya kacau! Pemuda ini bingung karena sedikitpun ia tidak tertarik apalagi jatuh cinta dengan pemudi tsb. Saat itu ia sedang mencintai seorang lelaki tanpa seorangpun tahu.  Mereka terus mendesaknya.  Akhirnya ia menjelaskan kepada tua-tua (majelis jemaat) tentang perasaannya yang tidak tertarik kepada pemudi tsb. Ia belum terbuka tentang dirinya.  Majelis memberikan ultimatum, ia bisa ditahbiskan apabila menikah dengan pemudi tsb!

Desakan untuk ditahbiskan menyebabkan akhirnya ia berpacaran dengan pemudi calon pendeta. Pacaran berjalan beberapa bulan tetapi kemudian bubar.  Akhirnya ia menjelaskan tentang siapakah dirinya kepada seorang  majelis yang dipercayai.  Majelis tsb memintanya untuk menuliskan surat pengunduran diri yang menjelaskan bahwa ia tidak bisa melanjutkan masa vikariat ini.  Sesudah memikirkan dengan tenang, ia memutuskan menerima saran dari majelis jemaat. Ia menulis surat kepada gereja tsb. 

Surat tersebut mengagetkan seluruh warga jemaat  karena pemuda ini sangat professional dalam menjalankan tugas seharian pendeta selama masa vikariat.  Jemaat tidak mau kehilangan pemuda ini. Ia masih dibutuhkan oleh jemaat. Tetapi untuk menghindari pro kontra dalam jemaat, akhirnya diputuskan supaya pemuda ini meninggalkan gereja tsb. Dengan berat ia tinggalkan gereja itu! 

Pemutusan kerja sewenang-wenang ini terjadi karena gereja memfungsikan dirinya sebagai institusi pemberi pekerjaan yang mempunyai otoritas menentukan "moralitas pekerjaan". Padahal pemuda ini sangat profesional dalam kerja "pelayanan" maupun bebas dari tuduhan perselingguhan kecuali memelihara kesetiaan terhadap dirinya sebagai seorang yang berbeda orientasi seksual.


Lebih jauh, pendiaman atas pengakuan diri seorang LGTB-IQ  bisa berdampak terhadap pasangan heteroseksual yang dipacarin atau dinikahkannya. Karena tekan sosial, seorang LGTB-IQ terpaksa mengikuti kemauan sosial daripada pilihan dirinya. Seorang homoseksual kemudian membangun keluarga secara heteroseksual tetapi pada saat yang sama memelihara diam-diam hubungan sesama jenisnya. Pilihan dualisme ini bisa menyebabkan prahara kepada diri, keluarga dan masyarakatnya!


Untuk pemuda ini, pemutusan kerja  tsb sempat membuatnya “down”. Tetapi ia meneguhkan hatinya. Ia bangkit lagi. Ia mencoba melihat kebaikan dari ajaran kristiani, ajaran Yesus Kristus yang sebenarnya ada dalam gereja tetapi sudah terlupakan. Yesus yang memberikan pengampunan sebagai daya hidup kepada mereka yang galau dan sendirian. Kebangkitannya itu ternyata membawanya kembali melayani gereja bukan sebagai calon pendeta tetapi seorang pekerja di gereja. 

Jemaat gereja ini sangat menghargainya!  Mereka mengasihinya.  Tetapi mereka masih belum tahu identitas pemuda ini.  Pemuda ini masih punya harapan untuk menggali kekuatan jemaat tsb sehingga mereka bisa hidup dalam cara Yesus yang mengasihi umat manusia apa adanya, tanpa penghakiman!. 

Ceritanya mengiris hati saya. Ia bercerita dengan getaran kekuatan yang terhembus keluar dari dirinya. Ia sudah memilih identitasnya! Ia juga memilih “perilaku komitmen seksual”. Pertanyaannya, apa hubungan antara pilihan identitasnya dengan doktrin gereja?   Ia mengerti bahwa pilihannya sebagai seorang “gay” tidak sedang menolak doktrin utama dari ajaran Kristiani tentang Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Pemuda tsb berada pada Youth Interfaith Queer and Sexuality Camp untuk mencoba mengerti bagaimana secara bersama, pemuda antara iman bisa menghadapi tekanan dari masyarakat terutama umat beragama. Apakah orang-orang beragama, institusi agama bisa berlaku adil kepada mereka ketika semua inti ajaran agama sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri sehingga mereka mempraktekan  nilai-nilai kehidupan kepada sesamanya? Mengapa institusi agama harus mengatur dengan siapa seseorang menikah? Apakah perjodohan dari institusi agama tsb didasarkan pada pandangan dan praktek keadilan berdasarkan hak seseorang untuk hidup?  

Pertanyaan-pertanyaan ini saya membawanya pulang. Sekarang saya menulisnya kembali. Saya diingatkan untuk kembali kepada ajaran Yesus Kristus yang tertulis dalam Alkitab. Pemungut cukai, Zakeus disadarkan kembali melakukan kebaikan dan keadilan. Cara hidup lamanya berubah. Maryam Magdalena, seorang mantan pelacur diterima kembali sebagai perempuan yang diampuni sehingga bisa berguna untuk dirinya dan sesama. 

Cerita yang mirip muncul dalam benak saya! Cerita Yesus bertemu dengan seorang perempuan yang ternyata sudah menikah beberapa kali termasuk hubungan dengan seorang lelaki yang sedang disembunyikannya. Pertemuannya di dekat sumur mengubah diri perempuan itu. Melalui pertemuan dengan Yesus, perempuan itu menemukan belaskasihan dan pengampunan dari Allah.  Ia kemudian menjadi manusia baru yang pulang ke kampungnya untuk menjelaskan tentang keselamatan yang diterimanya dari Allah.

Injil tidak menjelaskan tentang pertemuan Yesus dengan orang-orang berorientasi seksual berbeda. Sebenarnya orang-orang berorientasi seksual berbeda lebih banyak "berada" pada kelas atas, mereka yang dekat dengan pemerintahan Romawi yang menjajah tanah Yahudi pada saat Yesus hidup.

Berorientasi seksual berbeda pada jaman itu tampil sebagai "gaya hidup" dari para elit raja-raja. Mereka memperbudak secara seksual pemuda-pemuda. Saya ingat ketika mengunjungi istana Topkapi di Istambul, saya belajar bahwa pemuda-pemuda baya dibawa dari Afrika untuk menjadi partner seks dari para Sultan. Bahkan yang paling mengerikan mereka harus dikebiri lebih dulu.

Mereka kaum elit dengan "gaya hidup" erotisme liar inilah yang menekan orang-orang kecil sampai saatnya mereka bertemu dengan kasih dan pengampunan dari Yesus Kristus. Bahkan pemimpin agamapun lebih menegakkan hidup legalitas daripada kehidupan berkeadilan yang nyata kepada mereka yang memerlukan.   Saya ingat cerita seorang lumpuh yang berbaring selama tiga puluh delapan tahun dekat kolam Bethesda. 

Kolam Bethesda dalam tradisi Yahudi adalah kolam penyembuhan. Ketika seseorang yang sakit masuk ke dalam kolam pada saat airnya bergoncang, maka orang tsb akan mengalami kesembuhan. Tetapi orang lumpuh tsb selalu terlambat untuk masuk ke kolam ketika airnya bergoyak. Tidak ada seorangpun yang menolongnya.

Ketika Yesus menyembuhkan orang ini, malahan banyak orang di sekitarnya mempertanyakanNya. Mengapa orang lumpuh tsb harus disembuhkan pada hari Sabat?  Hari Sabat dalam tradisi Yahudi adalah hari perhentian, tidak ada pekerjaan. Hari Sabat adalah hari “Sabtu” menurut kalender bersama sekarang. 

Tetapi Yesus minta orang lumpuh tsb mengangkat tempat tidurnya ketika Ia bertanya apakah orang tsb ingin sembuh. Orang itu mengangat tilamnya. Ia bisa berjalan.  Penyembuhan orang lumpuh di hari sabat adalah mengembalikan kemurahan Allah mengatasi tradisi agama yang sewenang-wenang terhadap manusia. Suatu tradisi yang tampil kaku bahkan menelantarkan manusia yang harusnya ditolong dalam keadaannya yang hampir mati.

Orang banyak bertanya mengapa Yesus menyembuhkannya di hari Sabat? Yesus mengatakan Ia bekerja seperti BapaNya bekerja. Orang banyak ingin membunuhnya sesudah mendengar jawaban Yesus. Mereka menganggap Yesus menyamakan dirinya dengan Allah. Kesembuhan yang diterima dari Yesus adalah kesembuhan yang diberikan dari Allah. Yesus mengatakan: “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendakiNya” (Yohanes 5: 21)

LGTB-IQ sebagai pilihan identitas dengan perilaku komitmen seksual sebenarnya menunjukkan penghormatannya kepada nilai-nilai kehidupan. Penolakan dalam cara apapun menimbulkan penderitaan.  Penderitaan kaum LGTB-IQ, sebenarnya adalah juga penderitaan dalam keluarga, umat beragama, dan masyarakat umum. Semuanya menderita karena adanya anggapan yang salah bahwa LGTB-IQ adalah orang-orang berdosa, najis. 

Terhadap tuduhan ini, kenajisan seksualitas, saya ingat kata-kata Yesus ketika banyak orang mempersoalkan penerimaannya kepada seorag perempuan yang berzina. KataNya: “Barangsiapakah di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu!” (Yohanes 8: 7b).  Injil menulis, tidak ada seorangpun yang berani melemparkan perempuan itu. 

Perempuan terhina, semua orang lain yang terpinggir pada jaman Yesus telah mengalami banyak penghakiman, sangsi sosial dari masyarakat.  Sangsi ini bahkan menghilangkan akses kepada hak mereka untuk hidup termasuk hak mereka untuk beribadah, hak mereka untuk  berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup yang dipercayainya. Mereka dilarang memasuki tempat-tempat suci dimana ibadah agama diselenggarakan atau tempat suci dimana mujisat menantinya.

Sesudah peristiwa penyembuhan orang lumpuh di tepi kolam Bethesda, sejak itu banyak orang mencari Yesus untuk dibunuh.  Orang-orang ini telah menghakimi sesamanya. Terhadap mereka Yesus mengatakan: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa. Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa yang mengutus Dia (Yohanes 5: 22-23).

Apabila pemuda  calon pendeta memilih identitas “gay”, pilihan itu pasti dihargai oleh Yesus. Dalam Injil, kata pilihan sangat penting. Ada cerita tentang dua orang perempuan kakak beradik yang bernama Marta dan Maria. Mereka mendapat kunjungan dari Yesus yang datang ke rumahnya.  

Marta memutuskan menyiapkan makanan tetapi sekaligus mengeluh karena Maria tidak membantunya. Maria menemani Yesus bercerita. Marta mengeluh kepada Yesus.  Jawab Yesus: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan  diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadaNya” (Lukas 10:41).

Cerita menjelaskan tentang pandangan dan praktek Yesus Kristus. Cerita tentang pemuda calon pendeta adalah cerita yang menghormati dan mempercayai  Yesus Kristus.  Mengapakah gereja dan umat Kristiani menjadi penghambat kepadanya untuk memberikan hidupnya melayani jemaat  yang juga menghormati dan mempercayai Yesus Kristus?  Bukankah identitasnya tidak sedang menghambatnya untuk beribadah kepada Allah, Anak dan Roh Kudus!

Rabu, 25 April 2012

Mendisiplinkan tubuh, menjinakkan kecanduan!


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keenam: Mendisiplinkan tubuh, menjinakkan kecanduan!

