Translate

Sabtu, 21 Desember 2013

Bagian III: Pengakuan Pemerintah Indonesia dan Relevansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi pelanggaran HAM di Papua!


Bagian III:  Pengakuan Pemerintah Indonesia dan  Relevansi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi pelanggaran HAM di Papua!  

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Menulis tentang Papua adalah nasib saya. Saya berjanji akan menulis terus sampai keadilan dan perdamaian terwujud di tanah Papua. Tetapi menulis tentang topik ini, sesudah tulisan saya tentang Nelson Mandela yang diberikan judul Bagian I: Selamat Jalan Nelson Mandela, Bapak Pelangi Manusia dipublikasikan pada tanggal 6 Desember 2013, saya harus melewati berbagai tulisan lainnya sebelum akhirnya tiba pada Bagian III ini.  Perjalanan panjang melewati lorong-lorong pemahaman tentang sejatinya konflik Papua harus saya lakukan karena tulisan ini bukan sekedar informasi seperti dilakukan oleh jurnalis, tetapi adalah bagian dari komitmen saya sebagai moderator Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengupas setiap lapisan dari sejarah Indonesia sehingga secara bersama bisa disembuhkan.  Sejarah yang melibatkan kekerasan menyebabkan trauma kepada semua pihak yang berada dalam konflik tersebut.  Jadi inilah tulisan yang judulnya sudah saya cantumkan sejak saya menulis untuk mengucapkan selamat jalan kepada Nelson Mandela yang meninggalkan kepada dunia adanya harapan manusia dilepaskan dari lingkaran kekerasan dan memulihkan harkat umat manusia di hadapan Sang Pencipta. Sekalipun demikian tulisan ini bukan terminal akhir saya.

Dalam tulisan lainnya, saya sudah menjelaskan tentang konteks yang melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan.  Pengalihan kekuasaan yang dilakukan di Afrika Selatan tanpa pertumpahan darah menjadi inspirasi kepada perdamaian di dunia. Kenyataan ini membantah semua teori yang menjelaskan bahwa demokrasi sangat mahal karena meminta banyak korban.   Afrika Selatan, dalam kendali Nelson Mandela bisa membuktikan kepada dunia tentang kenyataan yang berbeda dari argumentasi politik yang selalu dipakai untuk menjelaskan tentang pertumpahan darah pada saat terjadi pengalihan kedaulatan.  Akumulasi konflik yang sudah terjadi dalam masyarakat menjadi dasar analisis untuk meramalkan kecenderungan peningkatan kekerasan yang puncaknya bisa terlihat dalam pengalihan kedaulatan.

Nelson Mandela ternyata bisa menadirkan titik puncak kekerasan kemudian mengalihkan kekuatan penolakan dan berbagai ekspresi ketakutan ke dalam kebijakan pengendali masyarakat untuk tidak terpovokasi pada berbagai bentuk teror yang ada di lingkungan mereka.  Pengendalian kerusuhan massal dilakukan untuk menjaminkan terjadinya pemutusan kekerasan.  Sistem pengendalian keamanan dirancang sehingga masyarakat yang mengalami ketidakadilan karena kekerasan terjadi sehingga kehilangan anggota keluarga atau sesama rekan seperjuangan memiliki kepastian tentang adanya penegakan hukum.  Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  berada di tengah-tengah pemetaan kondisi sosial politik ekonomi masyarakat yang sedang mengalami keterancaman disintegrasi dan kehancuran massal yang menjurus pada pemusnahan sistematis terhadap kelompok-kelompok tertentu (genecide).

Pada tulisan lain saya sudah menjelaskan tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam mempertahankan UU  No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.  Diskusi yang dilakukan oleh lembaga sipil di Indonesia seperti KONTRAS dan ELSHAM untuk mendorong pemerintah menerbitkan kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih belum terlihat hasilnya. Seperti menjadi harapan dari ELSHAM, rujukan hukum tertinggi sebagai kebijakan negara seperti terlihat pada TAP MPR  No 5 tahun 2000 tentang pentingkan dilakukan rekonsiliasi nasional merupakan fondasi bagi warganegara untuk mendesak pemerintah RI mendaftarkan kembali draf UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam prolegnas DPR RI 2014.

