Translate

Sabtu, 29 Juni 2013

Organisasi Sipil di tanah Papua diminta menahan diri pada tanggal 1 Juli 2013




Morning News: 
Organisasi Sipil di tanah Papua diminta menahan diri pada tanggal 1 Juli 2013.

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua menyampaikan selamat pagi kepada sahabat2 sesama warganegara di tanah air. Cuaca di California, terutama di Berkeley panas, dengan temperatur 78 derajat F atau 25,5 derajat C. Sejuk! Puncak kepanasan pada jam 1.40 pm waktu lokal dengan tingkat derajat sampai 79 derajat C.  Cuaca segar ini bisa dirasakan di beberapa tempat di Indonesia, di dataran tinggi seperti di Jawa Barat, maupun di pinggiran pantai seperti di Lautan Selatan di sepanjang pulau Jawa ketika matahari pagi baru bersinar.

Dalam kaitan dengan gerakan warganegara NKRI untuk mendukung penegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua merujuk satu pandangan dari seorang ahli Hukum Internasional, seorang asli Papua dari Universitas Cendrawasih. Marinus Yaung, dalam siaran press seperti dipublikasikan oleh Bintang Papua Com, bahwa upaya pengibaran bendera Bintang Kejora pada tanggal 1 Juli sebagai tanda hari kemerdekaan Papua akan melemahkan perjuangan Papua di mata internasional. 

Menginternasionalisasi isu Papua sudah berjalan dengan baik saat ini. Menurut Marinus Yaung, tekanan untuk Papua diterima sebagai anggota dari Melanesia Spearhead Group (MSG) yang diikuti sesudah adanya pengakuan beberapa anggota Persemakmuran Inggeris, seperti Papua New Guine (PNG) bukan terutama karena dukungan kepada aktivitas pendirian kantor OPM di luar negeri, tetapi terutama karena keuntungan2 dari relasi ekonomi yang bisa terbangun di antara Papua dan negara2 anggota MSG.

Proses pengakuan internasional terkait dengan eksistensi Papua secara hukum internasional, harus tetap dijaga. Marinus Yaung mengingatkan supaya orang asli Papua bisa menahan diri tidak menaikan bendera Bintang Kejora, yang akan dipandang oleh masyarakat dunia tentang adanya keterpecahan di tanah Papua.  Upaya merayakan kemerdekaan Papua Barat dengan menaikan bendera Bintang Kejora, untuk mengingat deklarasinya pada tanggal 1 Juli 1971 oleh Roemkorem dan Prai pada tanggal 1 Juli 1971, dinilai akan menghancurkan sendiri konsolidasi masyarakat Papua yang sudah berjalan saat ini. 

Perjuangan Papua sebagai negara berdaulat dan merdeka adalah persoalan hukum, bukan sekedar masalah adu mulut. Karena itu, Marinus Yaung menyampaikan himbauan kepada organisasi sipil yang menggandeng perjuangan Papua merdeka untuk segera membubarkan diri karena legalitas hukumnya sangat lemah.

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mendukung pandangan dari bapak Marinus Yaung yang mengerti tentang persoalan hukum internasional dalam mendukung perjuangan orang asli Papua. Perjuangan orang asli Papua saat ini adalah menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua. Basudara Papua dipanggil untuk menggunakan kesempatan saat ini, dengan adanya UU Otsus Papua, untuk mengembangkan dirinya. Hanya orang Papua yang bisa membangun daerahnya sendiri. 

Mengambil kesempatan untuk mengembangkan tanah Papua sebagai bagian dari panggilan setiap warganegara NKRI untuk mendidik sesama warganegara di seluruh tanah air tentang persoalan Papua, ketidakadilan, kesenjangan kesejahteraan dan ketiadaan perdamaian di tanah Papua adalah tugas dari setiap insan Papua.