By Farsijana Adeney-Risakotta 

Sebelum saya lupa, saya ingin menulis tentang simulasi kekuatan dan kelemahan yang dilakukan sebelum meditasi. Ketika saya menanyakan partisipan tentang apa yang mereka tulisan sebagai kekuatan dan kelemahan, ternyata tidak ada seorangpun yang menulisnya dalam kaitan dengan seksualitas.  

Satu kata yang diminta sebagai representasi kekuatan pada umumnya terkait dengan nilai yang menjadi perilaku positif.  Misalkan tanggungjawab, kepercayaan,  konsistensi, keterbukaan dll.  Begitu pula dengan representasi kelemahan yang sama sekali tidak berhubungan dengan seksualitas.  Memang benar saya tidak meminta mereka untuk menjelaskan temuannya tentang kelemahan diri. Tetapi saya menanyakan spesifik tentang keterhubungan ini. Saya menunjukkan penemuan ini kepada partisipan.  Kenyataan ini menjelaskan apa?

Pandangan yang sering diterima dari sekitar kita terkait dengan perjuangan kesetaraan berbasis orientasi seksual yang berbeda, adanya anggapan tentang sekelompok orang yang berperilaku seks bebas memperjuangkan kebebasannya.  

Konstruksi kenyataan yang dibuat oleh masyarakat kepada  pejuang orientasi seksual sangat berat sebelah.  Mungkin benar anggapan tersebut terbangun dari pencitraan diri yang ditangkap masyarakat terhadap “segelintir orang” dengan orientasi seksual berbeda, yang seolah-olah sangat terobsesi dengan seks. Fenomena partikular seringkali dijadikan patokan untuk melakukan generalisasi sekaligus memperbesar kerumitan realitas yang ada.

Pada satu sisi, steoretip yang muncul itu dapat dijadikan refleksi. Antony Giddens, seorang sosiolog Inggeris yang terkenal menulis buku berjudul “The transformation of Intimacy. Sexuality, Love & Eroticism in Modern Societies” (California: Stanford University Press, 1992) menjelaskan tentang hubungan antara klaim hak-hak individu dengan tindakan memposisikan seksualitas sebagai komoditi.

Cinta kasih sejati kehilangan maknanya dalam masyarakat modern karena erotisme telah mereduksi cinta pada ketubuhan.  Orang kehilangan tanggungjawab untuk membangun komitmen kepada pasangannya karena nilai kesetiaan sudah dibayar sesuai dengan kesepakatan yang tampil dari kebutuhan di tingkat pasar. Ketika kesepakatannya tidak tercapai, pencariannya masih bisa diteruskan sesuai dengan pajangan pada estalase yang terpampang.

Giddens juga mengamati tentang fenomena obsesi dan ketagihan (“addiction”) yang menguasai pandangan seksualitas masyarakat modern. Kebebasan pada media, akses terhadap personal informasi telah mengubah cara manusia berhubungan seksual.  Rangsangan terhadap diri datang dari berbagai arah sampai manusia sungguh-sungguh tidak berdaya. 

Saya jadi ingat ayat di kitab suci: “…“..roh memang penurut, tapi daging lemah” (Matius 26: 41).  Tekanan ternyata bukan saja datang dari institusi keluarga dan masyarakat yang menekankan seksualitas sebagai “self control” bahkan yang ditabukan, tetapi juga tergilas oleh pandangan dan praktek seksualitas yang menempatkan tubuh sebagai komoditi.

Ekspoilati tentang ketubuhan ini bisa terjadi pada kedua posisi ektrim dengan perentangan  garis menggambarkan posisi yang paling konservatif ke yang paling liberal radikal.  Tubuh disakiti baik karena pandangan dan praktek seksualitas yang konservatif maupun terjadi pada posisi yang liberal radikal.  

Di satu sisi, nilai-nilai dipegang ketat oleh mereka yang konservatif  tetapi dalam penerapannya malahan terkesan bertentangan dengan spirit dari nilai tersebut.  Sementara, posisi liberal radikal cenderung menegasikan nilai-nilai pada umumnya, dengan menolak nilai-nilai “konvensional” dan menciptakan nilai lain yang merepresentasikan pandangannya sendiri. 

Kesadaran dari jebakan terhadap kedua tarikan posisi ini sebenarnya yang membawa pemuda/i antar agama berkumpul bersama untuk memproses posisi diri mereka sebagai seorang dengan orientasi seksual yang berbeda. Mereka sadar pentingnya institusi agama dan komunitas tetapi sekaligus menjalankan “agama” secara kritis sebagai “iman” yang menguatkan perjalanan hidupnya di dunia ini.

Saya lihat kerinduan itu. Saya menangkapnya.  Sebagai seorang heteroseksual, saya yakin diikat dengan pemuda/i dalam satu roh yaitu upaya untuk memahami iman secara bertanggungjawab. Saya ingat sebelum ke camp, suami dan saya bercerita tentang posisi diri. Suami saya tahu siapakah saya. Katanya: “Nona selalu tampil konservatif tetapi sangat mengejutkan sekarang sedang bersama dengan teman-teman Queer!”. 

Saya tersenyum. Saya mengatakan: “The queer is a mystery for me, I would like to understand them as God also tries to understand them”. Kemudian saya mengingatkannya tentang Yesus yang bergaul dengan Zakeus, seorang petugas pajak; Maryam Magdalena, seorang pelacur dan mereka yang termarginalkan pada jamanNya hidup.

Kembali kepada ayat yang saya kutip di atas.  “Roh memang kuat, tetapi daging lemah”. Dalam bahasa asli, Ibrani, ruah adalah roh yang digambarkan sebagai “angin”. Setiap agama di bumi ini paham tentang "roh". Melalui “roh”,  Diri  berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup untuk mewujudkan nilai-nilai dalam tubuh.  Simulasi tentang kekuatan dan kelemahan yang dijalani oleh partisipan ternyata menunjukkan keragaman nilai yang ada pada mereka. 

Nilai-nilai dengan kepemilikannya yang sangat pribadi ternyata mungkin merupakan bagian dari nilai-nilai dalam tampilan yang besar.  Misalkan partisipan mendiskusikan kemudian mesimulasikan nilai-nilai yang tertentu seperti solidaritas, berbagi, anti kekerasan, respek dan keragaman.  Simulasi dilakukan dalam mendramakan nilai tanpa menjelaskan dengan kata-kata supaya bisa ditebak oleh kelompok yang ditunjuk. 

Ternyata dalam diskusi dan simulasi itu, bisa disimpulkan bahwa nilai mempunyai konteks dan posisinya saling terkait dengan lainnya. Walaupun demikian tampilan nilai sebagai norma yang umum seringkali juga bisa dikendalikan oleh pandangan idealis yang dapat  memposisikan dirinya dengan sangat ekstrim.

Saya ingat ketika diskusi tentang nilai anti kekerasan menjadi seru karena perbedaan pandangan tentang non kekerasan dan anti kekerasan. Non kekerasan merupakan suatu pandangan filosofis yang mengasumsikan tentang sikap ketiadaan kekerasan dalam keadaan minimum apapun. Pandangan ini dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi, seorang aktivis non kekerasan dari India yang besar di Afrika Selatan,  memastikan bahwa pemotongan lingkaran kekerasan bisa dimulai dari penggunaan non kekerasan dalam perjuangan pembebasan. 

Konteks Gandhi sangat jelas! Menggunakan kekerasan akan menodai kemurnian perjuangan pembebasan dari kolonial Inggeris. Selain itu, kemungkinan perjuangan mereka dikambinghitamkan, disamakan sebagai perjuangan anarkis, ditumpangi yang menyebabkan banyak orang akan terbunuh percuma.

Sementara pandangan anti kekerasan mensyaratkan adanya kemungkinan penggunaan kekerasan sebagai perlawanan melawan kekerasan.  Penggunaan kekerasan bisa ditolerin sejauh dapat memberikan kesadaran tentang pemutusan rantai kekerasan. Sangat penting diingat bahwa tanpa kesadaran tentang perlunya penghentian kekerasan, maka tidak ada perdamaian.  Ketika saya jelaskan bahwa ada kekerasan positif dan negatif, saya pada saat yang sama sedang mengakui bahwa dasar dari tindakan kekerasan adalah ketegasan, cinta kasih dan pengampunan.

Saya menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut, tetapi kemudian membawa kenyataan dari lapangan supaya partisipan bisa mengerti tentang kekerasan pada dirinya yang  bersifat positif maupun negatif.  Bertolak dari kenyataan ini, saya ingin mendefinisikan kekerasan sebagai tindakan yang melukai tubuh bisa secara fisik, jiwa maupun roh. Penampakan kekerasan positif bisa terlihat dalam praktek disiplin.

Saya kemudian mengambil contoh dari tradisi Kristiani. Dalam kitab suci, Amsal 23:13-14 mencatat tentang …rotan … . Saya mengutipnya lengkap:  “ Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati”. 

“Rotan” sebagai terminologi menimbulkan pertanyaan dan diskusi, karena istilah ini ternyata menjelaskan tentang tindakan kekerasan.  Saya menguraikan makna kata rotan sekaligus menunjukkan pandangan realisme dalam kehidupan, di mana kekerasan mempunyai makna minimalis yang perlu diterima sebagai suatu cara untuk membangun tanggungjawab.

Dalam diskusi itu, seorang teman mengingatkan contoh menarik tentang orang-orang yang harus dimasukan dalam  penjara. Pemenjaraan mereka merupakan suatu tanda kekerasan karena haknya untuk menghirup udara yang bebas harus hilang diganti dengan hukuman untuk tinggal di penjara. Hanya dengan disiplin ini diharapkan mereka bisa berubah.

Contoh lain, saya ingat ketika masih belajar di Belanda. Saya pulang dari Paris, Perancis. Tiba di Amsterdam dini hari. Saya mengambil kereta untuk membawa pulang ke Oegstgeest, di mana saya dulu tinggal di Zending Huis. Oegstgeest, kota kecil yang terletak dekat Leiden. Dari station di Leiden saya harus berjalan ke Oegstgeest karena tidak ada bus beroperasi pada jam itu. 

Ketika saya berjalan sendiri, saya merasa ada yang membututi saya.  Saya membalik badan dan berhenti. Terlihat ada seorang lelaki yang sedang berjalan dekat dengan saya. Ketika saya berhenti orang itu juga berhenti. Kemudian saya berjalan, orang tersebut berjalan cepat-cepat menuju saya.

Karena sadar sedang dibuntuti, saya langsung mengeluarkan batu-batu yang sudah ada dalam saku jaket saya. Terinsipirasi dari nabi Daud yang mengalahkan Goliat dengan kartapel dan batu, saya selalu membawa batu ke mana-mana ketika saya berjalan sendiri. Jadi saya melemparkan batu-batu itu kepada orang tersebut. Kemudian saya berhenti sambil memperhatikan reaksinya. Orang itu berhenti dan membalik pergi!

Dia membaca tanda dari saya, tanda batu sebagai bentuk refleks untuk melindungi diri sendiri.  Tanda itu mengatakan saya tidak perlu teman dan jangan mengganggu saya! Saya harus melakukan “kekerasan positif”, dengan melemparkan batu kepada orang tersebut untuk menyetop kemungkinan kekerasan lebih besar yang akan terjadi kepada saya.

Penggunaan kekerasan minimum untuk mempertahankan diri secara personal perlu dibedakan dari kekerasan “massa” yang sengaja dilakukan oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai penjaga kemurnian agama.  Misalkan  ancaman pembubaran pertemuan LGTB-IQdatang dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama, yang tidak tanggung-tanggung melakukan kekerasan, dengan menjerang tubuh. Darah LGTB-IQ dianggap halal!  Pemahaman ini jelas berbeda dengan nilai agama yang sedang dibelanya.