Sekalipun demikian, proses hukum terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi nasional masih bisa diteruskan terutama untuk penyelesaian kasus HAM di Aceh dan Papua. Dalam tulisan ini saya memberikan perhatian khusus kepada Papua. Pembahasan tentang penyelesaian kasus HAM di Aceh akan saya jelaskan kemudian sebagai bagian dari tanggungjawab perjalanan saya ke Aceh bertemu dengan tokoh-tokoh politik dan mantan gerilya GAM di sana.

UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua mempunyai 24 bab dan 79 pasal.  Diantaranya, satu bab dan 2 pasal disediakan untuk penjelasan hukum tentang Hak Asasi Manusia. Saya mengutip bab XII dan pasal 45, 46, 47 yang menguraikan tentang maksud hukum tersebut.

 

Bab XII
Hak Asasi Manusia
Pasal 45

(1)   Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinci Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinci Papua.

(2)   Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46

(1)   Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinci Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

(2)    Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) adalah:
a.      melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa
       dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
b.      merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi

(3)    Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

 Pasal 47

Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinci berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

 

 

Dari kutipan penggalan UU Otsus Papua, bab XII tentang HAM, ada beberapa hal yang perlu diluruskan.  Pertama-tama, sebagai bab tentang HAM, definisi HAM tidak dicantumkan pada bab XII melainkan ditempatkan pada Bab I tentang Ketentuan Umum. Pada Bab I bagian “n” dijelaskan tentang definisi HAM. Saya mengutipnya. “Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

 

Definisi HAM ini diletakkan sesudah penjelasan tentang definsi kelembangaan dimulai dari penjelasan tentang provinsi sampai dengan kampung. Definisi HAM ditempatkan lebih awal sebelum diteruskan dengan definisi terkait dengan hak-hak lainnya, seperti  penjelasan tentang adat, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, hak ulayat, yang kemudian diteruskan dengan pengertian tentang orang asli Papua dan penduduk provinci Papua. 

 

Dari tempat dimana penjelasan HAM dirumuskan, menunjukkan bahwa dalam UU Otsus Papua, seluruh bab dan pasalnya sebenarnya terkait dengan HAM seperti terlihat  penjelasan pertimbangan yang diletakan dibagian paling awal dari Otsus Papua terkait dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan RI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian penjelasan diteruskan dengan pengertian tentang masyarakat Papua sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang adalah insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar.

 

Kedua, saya juga ingin menunjukkan tentang pengakuan Pemerintah Indonesia terkait dengan kondisi kemanusiaan, politik ekonomi dan perubahan yang dilakukan terhadap Papua. Karena itu, penjelasan tentang pertimbangan yang tertulis dalam UU Otsus Papua sebaiknya diperlihatkan kepada warganegara NKRI lainnya untuk mengerti pengakuan dari bangsa Indonesia terhadap perlakuan yang tidak adil selama ini dilakukan di tanah Papua. Bagian berikut ini adalah kutipan panjang dan seutuhnya dari penjelasan menimbang yang tertulis diawal UU Otsus Papua.

....

 

b.

bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

c.

bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap
dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya
masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;

d.

bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia
yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman
kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;

e.

bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi
Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;

f.

bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum
digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga
telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain,
serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;

g.

bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain,
dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan
kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

h.
bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang
mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar
penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta
persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;

i.
bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar
serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan
perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;

j.
bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut
aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua
sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor
7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi
Papua..

....

 
Kesembilan butir pertimbangan yang dikutip sesuai aslinya ditambah dengan kedua penjelasan pertimbangan sebelumnya, maka menurut saya, pemerintah Indonesia sudah mengakui  tentang pentingnya kesatuan bangsa dipelihara tetapi sekaligus pemeliharaannya memberikan ruang bagi pemenuhan identitas orang asli Papua yang selama ini diabaikan hak-hak asasinya. Adanya pengakuan tentang orang asli Papua dari ras Melanesia sebagai bagian dari ras-ras lainnya yang membentuk Indonesai. Pengakuan penting lainnya terkait dengan pelaksanaan pembangunan di Papua yang belum mencapai keadilan, belum sesuai hukum dan memenuhi HAM  orang asli Papua (bagian d dan e).  

 

Terkait dengan itu, pemerintah Indonesia mengakui bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua mengabaikan hak-hak dasar penduduk asli Papua karena taraf hidup masyarakat asli belum meningkat secara optimal (bagian f). Pemerintah Indonesia mengakui tentang perlunya kebijakan khusus untuk mengatasi kesenjangan hak-hak dasar dan sosial dari penduduk asli Papua (bagian g). Pemberlakuan kebijakan khusus ini dilakukan dengan berpegang pada nilai-nilai dasar, HAM, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara (bagian h). Pemerintah Indonesia juga mengakui tentang perjuangan masyarakat Papua yang lahir dari kesadaran baru tentang hak-hak dasar serta tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM (bagian i) dan yang terakhir pengakuan tentang aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua (bagian j).

 

Dari pemaparan di atas, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harusnya bisa difasilitasi oleh Gubernur  Provinsi Papua dan  Provinsi Papua Barat karena pemerintah Indonesia telah membuka pintu untuk menghadirkan kebenaran tentang apa yang sedang terjadi di Papua. Kebenaran lainnya juga bisa terlihat pada Bab-Bab berikut yang ada dalam UU Otsus Papua.  Saya ingin mengutip secara penuh Bab II tentang Lambang-Lambang.

 

BAB II

LAMBANG-LAMBANG

Pasal 2
(1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya
sebagai Lagu Kebangsaan.

(2) Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan
simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera
daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan.

(3) Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.

 
Dalam Bab II ini, sangat jelas, pemerintah Indonesia mengakui lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dan bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Pengakuan tentang kebenaran ini sangat penting tetapi harus diatur dalam Peraturan Daerah Khusus yang sesudah 12 tahun sejak Otsus Papua diberikan kepada masyarakat Papua belum satupun Perdasus dan Perdasi dihasilkan (Adeney-Risakotta, 2013). 

 

Pengakuan Pemerintah Indonesia bisa terlihat dalam Bab-bab lainnya terkait dengan perlindungan kepada orang asli Papua untuk berusaha secara ekonomi  dan pengaturan ketenagaan kerja (Bab X dan Bab XVIII), untuk mendapat pendidikan bermutu dengan biaya yang rendah (Bab XVI), untuk mengalami pelayanan kesehatan kepada penyakit epidemik (Bab XVII),  pelestarian budaya (Bab XX ),  pengelolaan pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup yang bertanggungjawab (  Bab XIX ). Pada tingkat pengaturan pemerintahan, lembaga adat yang terwadahi oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) diakui oleh negara  (Bagian Keempat). Pengakuan pemerintah Indonesia terhadap hak-hak dasar orang asli Papua ini dilakukan dengan kesadaran penting bahwa tanah Papua adalah bagian dari perekonomian nasional dan global (Bab X ). Pengakuan tentang sumber pendapatan daerah selain dari pemasukan kekayaan alam juga adalah bagian dari berbagai pajak dan retribusi yang dibayarkan warga kepada negara (Bab IX

 

Penguraian penjelasan dari UU Otsus Papua penting dilakukan untuk mengerti posisi dari pemerintah Indonesia dalam mencari kebenaran dalam relasi kenegaraannya dengan warganegara NKRI yaitu orang asli Papua. Kenyataan tentang pengakuan pemerintah Indonesia tentang adanya pelanggaran HAM ternyata tidak cukup hanya pada rumusan UU Otsus Papua. Rumusan-rumusan yang dibahasa ini harus bisa ditunjukkan dalam kenyataannya.  Disinilah fungsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan berperan besar untuk memfasiliati penyelesaian konflik Papua.  Peran dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan hanya untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua dalam kaitan dengan persatuan dan kesatuan negara RI maupun mempersiapkan langkah-langkah rekonsiliasi seperti tertulis pada Bab XII. Fungsi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah mempersiapkan mekanisme di mana pengakuan pemerintah Indonesia tentang Papua mendapat tanggapan langsung dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.


Pelanggaran HAM selama ini dihubungkan dengan pergerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengklaim bahwa proses integrasi Papua ke dalam NKRI adalah cacat hukum karena mekanisme pemungutan suara sebagai bentuk partisipasi rakyat Papua dalam menentukan kedaulatannya tidak dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku (Adeney-Risakotta, 2013).  Pandangan ini telah berakar dalam OPM sejak Papua dinyatakan adalah bagian dari Indonesia pada tahun 1969 sehingga menyebabkan terjadi kekerasan atas nama negara RI kepada warganya yang dianggap sebagai kelompok separatisme.  Pengaruh gerakan separatisme seperti dilakukan OPM ternyata mengakibatkan adanya pembunuhan dari militer kepada warga sipil di Papua. Kasus pembantaian warga sipil sudah diselidiki oleh Komnas HAM, seperti kasus Biak, Wasior melibatkan militer. Sementara anggota masyarakat yang dianggap terlibat dalam gerakan separatisme,  karena menaikan bendera Papua kemudian ditangkap dan dijeblos ke dalam penjara. Pengakuan pemerintah Indonesia dengan lambang Papua yang bisa dimiliki bukan sebagai tanda kedaulatan ternyata belum dirumuskan dalam perdasus sehingga ketiadaan basis hukum terhadap pengaturan lambang daerah memberikan alasan bagi militer melakukan penangkapan, pembunuhan dan penghukuman kepada warga asli Papua.

 

Dalam Bab XII terkait dengan HAM, disebutkan tentang tiga lembaga yang berkaitan langsung dengan penyelesaian HAM, yaitu Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain Pengadilan HAM yang dibentuk sebagai bagian dari infrastruktur pengadilan yang sudah ada (UU no 26 tahun 2000), maka kedua lembaga lainnya yaitu Komas HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus bersifat mandiri sehingga bisa berperan lebih obyektif dalam memfasilitasi penyelesaian kasus-kasus HAM di Papua.  Khususnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tugasnya membangun mekanisme yang memberikan kesempatan kepada warga asli Papua menggunakan haknya dalam mencari kebenaran tentang sejarah integrasi Papua, termasuk menguji kebenaran yang sudah diakui oleh pemerintah RI sebagaimana dijelaskan secara terperinci dalam UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.  

Masyarakat Papua mempunyai hak untuk mengerti motivasi-motivasi dibalik tindakan-tindakan yang melanggar HAM, bukan saja terkait dengan lambang-lambang kedaulatan yang menjadi tanda obyektif untuk militer melakukan tindakan kekerasan sampai pada pembunuhan kepada masyarakat Papua. Pelanggaran HAM termasuk juga kebijakan pemerintah terkait dengan pembangun yang tidak melibatkan masyarakat asli yang mengakibatkan peminggirannya. Misalkan proyek mega dollar yang dilakukan oleh pemerintah SBY terkait dengan program ketahanan pangan yaitu MIFEE  yaitu Merauke Integrated Food and Energy Estate yang telah menyebabkan pelanggaran tentang hak-hak ulayat dari masyarakat adat di Kepala Burung.

Dalam Bab XII tentang HAM disebutkan mengenai pemberdayaan HAM kepada perempuan. Perundangan yang secara spesifik menyebutkan tentang perempuan memberikan kesempatan kepada perempuan di Papua untuk menjelaskan tentang pelanggaran HAM yang terjadi dengan mereka. Sesudah saya keluar dari rumah sakit akibat kecelakaan, tulisan pertama tentang Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua terkait dengan seorang perempuan yang bernama Amelya Jigabalom yang dipilih oleh warga asli Papua sebagai pemimpin mereka. Amelya Jigabalom adalah salah satu dari 100 orang yang bertemu dengan Presiden Habibie sehingga mendorong lahirnya UU no.21 Tahun 2001 pada masa pemerintahan Presiden Megawati.  Membaca buku Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua termasuk Amelya Jigabalom, terlihat sangat jelas kekerasan militer yang atas nama negara RI telah melakukan penyiksaan yang bengis dan biadab sampai pada pembunuh.

Sumber-sumber kesaksian yang ditulis oleh orang asli Papua seperti buku Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua bisa menjadi dasar pengkajian yang dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mencari tahu tentang kekerasan militer yang dilakukan di Papua. Dalam tugasnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menghadirkan jaminan kepada keluarga korban dan masyarakat luas tentang hak untuk mengerti kekerasan-kekerasan yang dilakukan dalam deskripsi tentang motivasi-motivasi yang melatarbelakanginya. Dengan tersedianya sistem yang memungkinkan hak atas kebenaran bisa dicapai oleh korban, keluarganya maupun masyarakat akan memudahkan penentuan hukuman ataupun pengampunan (amnesty) yang akan ditetapkan kepada pelaku pelanggaran HAM..

Rekonsiliasi merupakan tugas berikut yang akan terbangun sesudah proses pencarian kebenaran itu berjalan dengan menghadirkan semua pihak yang menyebabkan terjadinya  pelanggaran HAM.   Bukti-bukti yang ada pada masyarakat harus bisa dipelihara termasuk juga proses penyampaiannya yang melibatkan publik luas untuk mengetahui motivasi-motivasi tersebut dengan tujuan supaya lingkaran kekerasan bisa dihentikan. Masyarakat menjadi kelompok yang berada digaris frontir untuk melindungi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang baru karena penyelesaian kebenaran tidak dilakukan secara bijaksana.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mempunyai kekuatan hukum untuk melibatkan institusi-institusi yang lebih tinggi di atasnya dalam memfasilitasi proses rekonsiliasi yang melibatkan klarifikasi sejarah Papua. Keterlibatan PBB, sejarawan, ahli hukum internasional dan ahli pembangunan untuk meminta pandangan mereka tentang kebijakan yang pernah dihasilkan oleh lembaga dunia, sehingga berdampak terhadap lamanya perjuangan masyarakat Papua menegakkan keadilan dan kebenaran di tanahnya sendiri.  Dokumen-dokumen yang dirujuk sebelumnya harus didaftarkan dan diumumkan secara luas sehingga memungkinkan masyarakat (publik) untuk mempelajarinya sebelum berbagai pihak yang diundang khusus menjelaskan secara obyektif pengetahuan dan tindakan-tindakan baik di bidang politik internasional, sejarah kebersamaan, kebijakan pembangunan yang menyebabkan adanya secara spesifik pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua. Tindakan yang menyebabkan adanya pelanggaran HAM harus bisa dijelaskan dengan mengerti situasi politik ekonomi yang terjadi pada saat kekerasan tersebut berlangsung.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi semakin mendesak, dan bisa diupayakan oleh masyarakat Papua sendiri dengan meminta haknya pada Gubernur yang harus turut memfasilitasi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Desakan pembentukannya harus dilakukan dari masyarakat terbawah di tingkat kampung untuk meminta pemerintah memenuhi UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua yaitu Bab XII tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Percepatan pembentukannya akan menolong penyelesaian kasus HAM terutama menghentikan legitimasi pemerintah Indonesia untuk menjebloskan warga sipil Papua ke dalam penjara karena dianggap sebagai antek-antek OPM. Menurut pendataan dari masyarakat Papua, saat ini sudah ada ratusan orang Papua dalam penjara dan pelimpahan hukumnya juga melebihi hukuman kelompok-kelompok yang dianggap terlibat dalam tindakan terorisme seperti yang dilaporkan oleh Sydney Jones dari Internasional Crisis Center.

Kebesaran suatu bangsa terletak pada pengakuannya tentang proses penyelesaian berbagai konflik dalam keragaman masyarakat dan bukan karena kemampuan penaklukan sebagai representasi semangat imprealisme yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kiranya masyarakat asli Papua, baik Kristiani dan Muslim bisa bersama-sama membangun kesatuan untuk memfasilitasi penegakkan hak-hak dasar dirinya sendiri. Kalau orang asli Papua tidak melakukannya, siapa lagi yang harus memulai. Tulisan ini dibuat untuk menggali kekuatan dari pengakuan Pemerintah Indonesia terhadap ketiadaan keadilan di tanah Papua dan karena itu orang asli Papua terpanggil untuk meminta pemenuhan keadilan tersebut menurut sistem hukum yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Kiranya pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa bersama dengan saudara-saudari saya di tanah Papua dan di mana-mana yang sedang memberjuangkan penegakkan keadilan dan perdamaian di Papua.

Lihat dua bagian lainnya:

Bagian II: Nelson Mandela dan Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi untuk Indonesia, khususnya Papua

http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/nelson-mandela-dan-komisi-kebenaran.html

Bagian I: Selamat Jalan Nelson Mandela, Bapak Pelangi Manusia

http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2013/12/bagian-i-selamat-jalan-nelson-mandela.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar