Translate

Jumat, 29 November 2013

Thanksgiving dan mas Willy!


 orm

Thanksgiving dan mas Willy !
Oleh Farsijana Adeney - Risakotta

Saya menikmati rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa . Saya bisa menulis dengan menarikan jari-jari kecil ini pada tombol komputer saya . Mengetik dengan 10 jari saya telah mempublikasikan banyak posting di blog saya . Blog saya telah berusia lebih dari dua tahun . Awal menulis dimulai dari kebiasaan berbagi tulisan kepada teman-teman saya di FB. Tetapi akses saya untuk posting dibloker oleh Hacker sehingga saya mulai menulis di blog kemudian dibagikan kepada pembaca umum. Tulisan saya di blog mulai  berkembang terutama sebagai tempat bagi saya untuk menjelaskan tentang alasan hidup bersama sebagai manusia dan alam demokrasi di Indonesia . Saya selalu menikmati menulis. Saya mendapat ide ketika saya sedang  jogging , saat mandi atau mengemudi .

Sekarang setelah kecelakaan mobil , saya tidak bisa berlari , tidak bisa mandi seperti biasa dan tidak bisa mengemudi , tapi ketika saya tertidur dengan kata-kata dan kemudian dibangunkan oleh frase yang siap sebagai tulisan . Saya sudah menulis sejak saya keluar dari rumah sakit . Seorang teman bertanya kepada saya berapa lama saya perlu waktu untuk menulis dalam kenyataan saya memiliki keterbatasan tubuh yang terbalut perisai . Saya tidak mengukur berapa lama saya menulis . Karena saya menulis untuk dua jenis pembaca , yaitu pembaca Indonesia dan mereka yang hanya dapat membaca dalam bahasa Inggris . Kadang-kadang saya menulis cepat karena jari saya tidak memiliki masalah untuk mengirim sinyal dari penangkapan ide-ide yang digabungkan ke dalam dari huruf-huruf yang berbunyi ketika pengetikan menjadi kalimat dengan sarat makna. Saya menulis dengan komputer tanpa melihat tombol . Ide-ide mengalir seperti cahaya yang menembus ke dalam dinding sekat untuk menghangatkan bagian dalam rumah . Ide-ide datang dengan cara yang berbeda dan mengalir  dalam ekspresi yang berbeda .

Dalam tidur saya tulisan-tulisan dirumuskan. Kejadian ini mengingatkan saya ketika siku kanan saya harus dibalut , pada hari berikutnya saya bangun dan dalam keadaan sebelum mengakhir doa, tiba-tiba saya mendengar suara yang mengatakan : " Pasir Pasir .. " . Saya bertanya: "Pasir.. Pasir..? Apakah saya harus melukis dengan pasir? " Kemudian suara itu menjawab : " Pasir ... Pasir" . Saya percaya bahwa suara itu dari Tuhan untuk saya. Saya bangkit dari tempat tidur untuk pergi mencari botol yang diisi dengan pasir . Saya mengoleksi pasir dari Bali . Saya kemudian mengambil pasir , dan meminta keponakan saya untuk pergi mencari semen berwarna . Keponakan saya kembali , saya sudah selesai melukis dengan pasir yang saya beri judul "Penari Kehidupan" . Lukisan ini berasal dari sebuah puisi yang ditulis dalam blog saya " Indonesianku Indonesianmu Indonesia untuk * Semua : . Saya mengutip puisi itu .


Sekarang mensujud menghormat mendalam
Peziarah kehidupan 
 Seperti  penari dengan irama gerakan dan kharisma
Sekarang menyentuh pikiran menggelorakan
Hati menyongsong diri 
 Kehidupan melatihkan   penari melepaskan  raga
dari duka dalam keindahan  
 Penari kehidupan pertemukan diri dalam lakon
derita  dengan keanggunan keabadian  


Setelah itu , saya melukis 11 lukisan dalam seminggu dengan tangan kiri saya. Selama masa melukis, satu hal terjadi . Dalam keadaan saya setengah tidur, sebelum saya bangun, saya berdoa, sebelum mengakhirnya saya melihat bunga putih yang sangat besar di depan saya . Saya terkejut dan menatapnya.  Lalu saya bangkit dari tempat tidur dan mencari kanvas untuk melukis . Dalam dua puluh menit saya sudah melukis bunga putih seperti yang ada dalam ingatan saya yang terus mengikuti saya ketika saya sedang melukis.  Saya memberi judul : " Indonesia menunggu cinta " . Lukisan ini mengikuti inti puisi saya yang memiliki judul yang sama . Saya mengutip puisi dan ingin menunjukkan itu dalam bentuk lukisan saya.

 

Bau berahi Menebar Tanah mengulum Melembut Sesudah panas Menarik
Rahim bumi Membuka
 Detik hujan Menguncup Pijakan tanah Burung-burung pulang Batas senja
Menunggu kembali Cinta
Bumi subur Tanah air Bumi indah Bangsa perkasa Bumi rahmat Negara santun
Sesudah datangnya Cinta 



 


Karena kecelakaan sampai sekarang , saya terus menulis . Tapi kemarin , saya berhenti menulis beberapa jam sejak 04:30 sampai 10:00 saya menikmati bersosialisasi untuk pertama kalinya dengan keluarga saya , bersama dengan keluarga pak Robert Hefner ,ibu Nancy Smith - Hefner dan dua mahasiswi  ICRS Yogya , bu Ninik dan bu Nina untuk merayakan Thanksgiving bersama-sama . Saya sangat senang mengetahui keluarga Hefner , terutama anak mereka disebut mas Willy .  

Saya tertawa ketika pak Hefner bercerita tentang mas Willy . Suatu hari mereka berada di Bali . Mas Willy berusia sekitar 3 atau 4 tahun . . Mereka berjalan dan ada orang-orang berteriak di jalan dan berkata , " Hey boy where you are going?. Anak kecil ini melihat mereka dan dengan bangga berkata : " Nama saya bukan “boy”, nama saya mas Willy " . Tubuh Pak Hefner ' menghentak.  Saya melirik ke mas Willy berdiri di dekat pintu sambil kagum pada kenangan masa kecil yang dihangatkan lagi oleh ayahnya . Mata mas Willy bangga dan bahagia ! Sedikit senyum di wajah mas Willy ' !

Saya menulis tentang mas Willy karena pada Thanksgiving , saya bertanya apakah Will senang dipanggil mas Willy , kemudian dia berkata ya sambil mengajukan kepalanya . Willy dibesarkan beberapa tahun di Indonesia ketika orang tuanya melakukan penelitian di sana . Sekarang Willy sudah lupa bahasa Indonesia , tapi tidak melupakan namanya mas Willy . Memanggil seseorang " mas " di Jawa  di Indonesia adalah untuk menunjukkan rasa hormat kepada anak yang dianggap berbeda dari anak-anak lain . Perbedaannya mungkin karena orang tuanya berasal dari keluarga bangsawan , atau berpendidikan atau dihormati . Nama aslinya adalah William . Sekarang di Boston di mana ia tinggal bersama orang tuanya , ia hanya disebut Will . Mas berarti kakak . Seseorang bisa disebut mas meskipun ia kecil tetapi dianggap memiliki kelebihan karena pengalamannya diperbesar oleh kekayaan pengaruh dari orang-orang di sekitarnya.   Willy lahir dari keluarga dengan pengalaman yang sangat mendalam yang menghormati Indonesia dan Islam .

Cerita Thanksgiving ada dalam pikiran saya sejak kemarin karena , pemuda tampan ini , masih bersyukur dengan nama yang diberikan oleh orang Jawa , " mas Willy " . Saya tidak mengingatkan semua yang hadir tadi malam tentang seorang penulis Indonesia yang besar , Rendra yang selalu disebut mas Willy.  Berbeda dengan Rendra , mas Willy ini adalah  anak seorang keluarga Hefner. Ia senang belajar ilmu alam dan matematika . Sekarang mas Willy sedang belajar di University of Maine , jurusan teknik mesin . Ia mengakui bahwa kurang baik dalam mata pelajaran sastra sehingga  tidak bisa mengikuti jejak orang tuanya yang belajar tentang budaya dan agama dari berbagai komunitas di seluruh dunia .

Ayahnya, pak Robert Hefner adalah seorang antropolog yang mempelajari Islam dari pandangan masyarakat dan budaya . " Ibunya, Nancy Smith- Hefner juga adalah seorang antropolog dengan spesialisasi pada gender dan pendidikan masyarakat . Dia telah melakukan penelitian di beberapa negara di Asia Tenggara . Kakaknya , Clarie juga seorang antropolog yang sedang menyelesaikan penelitian tentang remaja perempuan  dan pendidikan Islam di Indonesia . Memang  ia sudah lupa  bahasa Indonesia dan tidak ahli seperti keluarganya , tetapi Indonesia telah memberinya nama dan dia menerima warisan dari Indonesia , mas Willy . Pada tahun ini Thanksgiving , ia mengingatkan bahwa ia memiliki berkat Indonesia .

Bersama keluarga ini , keluarga kami , baik suami saya dan keponakan kami dengan kedua mahasiswa ICRS Yogya diundang untuk merayakan Thanksgiving . Bersama kami ada juga dua teman dari Claire . Luar biasa!  Ibu Nancy menyiapkan makan malam dan pesta Thanksgiving dengan memasak selama beberapa hari . Menu Thanksgiving yang beraneka ragam mengingatkan saya tentang makanan prasmanan dalam jamuan makan di Indonesia.  Pada Hari Thanksgiving , selain kalkun sebagai menu utama , ada kentang , jagung , petatas , sayuran buncis dimasak dengan susu,  sayuran segar seperti  salad, roti , saus cranberry dan berbagai masakan lain yang semua diolah dengan sangat enak.  Makanan pembuka  dengan berbagai macam keju yang dimakan dengan chip dan  sause mengundang selera makan.

Rumah yang hangat dengan perapian lebih wangi setelah kalkun dipanaskan . Kami menikmati kalkun yang dipotong dari seekor kalkun yang beratnya 22,4 pounds atau kurang lebih 10 kg. Bu Ninik mengatakan ukuran kalkun ini melebihi ukuran seorang anak bayi.  Pak Hefner membuka dengan berdoa Thanksgiving , seperti kiya sedang melantunkan doanya. Kiya adalah sebutan kepada seorang ulama. Tuhan Maha Besar terima kasih untuk kehidupan dan persaudaraan.  Makanan yang dikelilingkan sehingga setiap orang bisa mengambil bagiannya dan meletakkan pada piring masing-masing. Piring saya penuh. Kami makan, bercerita, tertawa ketika berbagi cerita . Pesta Thanksgiving sebenarnya adalah makan dengan kedalaman untuk saling berbagi cerita dari pengalaman masing-masing . Oh sungguh lezat!



Terima kasih banyak pak Hefner , bu Nancy , mba Claire dan mas Willy yang telah mengambil saya keluar dari rumah untuk pertama kalinya untuk bersosialisasi setelah kecelakaan itu . Saya menulis cerita ini sebagai tanda terima kasih kepada mas Willy yang masih senang disebut sebagai orang Jawa bahkan saat ini di keluarganya dia hanya disebut Will . Saya akan selalu memanggilnya mas Willy !



 

Kamis, 28 November 2013

Thanksgiving merayakan kehidupan dan perdamaian dengan sesama


 Thanksgiving merayakan kehidupan dan perdamaian dengan sesama

 Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Hari ini di Amerika Serikat, kami memperingati Thanksgiving yang adalah hari nasional. Ketika perayaan hari ulang tahun Columbus mulai diperingati oleh masyarakat Amerika Serikat, ada banyak protes. Protes terkait dengan pemahaman sejarah bahwa Columbus adalah pembuka jalan bagi perjalanan orang-orang Eropa pindah ke Amerika Serikat dan dilihat sebagai awal penindasan bagi masyarakat asli yang sudah ada di sini.

Mereka yang lebih dulu ada di sini disebut First Nation, sebagaimana dipopulerkan di Kanada, tetapi di Amerika Serikat tetap disebut penduduk asli atau orang-orang Indian. Thanksgiving sebagai suatu peringatan tidak sedikitpun ditolak oleh masyarakat di Amerika Serikat. Perayaan Thanksgiving adalah bagian dari pengakuan baik para pendatang maupun penduduk asli tentang kemurahan Sang Pencipta yang memungkinkan kehidupan ini terus berlanjut.

Thanksgiving berkaitan dengan ucapan syukur sesudah masa panen  terakhir sebelum datangnya musim dingin. Indonesia tidak mengalami musim dingin. Tetapi setiap pergantian musim, dari musim kemarau ke musim hujan di mana aktivitas petani tidak bisa maksimal untuk memanen hasil buminya, petani-petani merayakan hari thanksgiving. Di gunung kidul, di Yogyakarta, hari thanksgiving disebut hari Rasula, di mana para petani sesudah panen selesai melakukan doa.Perayaan Rasula dihubungkan dengan hari kelahiran Nabi Muhamad SAW.

Dimulai dari ladang dan kebun orang-orang  menaikan doa mereka sambil menaburkan air and bibit yang sudah tua dengan harapan masa panen akan datang lagi dan kelimpahan dari bumi akan tiba untuk menghidupkan manusia. Kegiatan doa di ladang dan kebun dilakukan masing-masing keluarga, kadang-kadang bisa bersama-sama. Misalkan ibu-ibu menari untuk menyampaikan ucapan syukur bagi hasil panen yang sudah melimpah. Ketika masa paceklik tiba, para petani tetap bersyukur. Mereka hidup sederhana dengan sangat hati-hati menggunakan stok padi dan makanan ubi-ubian yang ada, supaya tidak kehabisan pangan.  Pada masa inilah di antara petani saling berbagi makanan.

Thanksgiving sebagai perayaan di Amerika Serikat dan Kanada dilakukan dengan latar belakang praktek pertanian yang hampir mirip di Indonesia. Tradisi ini sudah dipraktekkan di Eropa seperti di Belanda ketika para imigran dari Inggeris berlabuh di Leiden dalam perjalanan ke Amerika Serikat di awal abad ke 17.  Imigran yang datang di Amerika Serikat pertama-tama ke New England. Boston saat ini masih menyimpan tanda topi dari kelompok puritan Kristen yang datang dari Inggris ke benua Amerika Serikat, pada Massachusetts Turnpike Tolls. Kelompok Puritan ini disebut Plymouth.



Mereka adalah kaum protestan yang berjuang untuk melindungi ajaran agama yang berbeda dari kaum bangsawan. Kaum puritan adalah masyarakat petani biasa. Transformasi kelas terjadi di Eropa terutama setelah Reformasi Protestanisme yang dipelopori oleh Martin Luther.  Inti ajaran Kristen dikembalikan dengan mencontohi kehidupan gereja mula-mula di mana setiap orang mempunyai akses kepada ajaran Kristen dengan membaca langsung kepada Alkitab, yang darinya iman bertumbuh karena kasih kemurahan dari Tuhan sendiri.

Thanksgiving mulai dirayakan di Amerika Serikat ketika para imigran tiba pertama-tama di New England yaitu daerah yang sangat indah karena dikelilingi oleh bukit-bukit, sungai-sungai dan danau-danau. Orang-orang tiba dalam keadaan kelaparan, tidak ada makanan kemudian disediakan makanan oleh penduduk asli. Mereka datang membawa turkey yaitu ayam liar yang hidup di hutan-hutan di seluruh benua Amerika. Apa saja yang mereka makan mereka membawa dan berbagi dengan imigran-imigran itu. Ada petatas, kentang, bit dan sebagainya. Mereka juga mengajarkan bagaimana mencari ikan, udang di sungai dan mengolahnya.  Kebaikan penduduk asli dirayakan sebagai berkat yang disyukur dengan mengundang semua orang dalam keluarga dan tetangga untuk makan bersama.

 


 


Thanksgiving memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk bersyukur dalam caranya. Menurut saya, Thanksgiving mungkin satu-satunya perayaan di Amerika Serikat yang tetap dipelihara sedekat mungkin sesuai dengan tradisi yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Di Amerika Serikat, Thanksgiving dirayakan pada hari Kamis dari minggu terakhir bulan November. Sedang di Kanada dirayakan pada minggu kedua bulan Oktober. Pada hari Thanksgiving akan ada makanan yang melimpah. Anggota keluarga akan mempersiapkan berbagai macam makanan yang harus tersedia sebagai menu untuk thanksgiving.

Thanksgiving menjadi perayaan untuk semua orang, bukan lagi adalah perayaan keagamaan. Thanksgiving merupakan perayaan terkait dengan pengakuan bersama mengenai hakekat kehidupan yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kehidupan yang terus berjalan dengan berbagai gejolak yang ada. Merayakan thanksgiving memungkinkan orang-orang untuk duduk bersama mengakui kesederajatan dan keindahan untuk berbagi.

Menu utama adalah turkey atau kalkun panggang yang dimasak di oven setelah dibumbui dengan rempah-rempah yang diolah dalam bentuk campuran yang disebut “staffing”. Staffing adalah roti yang dicampur bumbu-bumbu segar seperti bawang putih, bawang bombai, celery, dan lain-lain yang dimasukkan dalam tubuh turkey yang dijahit untuk dipanggang di oven dengan temperatur yang sangat rendah selama beberapa jam kurang lebih 8 jam.

Berat turkey tergantung jumlah orang yang makan. Untuk 12 orang mungkin perlu turkey sebesar 14,5 pounds. 2.2 pounds sama dengan 1 kg. Jadi 14,5 kira-kira 7 kg lebih. Memasak turkey yang besar perlu waktu sehingga dari pagi sudah dipanggang dengan api kecil sejak pagi dengan mencocokan waktu untuk makannya. Ketika orang-orang duduk di atas meja, maka kalkun panggang dikeluarkan dari oven untuk disajikan di tengah meja.   

Biasanya Thanksgiving dirayakan sebagai makan malam. Keluarga pak Bernie merayakan sekitar jam 3 sore. Tetapi bisa juga pada jam 5 sore. Jam 5 sore di Pantai Timur berbeda dengan di Pantai Barat. Di Boston sekarang jam 5 sore sudah seperti jam 7 malam di Indonesia. Pengurangan satu jam pada awal bulan November berpengaruh untuk mengurangi lamanya malam daripada siang. Tapi di pantai barat seperti di California yang berbeda tiga jam dari Boston masih terang pada jam 5 sore.
 

Kalkun panggang dimakan dengan petatas yang dihaluskan menjadi pure, ditambah kentang yang juga dihalus ( pure). Saya paling senang lihat piring orang yang membuat danau karena pure kentang atau petatas diisi dengan kaldu dari kalkun panggang. Disaji dengan Canberry saus. Pokoknya ada macam-macam makan yang membuat meja makan penuh dan indah.

Hari ini kami akan merayakan Thanksgiving dengan pak Robert Hefner, ibu Nancy Smith-Hefner dan keluarganya. Jadi lebih baik saya berhenti disini untuk menunggu kira-kira penyajian tradisional menurut keluarga Hefner-Smith apa ya. Sebenarnya bu Nancy sudah mengirimkan daftar menunya – wah ternyata sangat banyak ya makanan yang sedang dipersiapkan bu Nancy!
 

Bu Nancy mengatakan kita harus datang dengan sungguh-sungguh rasa lapar.  Tradisi makan dengan rasa lapar untuk menghayati kasih sayang penduduk asli dan cinta kasih Tuhan yang memberikan makanan melimpah kepada manusia. Makan dalam keadaan lapar juga membuat makanan yangn disajikan terasa enak, seperti ketika berpuasa.  Akan ada banyak makanan yang kemudian di simpan atau di berikan kepada anggota keluarga untuk dibawa pulang sebagai left over yang akan dinikmati untuk beberapa hari. Selamat merayakan Thanksgiving.

Senin, 25 November 2013

Memperjelas Dukungan Terhadap Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua


Memperjelas Dukungan Terhadap  Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
 

Saat ini saya sedang menyelesaikan pengetikan dan publikasi Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yang disunting oleh Charles Farhardian. Bukunya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Judul bukunya dalam versi bahasa Indonesia adalah Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua sedang dalam bahasa Inggeris berjudul the Testimony Project Papua. Buku ini sudah diterbitkan pada tahun 2007. Tetapi sayang hanya sesudah saya dan suami mengalami kecelakaan mobil yang sangat dasyat yang menyebabkan tulang belakang (T-11 dan L-4) saya patah, saya akhirnya mendapat buku tersebut langsung dari Charles Farhardian yang pada waktu itu bersama keluarganya menerima kami tinggal di rumah mereka di Santa Barbara. Pada artikel lain saya sudah menjelaskan tentang makna kecelakaan itu yang menurut saya terjadi supaya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh Papua di kamar Papua di rumah keluarga Farhardian.

Saat ini tangan kiri saya sedang dibalut dengan gelang berlapis plastik yang menjelaskan nama, tanggal lahir dan tanggal saya dibawa ke unit Gawat Darurat dari Ventura Medical Center di California Selatan. Ketika saya melihat tanggal kami mengalami kecelakaan, sebenarnya pada tanggal yang sama, 4 November 2013, di Jayapura terjadi protes dari mahasiswa terhadap RUU Otsus Plus yang sedang diproses oleh pemerintah daerah dan pusat. Kemudian puluhan mahasiswa tertanggap oleh polisi. Mengapa tanggal saya masuk rumah sakit sama dengan tanggal mahasiswa Papua ditanggap? Apakah saya dalam bawa sadar tahu tentang kepedihan orang-orang asli Papua sehingga teriakan mereka datang seperti angin yang tiba-tiba membuat mobil kami oleng dan akhirnya saya patah tulang sehingga bisa bertemu dengan cerita-cerita ini. Siapakah yang tahu?
 
              Gelang Pasien yang menunjukkan nama, tanggal lahir dan tanggal masuk UGD

Sejak tahun 2007 sampai sekarang, perlu enam tahun sebelum Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua bisa diketahui oleh kita semua warganegara Indonesia. Dalam artikel lain saya juga menjelaskan bahwa Kisah ini ternyata harus berjalan panjang dari Papua ke Santa Barbara, California kemudian ke Boston di mana saya sekarang tinggal untuk memprosesnya kemudian disebar luaskan melalui dua blog saya yaitu Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua yang ditulis untuk pembaca di tanah air dan PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity) yang ditulis untuk pembaca dunia terkait dengan keprihatinan saya terhadap ketegangan global dan pertarungan politik regional di berbagai tempat sehingga mengorbankan masyarakat sipil.

Saya meletakan terjemahan dari Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua pada blog PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity) karena selain publikasinya dalam bahasa Inggeris, persoalan konflik di Papua sudah terlalu lama terjadi dan sebaiknya mendapat perhatian masyarakat dunia supaya mendorong pemerintah Indonesia menyelesaikan konflik secara damai untuk mengakhir korban masyarakat sipil di propinsi Papua Barat yang sudah mencapai 100.000 jiwa sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti di Universitas Sydney, Australia dan Yale Universitas di Amerika Serikat.

Kepedulian saya terhadap Papua sudah lama, sejak saya masih kecil selalu mendengar cerita-cerita sebelum tidur dari nenek saya yang melahirkan ibunda di Serui, Papua. Tetapi secara akademik, perhatian saya terhadap Papua muncul ketika saya sedang menulis disertasi tentang kekerasan massa yang melibatkan komunitas Kristen dan Islam di Maluku Utara terlibat. Konflik sosial melibatkan agama telah menghancurkan kampung-kampung dan membinasakan masyarakat yang tidak berdosa.  Kehancuran dan bencana dari konflik sosial dengan muatan agama menimbulkan trauma yang panjang sebelum akhirnya masyarakat sendiri memulai proses perdamaian untuk memungkinkan para pengungsi kembali ke kampung masing-masing. Peristiwa yang terjadi pada masa transisi sesudah gerakan Reformasi berdampak terhadap situasi politik di sekitar Maluku dan Sulawesi. Konflik serupa muncul di Sulawesi Tengah, Poso dan Tentena, yang sampai sekarang masih menyisakan trauma sekaligus upaya dari berbagai pihak, terutama masyarakat sendiri untuk membangun rekonsiliasi.

Perpindahan penduduk berlangsung besar-besaran terutama dari daerah-daerah konflik di mana masyarakat yang mempunyai akses untuk pindah ke daerah lain karena tempat bermukimnya tidak aman. Sebagai contoh, perpindahan terjadi di Ternate, Tidore, dan juga di pulau Halmahera terutama untuk masyarakat dengan posisi sebagai pegawai negeri atau pedagang lebih mudah untuk pindah lokasi tempat tinggal. Tetapi masyarakat petani akan tetap berada di tempat pengungsian sampai mereka diizinkan bisa kembali ke desanya. Pada saat itu, terjadi perpindahan yang besar dari propinsi Papua. Masyarakat asal Tidore dan Ternate yaitu komunitas muslim yang sudah lama tinggal di Papua pindah untuk mengisi kekosongan dari masyarakat kristiani yang sudah meninggalkan Tidore, Ternate dan tempat-tempat lain yang mayoritas komunitas adalah muslim.

Hubungan antara Tidore dan Ternate dengan Papua sudah berlangsung sebelum kedatangan pedagang-pedagang barat yang dimulai oleh Portugis dan Spanyol. Orang Papua adalah pekerja-pekerja yang pada akhir abad 16 lebih tepat disebut “budak” dari kesultanan Tidore dan Ternate. Merekalah yang dipergunakan sebagai pekerja-pekerja di perahu-perahu dagang yang dikuasai oleh kesultanan Tidore dan Ternate. Sesudah perang antara Tidore dan Ternate, daerah Kepala Burung ditetapkan sebagai wilayah kesultanan Tidore sementara kekuasaan kesultanan Ternate meluas ke seluruh kepulauan Maluku, sampai ke pulau Timor dan Sulawesi. Penguasaan daerah-daerah ini diikuti dengan pengiriman anggota Kesultanan sebagai penguasa di daerah-daerah yang ditaklukan. Sekalipun penguasa ditempatkan di daerah-daerah tersebut, tidak otomatis masyarakatnya menerima semua kebijakan dari kesultanan.

Penolakan terjadi di mana-mana karena kebijakan kesultanan yang sekedar mengekplotasi masyarakatnya. Agama Islam hanya diterima di kalangan kesultanan, mereka yang mempunyai hubungan darah karena pernikahan dan mereka yang terlibat dalam bisnis rempah-rempah. Pada saat itu, untuk masuk dalam jaringan perdagangan dunia yang dikendalikan dari Kesultanan Otoman di Turkey dan Musgal di India Selatan, rekanan bisnisnya harus menjadi Islam. Ketika orang menjadi Islam, mereka disebut masuk Melayu karena pada waktu itu Kerajaan yang menguasai jalur perdagangan dari kepulauan nusantara adalah Kesultanan Malaka, yang berasal dari etnis Melayu. Kecuali keluarga-keluarga Kesultanan yang sudah ada, seperti Aceh yang belayar langsung ke Maluku seperti ke Banda Neira, maupun Kesultanan dari Utara, seperti Tidore dan Ternate bisa mempertahankan identitasnya sendiri karena mereka mempunyai wilayah kekuasaan yang terkait dengan jaringan perdaganan antara pulau-pulau. Kesultanan Malaka merupakan pintu gerbang dari bagian timur kepulauan nusantara untuk menjual hasil dagang buminya. Hubungan dagang keluar negeri dalam jaringan kesultanan India ke Eropa harus melalui Kesultanan Malaka. Saya menulis semuanya ini dalam disertasi, tetapi semakin jelas sesudah saya mengunjungi Malaka pada tahun 2011.

Tetapi resistensi dari masyarakat terhadap ekploitasi dari kepentingan bisnis Sultan-Sultan Islam ini sangat tinggi. Daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan-Sultan Muslim ini tidak otomatis mampu mengislamkan warga masyarakatnya karena mereka tahu tentang ketidakadilan yang dilakukan oleh kesultanan-kesultanan tersebut. Di Maluku Utara misalkan, daerah-daerah di pulau Halmahera di mana anggota keluarga Kesultanan dikirimkan sebagai pemimpin (Sangaji) untuk mengklaim daerahnya, warganya tetap melakukan praktek agama lokal.  Kenyataan ini bukan saja terjadi masa penguasaan Kesultanan Malaka, tetapi juga sesudah Malaka ditaklukan oleh Portugis sampaikan kemudian terjadi pergantian penguasaan daerah oleh pedagang-pedaganan VOC dari Belanda. 

Ketika VOC bangkrut dan pemerintah Belanda mengambil alih daerah perdagangannya, pendataan penduduk mulai dilakukan terutama untuk menarik pajak dari masyarakat. Misalkan di Galela, data yang tersedia baru ada pada abad ke-19, yang pada waktu itu keluarga Kesultanan Ternate sudah lama menjadi pejabat Sultan di sana yang disebut Sangaji. Tetapi jumlah orang muslim hanya 174 jiwa dibandingkan dengan total masyarakat yang ada waktu itu kurang lebih 1296 jiwa.  Dalam catatan pemerintah Belanda mereka yang belum beragama universal disebut "alfuru" artinya beragama nenek moyang (Adeney-Risakotta. 165-166).  Hal yang sama terlihat dengan daerah kekuasaan Kesultanan Tidore yang pulau Tidore dengan Kepala Burung di Papua.  Sekarang daerah Kepala Burung di sekitar Raja Ampat dengan pusatnya di Fak-Fak,  di mana masyarakat asli Papua beragama Islam sejak jaman penguasaan kesultanan Tidore  di abad 16 disamping Merauke dengan penduduk transmigran yang beragama Islam di tahun 1970an.   Hambatan bagi masyarakat untuk memeluk Islam terutama di Halmahera dalah ekploitasi dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kesultanan Ternate kepada penduduk dalam daerah klaim pemilikan teritori. Perampasan tanah rakyat menyebabkan masyarakat resisten terhadap berbagai upaya kesultanan menjadikan mereka sebagai orang-orang muslim.

Daerah-daerah ini dibiarkan oleh pemerintah Belanda sebagai daerah-daerah penguasaan kesultanan tanpa memberikan dukungan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia lainnya. Perubahan kebijakan Belanda baru terjadi pada di akhir abad ke-19 sesudah kebijakan Politk etis dicanangkan sebagai keputusan parlemen di Negeri Belanda. Untuk melaksanakan itu, pemerintah yang terbatas secara sumber daya meminta gereja-gereja untuk mengirim pekerja-pekerja yang bersedia kerja di Hindia Belanda menjadi guru, petani untuk menggerakan masyarakat menanam kopi, vanila, coklat, kelapa dengan tujuan eksport.  Pada abad inilah, banyak penduduk lokal tertarik menjadi Kristen karena pendekatan yang dilakukan oleh pekerja-pekerja gereja yang berbeda dari utusan-utusan Sultan.  Nilai-nilai yang dibawa oleh pekerja-pekerja gereja ini bisa diterima oleh masyarakat setempat. Nilai-nilai keadilan, kasih sayang, penghormatan, toleransi dan kerja untuk membangun keluarga dan masyarakat menjadi daya tarik bagi masyarakat lokal.

Penelitian saya menunjukkan pendekatan kemanusiaan yang dilakukan oleh para pekerja-pekerja sukarelawan dari gereja-gereja ini yang dilihat mengubah kehidupan masyarakat yang berada dalam kekuasaan kesultanan. Sultan Ternate sangat mendukung pekerja-pekerja gereja karena dipercayai bisa mengubah tabiat orang-orang Halmahera yang sangat ganas terkenal sebagai perampok pada kapal-kapal dagang baik kesultanan Ternate maupun pemerintah Belanda. Ternyata memang benar, orang-orang Halmahera berubah, bukan terutama karena menganut agama Kristen, tetapi karena profesi mereka dialihkan menjadi petani-petani yang tangguh. Hasil kerja keras mereka terlihat pada panen raya kelapa yang langsung ditampung oleh pedagang-pedagang Tionghoa bekerja sama dengan pemerintah Belanda untuk diberangkatkan ke Eropa.

Pada saat itu, kendali kekuasaan dari pemerintah Belanda hanya ada pada tingkat nasional dengan Batavia sebagai pusatnya, dan pada tingkat regional di beberapa tempat yang sudah tersedia infrastruktur dan sumber daya manusia yang terdidik seperti di Maluku Utara (Ternate), Maluku Tengah (Ambon), Sulawesi Selatan (Makassar), Timor Barat (Kupang), Jawa Timur (Surabaya), Jawa Tengah (Semarang), yaitu daerah-daerah yang mempunyai pelabuhan alam tersedia untuk menampung kapal-kapal dagang. Di pulau Halmahera, Tobelo adalah pusat pelabuhan karena topografi alam yang cocok untuk tempat berlabuh. Pemerintah Belanda juga menghindari jalur-jalur pelabuhan yang sudah terbentuk dalam jaringan dagang muslim. Karenanya, Batavia dibangun untuk menjadi pusat dagang yang menghubungkan antara dunia timur ke Srilangka kemudian ke Kerala (India Selatan) menuju ke Amsterdam dan Roterdam. Sebelum meninggalkan kepulauan Nusantara, kapal-kapal dagang Belanda mengisi batu bara di Sabang di pulau Weh. Jarak antara pulau Weh ke Banda Aceh kira-kira 2 jam dengan kapal berkapasitas muatan dagang. Saya menggunakan kapal cepat dari Ulee Lheu (baca:Ulele) hanya 45 menit.

Saya menulis artikel ini untuk menjelaskan hubungan antara agama dengan kebijakan sosial untuk memberdayakan masyarakat. Agama bisa dipakai untuk memaksa orang dan komunitas menjadi tunduk ketika penganut agama tertentu adalah pembuat keputusan dan pelaksanan program-program pembangunan. Kecenderungan ini hampir terlihat dalam sejarah penyebaran agama-agama di mana-mana di seluruh dunia. Agama sebagai ideologi untuk menyatukan masyarakat yang berbeda secara etnis, gender, kelas sosial sehingga bisa dikendalikan untuk mendukung program-program para pemimpin yang berkuasa di daerah-daerah tersebut. Fenomena penggunaan agama sebagai penyeragaman kepatuhan dari anggota masyarakat kepada pemimpin sebenarnya sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia untuk bebas memilih agamanya sendiri.

Situasi dunia sesudah perang dunia ke-II sangatlah berbeda. Kehancuran yang terjadi di Eropa sebelum perang dunia ke-2 juga dimulai karena ketegangan antara agama-agama, terutama di kalangan agama Kristen sendiri. Negara-negara di Utara Eropah saling bersaing antara Protestan, Katolik, Anglikan, Ortodoks. Masing-masing ingin menguasai dan memperluas teritori dagang dan politiknya. Saya lihat fenomena yang sama juga terjadi di dalam jaringan dagang muslim di bawah kendali Kesultanan Otoman, Musgah dan Kesultanan Moroco yang berbagi kekuasaan dengan Keluarga Kalifah dari Timur Tengah untuk menguasai Eropa selatan, dimulai dari Lisbon sampai ke Spanyol. Spanyol terbagi atas dua kekuasaan kerajaan Islam, dengan pusat Cordoba di kuasai oleh kesultanan Damaskus yang mengklaim dirinya sebagai keluarga langsung dari Nabi Muhammad (Syriah)  dan Granada sebagai pusat dari Kesultanan Moroco.

Persaingan kedua kerajaan Islam inilah sebenarnya yang melemahkan kolonialisasi Islam di Eropa Selatan sehingga kerajaan lokal, yang beragama Katolik didukung oleh Vatikan, Ferdinand bisa mengusir kedua kerajaan ini dari Andalusia. Saya bisa bercerita lebih mendalam tentang kehidupan kerajaan Islam di Andalusia panjang lebar sebagai bagian dari perjalanan saya ketika ke Lisbon meneliti arsip-arsip Portugis terkait dengan Maluku Utara.  Muslim di Andalusia disebut Moro karena mereka berada dalam dominasi penguasaan Kesultanan Moroko.  Adanya dua kerajaan Katolik yang hancur di Maluku Utara juga bernama Morotia. Selanjutnya bisa membaca disertasi saya.

Jadi kembali kepada diskusi sebelumnya, apakah rupa, bentuk, esensi agama yang hidup sesudah perang dunia ke-2 masih berwajah penjajahan ataukah merupakan agama yang diturunkan dari Sang Pencipta untuk kebahagiaan, keadilan, kesejahteraan, cinta kasih dan perdamaian umat manusia.  Tidak bisa dipungkiri, sejarah kepahitan agama yang tercatat di dalam kitab-kitab suci seringkali menjadi bumerang untuk dimasukan dalam ingatan penganut sebagai alat untuk memotivasi perjuangan membela agamanya yang konteks kehidupannya sudah sangat berbeda dibandingkan ketika tulisan-tulisan dalam kitab suci itu diturunkan sebagai wahyu untuk dicatatan sebagai peristiwa sejarah. Membaca kitab suci dengan pandangan agama yang luhur dari Allah hasilnya memang berbeda dengan membaca kitab suci dengan pandangan politik untuk menaklukan umat manusia. Menurut saya, agama apapun tidak bisa menaklukan umat manusia kecuali Allah. Orang yang membawa agama dari Allah bisa dinilai apakah ia orang beragama benar atau hanya menggunakan agama untuk tujuan politiknya. Seorang beragama berarti ia peka terhadap penderitaan orang lain. Upaya untuk menyeragamkan agama supaya orang-orang tunduk sebenarnya adalah penipuan karena orang-orang yang beragama ini ternyata tindak pernah menjadi orang yang betul-betul merdeka, sebagai anak manusia yang adalah ciptaan Allah dan karenanya ia bisa dikasihi berkembang bukan karena mengikuti kemauan manusia tetapi karena hatinya dicintai, dilindungi dikuatkan ditolong oleh Sang Pencipta.

Saya menulis artikel ini untuk mengklarifikasi kepada pembaca di Indonesia, bahwa saya sebagai seorang warganegara Indonesia merasa sangat terpukul membaca Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yang disunting oleh Charles Farhardian. Saya tidak pernah sadar tentang penderitaan saudara-saudara saya di Papua sampai saya membaca buku ini. Saya juga tidak bermaksud membaca buku ini kecuali karena saya dipaksakan oleh Tuhan harus membacanya. Kecelakaan mobil yang dasyat telah membawa kami ke rumah Papua dari keluarga Farhardian untuk bertemu dengan kisah-kisah yang menceritakan penderitaan saudara-saudara saya di tanah Papua.  Kami tidak pernah merencanakan tinggal di rumah itu, karena kami sudah dipesankan hotel terbaik di Santa Barbara untuk kami menginag selama memberikan kuliah di Westmont College.

Kuliah kami bertemakan kehidupan beragama dan upaya hidup bersama di Indonesia. Suami dan saya adalah intektual. Kami terikat sebagai pendidik yang mendiskusikan secara terpadu kajian agama dan politik sebagai bagian dari dimensi peradaban dan sejarah Indonesia. Tetapi juga menunjukkan perjalanan pribadi kami untuk membawa perdamaian dan keadilan di lingkungan tetangga dan masyarakat di Indonesia. Dengan pengalaman kami bekerja sama di antara penganut agama-agama di Indonesia, kami lihat adanya kekuataan untuk menjadikan Indonesia sebagai model di mana Islam, sebagai agama mayoritas mengayomi agama-agama lainnya. Kenyataan ini akan terus benar, karena pengalaman pluralis yang saya alami dalam keluarga sendiri. Pihak keluarga dari ibunda saya banyak yang muslim, tinggal tersebar di seluruh Indonesia. Kami juga mempunyai anak angkat seorang muslim. Kami lakukan semuanya dengan cinta kasih untuk membagikan kehidupan dengan sesama karena dengan cara itu kami juga diberkati sebagai anak-anak Allah di dunia ini. 

Tetapi saya selalu sangat sadar tentang ketimbangan yang terjadi dalam masyarakat terutama apabila masyarakat biasa menjadi sasaran kerakusan, kekuasaan dari para elit, militer untuk menguasai daerah-daerah yang sebenarnya bukan haknya. Keputusan saya untuk kerja dengan masyarakat di akar rumput di Indonesia dimulai dari penemuaan penelitian saya dimana orang biasa bisa dipakai sebagai alat untuk memanipulasi fakta dan mengadudombakan warga sehingga mereka terlibat dalam konflik sosial bahkan dalam kekerasan massa. Saya satu-satunya dari dosen yang mengajar pada program ICRS Yogya yang menulis bidang minat konflik dan kelompok marjinal. Saya tidak saya melakukan penelitian tetapi bekerja dengan kelompok-kelompok marjinal untuk menguatkan eksistensi mereka sebagai manusia di bumi Indonesia.

Saya menulis artikel ini untuk mengingatkan warganegara Indonesia dan dunia lainnya yang sedang ricuh dalam berbagai perang supaya makin berhati-hati dengan upaya kelompok-kelompok politik dan militer dalam membagi-bagi masyarakat. Setiap warganegara berhak untuk meminta rasa aman dari pemerintah yang berkewajiban memberikan perlindungan. Hak dasar manusia untuk berbahagian terkait dengan rasa aman tanpa ketakutan karena kebebasannya memeluk agama yang dipercayai dan beribadah, mengekspresikan diri dengan santun dan hormat dalam beragumentasi akan dihentikan karena yang bersangkut menjadi target untuk ditangkap. Hak-hak dasar lainnya yang adalah juga hak politik masyarakat adalah mempertanyakan kepada pemerintah  kebijakan-kebijakan yang dibuat bukan untuk memberikan kemanfaatann kepadanya. Baik Islam dan Kristen dan agama-agama lainnya percaya pemerintah adalah wakil Allah di dunia, tetapi keterwakilannya harus mencerminkan rupa Allah yang maha kasih, setia, kudus, pengampun dan pelindung. Sifat-sifat Allah ini apabila tidak ada dalam kepemimpinan pemerintah karena yang tampil adalah sifat-sifat pemaksaan, kebohongan, kecurangan, korupsi dan lainnya, maka sebenarnya ruang Allah sudah diambil kendali oleh kekuatan-kekuatan yang berakar dalam kelemahan manusia. Manusia bisa berkompromi dengan kekuatan-kekuatan egoistis, mementingkan diri sendiri dan kelompoknya sehingga memunculkan sifat-sifat kebinalan, kebuasan dari manusia yang menyerupai binatang.

Bahasa manusia mengungkapkan sifat-sifat kesetanan manusia yang bercongkol pada diri sendiri dengan kata-kata misalkan kebuasan, keangkeran, kebrutalan, kebinasaan, kekacauan, kericuhan, kemunafikan, kekerasan, keganasan, pengerasan, keburukan, kejahatan, dendam kesumat, kebengisan, kebiadaban, kekejaman, kegalakan, kekasaran, dan seterusnya. Bahasa manusia yang menunjukkan sifat-sifat kebinalan seperti saya jelaskan diatas sebenarnya bermuara dengan apa yang disebut kekafiran. Jadi orang kafir adalah mereka yang mempunyai sifat-sifat bukan dari manusia yang menyifati sifat-sifat baik dari Sang Pencipta tetapi sifat-sifat yang berasal dalam diri sendiri yang dikuasai oleh kekuatan yang disebut “Kesetanan” yaitu mereka yang haus pada darah manusia. Mereka inilah yang disebut “Kafir”.  Karena orang-orang yang menganggap dirinya beragama dan beradab bisa berkelakuan seperti kesetanan, dan mereka inilah yang menurut pemahaman bahasa disebut “Kafir”.

Mungkin dengan pemaparan yang jelas, langsung dan terus terang, saya bisa mengerti tentang apa yang harus orang Indonesia lakukan kepada saudara-saudaranya di tanah Papua.  Saya mendorong terus supaya saudara-saudara di Papua meminta haknya dari pemerintah Indonesia untuk melakukan dialog karena sudah ditetapkan dalam UU no 21 tahun 2001 yaitu Otsus Papua. Tanpa warga masyarakat mengerti tentang Rancangan UU Otsus Plus yang sedang dipersiapkan oleh pemerintah sekalipun sudah diakui bahwa Prolegnas 2013 di DPR RI tidak mencatat tentang muatan pembahasan RUU Otsus Plus tetapi toh pemerintah pusat dan daerah tetap ngotot perlu dilakukan.

Sifat pemaksanaan dan pelanggaran tata manajemen negara bisa terjadi karena pemerintah menggunakan kekuasaan yang sangat bertentang dengan semangat dalam merancang suatu UU terutama apabila melibatkan suatu kebijakan khusus untuk diperlakukan di daerah seperti Papua.  Saya juga berhak untuk bertanya kepada pemerintah karena produk UU apapun adalah hukum yang berlaku di tingkat nasional yang perlu mendapat perhatian dari warga negara Indonesia di seluruh tanah air.  Ketulusan pemerintah pusat dan daerah untuk mempertimbangan keinginan rakyat Papua adalah lebih baik untuk mengakhir masa jabatan Presiden SBY dengan aman dan damai yang akan dicatat oleh dunia sebagai seorang pemimpin menerima penghargaan perdamaian melalui  World Statesman Award  pada bulan Mei 2013 yang lalu.

Sabtu, 23 November 2013

Dua tulisan dari blog "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua" menduduki peringkat tertinggi dalam jejaring maya Papua


Dua tulisan dari blog “Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua” menduduki peringkat tertinggi dalam jejaring maya Papua

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Siang tadi sebenarnya saya sudah selesaikan pengetikan dan terjemahan untuk figur ketiga dari Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yaitu Willem Rumsawir, yang disunting oleh Charles Fahardian (West Papua: 2007).  Tetapi sebelum saya posting, saya melakukan perubahan terhadap tata letak blog “PIZZA (Peace Incredible Zoom Zone Authenticity) supaya bisa diperlihatkan kepada publik tentang jumlah pembaca dan entri populernya. Saya juga mensinkronkan semua blog saya dalam kendali Google + yang menyediakan fasilitas keterhubungan dengan berbagai portal lain yang menjelaskan tentang berbagai pekerjaan saya bersama masyarakat maupun secara akademis. 

Saya cukup puas dengan penataan kendali pengoperasian kerja saya di dunia maya. Kebahagiaan saya terbesar adalah semua yang saya kerjakan tidak mempunyai ongkos. Saya merasa telah menggunakan sistem internet dengan sangat baik. Dibutuhkan kecerdasan untuk mengerti logika kerja dari sistem blogging yang ternyata menyediakan sangat banyak kemungkinan untuk mewadahi pemikiran dan kerja-kerja nyata saya untuk tujuan perdamaian di Indonesia dengan dampaknya ke berbagai tempat lain di dunia ini.

Apakah dengan demikian saya menjadi makin matang dalam mengendalikan pengoperasian komunikasi di dunia maya? Pertanyaan ini penting saya renungkan! Saya sungguh-sungguh ingin membagikan tulisan-tulisan yang berangkat dari  kegelisahan diri yang ketika dituangkan sebagai suatu tulisan bisa tampil menguatkan diri sendiri maupun orang lain. Saat ini kelihatannya Papua menyita seluruh raga dan jiwa saya.

Tetapi saya bukan robot terutama dalam situasi menderita patah tulang belakng (T11 dan L4).  Saya juga harus kuat secara rohani dan jasmani untuk bisa mengolah dengan bijaksana dan cerdas kegelisahan diri sehingga berwujud dalam kata-kata yang membawa kepada kehidupan.  Karena itu saya menyelip beberapa tulisan-tulisan pribadi sebagai refleksi di antara publikasi dari Kisah Hidup Pemimpin Papua. Perjalanan untuk menyelesaikan kisah ini akan sangat panjang.  Baru sekarang saya sadar bahwa ada 12 tokoh Papua yang harus saya ketik dan terjemahkan ke dalam bahasa Inggeris. Dua darinya sudah dipublikasikan sejak saya keluar dari rumah sakit. Anehnya, saya diberitahu oleh dokter tentang lamanya waktu penggunaan body brace (perisai) untuk melindungi kerapuhan tulang belakang adalah kira-kira 12 minggu. Apakah ini nasib saya, setiap minggu menerbitkan satu Kisah Hidup Pemimpin Papua?

Saya sadar tentang penyembuhan diri yang harus dibebaskan dari tekanan apapun. Padahal cerita-cerita tokoh Papua penuh dengan tekanan, seluruh emosi dan keterkejutan tampil menguat dalam diri saya. Membawa kesadaran ini dalam dunia tulisan menolong saya mewaspadai keterjebakan terhadap kelemahan diri sendiri sebagai seorang manusia. Syukurlah keterbatasan fisik saya saat ini menolong saya bekerja seperti kura-kura. Saya tahu saya sekarang adalah mama kura-kura. Saya menyebut diri sendiri dalam bahasa Inggeris, sebagai Mama Turtle. Kalau saya sudah capek mengetik, saya berdiri dan senam yang saya sebut “Dancing of Mama Turtle”. Tapi ceritanya tidak harus sekarang, saya akan membaginya kapan-kapan. Sekarang saya mau memfokus dulu tentang Papua.

Mungkin untuk saudara-saudara Papua perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari sehingga seluruh perjuangannya di arahkan ke sana. Saya pikir tidak ada perbedaan antara saya dengan perjuangan saudara-saudara Papua, terutama sejak saya memutuskan memasuki pergumulan itu melalui gerakan membangun kesadaran bersama warganegara NKRI terhadap situasi di Papua melalui “Petisi Warganegara NKRI untuk Papua”.  Tetapi saya harus mengakui, bahwa perjuangan itu bukan sekedar menulis membangun argumentasi melainkan harus juga diimbangi dengan kegiatan-kegiatan langsung bersama para pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Ketika saya di Yogyakarta, saya melakukan hal itu. Beberapa kali pertemuan dan diskusi dilakukan termasuk penyelenggaran Festival Perdamaian Papua pada bulan Mei 2013. Sekarang situasi akan berbeda sehingga sangat sulit membangun komunikasi yang langsung menyentuh akar rumput.

Akan tetapi pengamatan saya ini ternyata harus diperbaiki, karena gerakan dari interaksi dengan para pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua masih tetap ada. Tanda-tanda itu bisa terlihat dari pemberian dukungan yang terus mengalir melalui tangan-tangan pendukung Petisi Warganegara NKRI untuk Papua yang mengklik LIKES terhadap page Petisi. Untuk itu saya sangat berterima kasih.

Tetapi tanda lain yang sangat mengejutkan adalah bahwa tanggapan terhadap posting saya terakhir ini malahan datang dari warga Papua itu sendiri. Ada dua posting yang hari ini menempati urutan teratas. Pertama, dengan menggunakan kata kunci “Benny Giay”, maka segera terlihat posting saya dengan judul Suara Kenabian Pdt Benny Giay kembalikan komitmen bersama untuk kesejahteraan, keadilan dan perdamaian di tanah Papua,  berada pada urutan ke-2 dalam pencarian melalui Googling.

Kedua, ketika kata kunci Benny Giay Papua diketik pada Google Search, segera terlihat dua hal. Pertama, Kisah Hidup Pemimpin Papua: Benny Giay  yang diterbitkan melalui blog  "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua" berada pada peringkat teratas tetapi sayangnya pencopotan tulisan tersebut dilakukan tanpa menjelaskan sumbernya yang sebenarnya. Peringkat Pertama tsb menunjukkan bahwa tulisan dengan judul "Kisah Hidup Pemimpin Papua: Benny Giay" dipublikasikan oleh http://suarakolaitag.blogspot.com  Sesudah saya periksa dokumennya, ternyata yang diambil dari blog saya, tetapi yang tertulis sumbernya berasal dari  Sumber:   http://tigidoovoice.blogspot.com/. Kedua, saya mencoba membuka http yang tertulis pada sumber tersebut tetapi penelusuran itu tidak membawa saya kepada artikel Kisah Hidup Pemimpin Papua: Benny Giay yang adalah berasal dari blog saya. Foto-foto di bawah ini memperlihatkan maksud yang saya jelaskan di atas.

                                                        Kata kunci Benny Giay

                                                             Kata Kunci Benny Giay Papua
                         Penalayangan pada blog http://suarakolaitag.blogspot.com

            Penalayangan pada http://tigidoovoice.blogspot.com/

Apa yang bisa saya simpulkan? Menurut saya, orang-orang Papua sendiri belum banyak yang tahu tentang siapakah Pdt Benny Giay?  Saya sungguh berterima kasih bahwa cerita tentang Benny Giay harus mengalami perjalanan yang panjang dari Papua ke Santa Barbara kemudian ke Boston di mana saya melakukan pengetikan, penterjemahannya dan mempublikasi kembali melalui posting di dua blog saya yang akhirnya bisa dibaca oleh orang-orang Papua melalui internet pada blog "Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua".  Saya bersyukur bahwa kedua tulisan saya sekarang dibaca oleh sesama warganegara NKRI di tanah Papua.

Tujuan penulisan saya adalah membiarkan suara seasli-aslinya dari orang Papua diperdengarkan. Tujuan ini adalah juga tujuan dari penyunting buku Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua yaitu Charles Farhardian. Tanpa kerja kerasnya bertahun-tahun, saya maupun orang-orang Papua tidak pernah akan tahu pandangan, pergumulan dan harapan dari pemimpin-pemimpin Papua tersebut.  Karena itu, saya berharap saudara-saudara Papua bisa memperhatikan cara pengutipannya supaya sumber asli di mana tulisan tersebut diambil tetap diikutkan dengan sendiri.  Ini juga untuk menghindari  kesalahpahaman ketika tulisan diambil keluar dari konteksnya.  Ada masih banyak Kisah Hidup Pemimpin Papua yang harus saya publikasikan. Saya berharap di masa depan hal-hal yang tadi didiskusikan tidak terjadi lagi. Sesudah Amelia Jigabalom, Benny Giay, masih adalah 10 nama pemimpin yang belum saya posting. Saya sudah berjanji untuk melakukannya ke-12 figur pemimpin Papua sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan karena penyelamatanNya bagi kami dari kecelakaan yang mahadasyat.

Saya berharap tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh Papua ini akan memberikan pendalaman iman kepada sesama warganegara NKRI di Papua. Perjuangan penegakan keadilan dan perdamaian masih panjang, sehingga pengendalian diri dengan tujuan membangun kesatuan dari seluruh orang Papua untuk menyiapkan tanah Papua melakukan dialog dengan pemerintah harusnya tampil menguatkan saudara-saudara sekalian. Saya tahu, tulisan ini akan dibaca oleh semua orang di Indonesia, sampai dipelosok di tanah Papua.

Ketika dunia diubah oleh teknologi komunikasi, bentuk-bentuk kekejaman, kelaliman yang dulu bisa terjadi terutama menyebabkan warga sipil meninggal di Papua, sekarang ini tidak bisa lagi terjadi. Kalaupun peristiwa itu terjadi, akan segera di seluruh dunia tahu tentang apa yang terjadi di Papua. Jadi perjuangan saudara-saudara di Papua tidaklah sendirian. Menurut saya, perjuangan saudara-saudara adalah perjuangan  orang-orang asli Papua, baik Kristen dan Islam untuk membangun kembali tanah Papua, mengakrabkan tanah Papua sampai keberpihakan itu datang lagi kepada bangsa Papua. Tanah Papua tidak melupakan anak-anaknya yang kepadanya pewarisan kelimpahan sudah diturunkan kepada semua orang yang percaya bahwa cinta kasih adalah kekuatan yang menghapuskan semua ketakutan karena kepercayaan mendalam pada Sang Pencipta, Tuhan pemberi kehidupan itu sendiri.

Kamis, 21 November 2013

Merenungkan Papua, Menguatkannya!


 Merenungkan Papua, Menguatkannya!

Artikel ini juga bisa dilihat dalam versi bahasa Inggerisnya yang dimuat pada blog saya lainnya
http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/11/contemplating-and-reinforcing-papua.html
 
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Di tengah pengetikan kisah hidup tokoh-tokoh Papua saya tiba-tiba ingin menulis sebentar karena kegelisahan dalam diri.  Seorang teman menulis surat kepada kami dengan berharap saya tidak harus melewati penderitaan dalam diri sendiri untuk mencapai keadilan bagi orang-orang Papua. Rasa simpatiknya terhadap penderitaan patah tulang belakang sangat saya hargai. Tetapi mungkin kalau saya tidak patah tulang belakang, saya tidak akan berada di belakang komputer untuk menulis tentang penderitaan saudara-saudara Papua. Saya sudah menulis banyak sekali untuk forum Petisi Warganegara NKRI untuk Papua. Diantara tulisan-tulisan saya itu,  ada 40 tulisan yang dikompilasi bersama dengan satu tulisan yang masing-masing penulis yaitu  oleh Erich Kaunang dan Nano Apituley yang kemudian berwujud dalam bentuk  buku berjudul Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Adeney-Risakotta: 2013).