Kesalahan  penjaga otoritas agama ini adalah mengidentikan identitas LGTB-IQ sebagai suatu representasi kekerasan yang harus dilawan dengan kekerasan. Pandangan ini memerangkap!  Karena  dengan sengaja ada upaya dari pihak tertentu untuk mereduksi perjuangan LGTB-IQ sekedar pada isu “tubuh”.  Jadi sangat bijaksana menghindari  benturan  tubuh supaya kelompok LGTB-IQ bisa menjaga kemurnian perjuangannya, sehingga tidak terjatuh pada tindakan anarkis.   

Tubuh bisa menjadi tirani terhadap berbagai kepentingan dalam dirinya.  Tubuh sendiri dapat mengeksploitasikan tubuh orang lain. Sebaliknya dengan sangat narsis, tubuh sendiri dibiarkan disakiti oleh orang lain. Ada banyak nafsu dalam tubuh yang bisa membuatnya kehilangan makna sebagai tubuh yang adalah tempat dimana Tuhan juga tinggal.  Kesadaran terhadap tubuh kita, harusnya mendorong manusia menjaga dirinya secara bertanggungjawab. 

Hati saya tergugah ketika makin sadar bahwa pemuda/i dari berbagai agama ingin mengenal lebih jauh kaitan antara tubuhnya dengan Allah. Setidaknya, mereka mulai kenal tentang disiplin yang diturunkan dari  Allah yaitu praktek nilai untuk melindungi tubuh sendiri dari ekploitasi dan kekerasan. Dialog mendalam ini terjadi  di antara pemuda/i dengan  tokoh-tokoh dari agama masing-masing yang hadir pada camp tersebut.

Sabtu, 21 April 2012

Mentransformasikan trauma dalam tubuh-diri


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Kelima: Mentransformasi trauma dalam tubuh-diri

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pada Camp Pemuda/i saya belajar tentang penderitaan dari tekanan.  Seorang partisipan tiba-tiba menangis ketika teman saya sedang memfasilitasi penggalian bentuk-bentuk tekanan sosial yang ditampilkan dari keluarga maupun institusi agama kepada seseorang yang berbeda orientasi seksualitas. Kemudian saya tahu, pemuda yang sangat lembut ini berkali-kali harus dilarikan ke rumah sakit karena dengan sengaja membenturkan bagian bawah dari kepalanya ke tembok.
  
Di pagi hari ketika saya baru selesai jogging, pemuda ini berlari-lari sambil mengatakan: “Bunda saya sedang gundah”. Saya tersenyum, sambil berkata: “Kamu sudah mengerti caranya mentransformasikan Dirimu khan?”.  Ia tersenyum sambil menyimbolkan tangannya membentuk tanda “yoga”.  Sehari sebelumnya saya memfasilitasi mereka dengan yoga sebagai alat transformasi Diri. 

Kekalutan karena penolakan dari sekitar lingkungannya menyebabkan seseorang bisa merasakan seolah-olah berpribadi delapan macam.  Seperti Sybil, pribadi beragam, seorang dengan “multiple personality disorder” yang ceritanya saya ingat sejak masa remaja. Sybil berganti-ganti kepribadian yang tampilannya masing-masing saling bertentangan.  Pemuda lembut ini, bukan Sybil. Ia masih mengerti tentang dirinya yang utama. Mungkin kadang-kadang ada penampakan dari suara-suara yang mengingatkannya tentang representasi diri yang berbeda. Tetapi tampilannya masih dikendalikan oleh diri dari pemuda ini.  Identitas dirinya  bukan suatu penyakit.

Ketika mereka difasilitasi untuk mengenal diri, pemuda ini menggunakan kata “penderitaan” untuk menggambarkan dirinya.  Artikulasi penderitaannya dihubungkan dengan keberaniannya untuk menderita sekalipun ditinggalkan oleh orang-orang yang dekat dengannya. Orangtuanya membuang dirinya. Teman-temannya menjauhkan dirinya. Tetapi katanya: “Kesetiaan dalam diri saya sangat mendalam”.  Ia setia untuk berjalan dalam identitas yang sudah dipilihnya sekalipun harus berkali-kali membenturkan kepalanya ke tembok!

Penolakan menyebabkan kesepian. Tetapi ketika seseorang menjadi kuat termasuk semakin sering merelakan penolakan berdiam bersama dirinya, pada saat itulah pembebasan sedang terjadi. Pembebasan berkaitan dengan kejujuran untuk mengerti perjalanan yang sudah dilewati. Foto seorang anak kecil berjilbab saya perlihatkan kepada partisipan. Dibawah foto tersebut tertulis: “Namaku Irshad…Aku seorang Muslim yang beriman”.  

Kesesuaian antara foto dengan kata-kata mungkin tidak tepat mengingat pengambilan foto masa kecilnya tidak dirumuskan dalam bahasa kemudian sesudah Irshad Manji, seorang lesbian yang tinggal di Kanada, menulis bukunya yang sangat berpengaruh “Beriman tanpa rasa takut”.  Buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggeris oleh Koalisi Perempuan Indonesia  untuk keadilan dan demokrasi ( Jakarta:  Nun Publisher dan Koalisi Perempuan Indonesia,2008). Pembaca juga bisa mendown loadnya gratis. Lihat (https://www.irshadmanji.com/sites/default/.../Indonesian-Edition.pdf)

Tanda jilbab yang kedodoran ketika dipakai oleh Irshad yang mungkin baru berumur 3 tahun menjelaskan tentang imannya sejak semula. Irshad, bocah cilik, sedang menyatukan diri pribadinya, masa lalunya dengan dirinya masa kini, seorang lesbian, yang  adalah seorang muslim. Apakah salah dari dirinya?

Irshad adalah seseorang yang ada pada dirinya sendiri.  Tidak ada Irshad lain di dunia ini. Keberlangsungan sejarah dirinya sejak kecil hingga menjadi dewasa, adalah Irshad yang tahu bahwa kesucian yang dimilikinya adalah dirinya sebagai seorang pemikir. Irshad yang setia dalam tradisi imannya tetapi sekaligus kritis untuk mengenal cara Allah mengasihinya. 

Bisakah penguatan diri dilakukan tanpa membenturkan tubuh, tanpa menyakitkan tubuh dengan sengaja? Pertanyaan ini saya temukan jawabannya dengan bercerita tentang Irshad. Sesudah membagikan cerita Irshad, partisipan memulai mengingatkan pribadinya ketika masing-masing secara sendiri-sendiri mulai menguraikan peta perjalanan dirinya. Ingatan adalah pengalaman yang selalu kembali menghadirkan dirinya  dalam berbagai perasaan.   Ketika seseorang mulai mengingat berarti ada yang paling penting pernah terjadi. 

Ingatan tersebut ditandai, diberikan simbol, yaitu tanda lingkaran yang berisi  goresan ekspresi sedih, gembira dan ragu-ragu. Penandaan simbol dilakukan sekaligus dengan menandai titik-titik perhentian.  Mungkin di antara titik-titik perhentian tsb ada satu tempat yang selalu diingatnya, dimana partisipan selalu kembali mengunjunginya dalam ingatan. Ingatan yang kerap kembali adalah kekuatan dari diri mereka, tetapi juga adalah kelemahan. Pada tempat itulah diberikan tanda lingkaran yang berisi garis-garis naik turun menyerupai irama jantung yang dipotong oleh dua garis sejajar merepresentasikan  jalan raya. Tanda ini mengartikan perjalanan dan perhentian. Setiap perjalanan dan perhentian mestinya  melegakan. Perjalanan dan perhentian bisa dilakukan sambil melepaskan gemuruh dalam dada. 

Sesudah semua selesai menggambar peta perjalanan hidupnya di salah satu sisi dari kertas kosong, mereka diminta berpasangan dengan seorang teman lain.  Keduanya mempunyai tugas yaitu masing-masing harus menemukan kekuatan dari temannya yang berada di depannya. Penemuan kekuatan dilakukan tanpa mereka membagi cerita tentang peta perjalanan dirinya. Pada sisi yang kosong dibalik dari gambar peta diri, masing-masing diminta menuliskan tentang temuan kekuatan dari temannya. Simulasi ini menarik. Karena ada yang menemukan kekuatan temannya dengan tepat, tetapi ada yang belum berhasil.  Kemudian mereka dipersilahkan menjelaskan tentang kesadaran terhadap kekuatan yang mereka berdua bisa menemukan secara berbeda.

Sesudah itu, setiap pribadi, hanya diri sendiri menemukan tiga kelemahannya yang ditulis di sisian yang kosong pada kertas tsb. Temuan kelemahan diri hanya untuk milik dirinya, dirahasiakan.  Kelemahan seseorang bisa mendatangkan aib apabila diketahui oleh orang lain. Tetapi diri sendiri perlu mengetahuinya. Ketidaksadaran tentang kelemahan dibawa keluar pada permukaan kesadaran untuk diterima menjadi bagian dari diri sendiri.  Saya memperhatikan cermat setiap orang, muka-mukanya seperti terheran-heran. Mereka terkejut menemukan dirinya, terutama kelemahan yang tidak disadarinya.

Lengkaplah, peta diri, ada jalan yang pernah dilalui, ada bagian yang diingat sebagai kekuatan, tetapi ada juga yang disadari sebagai kelemahan. Terbentang pada peta diri kedua hasilan dari jalan kehidupan yang sedang dilaluinya. Tubuh mulai mewaspadai tentang diri yang kuat sekaligus lemah.

Kitab suci memberitahu tentang “tubuh dari tanah ke tanah”. Tetapi penghayatan terhadap kebenaran kata-kata ini baru saya mengerti mendalam sesudah adik saya meninggal. Saya merenungkan ketanahan tubuh dalam puisi berjudul “tanah” (The soil). Saya menulis dan mendokumentasikannya di blog ini juga. Puisi ini mendalam karena saya bergetar ketika bisa membahasakan getaran keterhubungan tubuh manusia dengan tanah.  Saya mengutip potongan puisinya…”

Tanah
biarlah kubernapas bersamamu
biarlah kusentuh engkau dalam tangan
biarlah kucium engkau dalam rasa
biarlah kuhayati engkau dalam hati
biarlah kuukirkan engkau dalam kata
biarlah kubangunkan nisan harapan

Saya bernapas dengan tanah. Trauma saya sesudah kepergian adik yang mendadak, mengubah hidup saya ketika saya memulai menerima keterhubungan diri saya dalam ketanahan di mana adik saya berbaring. Bernapas bersama tanah menolong saya merelakan “goncangan” dalam diri ditenangkan kembali pada pijakan dimana saya berdiri.

Penolakan yang diterima dari orang-orang yang dicintai di sekitar kita menyebabkan banyak trauma membekas dalam tubuh sendiri. Kekuatan dan kelemahan yang sangat sering muncul sebagai ingatan dan perilaku, keduanya ada dalam tubuh.  Setiap tarikan napas pada diri mungkin juga menghadirkan sekelebat kekuatan dan kelemahan dari tubuh.  Kepekaan diri untuk merasakan kekuatan dan kelemahan dalam tubuh bisa dibangunkan dengan menyentuhkan keterhubungannya pada tubuh. 

Pijakan manusia adalah bumi, yang adalah tanah. Tanah terbentuk dari berbagai komponen zat yang ada pada tubuh manusia, seperti mineral, air, api, dan kayu. Menyentuh kekuatan dan kelemahan diri adalah membawa telapak tangan sendiri menjamahnya lembut sampai merasakan salah satu dari aliran zat yang sedang mengalir keluar dari tubuh kembali ke bumi, ke tanah.

Saya memberikan pengantar kepada partisipan untuk mempersiapkan mereka memasuki gerakan tubuh. Hampir semua peserta belum pernah mempunyai pengalaman meditasi apalagi melakukan gerakan yoga. Mereka pemuda/i dengan usia diantara 19 - 28 tahun. Sesudah saya mengerti tentang pengalaman mereka yang berbeda, saya mendorong mereka untuk memulai lebih dulu merasakan bernapas bersama tanah.

Saya mengajak partisipan berdiri tegak. Masing-masing mempunyai ruang untuk bisa bergerak. Sebagai bagian dari mikrokosmos, saya membawa mereka memasuki kesadaran tentang posisi dan arah.  Dengan tetap tegak, kami membentangkan tangan membukanya ke kiri dan kanan menyatukan dalam gerakan kearahan makrokosmos.  Dimulai dari utara dalam kesadaran menghadap ke gunung Merapi, kemudian tangan dibawa ke selatan dimana lautan Indonesia berada; kemudian ke timur dimana matahari terbit dan ke barat dimana senja muncul.  Kami melakukannya sambil merasakan napas sendiri.  Kesadaran tentang arah adalah penerimaan tentang siklus tubuh sendiri.

Pemindahan arah dilakukan pelan-pelan, kira-kira lima menit. Diakhiri dengan perjalanan memposisikan diri dalam arah, saya mengajak mereka untuk meletakan telapak tangannya di tempat yang paling ingin disentuh. Saya menyentuh bagian atas perut sebagai pusaran diri pada saat itu. Semua gerakan dilakukan dengan membuka mata. Kira-kira 20 menit sudah berlalu, saya memperhatikan ketenangan terbesit keluar dari semua partisipan.  Pemuda lembut yang memanggil saya Bunda juga sedang memasuki kediriannya dengan damai.

Saya menyebut aktivitas tersebut Yoga, walaupun pengertiannya berbeda dengan praktek Yoga kebanyakan. Intinya adalah meditasi, yaitu satu aktivitas untuk menguatkan dan  mengintegrasikan tubuh dengan  mengolah daya, raga, roh dan jiwa sehingga bisa mencapai kekuatan yang menggetarkan Diri.  Meditasi berbeda dengan sholat atau berdoa yang mempunyai tata urutan sapaan, juga mengandung permintaan.  

Meditasi memberikan ruang kepada tubuh dan diri saling berhubungan mengakui kekuatan dan kelemahan yang dapat dilepaskan ke bumi.  Pertemuan ini menghasilkan  tenaga yang menenangkan untuk memulai mengubah pencapaian kualitas Diri di hadapan Sang Pencipta dan sesama. Kekuatan yang bisa “menggerakkan” pusaran Diri meluaskan wilayah kediriannya dengan membangun kesadaran baru yang menyeimbangkan.  

Tahap kedua adalah mengundang peserta untuk bersila dengan menegakkan tubuh sehingga merasakan tulang belakang yang menopang tubuh. Ada yang masih berdiri sesudah sebagian mulai duduk. Gerakan yang masih dilanjutkan adalah menyentuh bagian tubuh yang menjadi pusaran kekuatan tetapi sekaligus kelemahan. Saya membiarkan untuk beberapa saat kedekatan sentuhan menggetarkan diri masing-masing.

Kemudian saya mengatakan apabila ada yang ingin memindahkan pusat sentuhan bisa dilakukan. Saya memperhatikan ada beberapa yang memindahkannya. Pusat sentuhan saya juga saya pindahkan, kedua telapak tangan saya membawa menyentuh bahu. Getaran terasa makin kuat kira-kira lima menit. Pada saat inilah saya meminta masing-masing untuk mulai mengundang Sang Pemberi Hidup datang menyentuh pusaran tersebut.

Tubuh manusia bukan robot.  Perlawanan-perlawanan yang dilakukan untuk menjaga pemilikan identitas diri sering kali tampil sangat melelahkan. Perlawanan tidak saja terjadi pada dataran konsep yang melibat energi untuk berpikir. Ketegangan dari perlawanan mengalirkan sinyal ke seluruh tubuh sehingga menegangkan, bahkan untuk bernapas saja sangat perih. 

Sesudah latihan meditasi dilakukan, saya mendapatkan lebih dari sepuluh orang menyampaikan keluhan mereka. Ada yang merasa sesak, ketika bernapas sakit, ada yang matanya berkunang-kunang, ada yang mengalami kesakitan pada tulang belakang. Saya datang menyentuh bagian yang sakit dan meminta mereka untuk merilekskan tubuh. Kemudian sesudah semua partisipan merasa cukup, tanpa iringan musik, latihan meditasi ini berakhir. Awal hidup baru dimulai.  Sesudah itu saya memberi waktu bercerita dengan mereka yang merasakan gangguan selama meditasi berlangsung.

Sebenarnya yang dilakukan adalah metransformasikan perlawanan “saat ini” masuk dan menjadi bagian dari perjalanan yang sudah dipetakan. Kebanyakan perlawanan dilakukan diluar alam sadar, dengan wajah ketakutan. Pengetahuan tentang hak-hak dasar diri sebagai manusia mulai diposisikan dalam peta perjalanan diri yang sudah digambarkan sebelumnya. Peta itupun ditransformasikan menjadi bagian dari diri sendiri selama meditasi berlangsung. Inilah pengalaman mengintegrasikan antara pengetahuan dengan penerusan perjuangan.

Tubuh manusia ada dalam pengalamannya dengan sesama dan juga alam semesta. Tubuh ini ternyata bukan hanya menanggung tetapi juga mentransmisi beban penolakan kembali ke pusaran semesta yaitu kepada Sang Pemberi Hidup. Menyentuh semesta adalah menyentuh kebaikan dan cinta kasih Tuhan dalam kehampaan diri sendiri. Mengalirkan perlawanan mengubahnya menjadi perjalanan untuk berjuang dalam cara Sang Pemberi Hidup yang membebaskan. 

Di hari yang sama sesudah saya disapa pemuda lembut,  ada seorang peserta yang bersama saya melakukan meditasi.  Pengulangan bersama dilakukan karena pengalaman sebelumnya ia merasakan ada banyak warna hadir dalam dirinya. Jadi pagi itu, saya bersamanya memulai proses yang sama. Ia sudah lebih tenang. Saya merasakan kedalamanya memasuki dirinya sendiri. Sesudah saya berhenti, ternyata ia masih terbenam dalam keintiman dirinya. 

Saya membiarkan dirinya sendiri. Kemudian sesudah ia selesai, kami bercerita. Katanya: “Ketika saya menyentuh kekuatan dan kelemahan saya, yaitu bagian luar dari telapak tangan kiri saya, saya mulai merasakan suara kayu yang patah. Suara patahan kayu dimulai pelan…pelan tetapi makin kencang sampai akhirnya menghilang”.  Saya tersenyum dan meneguhkannya: “Kamu sudah mengerti jalan pulang ke diri. Teruskan!”.


Jumat, 20 April 2012

Tubuh-ketubuhan dan representasi diri-kedirian


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Keempat: Tubuh-ketubuhan dan representasi diri-kedirian

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Pada tulisan sebelumnya saya berjanji akan meneruskan ke topik penafsiran kehidupan. Tetapi saya sadar belum cukup banyak bercerita tentang tubuh dan ketubuhan. Dalam Camp pemuda/i maupun Pendidikan kader dasar kepada ibu-ibu, saya memberikan banyak waktu untuk menguraikan tentang tubuh. Sekarang saya ingin menyinggungnya. Jadi tulisan tentang penafsiran diteruskan kemudian, sementara membelot dulu membahas tentang tubuh.

Manusia sangat mempesona karena tubuh dan ketubuhannya. Siapa saja dan kemana saja saya pergi, keterpesonaan itu mendorong saya untuk mengerti lebih jauh berbagai faktor penting pembentuk kedirian seseorang.  Tubuh dan ketubuhan, Diri dan kedirian, adalah kenyataan keterpesonaan saya. Maka pertanyaan yang bisa direnungkan bagaimana kita melihat tubuh-ketubuhan, Diri-kedirian, apa yang dipikirkan, apa yang harus dilakukan, bagaimana bertindak, apa tanggungjawab Diri untuk bertindak, apa yang Diri inginkan, ingin jadi siapa?

Berbagai penelitian dan penulisan dari metafisik ke psikoanalisis dilakukan bermacam-macam pakar untuk menjelaskan tentang manusia. Keterpesonaan itu menyebabkan saya memasuki lorong-lorong permenungan secara independen untuk mengerti tentang manusia. Konstruksi sosiologi dan budaya dengan kerangka teoritis yang umum terasa kurang untuk menjelaskan keterpesonaan saya. Membongkarnya, juga terasa masih kurang apabila sekedar menggunakan analisis sosial terkait dengan kekuasaan yang mencoba menelanjangi kelompok yang mendominasi dalam relasi dengan kelompok yang tersubordinasi. 

Saya makin sadar, analisis adalah alat kepekaan, alat kerja untuk mengerti keterhubungan fenomena ketimpangan dalam masyarakat. Akan tetapi pada sisi lain, saya juga sangat sadar tentang perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan manusia sebagai hasil dari pembelajaran bersama. Misalkan “kritik” yang diberikan kepada agama karena pelarangannya kepada perempuan yang sedang menstruasi  berdoa atau memasuki ruang ibadah.  Kritik ini dilakukan tanpa menjelaskan  tentang perubahan sosial yang terjadi. Sehingga kritik dilakukan hanya untuk menyentuh ajaran sebagai dogma  tanpa menjelaskan bagaimana ia terbentuk. 

Teknologi sangat berpengaruh dalam perubahan sosial. Pembalut perempuan merupakan hasil rekayasa dari penemuan berevolusi dari masa ke masa.    Kulit tubuh perempuan disekitar selangka terlalu halus untuk dibalutkan serabut kelapa yang diikatkan dengan tali-tali dari akar muda suatu tanaman. Kemudahan dan keamanan diri adalah memisahkan perempuan di lokasi yang mempunyai akses langsung ke tanah.  Ketika menstuari tiba, perempuan di bawah ke rumah sendiri di mana aliran pendarahannya bisa langsung mengalir ke tanah. 

Praktek ini masih ditemukan pada masyarakat pedesaan  di Indonesia, misalkan di NTT yang menciptakan secara khusus rumah untuk perempuan yang sedang menstruasi.  Pemisahan perempuan pada rumah khusus ini menyebabkan tugas-tugas sehari-hari untuk sementara ditangani pada rumah perempuan.  Kegiatan ibadah yang melibatkan komunitas juga dihentikan.  Alasan utama sebenarnya adalah ketiadaan alat sederhana untuk menampung pendarahan perempuan.

Alasan ini ternyata kemudian dikemas dalam rumusan yang memberikan makna kepada komunitas. Misalkan, pemisahan harus dilakukan karena wilayah komunitas dalam persembayangan bersama adalah suci. Pendarahan merupakan suatu “gangguan” yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan bersama. Perumusan ini kemudian dihubungkan dengan kenajisan dan kebersihan yang terkait dengan wilayah suci dan sekuler. Pandangan ini masih terus dipelihara juga ketika sudah ada solusi untuk menolong menstruasi perempuan.  Sekarang perempuan modern dengan menggunakan “pembalut” bisa beraktivitas ketika mengalami menstruasi kecuali tidak bisa bersembayang bersama komunitas menurut agama tertentu (Islam, Hindu).

Tubuh baik, ketubuhan perempuan maupun lelaki, di dalam lingkaran kehidupannya harus melewati setiap tahap dengan berbagai persyaratan. Menstruasi merupakan salah satu krisis karena gagalnya pembuahan di antara sperma dan indung telur. Akan tetapi ketika pembuahan tsb terjadi, sehingga menstruasi berhenti, krisis lainnya akan terjadi. Hidup manusia disadari dikelilingi oleh berbagai krisis karena itu perlu dilakukan berbagai ritual untuk menolong manusia melewati setiap tahap krisis dari lingkaran kehidupan yang dilewatinya.  Lingkaran kehidupan dimulai dari  peristiwa kelahiran, bayi, anak-anak, remaja, dewasa muda, dewasa tua (menikah), mempunyai anak, mempunyai cucu, sampai masa kematian. 

Pembedaan fungsi biologis perempuan dan laki-laki juga menentukan macam ritual yang harus dilewati. Misalkan sunat perlu dilakukan kepada setiap anak lelaki menurut beberapa tradisi budaya dan agama. Tujuan sunat adalah untuk menjaga kebersihan dari penyakit yang bisa dialami oleh seorang lelaki. Sunat juga dilakukan kepada anak perempuan tetapi tujuannya berbeda.  Dibanyak budaya, klitoris anak perempuan dipotong sehingga menyebabkan pendarahan yang membawa kepada kematian. Tradisi pengambilan klitoris anak perempuan dilakukan untuk kelak memusatkan kepuasaan seksualitas sebagai pemberian dari lelaki.  Tradisi sunat anak perempuan sudah mengalami perubahan, karena dianggap bertentangan dengan HAM perempuan.

Pandangan tentang sunat perempuan sangat terkait dengan praktek moralitas. Ternyata tubuh bukan hanya kerangka biologis tetapi ia adalah representasi moralitas.  Moralitas ditampilkan dalam bentuk kebijakan dan aturan. Dalam moralitas ada perintah dan larangan sebagai suatu rangkaian kodefikasi disiplin yang diyakini mendatangkan keselamatan untuk semua pihak. Karena itu, tubuh berfungsi menterjemahkan penugasan sosialisasi seksualitas dan nilai yang berlangsung sejak masa kecil sampai proses lebih lanjut.  

Pengejawantahan ketubuhan dilakukan melalui proses peniruan yang cenderung memuaskan pihak dominasi supaya Diri pribadi bisa diterima. Dengan adanya otoritas “demokratis” yang diizinkan membentuk watak seseorang, aspek partisipasi dan kemandirian “agency” sudah diperkenalkan sejak usia dini sehingga seorang anak diharapkan sudah mempunyai identitas lebih cepat. Identitas merupakan kekhasan yang dipilihnya dengan sadar sebagai bagian dari proses pikir dan negosiasi.  

Akan tetapi kebanyakan proses mensosialisasikan ketubuhan seseorang tetap dilakukan dalam konteks ketabuan sekalipun manusia hidup dengan nilai-nilai demokratis jaman modern. Terutama tubuh perempuan, sering kali dianggap sebagai sumber dari bencana. Penyalahan tubuh perempuan sebagai sumber dosa untuk laki-laki menyebabkan tubuh perempuan dipenjarakan.

Banyaknya aturan dan larangan yang ditujukan kepada tubuh perempuan menyebabkan pelanggaran dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Contoh yang terjadi di Indonesia, bisa dilihat langsung dengan semaraknya peraturan daerah yang terkait dengan pelarangan pelacuran yang berdampak terhadap berbagai rasia ditujukan kepada berbagai perempuan yang berkeliaran di sekitar arena dimana perda tsb diperlakukan.  Perda-perda syariah ditegakkan atas nama perlindungan kepada tubuh perempuan.  Ketika tubuh menjadi sumber konflik, materi untuk dituduh kriminal yang melibatkan aturan “denda” dan penghukuman, pada saat itulah tubuh berfungsi sebagai komoditas. 

Penempatan tubuh sebagai komoditas, bersentuhan dengan sisi dari pembiaran tubuh sebagai korban. Kebangkitan kesadaran perempuan sekarang ini adalah menolak pelabelan untuk dirinya  dipojokan dan dipaksa menjadi seorang korban. Cara berpikir tentang tubuh perempuan adalah penyebab dan korban bagi dosa orang lain, adalah sebenarnya pandangan yang cenderung melemahkan peran “agency” pada diri seseorang termasuk juga kedirian seorang lelaki. Setiap Diri pribadi harusnya bisa bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan yang membimbing pada tindakan moralitas. 

Pembuktian tentang pengaruh dari luar diri dalam perilaku dan tindakan seksualitas yang terjadi kepada seseorang terutama lelaki masih diberatkan kepada perempuan. Pencitraan perempuan secara teknis disebut konsep stereotip. Konsep ini bekerja untuk memposisikan pencitraan perempuan dengan mereduksi dirinya menjadi serangkaian pewatakan dengan ciri-ciri yang cenderung berlebihan, yang negatif. Misalkan perempuan itu genit, perempuan nakal, sundal, perempuan tamak, perempuan yang sirik, perempuan yang gembrot sekaligus perempuan bertubuh langsing , yang  pasif, lembut, mengabdi kepada lelaki dstnya.

Perempuan distereotipkan untuk pencitraan yang negatif sekaligus yang positif/ideal, yang keduanya sebenarnya menjelaskan tentang ketidakberdayaan perempuan untuk mengontrol tubuhnya sendiri. Akibat dari pencitraan ini, tubuh perempuan menjadi sasaran untuk mempertahankan lelaki/suami  dan keluarga yang mengontrol tubuhnya dengan sangat kasar.

Perempuan juga menjadi sasaran untuk menerima tekanan dari media yang membangun pencitraan  dirinya secara ideal terkait dengan kelangsingan, kecantikan bak porselen, putih seperti salju. Representasi ketubuhan bahkan dipindahkan dari sekedar konteks fisik menjadi konteks moral sehingga kecantikan dalam pencitraan media seperti ajaran agama yang harus diikuti secara ketat. Salon-salon berjamur menawarkan moralitas kecantikan perempuan.    

Perlawanan perempuan terhadap sistem sosial yang menindas dirinya menyebabkan kesadaran tubuh dan ketubuhan sebagai suatu alat politik yang harus diperjuangkan. Tubuh saya adalah politik. My body is political. Kedirian perempuan harus diperjuangkan, termasuk juga menentukan apa yang terbaik untuk tubuhnya sendiri. Konteks dan kerangka moralitas yang melindunginya digugat karena ternyata tubuh sudah sering disakiti, baik ketika dipuji maupun dihina. Tekanan psikis yang tertimbun pada tubuh dilepaskan ketika perempuan memilih dengan sadar orientasi seksualitasnya. 

Pencitraan dan pemberian atribut secara berlebihan juga terjadi pada lelaki. Pencitraan seperti kejantanan mendorong representasi lelaki yang mengagungkan kegagahan, ketegasan, kekasaran, kekekaran, ketegaran, ketegapan, rasional dan ketenangan yang dingin. Para lelaki juga lelah dengan pencitraan yang mereduksi tubuh dan ketubuhannya pada tingkat diri yang harus tampil terus menerus sebagai seorang pahlawan. 

Pemberontakan pencitraan ini menjadi penyebab pemunculan orientasi seksual yang menerima optimalisasi kediriannya dalam pencitraan yang berlawanan dari kondisi fisik seksualitasnya. Representasinya bisa terlihat pada pilihan menjadi gay, transgender dsbnya yang menguatkan dirinya secara psikologis maupun biologis dengan menemukan alasan-alasan logis tentang kontruksi seksual yang sedang dipilihnya.

Perlawanan terhadap hegemoni maskulitas heteronormatif adalah dengan menolak norma-norma gender yang dilakukan untuk bisa menelanjangi sisi penindasan  yang sedang dilakukan atas dasar manusia kepada manusia.  Penindasan harus dilakukan untuk mengatasi perjuangan mencapai idealisme yang terbangun dalam imajinasi pencitraannya, ditanamkan baik sebagai fantasi dalam kata-kata maupun simbolisasi.  Lelaki jantan tidak harus bersesuaian dengan norma-norma kebaikan tetapi lebih dikhususkan kepada keperkasaannya. Perempuan cantik bukan karena norma-norma kebaikan, tetapi karena pemenuhan standar fisiknya.

Pilihan seksualitas yang berbeda sebenarnya menunjukkan tentang ambivalensi nilai.  Ambivalensi nilai dipersoalkan secara jujur dan terbuka untuk melepaskan kedok ketubuhan yang sering menipu. Ketiadaan kesesuaian antara satu nilai dengan nilai lainnya. Misalkan nilai keperkasaan seyogianya juga berkaitan dengan nilai kejujuran, kemuliaan untuk berlaku adil, ketulusan untuk mendukung seseorang.

Ternyata tubuh sebagai wadah untuk mengakomodasikan dan mempraktekkan nilai yang mengubah sebagai sifat, perilaku masih harus bersesuaian dengan peran sosial seseorang. Seseorang dalam perannya sebagai kepala rumah tangga, mungkin saja bisa sangat sombong untuk mengakui kelemahan-kelemahan dari representasi perilaku yang mencerminkan nilai-nilainya. Ia dilindungi oleh kedok dirinya sebagai seorang lelaki yang mempunyai otoritas, seorang yang mempunyai kepentingan. Seorang yang bisa menggunakan kekuasaannya untuk menindas.

Misteri mekanisme psikologis dan pilihan-pilihan etika masih bisa dibahas panjang lebar. Tetapi saya harus berhenti di sini. Penjelasan yang ada setidaknya memberikan gambaran tentang  kompleksitas konteks tubuh ketubuhan terhadap pilihan diri kedirian atas seksualitas yang berbeda.  Semoga!

Rabu, 18 April 2012

Memposisikan nilai, Diri dan interpretasi teks-teks suci



Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Ketiga:  Memposisikan nilai, Diri dan interpretasi teks-teks suci

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Saya ingat jawaban menarik dari seorang partisipan pada Youth Interfaith Queer and Sexuality Camp. Ketika saya bertanya umur berapa seseorang mulai sadar tentang jenis kelaminnya sendiri. Jawabannya lucu sekali. Sambil membentuk tangannya seolah-olah sedang memegang pistol, ia mengingatkan ketika orang tuanya mengajarkan keamanan melindungi genitalnya dari tembakan yang berbahaya. Ia lupa umurnya ketika sosialisasi keamanan diri diterima dari orang tuanya, yang diingat hanya pengalamannya bermain pistol-pistolan dengan ayahnya untuk menjelaskan bahwa dirinya seorang lelaki.

Tanggapan menarik dari partisipan ini saya terima sesudah kami memainkan peran. Saya meminta tiga orang untuk berdiri di depan. Kemudian seorang teman saya dan saya sendiri memposisikan diri sebagai “sistem sosial” yang menekan seseorang atau kelompok karena perbedaan ras, etnis dan orientasi seksual. Kami berperan seperti seorang yang sedang marah dan secara cepat menggunakan senjata menembaki sekelilinginya. Partisipan lainnya sedang duduk bersila berlawanan arah dengan ketiga partisipan yang sedang berdiri.  Kami, kelompok penekanan yang sedang membabi buta ini berdiri di antara dua kelompok partisipan. 

Reaksinya berbeda, hanya partisipan yang mengingat tentang masa kecilnya dari permainan pistol-pistolan dengan ayahnya, dialah yang tidak bereaksi apa-apa. Ia sangat tenang,  gerakan tubuhnya diam saja.  Kedua partisipan lainnya mencoba menghindari serangan tembakan dengan membongkokkan badannya. Mereka tidak melarikan diri tetapi berupaya memiringkan tubuhnya,  menghindari diri dari tembakan tersebut. Sebaliknya di kalangan peserta yang sedang bersila, ada setidaknya tiga orang yang paling terdepan bereaksi dengan berbeda-beda. Ada seorang yang mencoba menutup mata dengan tangannya. Seorang lain mencoba mengambil bantalan matras untuk menutupi mukanya. Sementara seorang lain beranjak mau melarikan diri dari tempat di mana ia sedang bersila.

