Translate

Minggu, 22 Desember 2013

Merayakan Hari Ibu, Menguraikan Politik Perempuan Indonesia


 
 
                                      Kedua foto menunjukkan suasana belajar di akar rumput

Merayakan Hari Ibu, Menguraikan Politik Perempuan Indonesia

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

 

Hari ini, sebelum berlalu, tanggal 22 Desember adalah hari Ibu. Saya gelisah dari kemarin untuk menuangkan suara saya yang mengganggu tidur. California tidak seperti Boston, sehingga sesudah semua orang berbaring dibawah selimutnya, heather dimatikan. Saya sudah bangun pagi-pagi tetapi terlalu dingin untuk mulai menulis. Siang ini sesudah selesai menghadiri ibadah minggu advent ke-4 di First Presbyterian Church di Berkeley, saya minta suami membawa saya kembali ke rumah supaya bisa memulai menulis tulisan ini.  Sementara menulis saya harus berhenti untuk bergabung dengan keluarga.  Kegelisahan saya adalah bagaimana saya memaknai hari Ibu tahun ini?

Tahun lalu, pada hari Ibu, saya menyelenggarakan Sarasehan di kantor DPRD untuk menghadirkan wakil rakyat, terutama legislator perempuan, senator dari Yogyakarta yaitu Gusti Kanjen Ratu Hemas, dan masyarakat sipil di Yogyakarta untuk membahas bersama-sama topik “Pemberdayaan masyarakat sipil dan wakil rakyat dalam pemberantasan korupsi”. Tujuan penyelenggaraan kegiatan tersebut adalah mendorong komitmen wakil rakyat untuk membangun forum masyarakat sipil yang secara bersama sehingga bisa mengontrol kerja-kerja legislator dalam penganggaran dan pelaksanaan program yang dilakukan oleh pemerintah.

Tahun ini saya berada di Amerika Serikat sehingga kesempatan sekarang saya ingin membandingkan perayaan hari Ibu di sini dengan yang dilakukan di Indonesia.   Di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, perayaan hari Ibu dilakukan pada minggu ke-2 di bulan Mei.  Pada saat itu perempuan-perempuan yang adalah ibu dalam keluarga diberikan kesempatan untuk menerima pelayanan dan penguatan dari anggota keluarganya. Biasanya mereka dibebaskan dari tugas-tugas harian pada hari Ibu.  Di Amerika Serikat, keluarga-keluarga tidak mempunyai pekerja rumah tangga, sehingga pekerjaan domestik dilakukan oleh ibu, bapak dan anak-anak secara bergantian.

 

Sementara perayaan hari ibu di Indonesia terkait dengan perayaan penyelenggaraan Kongres Pertama Perempuan Indonesia yang berlangsung tahun 1928 di Yogyakarta. Tahun 1928 adalah tahun yang penting bagi orang-orang Indonesia yang pada saat itu sedang dijajah oleh Belanda. Pemuda-pemuda yang berasal dari daerah-daerah melakukan Kongres Pemuda dan menaikan ikrar yang terkenal yang disebut Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, isinya

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah jang satu, tanah Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa jang satu, bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 

 

Dua bulan kemudian, perempuan-perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi agama, sekuler melakukan pertemuan untuk membahas tentang peran perempuan dalam perjuangan pembebasan Indonesia dari penjajahan Belanda.  Organisasi perempuan yang hadir pada pelaksanaan Kongres Perempuan Pertama berjumlah 30 yang berasal dari Jawa dan Sumatera.  Kongres Perempuan ini menjadi sangat penting karena dilakukan pembahasan tentang peningkatan pendidikan kepada perempuan dan aksesitas perempuan untuk belajar. Kongres mendorong supaya pemerintah kolonial memberikan penambahan sekolah kepada perempuan dan intensif beasiswa supaya perempuan bisa belajar.

 

Mimpi perempuan-perempuan masa perjuangan terhadap perempuan Indonesia supaya bisa pintar sehingga mampu membuat keputusan penting untuk hidupnya.  Apabila perempuan pintar maka kemungkinan mereka terperangkap sebagai korban poligami bisa dikurangi. Begitu harapan para perempuan peserta Kongres Pertama Perempuan Indonesia. Kongres Pertama Perempuan Indonesia menjadi anjang di mana mereka bisa memikirkan persoalan yang ada dalam keluarga yang menentukan perjalanan bangsanya ke depan.