Artikel-artikel tersebut ditulis dalam berbagai tema terkait dengan kenyataan hidup orang Papua, kekuatan membangun Papua, pembangunan yang bertanggungjawab di tanah Papua, Perangkat Hukum sebagai dasar penguatan kembali  pemberdayaan Papua, dan Inisiatif Perdamaian Papua. Kajian sejarah mendapat tempat di bagian paling awal dari tulisan-tulisan saya sekalipun masih dinilai oleh novelis pertama perempuan, Aprila R.A Wayar belum merepresentasi situasi yang dapat mendorong munculnya diskusi mendapat di antara orang-orang Indonesia tentang Papua demikian halnya di antara orang-orang Papua tentang pergumulan kesejarahan mereka. Saya berharap upaya yang sedang  lakukan dengan mengetik keduabelas kisah hidup tokoh-tokoh Papua akan bisa menjawab komentar dari Aprila R.A.Wayar, terhadap upaya sesama warganegara NKRI dalam memahami bersama pergumulan orang asli Papua.

Akan tetapi harus saya akui,  sesudah hampir dua tahun bergelut dalam pendalaman materi-materi tentang Papua untuk tujuan pembelajaran bagi sesama warganegara NKRI untuk Papua, saya baru sekarang sungguh-sungguh merasa sangat sakit. Sejarah yang dimaksudkan oleh Aprila adalah sejarah perjuangan panjang anak bangsa untuk mempertahankan eksistensinya di tengah proyek menjadi manusia modern yang digagaskan oleh Indonesia.  Kepedihan ini ternyata mendalam karena kesakitannya melebihi  rasa sakit dari tulang belakang yang patah.  Kepedihan itu berhubungan langsung dengan jeritan penderitaan saudara-saudara Papua selama berpuluh tahun. Jeritan belum pernah saya dengar sehingga mengagetkan karena kekejaman yang menyerupai kebiadaban yang dilakukan oleh bangsa saya sendiri kepada sesama warganegara Indonesia di tanah Papua.  Sang manusia dalam kekejamannya masih bisa tersenyum menawan dalam keiklasan memohonkan pengampunan sebagaimana terlihat dalam melafalkan  ayat-ayat Firman Allah dalam syafaat dan penyembahan kepadaNya. Nilai-nilai luhur untuk mencapai masyarakat demokratis seolah-olah jelas pada saat penyembahan tetapi kemudian menipis bersentuhan dengan keganasan ankara raya.

Tidak mudah mengetik ulang cerita dari penderitaan orang lain, terutama mereka yang mengalami penderitaan karena pernah dipenjara, menjadi target untuk ditangkap bahkan dengan ancaman nyawa sekalipun. Menulis ulang dari cerita seorang yang menyaksikan kekerasan yang terjadi di depan matanya sendiri. Dalam cara mereka yang sangat berani untuk mengungkapan kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang melebihi kebrutalan seorang manusia, dalam kekuatan ini, saya melihat ada harapan untuk suatu kehidupan dibangun kembali dari orang-orang  terseleksi yang bertahan dalam kehidupan yang ganas di tanah Papua.  Muncul harapan saya kepada orang-orang Papua, para tokoh-tokoh Papua ini, karena ketahanan mereka menyebabkan mereka seperti emas yang berkilau. Ketahanan dalam memperjuangan keadilan sebagai haknya untuk hidup telah mendorong keberanian yang tulus tampil sekuat kehidupan itu sendiri untuk mengubah kenyataan dari nasib buruk yang sudah ditargetkan menimpa pada orang-orang Papua. Saya dikuatkan karena nasib buruk itu adalah pekerjaan tangan dari manusia yang kekuatannya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tangan Sang Pencipta yang menginginkan orang-orang Papua terus hidup mewarisi buminya sendiri.

Saya dibesarkan dengan cerita-cerita dari kakek dan nenek yang tentang ketulusan orang-orang Papua yang sekaligus sangat sensitif untuk bereaksi ketika mereka merasa ditolak karena perbedaan cara hidupnya. Pada awal tahun 1940an, orang-orang Papua di Serui masih menggunakan cawat bagi lelaki dan bertelanjang dada untuk perempuan. Kebiasaan ini sekarang masih dijumpai di beberapa tempat di pedalaman. Sekarang Serui dan Biak sudah menjadi daerah yang terbuka, yang sekaligus sebagai target turisme di mana orang-orang Papua dengan pakaian adat malahan didorong untuk tampil kembali dalam upacara-upacara untuk menyambut turis-turis yang datang ke Papua untuk melihat keeksotisan budayanya. Paket turisme yang menggagaskan jualan kebudayan yang beradab ternyata menyimpan kontradiksi terkait dengan fantasi kedirian manusia modern yang hilang tetapi terpelihara di dunia yang dianggap terbelakang, primitif dan bisa dibodohkan.  Ironis peradaban yang tampil elegan dengan kaya hidup ekslusif, perjalanan lintas dunia tetapi sekaligus dilakukan dalam mentalitas manusia yang cenderung memperbudak mereka yang lemah yang hanya bisa mendapat uang dari jualan budaya sebagai paket eksotisme yang memberikan pendapatan kepada negara tidak kepada artis-artis lokal yang dianggap tanpa kelas sosial.

                       Danau Sentani yang indah di Jayapura (Koleksi: Farsijana)

                                               Biak dilihat dari pesawat (Koleksi: Farsijana)

Padahal Papua melebihi semua yang dibangun sekarang ini sebagai keindahan dan kekayaan yang harus dibawa keluar dari tanah Papua meninggalkan kemiskinan dan kehampaan bagi orang asli Papua.  Kekuatan hidupnya bersama alam, dengan gunung-gunung yang menjulang tinggi, sunga-sungai yang melebar, dan penuh dengan kelimpahan makanan, kesatuan irama musik yang membangun kesadaran bersama orang Papua adalah bukti kehadiran Sang Pencipta yang kuat melindungi orang Papua dari kehancuran yang lebih dasyat. Lagu-lagu kehidupan yang dinyanyikan disela-sela kesulitan dan kekacauan memberikan semangat baru kepada orang-orang Papua untuk meraih kembali tahun-tahun yang sudah hilang dari dirinya. Ketika orang asli Papua bernyanyi lagu kebanggaannya,  Hai Tanahku Papua...

Hai tanah ku Papua,
Kau tanah lahirku,
Ku kasih akan dikau
sehingga ajalku.


Kukasih pasir putih
Dipantaimu senang
Dimana Lautan biru
Berkilat dalam terang.


Kukasih gunung-gunung
Besar mulialah
Dan awan yang melayang
Keliling puncaknja.


Kukasih dikau tanah
Yang dengan buahmu
Membayar kerajinan
Dan pekerjaanku.


Kukasih bunyi ombak
Yang pukul pantaimu
Nyanyian yang selalu
Senangkan hatiku.


Kukasih hutan-hutan
Selimut tanahku
Kusuka mengembara
Dibawah naungmu.


Syukur bagimu, Tuhan,
Kau berikan tanahku
Beri aku rajin djuga
Sampaikan maksudMu.


Dengan saya menulis rintihan harapan ini, sayapun dikuatkan kembali untuk meneruskan perjalanan panjang menyembuhkan diri sendiri. Kesembuhan yang datang bersama dengan setiap detak bunyi ketikan tuts komputer yang mengukir secara hidup  kisah hidup tokoh-tokoh Papua. Mereka inilah adalah pemimpin karena bisa bercerita sejujurnya tanpa rasa takut pada mimpi bersama untuk membangun kembali kekuatan yang tersisa dalam diri kemasyarakatannya suatu harapan yang tidak pernah lenyap, bahwa Papua adalah berkat dan kasih sayang dari Allah Yang Maha Kasih dan Pemurah. Pembebasan dari siksaan itu adalah hak Tuhan karena setiap orang dan bangsa yang memintanya akan mendapatkannya. Juga mereka yang bertujuan menghancurkannya akan merasa takut dan malu kepada perbuatannya sendiri yang atas nama peradaban ternyata telah melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangannya dengan keadaban itu sendiri.