Lebih jauh, Marinus Yaung juga memandang proses demokratisasi yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat bisa memberikan inspirasi bagi perjuangan warganegara di Indonesia, di mana hak-hak sipil kewarganegaraan dari orang asli Papua juga mendapat pengakuan dan setara secara hukum dalam tata kenegaraan RI.

Link ke dua artikel terkait dengan pendapat dari Marinus Yaung bisa dilihat pada Bintang Papua com, dengan aksesitas pada:

1.     1 Juli Tidak Perlu Diperingati Sebagai Hari Kemerdekaan Papua : Perjuangan di Papua Terdapat Faksi-faksi < http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/6093-1-juli-tidak-perlu-diperingati-sebagai-ha...>

Rabu, 19 Juni 2013

TOR Press Briefing dan Diskusi Petisi Warganegara NKRI untuk Papua



                                                                  TOR
                             Press Briefing dan Diskusi  Petisi Warganegara NKRI untuk Papua.

Pengantar:
Petisi Warganegara NKRI untuk Papua adalah gerakan sosial dari jejaring maya yang bertujuan melakukan pendidikan pencerdasan kepada warganegara NKRI tentang keberadaan Papua dalam kebijakan nasional. Sejak produk hukum, UU nomor 21 Tahun 2001, Otonomi Khusus diluncurkan oleh pemerintah RI, Papua mendapat keistimewaan dalam mengatur kebijakan publik yang berpihak kepada orang asli Papua.  Peluncuran UU Otsus Papua sebagai produk hukum di era Reformasi mensyaratkan adanya partisipasi warga masyarakat dalam merencanakan pengembangan kapasitas diri secara kolektif dalam membangun daerahnya sesuai dengan kebijakan lokal. Harapan ini ternyata belum tercapai dikarenakan situasi dan lingkungan yang menekan warga masyarakat sehingga mereka tidak bisa mengekspresikan dirinya dalam merencanakan dan mengawal kebijakan publik yang ditujukan kepadanya. Pelabelan kepada anggota masyarakat yang kritis, sebagai bagian dari gerakan separatisme menjadi penyebab utama dari penyebaran ketakutan di kalangan masyarakat asli Papua.  Akibatnya, dengan partisipasi masyarakat yang rendah, perencanaan pembangunan yang dibuat semata-mata dilakukan untuk memenuhi kepentingan pembuat kebijakan yang ada di pusat maupun di daerah.

Memahami kesulitan yang sedang terjadi di tanah Papua, maka dalam rangka dua tahun perayaan hari kelahiran Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, tepatnya pada tanggal 20 Juni 2012 ketika Page Petisi Warganegara NKRI untuk Papua diluncurkan <www.facebook.com/petisi.untuk.papua>, akan dilakukan Press Briefing dan Diskusi terkait dengan tema Hak dan Tanggungjawab Warganegara NKRI dalam mendorong pemerintah RI menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua.  Petisi Warganegara NKRI untuk Papua memilih  bersinergis dengan KontraS yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan karena di sana adalah rumah berpendapat dan mengekpresikan diri secara bertanggungjawab tanpa ada tekanan. Warganegara sebagai istilah yang dalam penulisannya  menyatukan warga dan negara sengaja dipilih sebagai ekspresi pergerakan dari Petisi Warganegara NKRI untuk Papua supaya mengembalikan fungsi warga yang sama kuat dengan negara dalam mengawal kebijakan publik. Penulisan warga yang dipisahkan dari negara sering kali memberikan kesan kuat tentang adanya dominasi negara terhadap kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Di alam demokrasi, ruang terhadap partisipasi warga sebaiknya juga dicerrminkan oleh penggunaan istilah warganegara yang menunjukkan pentingnya peran yang sejajar antara warga dan negara sebagaimana dimaksukkan dalam istilah warganegara (citizens).

Sejarah kelahiran Petisi Warganegara NKRI untuk Papua yang dipicu oleh pernyataan  Sjafrie Sjamsoeddin, Wakil Menteri Pertahanan tentang potensi keamanan Indonesia bukan lagi disebabkan karena serangan militer negara lain tetapi karena terorisme, separatisme dan kegiatan ilegal sumber daya alam (Kompas, 19 Juni 2012, hal.4).  Pernyataan ini telah mendorong pemikiran kritis dan kesadaran kemanusiaan di antara sesama warganegara NKRI untuk mencerdaskan dirinya sendiri tentang perbedaan-perbedaan peristilahan yang terkait dengan ancaman kepada negara.  Ketika negara berupaya menyamakan berbagai gerakan kekerasan yang sebenarnya berbeda-beda, maka warganegara NKRI harusnya bisa mempertanyakan keberpihakan negara dalam melindungi warganegaranya. Dalam perjalanannya, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua telah berfungsi sebagai forum untuk memberikan pendidikan dan mencerdaskan sesama warganegara untuk menyadari hak-hak dan tanggungjawabnya dalam mengemban tugas pengawalan kebijakan publik. Berbagai aktivitas baik pada layar maya maupun di tingkat jumpa darat telah dilakukan oleh Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dengan tujuan memberdayakan warga asli Papua seperti diskusi bulanan di antara warga asli Papua di Yogyakarta dan Festival Papua Perdamaian yang dilakukan pada saat pameran blog dan seni rupa Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua yang berlangsung pada tanggal 27 Mei 2013 di Bentara Budaya Yogyakarta, maupun mencerdaskan sesama warganegara NKRI non Papua tentang persoalan dan cara tepat dalam mengerti Papua.  

Jumlah pendukung saat ini adalah 683 (yang memberikan jempol) ditambahkan dengan hampir 730.000 users yang berinteraksi dalam membaca dan menanggapi posting-posting pada page Petisi Warganegara NKRI untuk Papua.  Peluncuran buku Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Yogyakarta: SUP, 2013) yang disunting oleh Farsijana Adeney-Risakotta diharapkan bisa merupakan bentukan dari Petisi (usulan) kepada Pemerintah RI, Presiden SBY, Wakil Presiden, Boediono dan para legislatif di DPR RI untuk mengerti gerakan warganegara NKRI saat ini dalam mengawal kebijakan negara menegakkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di tanah Papua. Suatu upaya bersama, sesama warganegara NKRI yang sedapat mungkin mengubah pandangan selama ini bahwa persoalan Papua adalah domain dari pemerintah pusat, TNI dan Polri dengan masyarakat Papua saja. Padahal keamanan Papua, adalah bagian dari tanggungjawab bersama antara pemerintah RI dan seluruh warganegara di Indonesia.

Agenda Acara:
Judul Diskusi:        Press Briefing dan Diskusi tentang Petisi Warganegara NKRI untuk Papua.
Tempat kegiatan:   Kantor KontraS, Jl. Borobudur No.14 Menteng Jakarta Pusat
Hari/tanggal/Jam:  Minggu, 23 Juni 2013, jam 14.00 sd selesai
Narasumber:          Farsijana Adeney-Risakotta dan Nano Apituley sebagai moderator Petisi
                               Warganegara NKRI untuk Papua
Pendiskusi:            Bapak Haris Azhar (Koordinator KontraS)
Moderator:            Ibu Sri Suparyati (Deputi 1 dari Koordinator KontraS).
Peserta:                 Pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua di daerah Jakarta,  mitra dari
                              KontraS, warga masyarakat luas dan para wartawan media massa dan elektronik.

(dokumen/farsijana/Juni/2013)

   

Kamis, 13 Juni 2013

Mengakarkan Mawar Hitam!



Mengakarkan Mawar Hitam!
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

“Mawar hitam tanpa akar ada” adalah judul dari novel yang ditulis oleh Aprila Wayar  (2009).  Novel ini berkisah tentang sepasang keluarga Papua, pasangan muda dari kelas menengah yang bertemu di Yogyakarta pada saat gerakan Reformasi. Sesudah menyelesaikan studi, mereka menikah dan kembali ke Jayapura meneruskan gerakan aktivisnya bersama dengan saudara/i di tanah Papua. Kisah hidup percintaan mereka diletakkan dalam konteks politik kekerasan yang sedang terjadi di Papua. Ternyata keindahan dari kedalaman cinta kasih hanya bermakna ketika pasangan suami isteri ini dengan cara sendiri-sendiri memberikan dirinya bagi perjuangan bersama rakyat Papua. Perjuangan anti kekerasan dimulai di tengah-tengah kekerasan militer yang terjadi di tanah Papua. Mereka menyaksikan anak-anak terbaik Papua dibunuh, sehingga komunitas Papua tampil seperti “mawar hitam tanpa akar”.  Memandang kekerasan militer yang menarget pimpinan-pimpinan Papua merekapun makin sadar perjuangan melawan tirani ketidakadilan perlu diubah sehingga tidak ada kematian yang konyol. 

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sengaja mengangkat ulasan sepotong dari novel yang tebalnya lebih dari 400 halaman untuk menjelaskan beberapa hal. Pertama, pencarian identitas Papua yang lebih dikenal sebagai nasionalisme Papua tidak bisa terbentung lagi. Reformasi sebenarnya telah menghadirkan ruang demokrasi kepada setiap individu Indonesia untuk berpartisipasi dalam mengawal kebijakan negara. Kebangkitan nasionalisme Papua harusnya dilihat sebagai bagian dari upaya orang asli Papua mengisi makna demokrasi dalam kehidupan berpolitikan di Indonesia. Tanda-tanda nasionalisme Papua tergambar dari munculnya kebanggaan dari kesadaran yang mendalam tentang perbedaan rumpun etnis yang dimiliki oleh orang asli Papua dibandingkan dengan kerumpunan etnis lainnya di Indonesia seperti Melayu, Mongolia, Yamanisme dan Arabian.  
  
Penguatan etnis menjadi dasar pembentukan identitas yang pertama-tama di dalam teritori Indonesia seperti dimanifestasikan dalam penamaan pulau-pulau yang sekaligus telah meleburkan pendatang dalam kewilayahan penyebaran bahasa  "Austranesia" menjadi bagian kedaerahan yang batasan kewilayahannya tampil menguat secara fisik. Muhammad Yamin menggunakan istilah teritori etnis untuk menggambarkan kewilayahan etnis sejak Indonesia sedang mempersiapkan fondasi ideologi bagi kehidupan bernegara dan berbangsa. Dalam pidato kelahiran Pancasila, Muhammad Yamin mengangkat delapan etnis teritori sebagai kekayaan kerumpunan etnis yang mengisi Indonesia. Kedelapan etnis teritori tersebut adalah Sumatera, Malaya, Brunei, Jawa, Sulawesi, Sunda Lesser, Maluku, dan Papua (Yamin:1945, 1-4). Papua disebut secara khusus dalam perwilayahan etnis yang berdiri sejajar bersama ketujuah etnis teritori lainnya. 

Penerimaan bangsa Papua terhadap UU no 21 Tahun 2001,  Otonomi Khusus Papua, perlu diikuti dengan pemberian ruang untuk orang asli Papua menggali  akar keidentitasan dan kesejarahannya. Politik penyeragaman yang dilakukan semasa pemerintahan regim Orde Baru harusnya sudah bisa ditinggalkan dalam politik  keindonesiaan sesudah gerakan Reformasi. Misalkan penguatan penjagaan identitas Yogyakarta melalui UU no 13 Tahun 2012, tentang Keistimewaan DIY tidak dengan sendirinya menegasikan keragaman yang ada dalam kehidupan sosial politik di Yogyakarta saat ini. Aprila Wayar telah mengambil inspirasi dari keragaman di Yogyakarta untuk bersama dengan saudara-i lainnya di tanah Papua memulai penggalian nasionalisme orang asli Papua. Perjuangan ini harus didorong supaya orang asli Papua bisa berakar di tanahnya sendiri.