Translate

Minggu, 11 September 2011

Satu dekade 11 September 2011 dan Tarikan Kerusuhan Ambon

Satu dekade 11 September 2011 dan Tarikan Kerusuhan Ambon
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Ketika masyarakat Amerika Serikat memperingati 10 tahun 11 September, kami pada hari itu melakukan ibadah syukur (memorial service) untuk ibunda suami saya, Bernie.  Grandma Ruth, biasa saya memanggilnya meninggal 1 September 2011. Bernie adalah anak bungsu dari Ruth dan David Adeney. Lahir di Shanghai, Cina dari keluarga Pendeta, Bernie sejak kecil terbiasa hidup dengan banyak orang. Rumah orang tuanya penuh dengan mahasiswa/I ketika mereka masih di berbagai tempat di Cina juga sesudah mereka pensiun dan menetap di Berkeley di mana Bernie dan keluarga tinggal. 

Sekarang ini Bernie sudah hampir 21 tahun tinggal dan kerja di Indonesia. Kecintaannya kepada manusia, budaya dan agama-agama menarik hatinya. Ia belajar tentang budaya Asia di Universitas Winsconsin. Kesadaran terhadap ketidakadilan dan upaya mengatasinya membentuk Bernie menjadi aktivis anti perang Vietnam, rasisme dan feminism dari tahun 1966-1970.  Sesudah empat tahun hidup di Eropa, Bernie kembali ke AS dan menetap di Berkeley untuk memulai pelayanan bagi orang miskin.  

Di sini, di pantai barat California, dari tahun 1978-1982 Bernie disadarkan tentang ancaman kebijakan pemerintah AS mengenai pengembangan reaktor nuklir terhadap masyarakat dan dunia.    Kebijakan ini menakutkan karena membawa dunia kepada kehancuran. Pada era itu belum banyak orang sadar tentang bahaya nuklir.  Sebagai aktivis perdamaian,  Bernie melakukan gerakan penyadaran dampak nuklir melalui publikasi, mengorganisir demonstrasi yang dihadiri banyak orang untuk sekaligus mendengar pidato-pidatonya. Semuanya dilaku di Berkeley dan di berbagai tempat di USA sebelum belajar S3 dengan meneliti kebijakan pemerintah AS terkait dengan nuklir.

Keprihatinan itulah yang mendorong Bernie menekuni riset S3 untuk mengerti bagaimana kekerasan dan perang dalam pemikiran sejarah pemikiran barat. Kajian yang mempertemukan kebijakan keamanan dengan pandangan dan praktek moral keagamaan. Di bawah bimbingan beberapa professor dari UCB, yaitu Prof. Ernst Haas (Political Science dan International Relations) dan Prof. Kenneth Walz (UCB- International Relations), dan tiga Prof lainnya dari Graduate Theological Union yaitu Prof. John C. Benneth (GTU-Political Ethics), Prof.Robert McAfee Brown  (GTU-Liberal Theology and Ethics), dan Prof William Spohn SJ (GTU-Religion and Societyt), akhirnya sebuah disertasi dengan judul “Just War, Political Realism, and Faith diterbitkan pada tahun 1988. 

Ingatan kami dibawa kepada pandangan mata dari tragedi World Trade Center yang muncul berkali-kali sebagai berita utama selama berminggu-minggu di TV. Ketika peristiwa itu terjadi kami sedang tinggal di Amsterdam. Saya menyelesaikan penulisan disertasi dan Bernie melakukan penelitian di IIAS di Amsterdam. Tetapi pada saat tragedi 11 September 2001 Bernie sedang berada di AS menghadiri American Academy of Religions. Rencana kepulangannya harus ditunda beberapa minggu sebelum akhirnya bisa tiba dengan selamat di Amsterdam. 

Saya membaca buku Bernie yang mengisahkan tentang dampak pengembangan teknologi yang cenderung menghancurkan dunia. Tetapi ternyata  penguasaan teknologi tinggi yang dimiliki oleh AS masih belum memberikan jaminan bagi keselamatan warga negara di AS. Malapetaka hadir sebagai tragedi yang malahan menghancurkan AS. World Trade Center dihancurkan karena pesawat bunuh diri menjadi senjata untuk menghancurkan pusat bisnis dunia termasuk mengorbankan ribuan orang yang berada di sana. Trauma dari kehancuran WTC dan New York City masih ada dalam benak penduduk di sana. 

Tahun 2007, saya menjadi representasi Fulbright untuk program pertamanya yang disebut Interfaith Community Action Program. Sesudah tiga minggu kami berada di UC Santa Barbara, di California, saya pindah ke Barnard College, University Columbia untuk mengajar bersama Janet Jacbson. Tinggal selama hampir 3 bulan di New York City, memberikan kesempatan kepada saya untuk mengenal dari dekat upaya masyarakat mengatasi trauma dari tragedi 11 September.  

Saya beberapa kali ke Ground Zero di mana dulu berdiri bangunan World Trade Center. Ground Zero terletak di Lower Manhattan, New York City, sekarang sedang dibangun kembali. Kalau dulu WTC semata-mata adalah gedung bisnis, diharapkan Ground Zero paska 11 September 2011 akan menghadirkan dirinya sebagai gedung yang holistic. Pada dirinya ada catatan sejarah dari tragedi yang menyebabkan meninggalkan lhampir 3000 orang, ratus ribu orang yang mengalami trauma petaka itu.  Sebenarnya tahun 1993, Ground Zero juga sudah menjadi sasaran peledakan bom. 

Perubahan wajah Ground Zero paska 11 September merepresentasikan perubahan wajah AS baik secara politik, sosial ekonomi dan budaya. Ketika tragedi itu terjadi istilah teroris muncul dalam wacana politik AS. Menurut Mark Juerensmeyer (2003) penamaan pelaku tragedi 11 September dapat tampil berbeda-beda karena latarbelakang pandangan dan praktek politik yang berbeda. Untuk mereka yang menghendaki damai, tragedi 11 September merupakan perbuatan dari kelompok yang disebut teroris. Sedang bagi mereka yang mempersoalkan kedamaian, dengan menggugat langsung ketidakadilan, tragedi 11 September merupakan bukti dari legitimasi melawan dominasi politik luarnegeri Amerika Serikat. 

Pandangan pemikiran Mark Juerensmeyer dibangun dengan mempelajari secara berimbang sejarah bangkitnya perlawanan para legitimator terhadap kebijakan politik luarnegeri pemerintah AS yang tampil menjalankan “islamophobia”.  Tetapi pada saat yang sama, kehancuran USSR sebenarnya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik luarnegeri AS yang melatih kelompok-kelompok fighter di berbagai daerah caplokan USSR seperti dilakukan di Afganistan. Saya pernah dalam artikel “Mahalnya Perdamaian Dunia” menggambarkan  hubungan antara pemerintah AS dengan mantan fighter, seperti Osama bin Laden sebagai anak dan orang tua di mana sang anak akhirnya memerontak setelah mengerti dirinya sedang diperangkap oleh orang tuanya. 

Kebinasaan sudah terjadi. Osama bin Laden sudah dimusnakan. AS sudah dihancurkan dalam tragedi 11 September. Apakah AS berubah? Ke arah mana AS mengubah? Itu pertanyaan saya sejak tragedi 11 September 2001.  Setahun sesudah tragedi 11 September, saya diundang datang ke AS dua kali. Pertama dengan mba Syafatun Al-mirzanah, dosen UIN Sunan Kalijaga yang pada waktu itu sedang belajar S3 di Lutheran School of Theologi di Chicago. Kedua, ketika saya diundang oleh Bi Nasional Service. Cerita tentang ini sudah saya singgung sedikit dalam tulisan tentang Virginia Hadsell (Membaringkan jasad grandma). 

Bersama mba Syafatun, kami diundang oleh Presbyterian Church USA untuk menjadi peserta pertama program Interfaith Listening, Christian-Muslim Dialogue.  Kami memulai perjalanan dari  Stony Point, NY, di mana kami bertemu dengan berbagai delegasi sepasang, Muslim dan Kristen dari berbagai negara di Afrika, India, Timur Tengah, Eropa dan Asia. Saya ingat mendiskusikan bersama Al-Hajj Yussuf Murigu dari Kenya tentang buku penggangan perdamaian yang mengikutkan doa-doa dari berbagai agama.  Sesudah itu kami berdua terbang ke Pittsburgh, kemudian ke  Seattle, dan kembali lagi ke Stony Point di NY untuk evaluasi. 

Gereja melakukan program khusus untuk membangun dialog dengan orang AS muslim yang pada saat itu sesudah 11 September tampil seperti tertuduh. Diskriminasi dan tekanan kepada komunitas Muslim dan mereka yang berwajah Arab sangat kuat. Banyak ahli mengakui, tragedi 11 September ternyata membantu Islam keluar dari bawah tempurungnya.  Mesjid-mesjid membuka diri untuk menerima kunjungan dari berbagai orang yang hendak belajar tentang Islam.  Orang ingin tahu apakah benar Islam seperti yang dipotretkan sebagai teroris? Apakah Islam mengajarkan kekerasan? Bahkan banyak orang di AS menjadi Muslim melalui keterbukaan mesjid dan kaum Muslimin yang penuh dengan cinta kasih. Islam bertumbuh menjadi agama yang berkembang pesat sesudah Kristen di AS. 

Saya ingat tanggal 11 September 2002, umat Muslim, Kristen dan Yahudi berdoa bersama di East Liberty Presbyterian Church di Pittsburgh. Sholat secara jemaah bahkan dilaksanakan dalam gereja berarsitektur ghotik yang dibangun tahun 1819 ketika industri biji besi yang sedang booming di AS pada waktu itu. Gereja ini juga disebut sebagai Cathedral of Hope.  Dalam setiap kesempatan menjelaskan tentang hubungan Islam dan Kristen di Indonesia adalah menceritakan sejarah Indonesia sebagai suatu bangsa. Pergolakan Islam Indonesia untuk menerima sesama warganegara lain dengan menjaminkan kesamaan dan keadilan kepada semua berdasarkan iman dalam ajaran Islam menjadikan Indonesia tampil berbeda dengan negara-negara Islam lainnya di dunia. 

Kekerasan yang melibatkan nama agama dan pengikutnya perlu dijelaskan secara hati-hati. Penelitian yang saya lakukan di Maluku Utara tiba pada kesimpulan bahwa gerakan perubahan politik di tingkat internasional, nasional bisa bergandengan bahkan berpengaruh terhadap penguatan gerakan solidaritas yang memisahkan diri berdasarkan etnis dan agama pada tingkat yang paling kecil seperti di desa.  Secara teori politik bisa dijelaskan terutama mengingat tentang alat penyatu yang bisa dipakai untuk menggerakan dan mengelompokan orang-orang dalam kepentingan dan kesadaran yang mengikat loyalitas di masing-masing pihak. 

Isu agama menjadi alat yang paling jitu untuk memisahkan kelompok-kelompok masyarakat di Indonesia. Berbeda dengan konteks di AS di mana isu rasis dan gender bisa dipakai untuk melakukan pemisahan dalam pengelompokan di masyarakat. Di Indonesia, agama tampil kuat untuk membangun loyalitas dan sentimen permusuhan karena dalam dirinya sudah mengandung teologi yang saling menggugat keorisinalitas, keortodoksian dan legitimasi keilahian Sang Pencipta yang dipercayainya.

Dalam kasus konflik Ambon misalkan, sentimen etnis dipakai sebagai alat loncatan untuk membangun kesadaran pengelompokan sebelum penggarisan agama tampil menguatkan perbedaan di dalam masyarakat. Misalkan istilah BBM yang berarti Bugis Buton Makassar tampil mengawali konflik antara orang Maluku (Ambon) dengan orang luar yang terkait dengan perebutan sumber-sumber ekonomi. Tetapi kemudian muncul isu pembedaan kelompok yang terkait dengan Islam dan Kristen. Pada babak berikut tampil kemudian pengelompokan konflik yang disebut RMS, artinya Republik Maluku Selatan dengan penunjukkan langsung pada kaum Kristen/nasrani dan kelompok Muslim atau Republik (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 254). Fantasi dari konstruksi konflik dengan pengelompokkan ini sudah pernah saya bahas dalam tulisan saya tentang Fantasi Separatisme (Kompas, 2004). 

Ketika AS sedang menyelenggarakan 1 dekade 11 September, kami masih di Berkeley, saya sangat sedih mendengar dari beberapa teman tentang pecahnya kerusuhan di Ambon pada tanggal yang sama. Dua tulisan di internet yang saya baca bahkan mulai mengembangkan peristilahan yang sebelumnya tidak muncul dalam konflik Ambon. Istilah kelompok salibis merupakan istilah yang didalam analisa saya coba mempertentangkan dengan istilah sabilis yang merupakan nama dari majalah muslim, Sabili dan banyak melaporkan tentang kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh kelompok nasrani terhadap kelompok muslim. Salibis berasal dari kata salib, yaitu kelompok penganut salib. Sedangkan istilah sabilis diambil dari rangkaian kalimat “mujahid fi sabilis” yaitu mereka yang meninggal karena melakukan jihad. 

Dunia yang saling terhubungkan meretak karena perang. Koleksi pribadi dari perjalanan ke gedung PBB pada tahun 2007

Konflik Ambon pernah mengangkat istilah lokal untuk membedakan kaum Muslim dengan menyebut kaum Acang dan kaum nasrani yang dipanggil Obed. Kedua nama ini adalah nama tokoh rekaan dari siaran RRI di awal tahun 1980an ketika saya masih bersama orang tua tinggal di Ambon, yaitu obrolan Oom Obed dan Oom Acang. Keduanya ditampilkan sebagai  teman yang selalu  mengomentari kehidupan sehari-hari di sekitar pulau Ambon. Tetapi kerusuhan Maluku, pertemanan oom Obed dan oom Acang malahan dijadikan tanda permusuhan. 

Tahun 2004 pernah ada upaya kerusuhan yang terjadi bertepatan dengan hari ulang tahun RMS. Tetapi syukurlah kerusuhan tersebut ditanggapi kritis oleh masyarakat yang sudah bosan dengan kekerasan, yang setiap saat berhadapan dengan kematian dari pada kehidupan. Dalam beberapa jam kerusuhan tersebut bisa diisolasikan sehingga tidak menyebar ke berbagai tempat. Terkesan hal yang sama terjadi dengan kerusuhan pada tanggal 11 September 2011. Laporan dari teman-teman di lapangan yang sudah dapat mengidentifikasi pemain-pemain yang memicu kekerasan tersebut cukup melegakan hati saya (lihat tulisan Jacky Manuputti-Facebook).

Akan tetapi bagi saya, kerusuhan 11 September 2011 di Ambon perlu dipergunakan untuk meluruskan berbagai pandangan yang coba dimentahkan terkait dengan anggapan bahwa kekristenan di Maluku adalah produk dari kolonialisasi sama halnya dengan praktek Pela. Pandangan yang mempersoalkan pela dan kekristenan sebagai produk kolonialisasi sama saja dengan mengatakan Islam adalah produk dari Arabisasi. Hindu dan Budha adalah produk dari Indianisasi. Indonesia sebagai daerah kepulauan yang kaya sumber-sumber alamnya sejak dulu dipengaruhi oleh berbagai pengaruh politik, budaya dan ekonomi dari luar.  Istilah Indonesia untuk negara kita sendiri bukan kata asli dari sini, tetapi bahasa Junani yang menunjukkan kepulauan di bagian selatan dari India. 

Jadi sebaiknya saya menjelaskan sendikit tentang Pela. Pela adalah tata cara hidup saling tolong menolong karena ikatan darah maupun adopsi. Pela merupakan praktek kehidupan yang melibatkan hubungan tolong menolong di antara desa.  Ada desa muslim yang berpela dengan desa Kristen karena terkait dengan ikatan darah. Bentuk pela ini disebut pela gandong.  Misalkan kakek saya, Risakotta berasal dari desa Hatu mempunyai pela dengan negeri Lima yang muslim. Ikatan pelanya adalah pela gandong karena negeri lima adalah saudari perempuan yang muslim dan desa Hatu adalah saudara lelaki yang Kristen.

Dalam penelitian saya di Maluku Utara, di mana praktek tukar menukar ada dalam hubungan keluarga, memang tidak disebutkan pela.  Tetapi praktek saling tolong diantara keluarga disebutkan “teke si dohawa” (Farsijana Adeney-Risakotta, 2005, 88).  Istilah pela diartikan oleh Leirissa sebagai “berakhir” atau “diselesaikan” dengan menunjukkan pada pertengkaran yang terjadi diantara dua captain. Pembahasan Leirissa ini saya bahas dalam disertasi.  Akan tetapi saya masih bertanya keterkaitan pela yang melibatkan praktek hubungan di antara dua atau lebih desa. Bagaimana hal tersebut terjadi? 

Hanya beberapa dua tahun lalu ketika kami di Iowa, saya belajar tentang kota kecil yang bernama Pella. Kota ini adalah kota miniature dari Belanda. Ternyata penduduknya adalah imigran dari Belanda di awal abad ke-19. Kepada salah seorang teman di Pella saya bertanya mengapa kota ini diberikan nama Pella. Sambil menerangkan bahwa di Ambon ada praktek cara hidup tolong menolong yang disebut Pela, saya menunjukkan perbedaan dalam ejaan tertulis yang ketika diperdengarkan berbunyi sama: “Pela”.  Kemudian dijelaskan bahwa kata tersebut diambil untuk menunjukkan situasi dari para imigran yang baru pindah ke AS, yang pada waktu itu berstatus seperti kelompok pengungsi. Jadi dengan menggunakan kata Pella, mereka, kaum imigran Belanda diingatkan untuk hidup dalam janji untuk saling tolong menolong. 

Kata Pella disebut dalam prasasti-prasasti Mesir awal bahkan dalam catatan Amarna, yang menyebut Pehel di Kanaan, yaitu suatu lokasi di sebelah timur Palestina. Kota ini dibangun kembali dengan diberikan nama Pella dalam bahasa Yunani yang merupakan salah satu dari dua kota Yunani tertua. Ia menjadi salah satu dari Dekapolis, pusat Kristen dan pengungsi dari Yudea. Ketika saya mendapat penjelasan tersebut, saya bayangkan situasi di mana terjadi perjanjian antara komunitas muslim dan nasrani untuk mereka saling membantu sekalipun mereka berbeda agama seperti yang dimaksudkan dalam konteks Maluku. 

Sejarah Ambon adalah sejarah kepahitan karena kekayaan rempah-rempah yang membawa berbagai pedagang dari mana-mana bersaingan dan saling memperebutkan. Perang Hitu dan pengusiran orang-orang Portugis meninggalkan luka dan trauma bagi penduduk setempat. Mungkin saja pada waktu itu kelompok pemenang yaitu pedagang Belanda dan Kesultanan Ternate- Tidore harus melakukan proses perdamaian. Kemudian perjanjian damai muncul dengan menggunakan pengalaman dari "Pella", yang penerapan peristilahan dilakukan memperhatikan konteks paska perang di Maluku Tengah (Ambon) saat itu.  Catatan-catatan sejarah tentang proses perdamaian tidak tersedia, tetapi konstruksinya bisa dibayangkan seperti yang dijelaskan. 

Kalaupun istilah ini muncul dari ajaran Kristiani yang merujuk kepada nama tempat di Yunani, Pella yang artinya membuat janji, saya merasa tindakan membuat janji bersama sebagai Indonesia untuk sama menyatakan setia kepada Pancasila.  Pancasila sebagai istilah saja aslinya bukan Indonesia. 

Ketika memikirkan tentang gugatan berbagai pihak tentang makna dan praktek pela, saya teringat cerita dari suami ketika menghadiri ceramah pak Amin Abdullah yang disampaikan pada panel di American Academy of Religions pada tahun 2006 di Washington D.C. Ketika itu ada protes besar terhadap karikatur yang dibuat Jyllands-Posten dari koran Denmark.  Menanggapi kontroversi itu, Prof Amin Abdullah yang pada waktu itu adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa ada dua hal yang nampak dari peristiwa itu. Pertama, kartunis dari Denmark yang menunjukkan dunianya yang tidak beradab dan kedua, kelompok yang bereaksi, protes dengan menggunakan kekerasan yang tampil menunjukkan dunianya yang juga tidak beradab. Jadi kedua reaksi yang tidak saling menghormati agama dari masing-masing kelompok menunjukkan ketidakberadaban. 

