Translate

Kamis, 23 Agustus 2012

Menenun ulang sejarah Maluku, sesudah konflik Maluku


     Menenun ulang sejarah Maluku,
     Sesudah Konflik Maluku

     Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Maluku adalah propinsi rempah-rempah dari kejayaan masa lalu. Dimulai dari deretan Maluku Kie Raha, empat pulau kecil berjejeran dari selatan ke utara yaitu Makian, Moti, Tidore dan Ternate (Lapian, 1990, 9; Adeney-Risakotta, 2005, 155). Istilah Maluku Kie Raha berarti empat gunung yang terlihat dari pulau Halmahera. Di antara keempat pulau ini, hanya Makian sebagai satu-satu penghasil cengkeh. Ternate dan Tidore terkenal sebagai pelabuhan perdagangan cengkeh.
 
Karena erupsi gunung api Kie Besi di Makian, masyarakat pindah ke pulau Bacan yang kemudian membentuk Kerajaan Bacan.  Demikian juga dengan pulau Moti, yang terkena imbas dari erupsi Kei Besi di Makian, pindah ke pulau Halmahera, yang disebut Jailolo yang kemudian menjadi kerajaan Jailolo (Adeney-Risakotta, 2005, 155) .  Keempat pulau “Maluku Kie Raha” tsb secara fisik merepresentasikan ikatan persaudaraan sekandung dari satu ayah bernama Jafar Sadek.
 
Sebagai pengertian kata, istilah Maluku yang berarti gunung merupakan kata asli diambil dari bahasa Galela dan Tobelo (Watuseke, 1977, 308). Pengertian istilah ini terutama diambil dari kata gabungan Maluku Kie Raha. Sehingga pandangan lain yang digagaskan oleh  M.C. Ricklefs (1993, [1981], 310) dengan  menganggap kata Maluku berasal dari bahasa Arab, Jazirat al- Muluk tidak tercermin dalam maksud bahasan ini.  Penggunaan kata Maluku kemudian dipergunakan ke seluruh teritori yang dikuasai oleh Sultan Ternate, sebagai penguasa yang sangat perpengaruh selama beberapa abad, dimulai dari abad ke-13 sd 17.   
 
Kepemimpinan Sultan Ternate mulai memudar setelah politik hongi yang dijalankan oleh Belanda (VOC) di abad ke-17. Politik hongi adalah upaya pembelian pohon cengkeh termasuk akar-akarnya. Bahkan yang sangat parah, pengembirian kepemimpinannya dilakukan dengan menanggalkan semua gelar ningrat yang diberikan Sultan Ternate kepada anggota keluarganya. Tujuannya adalah supaya mengurangi pembiayaan Sultan Ternate. Kemudian Belanda memberikan gaji kepada Sultan Ternate (Adeney-Risakotta, 2005).
 
Penghilangan cengkeh dari wilayah utara telah menghilangkan monopoli sekaligus mengembiri kekuasaan Sultan Ternate. Kebijakan Belanda (VOC) meneruskan kebijakan penanaman cengkeh di luar wilayah Sultan Ternate di bagian utara Maluku yang sudah dilakukan oleh Portugis.  Portugis kemudian diikuti oleh Belanda melakukan penanaman cengkeh        besar-besaran di wilayah Maluku Tengah, terutama di pulau Lease yaitu tiga pulau kecil menghadap pulau Ambon. Ketiga pulau tersebut adalah Saparua, Haruku dan Nusa Laut.  Di pulau Saparua, Portugis mendirikan suatu benteng yang kemudian direbut oleh Belanda dan diberikan nama benteng Duurstede. Dari sinilah, VOC mengontrol ekspor cengkeh ke Amsterdam. Pada tanggal 15 Mei 1817, Kapitan Pattimura dibantu masyarakat Saparua berperang dan merebut benteng Duurstede dari Belanda.
 
 
 
 
 
               (Meriam di benteng Duurstede di Saparua. Foto 
                     diambil oleh Rolin dengan kamera Jeff)
 
Walaupun kekuasaan Sultan Ternate berkurang, tetapi keberhasilannya menempatkan kimelaha-kimelahanya (setingkat dengan lurah) di seluruh wilayah kekuasaannya yang tersebar sampai ke Timor Timur sekaligus sebagai cara penyebaran agama Islam.  
Peran Sultan Ternate dalam penyebaran Islam ke seluruh Maluku sangat besar sekali.
 
Walaupun demikian, masih banyak wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama Islam. Di wilayah Maluku Utara saja, di Galela misalkan, sekalipun penempatan kepala Soa diberikan kepada seorang muslim, tetapi warga masyarakatnya tidak beragama Islam. Tobelo juga bisa ditempatkan sebagai contoh di mana warganya tidak satupun beragama Islam. Penolakan kepada Islam dilakukan oleh warga karena tindakan-tindakan Sultan Ternate yang tidak adil kepada warga sehingga menuai protes dengan melakukan perampasan-perampasan pada perahu-perahu Sultan maupun Belanda yang membawa bahan-bahan dagangnya (Adeney-Risakotta, 2005).
 
Islam Maluku merupakan salah satu Islam yang cukup tua sejak diperkenalkan di abad ke 13 bersamaan dengan kejayaan Sultan Ternate dalam membangun jaringan perdagangan dunia. Kehadiran Portugis dalam wilayah Sultan Ternate sekalipun sebentar, kurang lebih 66 tahun ternyata sangat berpengaruh untuk melakukan kristenisasi kepada wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama.  Kehadiran Portugis yang dibarengi dengan pengalaman pembebasan dari Islam di wilayah Iberia dan Andalusia di Eropa Selatan, membentuk caranya yang agresif dalam penyebaran agama Kristen.
 
Islam sebagai agama tidak lebih penting daripada etnis atau suku untuk Portugis. Portugis menyebut Islam dengan Moro yang diambil dari kata Moroko, orang –orang yang berasal dari Afrika.  Penyebutan Islam sebagai Moro juga dilakukan ketika Portugis berada di Maluku.  Pulau Morotai di Maluku Utara disebut untuk menyebut wilayah yang ditempati oleh orang-orang Moro (beragama Islam).  Kerajaan Katolik di sekitar desa Mede, Halmahera Utara juga disebut Morotia (Adeney-Risakotta, 2005). Ketika Portugis di usir oleh Ternate dengan mendapat bantuan dari Hitu dan Jawa, wilayah-wilayah inilah yang kemudian menjadi daerah Protestan, yang diserah terimakan kepada Belanda sebagai salah satu pasukan asing yang membantu Ternate.
 
Pengusiran Portugis berlangsung dalam perang yang cukup lama, misalkan dicatat dalam perang Hitu di mana pasukan Ternate mendapat bantuan dari pasukan Hitu dan dari Jawa.  Dampak dari paska perang ternyata memberikan pengaruh sangat besar bagi penerusan kepentingan Belanda di daerah ini. Kerugian perang harus segera di atasi termasuk juga memulihkan kerjasama antara warga masyarakat. Pada saat inilah konsep dari pela mulai diperkenalkan.
 
Saya pernah menulis tentang hubungan antara praktek pela di Maluku Tengah dengan pella yang dimaksudkan sebagai daerah penampungan pengungsi pada jaman Yunani. Pela sebagai gerakan orang bersaudara ternyata mempunyai kepentingan yang kuat sebagai bikinan dari Belanda. Pela adalah penamaan ikatan persaudaraan yang cara pemeliharaannya dilakukan dengan saling mengunjungi , tolong menolong dalam membangun bangunan umum, maupun kehadiran khusus pada acara-acara adat yang berlangsung di desa masing-masing. Dalam artikel berjudul  "Satu Dekade 11 September dan tarikan kerusuhan  Maluku",  saya menjelaskan tentang Pela (lihat blog: Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua).
 
Penekanan pada pela di Maluku Tengah menjadi sangat penting karena terkait dengan kepentingan dagang Belanda. Praktek yang sama seperti Pela terlihat juga pada desa-desa di Maluku Utara tetapi tidak disebut Pela seperti yang dilakukan di Maluku Tengah (Adeney-Risakotta, 2005). Pela dibedakan atas beberapa tingkatan. Dimulai dari istilah gandong yang berarti kakak beradik satu bapak satu ibu, kemudian pela makan sirih, dll. Contoh gandong bisa dilihat pada negeri atau desa Tulehu yang bersaudara dengan negeri Paperu di pulau Saparua. Orang-orang diajarkan turun temurun bahwa apa yang dimiliki oleh Paperu adalah milik orang-orang Tulehu maupun sebaliknya. Banyaknya orang Paperu membawa mikro mini, mobil penumpang milik orang Tulehu adalah satu bukti kedekatan antara dua gandong yang berbeda agama. Paperu adalah desa Kristen dan Tulehu adalah desa Muslim.
 
Maluku sebagai propinsi yang menggunakan kata Maluku merupakan hasil dari konstruksi ideologi Belanda.  Ambon merupakan pusat dagang yang dipilih untuk bersaing dengan Ternate. Kemajemukan di Ambon tidak bisa diragukan lagi karena hanya di kota Ambon inilah bahasa daerahnya sudah punah. Pulau-pulau di sekitar kota Ambon masih memelihara bahasanya masing-masing. Syukurlah, desentralisasi pada masa awal reformasi, 1998 memungkinkan pemisahan antara propinsi Maluku dengan pusat ibukota Ambon dari propinsi Maluku Utara dengan kota pemerintahan Ternate (sekarang Sofifi, di Jailolo).
 
Kuatnya praktek gandong dan pela di provinsi Maluku merupakan modal sosial kepada pemerintah dan masyarakat Maluku. Modal ini bukan saja berlaku pada jaman pemerintahan Belanda, tetapi juga sampai sekarang. Sesudah konflik Maluku, keinginan untuk menguatkan gandong dan pela menjadi salah satu tugas yang sudah difasilitasi dengan melibatkan  Gubernur Maluku sendiri.  Bersama dengan pemuda/pemudi muslim dan kristiani di Yogyakarta, saya memfasilitasi pertemuan dialog budaya Maluku pada tahun 2004. Dialog ini bisa menghadirkan raja-raja dari muslim dan kristen ke Yogyakarta.  Sebagai tindak lanjutnya adalah dilakukan pelaksanaan kumpul keluarga dan panas pela yang melibatkan langsung desa-desa di seluruh propinsi Maluku pada perayaan kota Ambon, 7 September 2006.
 
 
 
                (mesjid Siri Sori Islam terlihat dari pantai)
 
Dampak dari kegiatan ini, bisa terlihat langsung pada pelaksanaan rekonsiliasi di antara desa muslim dan kristen seperti yang terjadi dengan desa Siri Sori Nasrani yang musnah pada saat konflik tetapi kemudian dibangunkan lagi oleh masyarakat Siri Sori Islam maupun Siri Sori Nasrani. Radja Siri Sori Islam hadir pada acara Dialog Budaya Maluku tsb, yang menginisiasi pendirian kembali kampung Siri Sori Nasrani. Walaupun sebenarnya kampung - kampung nasrani lainnya yang terprovokasi dengan kekerasan massa di kota Ambon akhirnya terlibat pertama-tama menyerang kampung Siri Sori Islam. Pertahanannya yang dibantu oleh pasukan PKO (pasukan khusus operasi) malahan akhirnya menghancurkan kampung tetangganya, kampung gandongnya, yaitu Siri Sori Nasrani.
 
 
 
              (gereja Siri Sori Nasrani yang baru didirikan)
 
Sekalipun demikian, masih ada kampung kristen atau islam yang ditinggalkan oleh penghuninya karena ketiadaan rasa aman. Misalkan kampung Iha, dipulau Saparua, yaitu desa muslim tertua di Maluku Tengah memilih untuk meninggalkan desanya dan tidak pernah sejak konflik kembali menengok kuburan sanak keluarganya sekalipun. Masyarakat Iha sekarang tersebar ke pulau Seram (Nusa Ina)
 
Selain penyebaran Islam ke Maluku Tengah dimulai dari Maluku Utara, Maluku Utara menyumbangkan penempatan lokasi ulubalangnya ke seluruh wilayah kekuasaannya. Pemindahan ulubalalangnya juga sekaligus pemindahan warga masyarakat lainnya dari Maluku Utara ke pulau-pulau di Maluku Tengah.  Warga Maluku Utara di Maluku Tengah menjaga kesetiaannya dengan mengembangkan ritual agama Islam yang disesuaikan dengan konteks lokal.
 
Misalnya di Tulehu, setiap perayaan Idul Adha harus dilakukan “angkat adat” di mana pada kesempatan itu saudara gandongnya harus datang untuk bercakalele (menari dengan salawaku). Kemudian mereka yang muslim membagi daging korban kepada gandongnya. Sebaliknya ketika saudara gandong Peperu ada acara adat, maka ia akan mengundang gandongnya untuk bercakalele di rumah adat mereka di kampung Paperu. Rumah adat bernama balileo yang dibangun dari topangan tiang-tiang yang mencerminkan nama-nama klan satu keluarga. Setiap nama dari klan ada pada tiang-tiang penonggak balileo, termasuk juga nama tiang dari saudara sekandung muslim yang tidak tinggal satu desa.


  (Foto di atas menunjukkan balileo yang memperlihatkan tiang-tiangnya di negeri Paperu di pulau Saparua. Sebelah kiri adalah lokasi yang menyediakan dua batu datar berwarna hitam disebut  batu karamat sebagai tempat  bercakalele. Posisi meletakan batu karamat ditentukan oleh pengelompokkan negeri menurut tradisi pata lima atau pata siwa. Batu karamat di negeri Paperu diletakkan di antara pantai dan balileo yang menunjukkan akar tradisi pata lima sekalipun negeri ini adalah negeri Kristen)
 
 
Uraian di atas paling tidak mendorong masyarakat propinsi Maluku meninjau ulang tentang klaim asal usul manusianya yang dipercayai dari pulai Nusa Ina (pulau Ibu). Sebutan pulau Nusa Ina berarti pulau besar yang tidak ada hubungan langsung dengan penyebaran penduduk keluar dari Nusa Ina ke pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sebaliknya pulau Nusa Ina menjadi tempat migrasi untuk alasan pembuangan maupun keamanan. Misalkan keturunan kesultanan Jailolo dari pulau Halmahera di Maluku Utara sesudah keratonnya dimusnahkan, mereka pindah ke pulau Nusa Ina (Adeney-Risakotta, 2005). 

Fenomena munculnya beberapa negeri seperti Nunusaku, Sahulau, dan Sir belum bisa disetarakan dengan kekuasaan yang terbangun dari sistem kerajaan seperti yang terjadi di Maluku Utara.  Apabila kemudian terjadi penguatan politik lokal yang dimotori oleh ketiga negeri di Seram, maka yang terjadi adalah proses kontektualisasi sekaligus pemutusan dari pengaruh kekuasaan di Maluku Utara sesudah pendudukan kekuatan Eropa di kepulauan Maluku.

Kedua, fenomena migrasi dari pulau-pulau kecil ke pulau Nusa Ina untuk tujuan keamanan karena jauh dari letusan gunung api seperti di pulau Banda dstnya. Sekalipun di Amahai pernah terjadi daerah yang patah karena terkait dengan gempa bumi yang dicatat Rumpius pada tanggal 17 Februari 1678. Gempa bumi ini menewaskan isterinya dan anaknya di kota Ambon.
 
 
Upaya mengeratkan persaudaraan antara gandong, dan pela terus dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu. Trauma dari konflik Maluku masih turut membekas dalam ingatan masyarakat, tetapi sekaligus ada harapan baru tentang lahirnya kebutuhan untuk saling menguatkan di antara komunitas muslim dan kristiani. Penguatan ini harus tetap dilakukan untuk menghindari peran militer yang menjaga Maluku. Tugas penjagaan inilah yang harus diberikan kepada masyarakat Maluku itu sendiri. Mereka yang disebut gandong maupun pela.
 
Bersambung:
 
Heka Leka membangun Maluku Cerdas, menguatkan jejaring adat
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar