Translate

Sabtu, 06 Juli 2013

Menolak Lupa: Peringatan Pembantaian di Biak, Papua



Pengumuman:
Selamat malam sahabat2. Dikarenakan masalah teknis, artikel berjudul "Peringatan Pembantaian di Biak, Papua", yang ditulis oleh bung Novel Matinas tidak bisa langsung dishare ke page Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Karena itu, saya mengutip linknya saya dengan harapan sahabat2 yang tertarik untuk membaca lebih lanjut tulisan tsb bisa diakses pada
<http://www.facebook.com/notes/novel-matindas/peringatan-pembantaian-di-biak-papua/10153041824860294>. 

Untuk menjaga keterjaminan aksesitasnya, saya juga mendistribusikan tulisan tsb melalui blog Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua dengan memberikan judul yang menggabungkan gerakan menolak lupa pembunuhan terhadap Munir, aktivis HAM Indonesia, salah seorang Direktur Kontras dan judul yang diberikan oleh bung Novel Matindas.  Selamat membaca.


Midnight News:
Petisi Warganegara NKRU untuk Papua menyampaikan selamat dini hari kepada sahabat2 semua. Memasuki tgl 6 Juli 2013 waktu California, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua meneruskan tulisan bung Novel Matindas terkait dengan  pembantaian warganegara NKRI di Biak Papua pada tanggal 6 Juli 1998.  Artikel ini sekaligus menjelaskan tentang tuntutan dari The East Timor dan Indonesia Action Network (ETAN) dan the West Papua Advcacy Team ( WPAT) sebagai lembaga advokasi di Papua untuk mendesak pemerintah AS meminta pertanggungjawaban pemerintah RI terhadap pembantaian yang dilakukan militer RI.  Pemerintah AS mendukung peremajaan persenjataan militer Indonesia karena itu wajib bertanggungjawab tentang tragedi Biak itu, 

Petisi  Warganegara NKRI untuk Papua berharap tragedi Biak sebagai kasus HAM bisa diselidiki. Dukungan sesama warganegara NKRI untuk Papua sangat penting untuk mendorong penyelesaian kasus2 HAM di Papua. Sehingga sesama warganegara NKRI, orang asli Papua tidak menjadi korban dari labeling sebagai separatisme untuk melegitimasi dan stigmatisasi kekerasan militer RI kepada anak-anak bangsanya sendiri. Salam amalulukee. (Farsijana Adeney-Risakotta).

Peringatan Pembantaian di Biak, Papua!
by Novel Matindas (Notes) on Friday, July 5, 2013 at 3:37pm
Sabtu, 6 Juli, 15 tahun lalu adalah salah satu insiden pembantaian terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-Soeharto . Pada hari itu tahun 1998, anggota TNI secara kejam menembak mati para demonstran pro-kemerdekaan yang secara damai berdemo di Biak, Papua. Sebagaimana banyak pembantaian di Indonesia, jumlah pasti mereka yang tewas tidak diketahui secara pasti.

ETAN dan Tim Advokasi Papua Barat (WPAT) hari ini mendesak pemerintah AS untuk secara terbuka meminta pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas "Pembantaian Biak" dan mengambil langkah yang diperlukan untuk membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan. Kami menganggapnya bahwa AS terus melanjutkan hubungannya dengan militer Indonesia yang terus melanggar HAM yang harus terbuka untuk pembantaian di Biak, Timor Timur, Aceh dan di tempat lain.

Pada tanggal 6 Juli 1998, ratusan demonstran yang berkumpul di kota Biak dengan sengaja diserang oleh anggota militer dan anggota polisi Indonesia. Orang Papua menegaskan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri setelah lebih dari tiga dekade mengalami pendudukan militer Indonesia di Papua. Pembantaian itu dimulai dengan serangan fajar pada perkemahan di menara air kota, saat banyak demonstran sedang tidur dan berdoa.

Setelah penembakan itu selesai, mereka yang tewas, sekarat, dan terluka diangkut dengan truk dan dibawa ke pangkalan Angkatan Laut di dekat situ. Orang Papua yang masih hidup disiksa dan kemudian dimuat ke kapal-kapal angkatan laut dan dibuang ke laut. Para perempuan diperkosa di kapal. Banyak korban  yang tangan mereka diikat atau ditikam sebelum dibuang ke laut. Mayat para korban kemudian terdampar di pantai Biak setelah berminggu-minggu kemudian.

Pada saat itu, pemerintah demokratis Indonesia, yang baru mengalami transisi, secara tidak jujur telah membantah bahwa pembantaian itu terjadi. Pemerintah berpendapat bahwa mayat-mayat itu adlah korban tsunami yang melanda Papua Nugini (PNG), yang jaraknya lebih dari ratusan mil (dari Biak).

Pemerintah Indonesia tidak mengakui pembantaian dan melindungi para pelaku. Pemerintah terus mencegah investigasi kasus ini dan kejahatan HAM lainnya di Papua dengan membatasi akses ke wilayah ini, terutama wartawan asing, peneliti independen, serta pejabat-pejabat internasional PBB dan lainnya.


Contact: 
Ed McWilliams (WPAT), +1-575-648-2078
John M. Miller (ETAN), +1-917-690-4391

---------------------------------------------------------------------
Saturday, July 6, is the 15th anniversary of one of the worst massacres in Indonesia's post-Suharto history. On that day in 1998, members of the Indonesian military ruthlessly gunned down peaceful pro-independence demonstrators on the island Biak in West Papua. Like so many massacres in Indonesia, the exact number of those killed is unknown. 

The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) and the West Papua Advocacy Team (WPAT) today urge the U.S. government to publicly press the Indonesian government to acknowledge the Biak massacre and take the necessary steps to bring those responsible to justice. We regard it as unconscionable that the U.S. is proceeding to expand its ties with an Indonesian military that continues to violate human rights and remains unaccountable for massacres in Biak, East Timor, Aceh and elsewhere. 

On July 6, 1998, hundreds of peaceful demonstrators gathered on a prominent hill in the town of Biak were deliberately attacked by members of the Indonesian military and police. The Papuans in Biak were asserting their right to self-determination after more than three decades of Indonesian military occupation of West Papua. The slaughter began with a dawn raid on a peaceful encampment by the town's water tower as many of the protesters slept or prayed. After the shooting stopped, the dead, dying, and wounded were loaded onto trucks and driven to the nearby naval base. Surviving Papuans were tortured and then loaded aboard Indonesian naval vessels and dumped into the ocean. Women were raped aboard the ships. Many of the victims had their hands bound or were stabbed before being thrown into the sea. Bodies of the victims washed up on Biak's shores during the following weeks. 

At the time, the new, nominally democratic government of Indonesia disingenuously denied the massacre had taken place, contending the bodies washing ashore were victims of a tsunami that had struck Papua New Guinea more than hundreds of miles to the east.

No government of Indonesia has acknowledged the massacre or held the perpetrators accountable. The government continues to discourage investigation of this and other human rights crimes in West Papua by limiting access to the territory by foreign journalists, independent researchers, as well as UN and other international officials.  

Selasa, 02 Juli 2013

Penaikan Bendera Kejora di tiga bagian distrik di Papua, dibantah bukan berasal dari perintah petinggi OPM


Afternoon News: Penaikan Bendera Kejora di tiga bagian dibantah bukan berasal dari perintah petinggi OPM!

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua menyampaikan selamat minggu kerja baru kepada sahabat2 semua. Wartawan TEMPO, Jerry Omona melaporkan dari Jayapura tentang insiden pengibaran bendera OPM sebagaimana dilaporkan pada Tempo, Selasa 02 Juli 2013.

Disinyalir bahwa pengiriman bendera OPM di Kampung Nyaw, Arso Barat, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom merupakan rekayasa. Lambertus Pekikir sebagai Koordinator Umum Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka membantah pengibaran Bendera Kejora merupakan bagian dari perintah OPM. Dikatakan bahwa OPM mendukung keinginan bersama masyarakat untuk tidak menciptakan konflik dengan melarang pengibaran Bendera Kejora pada tanggal 1 Juli 2013 yang diperingati sebagai hari kelahiran OPM.

Disesali bahwa insiatif pengibaran Bendera Kenjora dilakukan mengatasnamakan OPM. Pengibaran Bendera Kejora juga terjadi di Kampung   Wandegobak, Kabupaten Puncak Jaya.  Sementara di sekitar Kota Mulia terjadi insiden pengibaran bendera yang disertai letusan. OPM dalam hal ini bertanya tentang insiden tsb karena dilihat seolah-olah ada rekayasa untuk memberikan preseden buruk bagi masyarakat Papua. Sekalipun diawal secara keseluruh Papua dalam keadaan aman sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Papua, Komisaris Besar Polisi I Gede Sumerta Jaya.

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua menyampaikan selamat kepada masyarakat asli Papua yang sudah memahami himbauan dari bapak Marinus Yaung, staf pengajar di Uncen, Papua yang secara khusus meminta orang Papua menahan diri sehingga tidak terjadi pengibaran Bendera Kejora. Argumentasinya adalah negara2 di dunia yang sedang mengobservasi pelaksanaan dan penegakkan HAM sebagai tanggungjawab pemerintah RI di tanah Papua akan menilai jelek tentang perjuangan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua. Kecerdasan masyarakat asli Papua untuk tidak terperangkap atas kemungkinan diadu dombakan patut mendapat pujian dan penghargaan dari seluruh sesama warganegara NKRI di seluruh tanah air untuk Papua. Hanya dengan menjaga Papua dan dibebaskan dari konflik lokal yang berbau sara, orang asli Papua bisa mengatasi kecenderungan mengadudombakan dan memanfaatkan isu separatisme untuk kepentingan kelompok2 tertentu.  

Berita selengkapnya yang berjudul OPM Kecam Pengibaran Bintang Kejora di Keerom bisa dilihat pada http://www.tempo.co/read/news/2013/07/02/058492880/OPM-Kecam-Pengibaran-Bintang-Kejora-di-Keerom>

Berita ditulis oleh Farsijana Adeney-Risakotta