Rumusan pemahaman dari Prof Amin Abdullah ini sangat penting untuk didengar oleh masyarakat dunia, terutama di Amerika Serikat.  Dampak dari 11 September telah mengubah wajah politik dan sosial keagamaan di AS.  10 tahun peringatan 11 September adalah sebenarnya memperingati keterbukaan Amerika Serikat untuk menerima warganegaranya dari agama lain, selain seorang Kristiani.  Berbagai kelompok-kelompok muslim berdiri untuk mengadvokasi hak-hak dan kepentingannya. Kaum muslim sama saja dengan warga negara Amerika Serikat yang lain. Mereka bertanggungjawab untuk memelihara masyarakat. Mereka terlibat memberikan makan kepada homeless. Mereka mengekspresikan imannya dalam bentuk seni, budaya bahkan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.

Saya ingat ketika berada di AS, ketika itu sedang bersama suami menjadi visiting scholar di Pusat Studi Islam dari Graduate Theological Union di Berkeley, saya menulis artikel tentang "Rahmat Ramadhan bagi bumi" untuk jaringan saya di Facebook. Komentar yang saya terima dari seorang sahabat Spritualitas Indonesia, bahwa Islam AS terbentuk menyerupai Kristen dalam cara menghayati kehidupan. Sedangkan Kristen di Indonesia membentuk diri dalam pengaruh Islam.  Sahabat saya ini, menggambarkan apa yang disebut secara teknis dalam studi agama-agama sebagai istilah “adopsi” dan “adaptasi”. 

Saya pernah katakan kepada kelompok-kelompok Kristen dan Islam di mana mba Syafatun dan saya berbicara, bahwa karena budaya, sebagai seorang Kristiani, saya merasa lebih dekat dengan seorang muslim di Indonesia daripada seorang Kristen di Amerika Utara dan Eropa. Mungkin saja pandangan ini bisa sama dengan seorang Muslim di AS yang merasa dekat dengan seorang Kristen di sana daripada dengan seorang Muslim di Indonesia. Kepedulian dalam berjuang bersama untuk kesetaraan dan keadilan dalam negara seringkali mendekatkan berbagai kelompok yang ada dalam negara tersebut. 

Masa depan agama-agama sesudah 11 September sangat penting untuk memelihara perdamaian di dunia.  Agama-agama harus terus mampu  memberikan kesaksian dalam dunia tentang apa yang harus dilakukan manusia supaya tetap hidup. Metode misi dan dakwah yang memaksa orang untuk mengikuti agama yang dilakukan melalui kebijakan dari kekuasaan negara atau kelompok dominan akan berakhir. Metode ini menyerumuskan manusia untuk melakukan kekerasan yang akan berakibatkan kepada kepunahan bersama.

Ketika 11 September 2001 mencekamkan dunia, Bernie menulis artikel yang menjelaskan reaksi dari masyarakat Indonesia terhadap tragedi tersebut. Bahkan ada mahasiswanya yang mengatakan bahwa tragedi 11 September adalah hasil kerja dari CIA. Teori konspirasi diterima di berbagai kalangan di Indonesia. Reaksi tentang pan Islam sebagai alternatif daripada nasionalisme muncul untuk menghadapi dominasi barat.  Tragedi 11 September dilihat sebagai jihad terhadap Amerika Serikat atas dosa-dosanya. 11 September dipandang sebagai bagian dari rencana Allah (dalam Nathan dan Muhammad Hashim Kamali: 2005, 332).    

Tetapi peristiwa bom Bali menggegerkan masyarakat Indonesia. Ada dugaan keterlibatan CIA dalam bom Bali. Tetapi yang paling menyentuh hati adalah kesediaan dari masyarakat Bali sendiri untuk merefleksikan dirinya. Mereka bertanya kearah mana perubahan yang sudah terjadi yang menjauhkan mereka dari kebaikan. Perbedaan ini terasa dengan AS yang cenderung bereaksi termasuk menjatuhkan semua kesalahan dari kekerasan tersebut pada terorisme.

Perbedaan tanggapan ini pada akhirnya bermuara pada ujung yang sama.  Karena anggota masyarakat baik di AS dan di Bali berusaha untuk membangun pengertian di antara mereka, sehingga tuduhan-tuduhan malahan berubah menjadi refleksi. Masyarakat memutuskan untuk saling belajar satu sama lain daripada saling menuduh. Seperti terlihat pada berbagai aktivitas bersama di antara umat beragama untuk saling mengupaya pengertian, pengampunan dan mengembangkan saling kepercayaan satu terhadap lainnya.

Makna 11 September 2011 yang diperingati di AS kiranya bisa menjadi inspirasi kepada komunitas agama-agama di Indonesia. Termasuk juga masyarakat di tempat-tempat di mana trauma dari konflik sebelumnya masih ada. Upaya untuk menjangkau ke luar sesama manusia dari agama yang berbeda merupakan berkat untuk mengerti dan saling menghargai perbedaan di antara kita. Untuk tujuan ini, pemerintah harus terus didorong menjaminkan rasa aman dari warga negaranya. Termasuk memfasilitasi terbentuknya RUU penanganan konflik yang memberikan jaminan kepada warga biasa untuk tidak dijadikan tumbal dalam berbagai konflik sosial.

Sabtu, 10 September 2011

Membaringkan jasad grandma


Membaringkan jasad grandma
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Rina, Carol dan saya sedang masak. Sambil memasak, Rina memutar lagu kesayangannya yang ditulis oleh penyanyi sekaligus pencipta lagu, Reuben Morgan. Judul lagunya “This is my desire” (1995)
Saya mengutip liriknya.
This is my desire to honor you
Lord with all my heart
I worship you
All I have within me
I give you praise
All that I adore
Is in you

Chorus:
Lord I give you my heart
I give you my soul
I live for you alone
Every breath that I take
Every moment I’m awake
Lord, have your way in me

Lagu ini kami bernyanyi berulang ulang. Saya terutama sesudah menulis semua liriknya mulai bernyanyi sendiri juga ketika semua sudah menghilang dari dapur. Ada banyak hal yang saya tidak mengerti dari upacara kematian grandma. Ketika ayah saya meninggal, kami memandikan dan mendadaninya.
Jadi selama hampir seminggu di rumah grandma kami belum melihat jasadnya, lagu “This is my desire”  menjadi penghiburan kepada saya. Penutupan dari lagu ini indah karena mengingatkan saya terhadap doa Yesus di taman Getsemani yang meminta Allah mengangkat semua bebanNya tetapi bukan dalam jalanNya melainkan dalam  jalan Allah sendiri. 
Sampai beberapa jam sebelum kami ke pemakaman di Mountain View Cemetery,  jasad grandma baru tiba di tengah-tengah keluarga.  Ketika kami tiba di Berkeley, saya sangat sedih sesudah diberitahu kami tidak bisa melihat jasad grandma lagi. Tiba telat di Berkeley, hanya Glen, Rina dan anak-anak yang bisa melihat jasad grandma. Sebelum dikramasi, jasadnya dibawa ke County Morgue. Untuk melihat jasad grandma sebelum kramasi dilakukan ada ongkos yang besar, dua kali lipat dari total biaya yang harus dibayarkan, demikian penjelasan dari Glen.
Saya terdiam dan membayangkan kebiasaan di Indonesia, tanpa pandang bulu, setiap agama apapun ketika menghadapi kematian ternyata memperlakukan jasad sebagai pribadi yang diurus oleh anggota keluarga. Di AS, jasad seorang yang meninggal seolah-olah adalah urusan dari pasar. Penguburan orang meninggal melibatkan jaringan bisnis yang besar di AS dan mahal. 
Kenyataan ini berbeda dengan apa yang saya dengar dari pak Kadus Karanggayam di mana kami tinggal di Yogyakarta. Penjelasannya kami terima ketika melakukan slamatan  menempati rumah kami di kampung Karanggayam pada tahun 1998 dengan mengundang  tetangga-tetangga dan mementaskan wayang dan campur sari.  Pak Kadus yang hadir pada waktu itu mengatakan bahwa kalau kami meninggal kami bisa dimakamkan di perkuburan di kampung Karanggayam. Muslim dan Kristen bisa dikuburkan dalam satu kompleks penguburan di kampung.
Untuk Indonesia, persoalan “hidup” dan “mati” adalah sama penting karena melibatkan komitmen dari setiap anggota keluarga dan masyarakat untuk turut terlibat.   Kalau bisa hidup bersama ketika masih bernapas, maka masa sesudah kematianpun harusnya bisa dihadapi dengan baik.  Kematian melebihi  pesta pernikahan, tanpa undangan hanya dengan mendengar pengumuman semua orang  akan melayat apabila ada tetangga yang meninggal. Menghadiri upacara kematian adalah menunjukkan penghormatan yang datangnya dari luar lingkaran keluarga.

Memang logika hidup sesudah kematian yang dipraktekkan di Indonesia, juga sedang mengalami perubahan. Mulai ada pengelompokan tempat pemakaman menurut agama masing-masing.  Di Jakarta, lokasi penguburan dibedakan untuk masyarakat dengan perbedaan agama, walaupun sebenarnya ada dalam satu lokasi. Sementara tanda penghormatan melalui kehadiran tidak berubah.
Ketika grandma meninggal, Glen mendapat pertanyaan dari Boni. Kapan grandma akan dimakamkan? Glen katakan akan menunggu anak-anaknya dan sementara sebelum dikramasi, jasad grandma akan dibawa ke County Morgue. Boni yang praktek agama Yahudi menjelaskan bahwa dalam tradisi Yahudi, lamanya jasad sebelum dimakamkan adalah kurang dari 48 jam.  Aturan pemakaman bersifat fleksibel dalam ajaran kristiani di Indonesia. Jasad bisa dimakamkan menunggu keluarga tiba kurang dari 48 jam. Sementara Islam mengharuskan jasad dimakamkan sebelum  24 jam. Sebelum matahari terbenam, pada hari meninggal seseorang di hari yang sama ia harus dimakamkan.
Kelonggaran tafsiran dalam ajaran Kristiani memungkinkan penguburan grandma dilakukan dengan menggunakan kombinasi tradisi kramasi dan teknologi modern dimana jasad sebelum dikramasi bisa diletakkan pada ruang dingin yang menahan proses pelelehan jenasah. Dengan cara ini anggota keluarga bisa datang dari berbagai penjuru dunia untuk penguburan grandma. 
Kematian dan kerinduan memberikan penghormatan terakhir kepada jasad berbeda-beda di setiap tempat.  Berpikir tentang hal ini saya menjadi tenang. Dalam tradisi di AS, penguburan jasad hanya dilakukan untuk anggota keluarga saja.  Izin bisa diberikan kepada teman keluarga yang sudah diterima sebagai anggota keluarga seperti yang terjadi dengan Dr Choi dan isterinya, Aurita. Mereka hadir dalam pemakaman grandma.
Tetapi pengalaman tradisi pemakaman di Indonesia masih mempengaruhi saya. Kerinduan itu mendalam. Rindu menyentuh jasad grandma.  Kerinduan ini didengar Tuhan. Karena sehari sebelum abu kramasi dari jasad grandma di bawa ke rumahnya, kami diundang untuk menghadiri acara makan siang untuk menghormati  Virginia Hadsell.  

Virginia Hadsell berusia 90 tahun dan sedang mempersiapkan diri untuk meninggal.  Ketika kami masih di Indonesia, seorang anaknya, yang sekarang menjabat sebagai Presiden Harford Seminary, Heidi Hadsell menulis surat mengatakan apabila kami mau bertemu dengan Virginia untuk menyampaikan "goodbye". Kanker kulit yang pernah dideritanya, kembali kambuh.
Ia pernah menjadi ketua yayasan dari  Presbyterian Mission Homes di Berkeley. Pada waktu itu, Virginia membuat kebijakan tentang Indonesian House di mana saya dan beberapa teman bisa tinggal untuk belajar di AS.  Kebijakan Virginia ini telah menghadirkan banyak pemimpin-pemimpin Kristiani dari dunia ketiga untuk belajar di AS.  Dengan mengundang mereka tinggal di Presbyterian Mision Homes di Berkeley mereka mempunyai komunitas yang dapat mendorong menyelesaikan tugas belajar di AS dengan baik.
Pelaksanaan makan siang ini dilakukan bersamaan dengan pemberian beasiswa yang terbaru kepada calon penghuni Presbyterian Mission Homes di Berkeley yang khusus bekerja dalam arena hubungan antar agama. Dalam makan siang itu, Pdt Izak Lattu dosen dari UKSW yang sedang belajar S3 di GTU diumumkan sebagai penerima beasiswa dengan nama Scholarship of Virginia Hadsell.  Pdt Izak Lattu adalah lulusan angkatan pertama program S2 CRCS UGM di bidang studi antara agama dan budaya. 

Virginia belajar tentang hidup antara agama dan budaya dari anak-anaknya sendiri. Anak perempuannya menikah dengan seorang Iran, yang beragama Islam dan seorang lain yang menikah dengan seorang lelaki dari Brazil beragama Katolik. Virginia dikayakan dengan pengalaman hubungan antar agama dalam keluarganya sendiri.
Pada makan siang itu saya bisa melihat bagaimana seorang yang akan meninggalkan dirayakan bersama. Ketika semua sudah berkumpul di ruang pertemuan dari Piedmont Gardens di mana Virginia dan John, suaminya tinggal di rumah yang terawat baik untuk orang tua, Virginia dibawa turun dengan tubuh lemah yang berbaring di atas tempat setengah kursi roda. Kadang-kadang ia dibaringkan mendatar tetapi posisi kursi dibuat supaya ia bisa duduk ketika menerima  setiap orang yang datang menyampaikan pesan kepadanya.
Saya makin kenal Virginia sesudah diundang ke New York City, setahun setelah 11 September 2001 untuk mengunjungi berbagai komunitas muslim di New York City. Pada waktu itu saya masih belajar di Amsterdam. Virginia mengusulkan saya untuk menjadi anggota yang disebut Bi Nasional Service yaitu mereka yang punya pengalaman setidaknya tinggal di tiga macam negara yang berbeda dari budaya aslinya. 

Bulan Oktober 2002 saya berangkat ke New York City untuk belajar bersama dengan anggota Bi Nasional Service lainnya dari berbagai negara tentang Islam. Kami mengunjungi mesjid Afrika Amerika yang mempraktekkan teologi dan ritual Islam berbeda dengan tradisi Sunni dan Shiah. Kami juga mengunjungi mesjid Asia di New York City dan saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia di sana.
Sepanjang perjalanan di New York City saya bersama dengan Virginia duduk bersampingan di bus. Saya makin mengerti tentang semangat pembelaannya kepada perempuan dan anak-anak. Virginia menginisiasi berdirinya pusat turisme yang khusus melindungi perempun dan anak-anak dari trafiking. Ia mengunjungi negara-negara terutama di Asia untuk melakukan kampanye perlindungan perempuan dan anak-anak dari trafiking. Kepeduliannya mengundang gerakan anti trafiking di kalangan gereja-gereja Presbyterian untuk membangun kesadaran juga tentang produk turisme yang dibeli di AS.
Saya lihat kadang-kadang Virginia tertidur ketika seseorang datang untuk menyampaikan penghargaan mereka kepadanya. Tetapi sesudah semua tamu-tamu mulai pulang, sebelum Virginia dibawa kembali  ke apartemennya, Bernie meminta John dan Virginia berfoto bersama. Ketika itu, kami terharu melihat mata Virginia yang terbuka lebar bersinar biru memandang suaminya. Ada semangat yang keluar dari cinta  kasih mendalam kepada suaminya, yang juga adalah seorang teolog yang pernah bekerja di Korea Selatan dan beberapa negara lainnya. Virginia hidupmu dirayakan oleh kita semua.
Saya terutama merasa seolah-olah Tuhan menghibur hati saya karena ketiadaan jasad grandma diganti dengan kesempatan memberikan penghormatan pada hari Kamis tanggal 8 September 2011 siang hari kepada Virginia yang sedang menuju kematian. Virginia sehari-hari dirawat oleh petugas khusus dari Vitas, the Innovative Hospice Care di Berkeley.  Saya bisa menyentuh tubuh Virginia yang lemah. Saya mencium Virginia yang membuka matanya lebar-lebar. Ia tersenyum, matanya berbinar ketika saya menyebut nama sendiri: “I am Farsijana”. Air mata berlinang.
Bersyukur untuk hari yang diberikan Tuhan dengan perayaan penghormatan kepada Virginia, ada terang di hati saya ketika saya bangun di pagi 9 September 2011.  Hari ini adalah hari grandma.  Abu grandma akan dipulangkan ke rumahnya sebelum kami membawanya ke tempat di mana ia akan dibaringkan bersama suaminya, David  Adeney di Mountain View Cemetery.  Saya ingin grandma berada di rumah ini dengan rasa syukur dan penghiburan yang sedang saya rasakan. 
Jadi pagi-pagi saya bertanya sama Glen untuk mempersiapkan tempat di mana abu grandma akan diletakkan sebelum di bawa ke Mountain View Cemetary.  Saya membersihkan rumah dan memilih rak buku di tengah ruang makan yang di atasnya bisa diletakkan kotak plastik berisi abu grandma. Selendang biru yang saya bawa khusus untuk grandma saya jadikan taplak meja.  Foto keluarga, yang dibuat ketika perayaan 50 tahun pernikahan David dan Ruth Adeney yang diambil dengan semua anak-anaknya diletakkan di sebelah kiri pada rak itu.  Ada enam tempat lilin yang menyala dengan bunga indah dari kiriman orang tua Glen di Oregan.
Robbie, anak Glen berumur 4 tahun bertanya, "Why are you arranging this shelf?". Dia bertanya karena melihat saya memindahkan beberapa foto yang sedang terpasang di sana, termasuk foto saya sedang memeluk David dan Isabel dengan latar belakang pemandangan laut selatan di Alas Wegode.  Saya menjawab: "I am making a place for putting the ashes of grandma to honour her". Robbie terdiam. Kira-kira jam 11 siang, seorang mengetuk pintu. Saya tahu abu grandma sudah tiba di rumahnya. Kami sudah siap menerima grandma. Petugas itu, bernama Robert menyatakan belangsungkawa dengan mengatakan : "Have a good time to celebrate the life of Ruth Adeney". Kemudian ia meletakkan kotak abu grandma pada tempat yang sudah saya siapkan.
Hati saya bergetar.  Jasad grandma sekarang adalah serpihan abu yang bisa dikumpulkan dalam wadah yang kecil berukuran 20 cm panjang, 10 cm lebar dan 30 cm tinggi. Tidak ada lagu-lagu ketika abu grandma di sana. Saya pikir perasaan keluarga bercampur aduk. Perasaan sakit tidak dinyatakan. Air mata saya menetes. Saya memeluk suami erat.  Saya menyentuh lembut kotak bertulisan “Cremated Remains of Ruth Winifred Adeney. Date of Cremation 09/08/2011. ID # 05473. Oceanview Cremations, Hayward, CA.  Saya membisik, “Grandma welcomes home! Kemudian saya keluar rumah.
"I needed to go for a walk", saya membisik sendiri.  Saya sudah berencana ke toko bunga untuk memesan kran bunga yang akan dibawa ke Mountain View Cemetery. Jalan kaki ke toko bunga kira-kira 30 menit sangat menolong saya untuk menghayati perjalanan seorang manusia. Berjalan sendiri untuk mendekat dengan tanah dan langit. Setiap manusia akan pulang sendiri ke sang Pencipta. Berjalan  seperti berziarah, merenungkan tapak tilas diri. Di daerah University Ave, kira-kira 9 blok dari rumah grandma di daerah pertokoan saya menemukan toko bunga Darling Flower shop. Saya masuk dan bertanya apakah mereka bisa membuat kran bunga dalam waktu 30 menit. Mereka katakan bisa.  Saya tenang.
Toko ini adalah toko tiga generasi yang memulai bisnisnya sejak tahun 1932.  Pemiliknya adalah keturunan Italia, dari Sicilia yang tiba di AS tahun 1913 lebih muda setahun sebelum grandma lahir di tahun 1912. Saya memilih bunga chrysanthemum  tipe bunga tropis berwarna ungu, jingga dan putih dengan meminta diselipkan bunga-bunga kecil dan daunan hijau membentuk krans melingkar untuk grandma.  Kemudian saya meminta disiapkan kurang lebih 20 kartu kosong putih dengan amplop kecil yang akan saya berikan kepada setiap anggota keluarga yang hadir untuk menuliskan sesuatu kepada grandma.  Sambil menunggu saya bercakap dengan pemilik dari generasi ketiga, Michelle Assia, seorang mahasiswa sejarah yang sedang belajar di San Fransisco State University.
Sebelum jam 2 siang pada tanggal 9 September 2011 saya keluar dari toko bunga menggendong kotak berisi bunga berukuran panjang 70 cm dengan lebar 50 cm di bahu kiri berjalan pulang ke rumah grandma. 30 menit pulang memberikan pengalaman yang lain kepada saya. Untuk pertama kalinya seumur hidup saya menggendong barang di bahu sambil berjalan sepanjang trotoar yang ramai.  Beberapa kali saya mengubah posisi gendongan kotak bunga dari bahu kiri ke kanan kemudian diletakkan di atas kepala.
Saya seperti sudah dipersiapkan dengan pengalaman ketika bertemu petani-petani di Alas Wegode di Gunung Kidul. Saya berjalan sambil bersenandung lagu-lagu  "Kuberbahagia", lagu yang kami nyanyikan kepada ayahanda ketika ia meninggal 22 tahun lalu di Jakarta. Tiba di rumah semua anggota keluarga sudah bersiap akan ke Cemetery.  Ada kekuatiran di dalam hati mereka, bahwa saya tersesat. Tetapi saya tiba di rumah sebelum semua panik. Saya mempersiapkan diri dan berangkat bersama-sama mereka.
Iring-iringan mobil ke pemakaman menaiki bukit di mana jasad grandma akan dimakamkan. Dari Mountain View Cemetery bisa terlihat jembatan Golden Gate di teluk yang menghubungkan  San Francisco dengan Marine County. Ada 17 orang yang hadiri pemakaman grandma. Mereka adalah semua anaknya, sebagian cucu-cucu, semua cicit-cicit, menantu-menantu bersama dengan Dr Choi dan isteri. Setiap anggota keluarga memasukan amplop khusus dalam peti "fiberglass" yang sama berisi kotak abu grandma. Hanya grandma yang tahu apa yang ditulis masing-masing anggota keluarga. 
Bernie memimpin liturgi mengikuti The Book of Common Prayer yang diterbitkan oleh Church of England yang sangat mendalam dan indah.  Semua orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan kenangan tentang grandma.  Krans bundar mungil terbaring di atas makam.  Satu kembang lili yang sedang mekar disiapkan khusus oleh Jen Marion dibaringkan melintasi nama grandma. Serpihan bunga-bunga mawar dari kebun Rina ditaburkan dalam liang lahat.  Bunga-bunga lain dari keluarga diletakkan  sekitar makan grandma dan David Adeney.

Bernie mencintai grandma sebagai ibu yang pemaaf dan suka mengampuni. Ia tidak menyimpan kemarahan sampai mata hari terbit. Ketika Bernie masih muda grandma menyatakan keberatan kepadanya  karena memelihara  rambut gondrong.  Tetapi Bernie tetap gondrong selama bertahun-tahun. Grandma memaafkan dan mengasihinya. Ketika saya sedang berjuang untuk menyelesaikan S3, Bernie juga meneguhkan diri saya dengan menggondrongkan kembali rambutnya.  Ia baru memotongnya sesudah menyelesaikan lari marathon tahun 2005 di New York ING Marathon.
Keramahtamahan grandma dikenang oleh cucu-cucunya. Peter terutama membagikan refleksi mendalam tentang ketegangannya untuk tetap mengasihi dan mencintai grandma ketika dalam situasi demensia grandma seringkali tampil marah dan frustasi. Penuh emosi diri, ketika sharing Peter mengatakan  pengalaman demensia grandma mengajarkannya untuk menerima dirinya sendiri. Manusia memulai hidup dengan keindahan anak-anak tetapi bisa mengakhir kehidupan dengan ketidakberdayaan, kemarahan dan frustasi. Peter belajar untuk memaafkan dirinya dan mempersiapkan dirinya menerima grandma  sebagai bagian dari kehidupan yang mengalir dari awal hingga akhir. 

Saya terharu mendengar pengakuan Peter. Ketegangan dalam dirinya bisa dibahasakan mendalam yang mungkin sulit diungkapkan oleh Glen dan Rina yang sehari-hari selama 14 tahun berhadapan dengan kefrustasian dan kemarahan grandma atas ketergantungan dirinya pada orang lain. Kira-kira 3 tahun terakhir sebelum grandma meninggal, ia mulai tenang dan bisa menerima keberadaan dirinya. 

Mengabadikan kenangan bersama dilakukan dengan berfoto. Saya mengundang masing-masing keluarga dengan anak-anak berfoto bersama grandma di rumahnya terakhir. Ketika saya meminta Frances, bergabung dengan Bernie, Jen, Rina dan Peter, banyak  yang kaget.  Kematian grandma menyembuhkan kita semua, itu pikiran saya. Jen, Rina dan Peter merasa tenang bisa berfoto bersama orang tua mereka.  Sesudah semua berfoto, terakhir giliran Bernie berfoto dengan saya. Hati saya bahagia.    

Tadi malam, Minggu 11 September 2011 jam 19.30-22.00 dilakukan   “memorial service”  untuk grandma. Ada kurang lebih 200 orang hadir di gereja Covenant, gerejanya grandma.  Gereja ini mengenal David dan Ruth melalui salah satu bangunan untuk pusat belajar jemaat yang diberikan nama David dan Ruth Adeney.
Liturgi penuh dengan lagu-lagu yang disukai oleh grandma. Kami bernyanyi dan saya sangat bersyukur. The three brothers memainkan foto-foto slides tentang grandma sejak masa kecil hingga kesakitan masa tua. Suaminya, David Adeney karena tugas-tugasnya keliling dunia, sering meninggalkan grandma sendiri bersama anak-anak mereka. Grandma, perempuan kuat yang memelihara empat anaknya dalam berbagai perjalanan sendiri bersama mereka menyeberang dari satu benua ke benua lain.   Ada foto yang menunjukkan persiapan grandma dengan anak-anak kembali ke Cina. Mereka harus naik kereta dari pantai timur ke pantai barat kemudian dengan kapal ke Hongkong baru ke Cina daratan.
Orang-orang yang hadir diundang untuk membagikan cerita mereka tentang grandma.  Saya bersyukur bisa mendengar cerita-cerita yang belum pernah saya tahu sebelumnya. Seorang perempuan tua berbahasa Mandarin menyampaikan perasaannya kira-kira lima menit. Ia tidak mau berhenti. Kemudian seorang lelaki Cina menterjemahkan dalam bahasa Inggeris. David dan Ruth menyentuh hati orang-orang Asia, dan pemimpin Kristen Asia seperti dikatakan oleh salah satu mahasiswa David Adeney di DTC Singapore Dr Seyoon Kim.  Ia sekarang adalah dosen di Fuller Seminary di Pasadena, Los Angeles.
Sesudah semua refleksi selesai  Peter tampil memainkan tarian bola kristal sambil menceritakan terpatah-patah tentang perjalanan jiwa neneknya kembali ke Tuhan. Khaterine bermain piano dan Peter menari kira-kira 5 menit. Persiapan mereka untuk pementasan hanya 5 menit dilakukan di gereja ketika kami belum tiba. Khaterine melakukan improvisasi dengan lagu yang dimainkannya untuk menyeleraskan dengan gerakan tubuh Peter. 

Khaterine, gadis 24 tahun yang berasal dari Stuttgart Jerman, adalah calon dokter.  Pertama kali Peter bertemunya di kereta kemudian cinta kasih mereka bertumbuh sampai sekarang. Semula Khaterine menyesal grandma pergi sebelum bertemunya.  Michael, oom dari Peter menghibur Khaterine katanya mungkin lebih baik mengenal grandma melalui cerita-cerita tentang kehidupannya sebelum demensia daripada bertemu dengannya dalam keadaan menyedihkan. Pergolakan dalam bathin untuk menjawab tindakan mana yang tepat buat grandma membuat Khaterine meleburkan dirinya dalam nada-nada piano yang mencekamkan perjalanan dirinya  bertemu grandma. 

Banyak mata terpaku, berkaca-kaca membentuk danau kemudian menetes ketika Peter mulai berkata-kata bergetar. “Ruth is my grandmother. …  Peter melafalkan doa yang kenalnya sejak masih kecil. Doa ini diajarkan ayahnya Bernie. " Now I lay me down to sleep. I pray thee Lord my soul to keep. If I should die before I wake. I pray thee Lord my soul to take. …Doa disebutkan sambil melemparkan, menangkap  dan menyentuh bola kristal lembut.  Pdt Adrew menyampaikan khotbah tentang kebangkitan yang sudah dimenangkan oleh Kristus sehingga Ruth sudah berbahagia bersamaNya. Kematian ditelan oleh kebangkitan Yesus.
Peter menarikan iman Ruth dengan indah. Dalam tarian bola kristal,  Peter seolah-olah sedang memeluk lembut kemudian mengangkat tubuh neneknya mengangkasa ke langit.  Empat belas tahun lalu, berat badan grandma 90 kg tetapi ketika meninggal beratnya cuma 45 kg. Setiap gerakan Peter seolah-olah ia sedang terbang bersama jiwa neneknya. Kemudian saya tahu tentang pengalaman misteri kira-kira 7 hari sebelum berita kematian neneknya diterima Peter. Ketika itu Peter sedang di kota Vordingborg di Denmark untuk menghadiri workshop artis teater yang datang dari seluruh Eropa. 

Dalam workshop itu Peter menerima pertanyaan tentang bagaimana merasakan wajah dengan perasaan. Kemudian ia mendapat ruangan yang disebut "wisdom" untuk menghayati kehidupan seorang  lansia. Dalam ruangan itu ada lemari pakaian. Ada suara yang meminta Peter untuk membuka lemari tersebut dan membayangkan pakaian mana yang disukai orang tua itu. Memasuki ruangan itu langsung Peter mengingat kepada neneknya, Ruth. Hatinya sangat tertekan. 

Rindu mendalam tiba-tiba datang kepada neneknya ketika diminta membayangkan dari berbagai permen yang ada dalam ruangan itu akan dimakan oleh neneknya. Terbesit, kalau ia ke Berkeley ingin langsung ke rumah neneknya untuk membelainya. Peter ingat, nenek Ruth yang selalu menyediakan kue-kue enak dalam tradisi minum teh sore.  Di ruangan yang menghadap ke pemandangan danau yang bening  Peter menulis perasaan hatinya kepada neneknya.  Peter berharap membacakan  tulisan itu kepada neneknya.

Workshop itu mempersiapkan Peter menyelesaikan pergumulannya menerima kelemahan tubuh manusia. Peter, seorang profesional menjadikan tubuh sebagai alat untuk menampilkan perasaan dan keindahan.  Bisakah  kerapuhan tubuh seorang lansia dihayati dalam keindahan gerak tubuhnya? Tersirat  pertanyaan itu datang padanya ketika pintu cinta dalam ketulusan kepada neneknya terbentang lebar di depan dirinya. 

Menghayati penderitaan nenek, merenungkan kekuatan yang pernah ada padanya menolong menghadirkan penerimaan diri. Kerapuhan dan kemerosotan fisik adalah bagian dari kemanusian. Cinta abadi dan kasih sayang menghidupkan jiwa yang hidup dalam kerapuhan fisik.  Vordingborg menolongnya menghubungkan kerentanan neneknya dengan dirinya sendiri yang akan merapuh termakan usia.

Resepsi yang dilakukan sesudah ibadah mengendapkan pengertian kami semua tentang hidup grandma ketika satu per satu tamu-tamu saling membagi cerita mereka  mengenai grandma dan David Adeney. Jam 10 malam tiba, masih beberapa orang yang sedang membersihkan ruang pertemuan di gereja.  Bernie dan saya berjalan pulang di malam sejuk awal musim gugur di Berkeley.  Setiap tiupan lembut angin menebarkan bau dedaunan pinus ke wajah saya. Bau khas yang selalu dirindukan.  

Kami menjinjing  foto berukuran 1 meter kali 70 cm yaitu foto grandma dan suaminya berpakaian Cina yang  selama "memorial service" diletakkan di bawah altar dalam ruang ibadah. Langit biru. Bulan mengirimkan cahayanya ke bumi. Perjalanan grandma sudah selesai dan beristirahat di rumah Allah.  Tinggal kami yang terus berjalan di bumi.

Keramahtamahan grandma dan kehidupan di AS


 Keramahtamahan grandma dan kehidupan di AS
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta 

Minum teh panas menolong mengurangi rasa dingin di Berkeley. Saya selalu merasa dingin kemana saja saya pergi melewati atmosfir tropis. Ketika di Amsterdam, di musim dingin, saya pulang dari kantor ASSR-UVA di Kloveniersburgwal bersepeda kembali ke apartemen saya di Kinkerstraat, tiba di rumah segera saya ke kamar mandi. Air panas langsung mengucuri seluruh tubuh. Kemudian secepatnya saya menyusup masuk di bawah selimut tebal di mana terbaring kasur yang sudah panas. Ketika sudah merasa tenang sebelum tertidur, alat pemanas kasur dimatikan.
Di rumah grandma, di Grant Street adalah pertama kali saya menikmati teh sore dengan kue-kue enak.  Rasa kuenya masih tertinggal dalam ingat. Hanya ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, Peter dan Katherine datang ke rumah grandma membawa kue-kue yang dulu sering disajikan grandma dalam tradisi minum teh sore. Tertulis di bungkusan plastiknya, Mother’s cookies, California cookies since 1914.
Pertama kali disajikan teh oleh grandma ketika saya mengunjunginya sendiri. Saat itu  saya sedang mengikuti kuliah seminar dari Prof. Peter Evans di Fakultas Sosiologi University California di Berkeley (UC Berkeley).  Sebelumnya saya sedang belajar bahasa Inggeris di Syrcuse University Upper New York dan tinggal bersama Peter, Debra, Luara dan Natalie Bell.  Di rumah mereka, Bernie datang untuk melakukan upacara pertunangan dengan saya. Kemudian Bernie membawa saya ke Berkeley, kami berangkat dari pantai timur ke pantai barat dengan kereta  Amtrak.  

Di Berkeley, kami tinggal bersama beberapa orang di rumah yang disebut "Indonesian House" di  Presbyterian Mission Homes di Berkeley.  Grandma ingin kenal saya, sehingga ia mengundang saya ke rumahnya pada sore itu. Grandma membuat teh yang diletakkan pada “fine porcelain China” kemudian didorong dengan trolley ke ruang tamu.  Meja bertaplak putih berenda sudah disiapkan sebelumnya. Grandma meletakkan di atas meja tersebut. Saya diundang duduk di samping meja.
Tetapi grandma keluar melalui pintu depan. Saya bertanya-tanya. Tidak lama grandma kembali dengan seorang perempuan yang lebih muda dari dirinya. Saya diperkenalkan dengan Febe, yaitu tetangga disamping rumahnya. Kami menikmati sore yang indah. Grandma banyak bertanya tentang kehidupan di Indonesia walaupun bersama suaminya, David Adeney pernah ke Indonesia untuk mengunjungi anaknya Bernie dan keluarga yang tinggal di Salatiga.
Sekarang saya menikmati teh sambil semua ingatan dengan grandma memutar balik dan datang ke bayangan saya. Setiap orang sedang mengingat sesuatu tentang grandma dan keluarganya. Bernie sedang mempersiapkan liturgi untuk ibadah pemakaman di Mountain View cemetery pada hari Jumat, tanggal 9 September 2011 dan ibadah di gereja hari Minggu tanggal 11 September 2011.
Kakaknya, John sedang menyeleksi foto-foto untuk mempersiapkan foto slides pada ibadah syukur besok Minggu. Dua tahun lalu, John dan Carol tinggal di apartement kami dan selama tiga minggu melakukan scan untuk foto-foto keluarga yang berkarton-karton. Sekarang mereka bisa menggunakan foto-foto tersebut dari kerja keras John dan Carol. 

Michael sedang mempersiapkan obituary dari grandma.   Perjalanan kehidupan 99 tahun grandma seperti film yang menyeleraskan antara gambar dan kata-kata yang keluar dari setiap anak-anaknya.  Foto-foto menyimpan sekaligus meringkas kenangan dalam bahasa  yang bisa menghadirkan kembali perasaan mendalam ketika peristiwa itu terjadi. 
Sambil memegang erat cangkir panas saya sedang mengalihkan kenangan suami dan saudara-saudaranya ke dalam pengertian sendiri. Kekayaan kehidupan diakui ketika seseorang masih kuat. Tetapi grandma yang saya kenal sebagai seorang yang ramah penuh kasih sayang tiba-tiba makin menyusut kesehatannya sehingga akhirnya seperti hidup dalam dirinya sendiri. Saya ingat beberapa kali merawatnya bersama suami supaya memberikan waktu liburan kepada Glen dan Rina serta anak-anak mereka sesudah waktu yang lama memelihara grandma.
Giliran saya merawatnya, saya menggunting kuku kaki dan tangannya. Memandikan dan mempersiapkan makanan sesuai dengan ukuran yang diatur oleh Glen. Ia menyerahkan dirinya untuk dirawat. Tetapi kadang-kadang ada penolakan ketika tiba-tiba ia sadar tentang dirinya.   Perubahan dari  seorang perempuan yang penuh kharisma dan mandiri menjadi seorang yang tak berdaya menyalurkan kemarahan tetap menyimpan keistimewaan di hati  semua anggota keluarga.  Cerita-cerita ketika grandma sebelum mengalami demensia makin kuat muncul dalam rangkaian kenangan keluarga daripada cerita kepahitan kefrustasian grandma sesudah ia menjadi sangat tergantung pada orang lain. 
Saya menarik napas mendalam. Saya mensyukuri kesempatan bisa mengalami keramahtamahan grandma.  Grandma membongkar bayangan saya tentang siapa orang Amerika.  Orang Amerika sama dengan manusia lainnya di seluruh dunia. Tradisi minum teh ini merupakan tradisi di kalangan keluarga Adeney di Norfolk, Inggeris seperti saya ingat bersama suami mengunjungi Uncle Harold, saudara lelaki dari David Adeney dan isterinya, Isabel. Keduanya adalah dokter yang lama kerja di Rwanda, Afrika. 
Aunt Isabel menyajikan teh dengan kue-kue yang waktu dimakan menggunakan sendok dan garpu. Minum teh dipandang setara dengan makan malam seperti yang saya alami di Inggeris.  Pada sisi tertentu, makna dari tradisi minum teh ini bisa disejajarkan dengan keramahtamahan dari makan sirih dan pinang yang selalu disajikan oleh orang-orang di pedesaan Halmahera di Maluku Utara ketika saya masih kerja di sana. Mereka tidak mempunyai apa-apa tetapi akan menawarkan sirih pinang sebagai pengganti minuman. Saya belajar makan sirih pinang di sana. Tanda keramahtamahan ada di mana-mana dari pedesaan di Halmahera, Amerika Serikat,  Inggeris dan di seluruh dunia.
Keramahtamahan grandma sekarang sedang dibayar kembali oleh orang-orang yang pernah dilayaninya. Sejak kami tiba, belum pernah seharipun kami tanpa kiriman makanan. Setiap malam ada satu keluarga dari gereja, tetangga atau sekolah Rina yang datang untuk mengantar makanan kepada kami.  Hari Rabu saya memasak karena makin banyak anggota keluarga yang mulai berdatangan. Saya buat nasi ala Spanyol dicampur dengan ayam, sosis;  sup wortel dimasak dengan celery kemudian diblender, roti dengan campuran cairan tomat yang dipanen dari kebun Rina dan sayuran baby buncis bawang putih dengan variasi kacang almond.
Tetapi malam itu ada satu keluarga, sahabat Rina dan Glen, Sharon dan Bil  yang memanggil grandma “Mrs Adeney” karena mereka kedua pernah bekerja membantu grandma, mengantarkan sepanci sup ala Cina yang berisi nasi dan roti.  Sebelum mereka pulang saya memberikan “kopi luwak” kepada mereka. Satu cangkir dari kopi luwak di daerah bay area harganya  $10. Malam sebelumnya guru-guru dari sekolah Rina membuat satu set "turkey dinner". Rina katakan kami lebih awal merayakan thanksgiving karena mencicipi sajian dinner kalkun  yang sangat enak.
Teman suami saya, Marry Ann, seorang Amerika Jepang yang juga kemudian menjadi teman saya, membawa daging,  tomat-tomat dan ubi jalar yang dipanggang. Ketika kami menikah Marry Ann membantu menterjemahkan puisi kami ke dalam gambar yang menggambarkan dua aliran sungai yang bertemu mengalirkan air ke seluruh bumi. Ini tentang cerita kami yang mempertemukan budaya Indonesia dan Amerika Serikat.  Sampai sekarang pun saya masih terus belajar mengerti budaya dan kehidupan orang Amerika. 

Rumah penuh dengan makanan dan sukacita. Sebelum makan bersama, kami menyanyikan setiap malam lagu-lagu yang disukai dari grandma. Doa makan dalam bentuk lagu berganti-gantian keluar dari ingatan anggota keluarga dan dinyanyikan bersama. Anak-anak Rina belajar lagu-lagu dalam bentuk doa sambil mendengarkan jetusan-jetusan dari grandpanesia tentang masa kecil mereka. Ada satu lagu yang sering dinyanyikan oleh David Adeney, hanya John mengingatnya. Lagu itu seperti lagu plesetan dalam bahasa Inggeris tentang David dan Ruth naik mobil bersama dengan anak-anaknya berjalan ke seluruh Amerika Serikat. Sesudah John selesai bernyanyi semua tertawa.
Karena anggota keluarga datang dari seluruh dunia, rumah grandma terbatas menampung semuanya untuk tidur di sini. Kakak John dan isterinya Carol bermalam di rumah Boni dan Paul,tetangga grandma yang sudah dua puluh tahun kenal dengan David Adeney. Boni dan Paul ke mana-mana harus menggunakan kursi roda.  Boni seorang Yahudi, dengan hati lembut menerima keluarga Protestan, kakak dari Bernie tinggal di rumahnya selama masa duka ini. 

Sebagian yang lain tinggal di rumah teman Peter, Anandamai. Suami dan saya tidur di kamar yang biasa digunakan grandma  sejak menempati rumah itu 35 tahun lalu.  Di kamar terpampang kutipan ayat kesayangannya di tempelkan di atas tulisan nama Adeney yang diukir pada sebidang kayu. "Trust in the Lord with all your heart and lean on your own understanding: in all your ways acknowledge him, and he will make your paths straight (Proverb 3:5-6).
Kami masak bersama. Kami membersihkan rumah bersama. Saya memijat anggota keluarga yang merasa capek. Ketika baru tiba, anak Rina, David dan Isabel sedang pergi mendaki. Sesudah mereka kembali, di malam itu David meminta dipijat. Saya masih capek jadi baru memijatnya besok hari. Carol menikmati pijatan saya ketika baru tiba dari Jerman. Frances dan saya mencuci barang-barang kotor bersama ketika mesin pencuci sudah penuh.
Peter dan Khaterine memilih satu malam untuk memasak makanan yang enak kepada anggota keluarga. Ketika Peter kerja di dapur, saya seperti melihat Peter sedang menari. Caranya memarut keju seolah-olah menunjukkan Peter sedang juggling dengan bola-bola di kedua tangannya. Peter pernah memberikan hadiah yang indah ketika ia berjuggling dengan bola-bola berwarna-warna yang bermuatan listrik pada pesta pernikahan kami pada New Year Eve di tahun 1997 di Berkeley. Peter membaca  tulisan Einstein’s dream sambil berjuggling. Ketika kata-kata terkait dengan waktu yang berlari cepat, bola-bola berwarna membentuk garis-garis waktu yang berserakan. Kemudian waktu berjalan melambat maka bola-bola berwarna mengulir indah dalam tarian diri Peter yang mempesona.
Malam tanggal 9 September 2011  sesudah abu grandma dimakamkan di Mountain View kami diundang makan malam oleh keluarga Choi, seorang pensiunan dokter dan isterinya di restoran  Hongkong East Ocean seafood Restaurant di Emeryville.  Dr Choi dan isterinya Aurita meminta izin supaya bisa bersama keluarga inti menghadiri upacara pemakaman grandma. 
Tujuh belas tahun lalu, Dr Choi juga hadir dalam pemakaman David Adeney kemudian membawa grandma dan semua anggota keluarga ke restaurant yang sama untuk makan malam. Sesudah 17 tahun kemudian, ada 17 orang yang hadir tadi malam dalam makan malam di restaurant itu. Keramahtamahan grandma dibalas oleh keluarga Dr Choi yang sudah mengenal David dan Ruth sejak tahun 1950an di Hongkong.
Wajah Amerika Serikat yang sering digambarkan di film-film Hollywood di mana masyarakat terpecah-pecah karena cara hidup individualistis tampil berbeda. Kebersahajaan dari sesama manusia di waktu kesusahan menimpa seseorang dan keluarganya ternyata membentuk orang-orang Amerika Serikat untuk membuka rumah dan dirinya membantu sesamanya.  
Ruang untuk keluarga disediakan oleh masyarakat.  Keluarga dibiarkan menyelesaikan dan mengurus semua proses penguburan, tetapi disela-sela kesibukan berbagai pengurusannya ada anggota keluarga lain dalam komunitas yang akan berpartisipasi meringankan beban dari yang berkesusahan. Tanda-tanda kasih terlihat ketika mereka mengirimkan makanan. Seolah-olah makanan merupakan tanda solidaritas yang paling dibutuhkan ketika kesusahan dari kematian menimpa suatu keluarga.  

Membebaskan keluarga berduka dari kewajiban memasak memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengurus semua proses penguburan jasad dan proses hukum lainnya yang harus diselesaikan. Ini mengingatkan saya kepada tradisi di Indonesia. Ketika ibunda bu Wati, pekerja rumah tangga kami, meninggal, kami mengizinkannya berada di rumahnya selama 40 hari.  Kesempatan itu penting bagi bu Wati sehingga ia bersama anggota keluarga lain bisa mengurus semua warisan ibundanya. 

Kami karena tugas masing-masing di berbagai negara, hanya bisa berada di Berkeley untuk seminggu. Sehingga tanda-tanda  belangsungkawa dihadirkan dengan perhatian yang lembut dan kemurahan yang menyentuh hati dari berbagai teman membantu berbagai urusan sesudah kematian grandma terasa ringan.  Saya menyimpan semua getaran belangsungkawa yang unik.  Kadang-kadang kemurahan, kebaikan tampil sangat personal menghadirkan makna tentang orang-orang beriman yang sedang  menghayati  dirinya sendiri.  

Melalui berbagi kasih  kepada mereka yang sedang berduka sebenarnya diri sendiri sedang dihiburkan.  Kasih menenangkan diri mereka yang beriman dalam tindakan berbagi untuk siap menghadapi misteri kematian yang datang kapan saja menjemput manusia. Seperti dikatakan dalam Alkitab, dalam spirit bersama Kristus ada kehidupan  sehingga kematian dengan sengatnya sudah dikalahkan. Ketakutan sudah berganti dengan damai sejahtera.

Selasa, 06 September 2011

Tanda-tanda kedekatan dengan grandma melintasi benua


Tanda-tanda kedekatan dengan grandma melintasi benua 
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

99 tahun umur grandma ketika berita kematiannya tiba kepada kami.  Dua hari sebelumnya, di pagi tanggal 30 Agustus 2011, kami sedang makan pagi yang dipersiapkan oleh suami. Bernie juga yang menata meja makan dengan indah. Semua dipanggil untuk duduk makan pagi bersama. Di tengah meja saya melihat botol madu sedang ditiris.  Saya takut botol yang dibalik dengan tutup menungging sebagai landasan bisa jatuh memecahkan piring-piring di sekitarnya. Jadi saya mengatakan kepada suami, saya lihat cara itu seperti permainan anak-anak. 

Bernie tertawa terbahak-bahak!  Kemudian ia  menjawab bahwa dirinya mewarisi cara hidup dari ibunya yang selalu hidup hemat. Sesudah itu, Bernie bercerita tentang kehidupan grandma. Grandma menurunkan sikap kehati-hatiannya dengan uang. Dengan spiritualitas pietisme seperti digambarkan oleh Max Weber dalam bukunya “Protestant Ethics”, grandma menolak menyajikan coca cola kepada keluarganya. Coca cola adalah lambang kenikmatan dan kemewahan.
Majelis gereja Kristen Jawa Sarimulya dan Pdt Gunawan  datang mendoakan kami ketika kami sedang makan malam.  GKJ Sarimulyo adalah gereja kami di Yogya. Mereka bertanya tentang tanda-tanda yang kami terima sebelum kematian grandama. Suami saya mengatakan tidak ada. Kemudian saya mengingatkan suami tentang peristiwa makan pagi pada tanggal 30 Agustus itu.  Sesudah Bernie selesai bercerita tentang peristiwa itu, majelis gereja mengatakan bahwa itulah tanda-tanda yang mereka maksudkan.
Orang Jawa apakah dia seorang Kristiani, Muslim atau Kejawen mencari tanda-tanda terutama apabila terkait dengan kematian. Kedekatan antara anak dan orang tua, ketika kematian menimpa salah satu dari mereka, ada tanda yang bisa dirasakan. Untuk suami saya, kejadian di meja makan mungkin dianggap hal yang biasa, karena sering kami membawa ingatan masa lalu dari cerita keluarga dalam kebersamaan ketika makan bersama. Tetapi sebenarnya di bawah sadar, ada ikatan bathin. Jadi cerita-cerita yang ditarik masuk dalam masa sekarang sebenarnya sekaligus mengikat pada kejadian-kejadian yang sesudah terjadi tetapi baru disadari yang ternyata sudah diberitakan lebih dulu melalui  tanda yang kemaknaannya belum disadari sepenuhnya.
Pertanyaan dari majelis jemaat itu mengingatkan saya kepada kejadian yang terjadi dengan diri sendiri. Ketika kami memastikan bahwa tanggal 2 September 2011, di subuh hari, kami akan berangkat ke USA, saya harus mempersiapkan berbagai hal supaya bisa disampaikan ke berbagai orang yang bekerja dengan saya.  Pada waktu itu saya membersihkan dompet kain dimana berbagai nota-nota belanja dikumpulkan. 

Di sana saya kaget menemukan salah satu dari anting-anting berwarna hitam.  Saya ingat saya meletakkannya di sana, ketika menyadari bahwa saya kehilangan satu anting saat menyopir. Kejadian itu terjadi hari Kamis, tanggal 26 Agustus 2011.  Tetapi karena saya sibuk, saya tidak mempersoalkan tentang satu anting sebelah yang hilang. Walaupun saya sempat kaget dan takut akan terjadi sesuatu.
Beberapa kali tanda kehilangan, kematian dari orang-orang terdekat datang kepada saya dengan cara secara tiba-tiba barang-barang yang saya sedang gunakan hilang.  Kematian ayahanda juga ditandai ketika saya kehilangan ikatan pinggang yang diberikan kepadanya kepada saya waktu masih remaja.  Saya tidak tahu di mana ia hilang. Tetapi sesudah turun dari bus ketika masih belajar dan tinggal di Jakarta, saya sadar kehilangan ikat pinggang. Saya ceritakan kekecewaan hati saya kepada ayahanda, yang pada waktu itu kelihatan masih sehat. Dua hari kemudian ayahanda meninggal.
Pada hari saya kehilangan anting sebelah, saya mampir di Mirota batik sesudah pulang dari kantor. Saya ke sana untuk memulai mencari oleh-oleh yang akan saya kirimkan melalui suami karena akan berangkat ke AS bulan November nanti. Memang bulan November masih jauh tetapi saya entah mengapa ingin ke sana mencari selendang yang khusus untuk grandma.  Jadi tiba di Mirota batik, saya senang mendapatkan satu selendang yang dibordir, berwarna biru laut tua. Bordirnya putih dengan umbai-umbai di kedua ujungnya. Saya tahu itu warna kesukaan grandma.
Kemudian saya mengambilnya bersama dengan satu selendang yang unik, sangat nyeni seolah-olah goresan-goresan biru dilukis di atas kain berwarna kekuningan oranje. Warna dan penampakkan selendang ini sangat cocok dengan selera seni dari anak Rina, Isabel yang akan berulang tahun ke-12 tanggal 3 September. Jadi saya kemudian membeli kedua selendang tersebut. Kedua selendang inilah yang sudah ada di rumah sehingga langsung dibawa ketika kami harus tiba-tiba berangkat ke Berkeley.
Ketika anggota keluarga yang tinggal jauh berulang tahun, kebiasaan di keluarga kami adalah mendoakan mereka dan membuat nasi kuning. Saya terpikir akan membuat nasi kuning kepada Isabel dan mengirimkan hadiahnya pada bulan November ketika grandpanesia berangkat ke AS. Cucu-cucu dari suami saya memanggil Bernie dengan sebutan “grandpanesia” yang berarti kakek di Indonesia dan saya dipanggil Ibu.
99 tahun hidup grandma. Saya seperti memasuki cerita kehidupan grandma sejak ia berumur 0 tahun sampai 99 tahun. September adalah bulan kelahirannya. Grandma selalu katakan bahwa Bernie adalah hadiah Tuhan kepadanya. Sesudah ia melahirkan bayi lucu yang diberikan nama Bernard Temple Adeney, tanggal 28 September 1948, esok harinya ia merayakan hari ulang tahunnya yang ke-36. 

Sesudah tiba di Berkeley, kami diberitahu oleh Glen bahwa ia menemukan buku album foto yang dibuat oleh Bernie sebagai persembahan hadiah pernikahan  50 tahun orang tuanya. Dalam foto album itu ada cerita grandma sejak sebelum ia dilahirkan sampai dengan perjalanannya bersama David Adeney dan semua anak-anaknya ke seluruh dunia.
Bernie sebenarnya sudah dipersiapkan oleh Tuhan untuk menerima kematian ibunya.  Hari Minggu tanggal 28 Agustus 2011 Bernie diminta berkhotbah di Yogyakarta International Congregation di Hotel Yogya Plaza.  Saya menghadiri kebaktian bersamanya. Khotbahnya tentang pemanggilan Musa oleh Tuhan untuk memulai tugasnya membawa keluar Israel dari Mesir.  Bacaan dari Kitab Keluaran 3:1-14 sangat menarik karena cerita tentang Musa adalah cerita tentang pemanggilan Allah kepada seorang manusia yang merasa belum siap menyanggupi permohonan Allah menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Musa adalah tipe pribadi yang kagok.

Tetapi Tuhan menyakinkan Musa untuk menerima panggilan tersebut dengan mengatakan bahwa penugasan itu berasal dari Allah sendiri. Musa ingin tanda bahwa penugasan itu adalah dari Allah.  Karena itu Allah mengatakan Aku adalah Aku yang memanggil engkau.  Tanda menjadi penting untuk Musa, terutama untuk menyampaikan penugasan Allah kepadanya sehingga bisa dipercayai oleh bangsa Israel yang ada dipembuangan di Mesir. Ketika itu, status bangsa Israel adalah budak-budak yang dibutuhkan oleh Firaun untuk membangun Mesir.  Tanda penyertaan Allah kepada Musa adalah sebenarnya tanda penyertaan Allah kepada Bernie. 
Sebenarnya hari Minggu tanggal 4 September 2011, Bernie dijadwalkan berkhotbah di GKJ Sarimulyo. Bernie sudah memilih perikop pembacaan untuk khotbah dari kelanjutan dari pembacaan kitab Keluaran seperti yang tertulis pada daftar bacaan Alkitab sepanjang tahun dari gereja-gereja sedunia seperti yang dicatat oleh kalender gereja Presbyterian Church di AS. Khotbah sudah siap. Majelis menelepon meminta bacaan perikopnya. Bernie masih harus memberikan daftar lagu-lagu ketika berita kematian grandma tiba.  
Diapit di antara dua penugasan berkhotbah di gereja, seolah-olah Tuhan mempersiapkan Bernie untuk menghadapi berita kematian ibundanya. Ketika ayahnya meninggal 17 tahun lalu, Bernie juga dijadwalkan berkhotbah di gereja GKI di Salatiga. Sesudah berkhotbah pada hari Kenaikan Yesus Kristus, Bernie baru berangkat ke airport di Solo. Kali ini, jarak antara waktu berkhotbah dengan berita meninggalnya grandma agak jauh sehingga harus berangkat sebelum berkhotbah.
Kami menceritakan semua tanda-tanda ini kepada majelis jemaat GKJ Sarimulya yang mengunjungi kami di malam itu. Mereka datang memberikan kekuatan kepada kami. Pdt Gunawan adalah mahasiswa saya dulu di fakultas Teologi UKDW. Ia sekarang adalah salah satu Pendeta jemaat kami.  Ia datang membawa kami dalam doa, menguatkan kami untuk menjalani perjalanan panjang kembali ke Berkeley. Mendoakan kami supaya kami tenang dalam kasih Allah mengiring pulang grandma. Saya meminta utusan gereja yang berjumlah kira-kira 6 orang untuk menyanyi sesudah berdoa. Mereka menyanyi lagu berbahasa Jawa, “Atiku tentram karo Gusti Yesus”.  

Sesudah kami, kakak dan adik-adik saya, serta anak-anak mereka makan malam bersama, baru majelis gereja tiba di rumah.  Lebih awal, saya sudah memimpin ibadah singkat dalam keluarga untuk menguatkan suami saya yang merasa sekarang sudah menjadi anak yatim piatu. Saya membaca dari kitab Mazmur 129 tentang bagaimana Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk melayani sesamanya. Kami merenungkan grandma yang diberikan kesempatan melayani keluarganya sehingga usianya yang ke-99.
Walaupun grandma sepertinya sudah hidup dalam dunianya sendiri, karena demensia, penyakit orang tua yang membuatnya lupa, grandma kadang-kadang terbangun dari tidurnya di kursi roda dan tersenyum. Saya masih ingat senyumnya yang kuat dan lembut sambil memegang tangannya erat seolah-olah tidak merelakan Bernie kembali ke Indonesia. Bernie membiarkan tangannya dipegang erat oleh ibundanya dan kemudian memeluknya mendalam. 

Grandma juga tersenyum setiap kali saya merawatnya. Ia paling senang kalau saya memasak kepada keluarga dan mereka semua datang ke apartemen kami untuk makan malam bersama. Kelembutan mata grandma terpancar keluar. Hati seorang ibu, hati seorang grandma menyentuh hati saya, hati seorang anak, anak menantu. Saya menciumnya. Ia menutup matanya tersenyum. Tahun lalu saya menyenguk grandma ketika ada tugas ke USA.
Diantara kakak beradik dari Bernie, mereka sempat merencanakan untuk akan melakukan ibadah syukur apabila grandma berusia 100 tahun. Semua anggota keluarga diberitahu tentang rencana ibadah syukur sehingga mereka bisa menabung untuk datang pada hari ulang tahun grandma tanggal 29 September 2012. Tetapi Tuhan mempunyai rencana lain dengan grandma.
Dipagi hari sebelum grandma meninggal, Glen berbicara dengan seorang tetangga yang mempunyai anggota keluarga hidup sampai berusia 110 tahun. Ibu tersebut mengatakan bahwa kita tidak pernah tahu cara Tuhan memanggil kita pulang. Saudaranya yang meninggal di usia 110 tahun meninggal sesudah ia buta, bisu, tuli dan lumpuh. Ibu itu mengatakan melewati usia 100 tahun seolah-olah saudaranya itu akan hidup selamanya. Ia masih kuat sampai akhirnya semua indranya menumpul sehingga sulit berkomunikasi dengan anggota keluarganya. Pada saat itulah, saudaranya dipanggil pulang.
Cinta kasih membuat manusia hidup umur panjang. Tetapi Tuhan punya rencana yang terindah untuk setiap insan ciptaanNya. Tuhan yang menciptakan, Tuhan yang mengambil. Itulah iman yang kami terima dari Allah.  Hari Minggu kami dihiburkan oleh khotbah dari Pdt jemaat grandma, Pdt Andrew tentang perihal kekuatiran. Kesusahan sehari cukup untuk sehari walaupun ada banyak kesukaran setiap waktu. Kata-kata firman Allah seolah-olah hanya hiburan bagi mereka yang susah. Tetapi kata-kata itu adalah kehidupan.

Mengundang Allah, mengundang Kristus masuk dalam kesusahan kita, menolong kita meneruskan kehidupan. Penderitaan yang manusia hadapi sudah dilewati dalam penderitaan Kristus yang mendatangkan kebangkitan.   Hidup sampai kematian Yesus adalah tampilan dari hidup sampai kematian manusia seperti terlihat dalam lingkaran kehidupan kita.  Pembacaan dari Matius 12 mengajarkan kita untuk menyerahkan hidup sepenuhnya dalam tangan Allah.

Kristus yang bangkit mengubah kematian fana manusia menjadi kehidupan selama-lamanya bersama Allah. Inilah harapan abadi dari hidup dalam Tuhan. Mengingat harapan ini, mengingatkan saya kepada iman grandma. Ia selalu bernyanyi juga ketika ingatannya mulai menghilang. Walaupun yang tertinggal hanyalah keyakinannya tentang kasih Kristus yang abadi kepadanya.