Partisipan yang berdiri tegak adalah satu-satunya yang pernah sejak kecil sudah disosialisasikan oleh ayahnya tentang pentingnya Diri melindungi pribadinya. Pernyataan tubuhnya jelas! Saya bertanggungjawab dengan keamanan Diri pribadi sendiri!  Cuma sekarang, perlindungan dirinya bukan muncul dari seorang yang heteroseksual ketika sosialisasi genetikal diterima pada masa kecilnya. Sekarang, ia adalah seorang homoseksual. Kata-katanya sangat kuat ketika saya bertanya, mengapa ia begitu tenang tanpa reaksi bisa menghadapi situasi tekanan tsb. Jawabannya: “Saya punya identitas!”.

Permainan peran ini mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan kedasyatan tekanan “sistem sosial” yang tanpa kita sadari sedang menimpa diri kita.  Setidaknya ada tiga representasi Diri sebagai reaksi terhadap orang perorangan maupun institusi yang menggunakan norma sebagai ideologi penekan untuk memecahkan diri atau menyerang. Pertama, pribadi dalam Diri bisa terbunuh oleh penekan sehingga dapat memecahkan Diri, menyebabkan Diri menyerang, mendorong tubuh melawan atau membenturkan Diri langsung ke penekan.  Kedua, Diri terlepas dari jejaring sosial dan institusi yang pernah memproduksinya supaya bisa membentuk jejaring baru atau bahkan terputus sama sekali dari jejaring apapun menjadi asosial. Ketiga,  Diri  bisa melewatkan tekanan dalam tubuh dan mengakomodasikan Diri lain ke dalam  jejaringan yang memproduksinya untuk mengubah persepsi dan praktek nilai yang diskriminatif secara bersama-sama.

Identitas seksual diperkenalkan oleh “sistem sosial” yang paling terdekat dengan Diri pribadi, misalkan dimulai dari keluarga, ketika seseorang masih sangat muda. Partisipan yang mengingat permainan pistolan sudah lupa umurnya ketika konstruksi dirinya terbentuk dari permainan tembak-tembakan dengan sang ayah. Penisnya harus ditutupi ketika arah tangan berupa pistol diarahkan kepadanya.  Ia hanya ingat  permainan pistolan dari sang ayah. Sementara itu, ingatan tentang umur dan bentukan konstruksi lain yang diterima dari keluarga masih kental ketika partisipan yang sama menjelaskan tentang pengajaran sholat yang diberikan oleh orang tuanya. Ia ketika itu berumur 7 tahun. Dari contoh ini sangat jelas bahwa identitas seksual diberikan kepada seseorang lebih awal sebelum identitas agama.

Dalam perjalanannya identitas seksual ternyata bisa mengalami perubahan. Pilihan dilakukan oleh Diri pribadi sendiri dalam interaksi dengan keluarganya.  Tidak terlalu jelas, apakah perubahan identitas seksual yang terjadi pada partisipan tsb sudah diketahui oleh keluarganya. Tetapi cerita ini menarik karena ternyata pengalamannya itu mirip dengan mas Dede Oetomo yang berkesempatan hadir sebagai narasumber dalam Camp tsb.

Pada makan siang bersama saya menanyakan mas Dede kapan ia menjelaskan dengan terbuka  kepada orang tuanya tentang pilihan identitas seksualitas. Jawabannya: “ Saya memberitahu mereka ketika berumur 20 tahun pada tahun 1974”. Ada empat orang yang secara khusus menerima kehormatan dari mas Dede untuk menjelaskan tentang pilihan identitasnya. Mereka adalah kedua orang tua biologisnya dan kedua orang tua angkatnya.  Tetapi diperlukan hampir 6 tahun yaitu di tahun 1980 ketika ia bisa “coming out”, mengumumkan kepada publik tentang identitas seksualnya sebagai seorang “gay”.

Seseorang memerlukan waktu untuk menguatkan posisi normatifnya sebelum bisa menjelaskan kepada orang lain di sekitarnya, yaitu keluarga maupun masyarakat luas tentang identitas seksualnya. Kadang-kadang ada yang berhasil untuk “coming out” seperti terlihat dari cerita di atas. Tetapi  sering kali ada yang harus tertekan seumur hidupnya karena keterbatasan dalam penguatan diri untuk menegosiasikan pilihan identitasnya. Lingkungan keluarga dan masyarakat sangat berperan besar untuk menolong seseorang mencapai penguatan diri “coming out”.

Mereka dengan orientasi seksual berbeda membangun penguatan diri pada dasar homonormatif. Homonormatif adalah pandangan tentang cinta kasih sebagai suatu keluhuran yang diperbolehkan terjadi diantara sesama jenis.  Norma-norma ini dibangun dari suatu kesadaran tentang kejujuran terhadap Diri pribadi baik atas representasi ketubuhan secara biologis maupun psikologis . Dasar pemikirannya adalah kesadaran tentang ketertarikan seksual sesama jenis yang dapat dirasakan diterima juga sebagai bagian dari  ciptaan Sang Pemberi Hidup.  Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana perasaan dan pengalaman ketertarikan kepada sesama jenis “ada” seperti magma dalam Diri pribadi.  Seluruh tubuh dialirkan oleh kekuatan magma yang entah kapan akan erupsi.  Di manakah campur tangan Sang Pemberi Hidup dalam keDirian Pribadi ini?  

Ketika saya berada di daerah Golden Triangle di antara Thailand Utara, Myamar dan Vietnam, saya belajar dari masyarakat setempat tentang kekuatan yang dipercayai memancar keluar dari seorang yang sesudah remaja atau dewasa mengklaim dirinya sebagai seorang banci.  Masyarakat di daerah ini percaya bahwa seseorang yang terlahir dengan perilaku “banci” mempunyai kekuatan ilahi yang sangat besar. Mereka ini memiliki indra ke-6 sehingga bisa berkomunikasi dengan energi atau roh-roh leluhur. Menjadi “banci” dalam budaya setempat diterima sebagai representasi kekuatan adikodrati. Banci bukan dibentuk manusia, tetapi merupakan buatan, titisan adikodrati.

Ternyata “banci” masih lebih diterima dari pada mempunyai seorang anak perempuan tanpa anak lelaki.  Praktek ini saya temukan dalam perjalanan ke Shanghai, Beijing dan Xian.  Saya ceritakan ceritanya kepada partisipan di Camp. Sekarang saya menulis ceritanya lagi. Ceritanya begini. Raja Miaozhuang mempunyai seorang anak perempuan bernama Miaoshan yang jatuh cinta pada ajaran Budha. Sehari-hari Miaoshan mempraktekkan cara hidup membiara, seperti hidup sebagai seorang vegi (makan hanya sayur-sayuran). Raja ingin mempunyai anak lelaki yang bisa diperoleh melalui menikahkan anaknya, Miaoshan. Tujuannya sebenarnya bukan untuk kebahagiaan Miaoshan tetapi supaya melalui menantu lelakinya, hak pewarisan bisa diturunkan.

Keinginan raja ini ditolak oleh anak perempuannya. Karena itu raja mengirimkannya ke biara Budha.  Pemisahan ini malahan membahagiakan Miaoshan. Raja menjadi marah sehingga kemudian memutuskan membakar biara tsb. Sekitar 500 biksu terbakar dengan biara tsb. Miaoshan ternyata diselamatkan oleh roh-roh leluhur dan dibawa ke pegunungan di mana ia dipersiapkan untuk mengalami transformasi dari manusia menjadi dewi. Ketika itu raja sakit. Kesembuhannya bisa terjadi apabila ia disentuh oleh anaknya yang sekarang tinggal di gunung. Ketika raja ke sana, menyentuhnya, raja sembuh dan Miaoshan berubah menjadi dewi yang dalam tradisi  “agama Tiongkok” di sebut Guanyin. Guanyin adalah dewi kemurahan dengan representasi beribu tangan dan mata. Ia bisa mendengar penderitaan manusia.

Cerita lain tentang status “banci” di Amerika Serikat menarik untuk dimunculkan.  Di Amerika Serikat apabila seseorang ditemukan berperilaku seperti banci dengan menggunakan pakaian dari lawan jenisnya, ia akan dikejar-kejar, dilemparin batu dstnya.  Penghargaan kepada “banci” yang merendahkan, menghinakan, mungkin saja mendorong penguatan identitas homoseksual terutama di kalangan gay. Ketertarikan terhadap sesama jenis seperti seorang lelaki kepada lelaki lainnya tidak perlu dilakukan dengan mengubah identitas dirinya yang sebenarnya menjadi seorang “banci”.  Setiap tempat dengan budayanya masing-masing ternyata memberikan penghargaan yang berbeda terhadap representasi tubuh dan ketubuhan manusia.

Sementara agama-agama yang memposisikan dirinya sebagai hukum universal yang cenderung meniadakan keunikan pandangan partikular yang membentuk perilaku masyarakat tertentu terhadap fenomena seksualitas. Agama-agama mengertikan seksualitas sebagai bagian dari sistem nilai yang selain berhubungan langsung dengan moralitas, juga mengandung unsur wahyu. Pandangan moralitas ini membantu mengatur tata hidup bersama. Seseorang berhak dengan tubuhnya sendiri, tetapi ketubuhannya dapat menyakitkan, mengacaukan orang lain apabila dibiarkan “liar” mengembara menyentuh orang-orang di sekitarnya tanpa tanggungjawab.

Dari tradisi Abrahamik, muatan adikodrati dari pandangan seksualitas berhubungan dengan argumentasi bahwa kehidupan berpasang-pasangan secara heteroseksual merupakan perintah Allah.  Dasar argumentasinya adalah perkembangbiakan. Pandangan tentang “makna adikodrati perkembangbiakan”  ternyata akan berbenturan dengan praktek selibat yang juga diterima sebagai bentuk pewahyuan dari Allah. Praktek “selibat” pada dirinya menunjukkan tentang bentukan norma non-heteronormatif maupun homonormatif.  Praktek ini bisa dikategorikan sebagai “aseksual normatif”. Artinya dasar  praktek ketubuhan terbangun dari pandangan “ketiadaantarikan seksual”.

Dalam agama-agama, dominasi pandangan heteronormatif atas “aseksualnormatif” maupun “homonormatif” sebenarnya yang paling penting untuk mengalami proses penyadaran Diri.  Heteronormatif telah menciptakan banyak ketimpangan dalam kehidupan sosial bukan pertama-tama karena serangan-serangannya kepada homonormatif dan aseksualnormatif.  Sebagai bangunan yang terlihat dari sistem sosial, pandangan heternormatif yang mendominasinya, menyebabkan praktek-praktek penindasan, penyiksaan, penghinaan, marginalisasi kepada mereka yang lemah seperti perempuan dan masyarakat populis yang berada pada lapisan terbawah dari sistem kekuasaan  di mana saja.  Praktek kekuasaan yang terbangun dari pandangan heteronormatif bisa mendirikan kerajaan tirani kepada sesama manusia karena keyakinannya terhadap kekuataan otoritas di dalam kendali partiarkis. Di sinilah ketersesatan agama-agama bisa terjadi!

Representasi pandangan heteronormatif ada pada teks-teks suci. Teks-teks suci adalah berbagai tuturan yang terdokumentasikan sebagai tulisan yang merepresentasi kejadian-kejadian yang dikisahkan sehingga dalam pembacaannya terkesan hidup.  Sebagai teks suci, tulisan-tulisan ini  mempunyai otoritas untuk membimbing umat kepada jalanan kehidupan. Teks-teks tertulis menjadi kata-kata yang menghidupan orang-orang percaya.  Tetapi teks-teks suci ini sekaligus bisa berfungsi sebagai alat legitimasi untuk mendukung kepentingan orang-orang tertentu. Seringkali pengambilan teks-teks suci dipenggal pada tingkat ayat-ayat dilepaskan dari kesatuan nilai yang membentukan maknanya.

Karena itu sangat penting untuk memulai menginterpretasi atau menafsir teks-teks suci tersebut dari berbagai pandangan seperti heteronormatif, homonormatif maupun aseksualnormatif.  Tafsir yang bertanggungjawab bisa tercapai apabila beberapa persyaratan mendasar dapat dipenuhi.  Pertama, diperlukan kejelasan tentang konteks. Teks-teks suci mempunyai konteks yang harusnya dapat menjelaskan mengapa teks tersebut ada. Kedua, perlu adanya kejelasan tentang maksud pembacaan teks-teks suci tersebut bagi si penafsir. Ketiga, perlu adanya kesadaran dari sisi penafsiran tentang pertanyaan-pertanyaan kritis yang ditujukan kepada teks tsb dan dimunculkan dari konteks yang berbeda ketika teks tersebut dihasilkan.

Saya mau berhenti di sini untuk meneruskan lagi pada bagian lainnya, memulai tafsir yang menghidupkan (a living interpretation)!



Selasa, 17 April 2012

Menuju pemahaman nilai dan seksualitas


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian Kedua:  menuju pemahaman nilai dan seksualitas

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Sejak ribuan tahun, seksualitas bukan untuk diperbincangkan.  Perbincangan seksualitas dihindari tetapi penguasaan tubuh tetap terjadi. Tubuh adalah jasad hidup, yang menjadi wadah untuk menghadirkan nilai-nilai, sifat, perilaku dan peran sosial.  Nilai-nilai yang diakui sebagai ajaran sosial, kemanusiaan seperti dipelihara oleh adat istiadat dan agama, akan tetap bersifat abstrak apabila tidak diwujudkan sebagai sifat yang ditampilkan dalam perilaku dan peran sosial yang keluar sebagai representasi tubuh. 

Misalkan nilai cinta kasih, bisa menghadirkan dirinya apabila seseorang mewujudkannya dengan menyatakan cinta kasih kepada orang lain. Contoh lainnya, nilai mementingkan diri terwujud dalam perilaku keserakahan seperti nampak pada mereka yang menggunakan peran sosialnya untuk melakukan korupsi.

Kajian budaya menunjukkan tentang ketubuhan dikelilingi oleh identitas sosial. Tubuh sebagai representasi dari identitas Diri ternyata masih cenderung terperangkap oleh norma-norma, adat istiadat.  Masyarakat  cenderung melambatkan diri untuk memperbaiki bias gender yang dipeliharanya dalam berelasi dengan perempuan maupun kelompok marginal lainnya.  Penampakan bias gender terlihat pada saat relasi kekuasaan menyebabkan seseorang mengalami “subordinasi”.  

Ada kekuatan penekan yang dengan sengaja dituju kepada seseorang sampai memperlihatkan posisi neraca keadilan yang timbang sebelah. Relasi kekuasaan yang terbangun dalam realitas subordinasi akan berpengaruh terhadap penumpukan beban ganda yang menyebabkan penghargaan terhadap tugas-tugas yang dilakukan jauh dibawah standar kesepakatan  “upah minimum regional” (UMR). 

Tekanan-tekanan ini bisa memuncak sehingga menimbulkan kekerasan terhadap seseorang yang berada dalam posisi subordinasi.  Mereka dapat dinomorduakan dalam pengikutsertakan terhadap program-program bersama di masyarakat yang seyogianya merupakan hak-haknya. Peminggiran ini disebabkan karena adanya pandangan-pandangan yang keliru terbangun dari upaya stereotyping terhadap perbedaan-perbedaan yang terlihat baik secara fisik maupun sebagai representasi identitas. Misalkan penolakan untuk melibatkan seseorang dalam program pengembangan ekonomi karena alasan perbedaan orientasi seksual, agama dan etnisitas.

Saya sadar perbincangan terhadap topik ini perlu dilakukan secara hati-hati untuk bisa menyentil kepedulian masyarakat yang masih cenderung tanpa disadarinya menindas mereka yang tersubordinasikan.  Mereka yang menindas mungkin adalah mereka yang paling saleh, beriman dan terpelajar.  Mereka sudah punya pengertian tentang nilai-nilai tetapi pelaksanaannya sungguh jauh dari semangat yang inheren dalam kedirian nilai tsb. Kadang-kadang mereka membela diri dengan menggambarkan tentang nilai sebagai representasi yang absolut.  Mereka bisa menempatkan nilai sebagai suatu “dogma” yang representasinya bersifat tunggal, diterima sebagai hukum abadi yang adikodrati.

Tentang hal ini saya ingin bercerita tentang diri sendiri. Masa remaja saya dimulai ketika saya berpikir tentang perintah Tuhan seperti tertulis di Alkitab tentang kasih sayang.  Kasih sayang seperti apa yang harus saya pahami ketika ada perasaan yang mulai bertumbuh dalam diri saya yaitu kasih sayang sebagai ketertarikan lawan jenis. Saya mulai sadar bahwa kata “kasih sayang” perlu diwaspadai karena makna berbeda dengan “menyerahkan diri”.  Ternyata nilai “kasih sayang” dalam representasi ketubuhannya tampil berbeda-beda.  Secara kristiani, ada berapa tingkatan dari pengertian kasih sayang yang dibedakan dalam bahasa Yunani seperti “ agape”, “philia”, dan “eros”. Perbedaan perilaku mewujudkan tingkatan nilai ini makin jelas sesudah muncul penghayatan yang sejalan dengan kematangan dalam diri sendiri.

Dasar dari nilai bisa mengandung makna yang sama tetapi representasi ketubuhannya dapat berbeda.  Kasih agape adalah kasih sayang yang ditujukan kepada Tuhan. Ibadah dan hubungan intim dengan Tuhan menjadi representasi dari kasih agape.  Keintiman bisa menyebabkan muncul perasaan menangis dan bahagia. Kasih philia adalah sebutan kepada cinta kasih sesama, yang keintimannya tampil dalam bentuk kepedulian, persahabatan, empati dan persaudaraan.  Tindakan menolong, mengunjungi saudara dan tetangga merupakan representasi dari kasih philia.

Sedangkan representasi kasih eros, ketubuhan secara total dari Diri dapat disatukan dengan seorang yang menjadi pasangan hidupnya. Ketubuhan tersebut selain menyebabkan keintiman juga menghadirkan komitmen kepada satu dengan lainnya. Eros bisa menjadi kekuatan yang mencelakakan apabila dalam keintiman ketubuhan dilakukan tanpa tanggungjawab dan komitmen.  Kasih “eros” dilindungi oleh “keintiman ketubuhan” yang bisa bergerak membangun komitmen dalam “ketubuhan bersama” yang dalam bahasa sederhana disebut “keluarga”.

Kehilangan pengertian dari orientasi nilai bisa terlihat baik kepada mereka yang menekan dalam relasi subordinasi maupun pada mereka yang tertekan. Karena pengalaman ketubuhan yang berbeda-beda ternyata juga berpengaruh kepada cara manusia berelasi dengan sesama.  Misalkan seorang heteroseksual menggunakan nilai dan ajaran agama heteronormatif  untuk menghakimi kedirian seseorang yang orientasi seksual berbeda.  Sebaliknya seorang yang homoseksual membangun nilai homonormatif  untuk mempertahankan perilaku yang diperjuangkannya yaitu mendapat pengakuan tentang perbedaan orientasi seksualitasnya.  Dasar nilai homonormatif yang selalu dirujuk seringkali berasal dari resolusi Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tentang penanggulangi diskriminasi. Nilai HAM ini berkaitan dengan nilai dasar manusia untuk hidup. 

Ratifikasi nilai HAM dalam perundangan di Indonesia ditampung pada UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 4 menjelaskan tentang berbagai hak."Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi, dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun".   


Di Indonesia, nilai yang membentuk dalam kata berkaitan dengan seksualitas, sebelum pengakuan HAM PBB bisa dilihat pada kata-kata: lelaki, perempuan dan banci/waria. Variasi kata-kata yang mengandung nilai homonormatif masih terbatas. Walaupun demikian perilaku seksual yang menunjukkan ketertarikan sesama jenis sudah ada dalam pengalaman manusia Indonesia. Keterbukaan dunia menerima homonormatif dengan pengalamannya yang beragama juga kemudian mempengaruhi Indonesia. Walaupun secara eksplisit berbagai variasi penyebutan orientasi seksual yang berbeda tidak nampak dalam kata-kata perundangan, tetapi setidaknya pengakuan untuk perlindungan manusia untuk hidup dengan caranya yang dipilih mendapat perlindungan dalam hukum Indonesia. 

Kadang-kadang kelompok heteronormatif menggunakan argumentasi yang mempertanyakan tentang rendahnya komitmen seorang homoseksual kepada pasangannya. Tetapi menurut saya argumentasi ini tidak berbeda dengan pandangan heteronormatif yang mempraktekkan poligami.  

Kehidupan modern mengubah fungsi dari keluarga.  Tetapi mempunyai “keluarga” tetap menjadi idaman dari baik heteroseksual maupun homoseksual. Kemudahan komunikasi yang diberikan oleh teknologi turut membentuk pemaknaan baru tentang “keluarga”. Dengan komitmen yang mendalam, pasangan bisa bekerja di tempat yang berbeda sehingga kesempatan bertemu dilakukan pada waktu-waktu tertentu. 

Cara mengekpresikan cinta kasih yang berbeda-beda dengan penekanan pada pencirian hubungan seksual yang berbeda dalam relasi gay atau lesbian turut menentukan kedalaman keintiman dan komitmen dari masing-masing pasangan.  Pemilikan anak dari keturunan sendiri bukan lagi menjadi isu. Adopsi dapat dilakukan untuk mengatasi pasangan homoseksual yang tidak dimungkinkan mempunyai anak. 

Masalahnya semua perubahan sosial yang berpengaruh terhadap pemaknaan baru yang positif bagi pengertian keluarga belum dicatat dalam kitab suci dari agama-agama yang ada di dunia.  Kecuali, misalkan pencatatan tentang perilaku seksual yang menghebohkan seluruh dunia seperti cerita Sodom dan Gomora merupakan ayat-ayat heteronormatif yang sering digunakan untuk mendiskriminasikan mereka dengan orientasi sosial sebagai homoseksual.  

Heteronormatif adalah cara pandangan yang mensahkan adanya hubungan seksualitas antara lawan jenis.  Penolakan agama didasari oleh pandangan bahwa salah satu maksud penciptaan adalah untuk bisa berkembangbiakan.  Kontradiksi lain terkai dengan  agama yang menjunjung nilai-nilai kehidupan tetapi dalam prakteknya malahan melakukan diskriminasi kepada mereka yang berbeda orientasi seksualnya.

Untuk pemahaman lebih lanjut, saya perlu memberikan perhatian terhadap fungsi teks-teks suci. Teks-teks ini perlu dikaitkan dengan kemurnian kemanusiaan manusia dan keadilan bagi mereka berorientasi seksual yang berbeda di Indonesia.

Minggu, 15 April 2012

Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i

Bagian pertama:  sebutan dan pengertian!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Dalam waktu yang hampir bersamaan, saya belajar seksualitas yang dilihat dari perspektif ibu-ibu akar rumput dan pemuda-pemudi. Sejak 23, 25 Maret, 1 dan 15 April  2012  saya berkesempatan memfasilitasi Pendidikan Kader Dasar untuk anggota Koalisi Perempuan Indonesia cabang Bantul. Selama minggu kemarin dari tanggal 10 sd 15 April 2012, pengalaman yang berbeda sedang saya alami dengan pemuda-pemudi antara agama dengan identitas yang berbeda mendorong saya menulis.

Seksualitas yang pada umumnya dianggap tabu di kalangan ibu-ibu ternyata merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan.Pembahasan tentang seksualitas kepada ibu-ibu selalu menimbulkan tawa renyah. Ibu-ibu datang dari latar belakang berbagai agama, kebanyakan muslim, tetapi ada yang kristiani. Mereka tak segan-segan saling menertawakan satu dengan lainnya.  Bahasa tubuh mereka macam-macam. Ada yang nampak marah-marah, tampil ketus mengutuki lelaki yang mungkin pernah menyakitinya. Ada yang dengan geli nyeletuk tentang kenikmatan bercinta. Ada yang menutup mulut rapat-rapat, dengan sangat dingin menolak mengekpresikan pengalaman seksualitasnya. 

Keragaman tanggapan ini sangat menarik bagi saya. Seksualitas yang semula tabu, tidak bisa diperbincangkan di depan umum mulai terbongkar. Hampir setiap bulan dalam perjalanan saya ke Balai-Balai Perempuan di desa-desa saya melihat keterbukaan ibu-ibu dalam memahami seksualitas. Isu seksualitas bukan hanya terkait dengan kontrasepsi, keluarga berencana (KB).  Perubahan sikap terhadap seksualitas dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Kehadiran TV langsung dalam keluarga menjadi pemicu utamanya.  Ada banyak program di TV mengemas isu seksualitas dalam bentuk diskusi, berita, drama dll.   Pada umumnya mereka sudah mulai paham tentang hubungan seksualitas dengan penyakit seperti IMS (infeksi menular seksual) termasuk juga HIV/Aids. Tetapi ada masih ada banyak ibu-ibu yang belum memahami hubungan antara seksualitas dengan hak serta kewajiban dari seseorang.

Sementara pemuda/i berlatar belakang berbagai agama, yaitu muslim, kristen dan hindu,  yang hadir pada Youth Queer Interfaith and Sexuality Camp (lihat yqfscamp.wordpress.com/about/camp-activities/) datang dengan orientasi seksual heteroseksual maupun homoseksual. Kemandirian mereka mengakses informasi tentang seksualitas besar sekali. Seksualitas seperti magnit yang menarik pemuda untuk mengenalnya mendalam. Seksualitas adalah diri mereka sendiri. Keterbukaan mereka untuk memikirkan secara eksistensial tentang berbagai orientasi seksualitas yang berada di sekitarnya telah melahirkan berbagai pertanyaan. 

Istilah seks berhubungan langsung dengan jenis kelamin. Tetapi masyarakat modern mengerti seks sebagai bagian dari konstruksi sosial. Secara biologis, seks yang menunjukkan perbedaan jenis kelamin laki-laki (jantan) dan perempuan (betina) karena tampilan organ seks yang berbeda, ternyata dapat menghasilkan variasi-variasi identitas seksual yang beragam pula. Identitas tersebut berkaitan dengan perbedaan-perbedaan dasar dari ketertarikan seksualitas.  Lazimnya, seorang perempuan tertarik secara seksual kepada seorang lelaki. Hubungan ini disebut heteroseksual. 

Sementara ada juga hubungan yang disebut homoseksual. Misalkan seorang lesbian adalah seorang perempuan yang tertarik secara seksual kepada perempuan lain. Seorang "gay"  adalah seorang lelaki yang tertarik secara seksual kepada lelaki.  

Bentukan lain dalam relasi seksualitas yang menunjukkan kondisi  “trans” atau “kemampuan melewati” bisa dijelaskan dengan dua maksud pemahaman yang cukup berbeda. Pertama, seorang transgender adalah seorang yang berkelamin tertentu yang tampil berperilaku dengan peran gender yang berlawanan.  Terlihat pada seseorang yang dengan sengaja berdandan menggunakan pakaian dari gender yang berlawanan sambil menghadirkan sifat-sifat kegenderan yang diperankan tersebut.

Seorang lelaki bisa berpakaian kemayu seperti seorang perempuan yang di Indonesia disebut “waria” (wanita lelaki). Dikatakan apabila seorang “waria” berdandan maka ia sedang menunjukkan ketertarikan seksualitas pada seseorang dari jenis kelamin yang sama yaitu lelaki. Ketika “waria” tidak berdandan ada kecenderungan untuk tertarik secara seksualitas kepada sesama “waria”.  Istilah “waria” diberikan khusus kepada lelaki. 

Kedua, istilah trans-seksualitas adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang berkelamin tertentu tetapi pada dirinya terdapat organ tubuh yang berbeda. Misalkan seorang perempuan tidak mempunyai indung telur sehingga tidak ada fungsi biologis untuk mengandung dan melahirkan . Ada juga seseorang bertubuh lelaki tetapi mempunyai payudara. Penampakan diri yang berbeda dari keberadaan genetis biologis menyebabkan seseorang dengan kondisi trans-seksualitas pada dirinya bisa cenderung tertarik secara seksual baik kepada lelaki dan perempuan. Perbedaannya dengan biseksual adalah seorang dengan fungsi genetis biologis tertentu tanpa kelainan bisa tertarik secara seksual baik kepada jenis kelamin lelaki maupun perempuan. 

Saya memperhatikan perbedaan reaksi ketika penjelasan-penjelasan ini disampaikan baik kepada ibu-ibu maupun pemuda/i tsb. Ibu-ibu dengan mata terheran-heran mencoba memahami penjelasan seperti digambarkan di atas tanpa cepat-cepat menyeletuk mengeluarkan kata"dosa" untuk diberikan kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.   Ada seorang ibu yang bertanya mengapa bisa terjadi perbedaan-perbedaan orientasi seksual tersebut. Saya menjawab dengan menunjukkan penjelasan tentang variasi kelamin manusia dalam alam semesta. 

Sementara pemudi/pemuda yang hadir pada  pertemuan tsb ada yang sudah mengerti tetapi ada juga yang masih belum jelas. Kehadiran mereka yang heteroseksual terutama untuk mengerti tentang pergumulan identitas berbeda dari teman-teman homoseksual, transgender-sekual, biseksual dan interseksual. Mereka juga ingin tahu bagaimana agama-agama memberikan penjelasan tentang persoalan orientasi seksual yang berbeda.  Pertemuan Camp tersebut menggandeng istilah Queer untuk menampung berbagai variasi dari identitas seksual yang sedang dicari oleh para pemuda/i tersebut. 

Singkatannya lesbian, gay, biseksual, trans-gender/transeksual, interseksual dan queer dipendekkan dalam kodefikasi LGBT-IQ. Tetapi variasi identitas ini sebenarnya bisa dijelaskan secara biologis.

Spektrum biologis yang menjelaskan tentang posisi kejantanan dan kebetinaan dari lelaki dan perempuan mementang dari ekstrim paling kiri (jantan/lelaki) ke ekstrim paling kanan (betina/perempuan). Diantara kedua ektrim inilah terdapat berbagai variasi orientasi seksual seseorang. Terjadinya variasi ketubuhan seseorang secara seksual sangat ditentukan oleh keragaman dari jumlah hormon estrogen pada perempuan dan testosteron pada lelaki. 

Kedua hormon ini bersama dengan organ genetik lainnya akan menentukan organ seksual dari masing-masing pribadi sebagai lelaki atau perempuan. Organ seksual lainnya dari perempuan adalah vagina,  payudara, rahim dan indung telur. Sedangkan secara biologis, organ seksual yang menyebabkan ketubuhan seseorang disebut "lelaki" adalah penis, kantong kemih, sperma, dan jakut.  Tetapi konstruksi budaya seperti sosialisasi diri dan masyarakat bisa berpengaruh terhadap suatu pilihan seksual (sexual preference) dari seseorang   pada saat memposisikan dirinya dalam istilah identitas seksual. Identitas seksual bersifat plastik, artinya bisa berubah tergantung pada pilihan yang dilakukan seseorang.  

Istilah identitas secara sosiologis dan budaya dihubungan dengan suatu pilihan Diri yang dibuat seseorang dalam interaksi dengan orang lain. Terkesan identitas seksual menunjukkan penentuan dari seseorang, tetapi sebenarnya ia sangat ditentukan oleh komunitas setidaknya “partner” dengan siapa ketertarikan seksual dihadirkan. Cara pikir ini bersifat anti essensialisme yang mengedepankan tentang pencarian identitas seseorang dapat terjadi sepanjang kehidupannya. Sebaliknya cara berpikir essensialisme cenderung menekankan tentang pencarian yang permanen, yang pasti, kemilikan sejati yang tidak akan berubah sesudah penemuan tercapai.  Terhadap kedua posisi cara pikir ini, dalam menjelaskan tentang identitas seksual saya menggunakan pendekatan anti essensialisme.

Seks yang adalah jenis kelamin, sering kali dimengerti sebagai kodrat sebagaimana pemahaman lazimnya di Indonesia. Penyebutan “kodrat” ternyata dikenakan bukan saja untuk menjelaskan tentang seks, tetapi juga terhadap peran-peran sosial yang dibedakan dalam masyarakat kepada lelaki dan perempuan. Misalkan perempuan bersifat lembut, lelaki bersifat kasar. Karena itu perempuan bisa menangis tetapi lelaki harus menahan diri, tampil dingin dan kuat. Daftar keperbedaan lelaki dan perempuan bisa diteruskan untuk menunjukkan tentang peran sosial yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka masing-masing. 

Kesalahan penyebutan ini perlu dikoreksi, karena sifat-sifat yang dikonstruksikan masyarakat bukanlah kodrat. Kodrat dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai suatu takdir yang diberikan oleh alamiah biologis. Seringkali pandangan ini dikaitkan dengan penciptaan Tuhan terhadap organ-organ seksualitas manusia.  Jadi penyebutan yang tepat untuk menggambarkan perbedaan peran tersebut adalah gender. Gender sebagai definisi menjelaskan tentang perbedaan peran sosial yang diberikan kepada lelaki dan perempuan untuk fungsi-fungsinya yang dapat ditukar menukarkan sesuai dengan tingkat pemahaman untuk menegosiasikan di antara mereka  relasi kekuasaan yang adil dan setara. 

Misalkan karena pendidikan gender yang kami fasilitasi kepada ibu-ibu pada paska erupsi Merapi, peran sosial mereka bisa berubah. Ternyata tugas untuk memasak bisa dilakukan oleh lelaki, suami, sang ayah untuk menjaminkan penerusan makanan kepada anggota keluarga ketika perempuan, sebagai istri, sebagai ibu sedang melakukan kegiatan publik lainnya. Sebelumnya, tugas memasak hanya dilakukan oleh ibu, sang istri.

Dikalangan mereka yang mengklaim identitas seksual yang berbeda, ternyata masih juga memahami dan menjalankan pemahaman kodrat sehingga tanpa disadari terbentuk pembagian fungsi antara lelaki dan perempuan dalam relasi homoseksual misalnya. Dari contoh ini, penyadaran gender juga harus terus menerus disampaikan kepada mereka dengan orientasi seksual berbeda. Karena tidak secara otomatis seorang yang begitu modern dalam memahami identitas seksualnya sekaligus dengan sadar menerapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan dalam berelasi dengan partner dan sesamanya.

Keterbukaan kedua kelompok ini, ibu-ibu akar rumput dan pemuda/i sungguh mengagumkan saya, sehingga mengganggu benak saya untuk melanjutkan terus tulisan ini pada bagian berikutnya.