 

Kesadaran kesetaraan dalam perempuan Indonesia tampil kuat sekalipun semangat perjuangan mereka dilakukan tanpa kata “feminisme”.  Perempuan-perempuan dari berbagai latar belakang berkumpul untuk mencari jalan keluar.  Saya bayangkan mereka datang mengendarai kapal dari Sumatera kemudian melanjutkan dengan kereta api ke Yogyakarta.  Perempuan-perempuan di Yogyakarta yang mempunyai kesempatan untuk mendapat pendidikan melalui pendidikan Taman Siswa yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara membuka pintu kotanya untuk menerima perempuan-perempuan dari seluruh Jawa dan Sumatera berkongres.  Pendidikan adalah jendela untuk perempuan bisa mengatasi permasalahan-permasalahan dalam keluarga dan masyarakat.

 

 Penekanan perayaan hari Ibu sebagai suatu gerakan politik perempuan Indonesia sering kali melupakan tentang peran diri perempuan sendiri sebagai agen perubahan bagi sesamanya.  Perempuan-perempuan Taman Siswa yang dididik untuk mengerti tentang kekuatan pada dirinya seperti dilakukan dalam metode Taman Siswa, yaitu menjadi teladan apabila berada diposisi depan, membangun kemauan apabila berada di tengah dan berada di belakang dengan terus memberikan dukungan. Suasana pembelajaran yang setara telah menolong perempuan-perempuan melihat kekuatan pada dirinya sendiri.

 

Suasana inilah yang mewarnai Kongres Pertama Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1928. Perbedaan status sosial, agama, aliran politik tidak menjadi hambatan untuk perempuan duduk bersama membahas tentang persoalan mereka yaitu kenyataan perempuan lain di seluruh nusantara yang masih buta huruf.  Apabila perempuan bisa membaca mereka akan bisa terlibat membuat keputusan sendiri. Perempuan membuat mimpi pada dirinya sendiri selain memberikan tubuhnya dalam pernikahan. Kekuatan mimpi perempuan akan mengalirkan keindahan apabila perempuan mengerti keinginan dan mampu menyampaikan kepada keluarga, sesama dan masyarakat di sekitarnya.

 

Perempuan-perempuan yang hadir pada Kongres di Yogyakarta terinspirasi dengan kisah-kisah perempuan lain yang terlahir dalam masa penjajahan tetapi mampu melakukan perlawanan karena ketidakadilan yang dilakukan kepada warga di sekitarnya.  Kartini, namanya pada waktu itu sudah terkenal.  Kisahnya yang tragis meninggal sesudah melahirkan dan meninggalkan catatan dirinya yang memberontak terhadap struktur masyarakat ningrat yang melestarikan poligami digunakan sebagai contoh untuk mengupas banyak cerita senasib di antara perempuan-perempuan di seluruh nusantara. 

Harapan besar terlihat pada tokoh-tokoh perempuan dari daerah-daerah yang memimpin perang atas Belanda, Cut Nyak Dhien, Christina Martha Tiahahu, Nyai Ageng Serang.  Tokoh-tokoh perempuan ini sangat mencintai masyarakatnya yang berada dalam kungkungan penjajahan. Mereka berdiri menegakkan keadilan.  Pena adalah alat perjuangan mereka, tetapi juga kecekatan, kecerdasan dalam membangun taktik perang membuat penjajah kewalahan untuk berhadapan dengan mereka.

 

Saya ingat ketika mengunjungi rumah Cut Nyak Dhien di Aceh. Dengan keyakinan dalam iman Islam, Cut Nyak Dhien menyatakan perang terhadap Belanda. Rumahnya dipenuhi dengan doa-doa dalam bahasa Arab yang memberikan kekuatannya untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Suami pertamanya meninggal ditembak Belanda, kemudian Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar yang juga lebih dulu meninggal ditembak Belanda. Tidak ada pilihan lain, Cut Nyak Dhien bersumpah, dengan recong kecilnya ia menyatakan perlawanan kepada Belanda sampai akhir hayatnya.

 

Merayakan hari Ibu, menguraikan politik perempuan Indonesia, adalah membela hati perempuan-perempuan pejuang dalam sejarah Indonesia. Mereka hidup bukan untuk dirinya sendiri.  Mereka tidak mempunyai media maya seperti sekarang ini. Mereka berada di perbatasan terdepan melawan kebodohan perempuan sesamanya, melawan eksploitasi dan diskriminasi yang dilakukan oleh penjajah. Hidup mereka sangat sederhana.

 

Sekarang perempuan Indonesia, sekalipun masih terus berjuang mengisi partisipasi perempuan dalam politik, termasuk merepresentasikan perempuan lain dalam jabatan-jabatan politik negara, nasibnya semakin baik. Tetapi apakah demikian wajah perempuan Indonesia sesungguhnya. Komnas Perempuan menerbitkan laporan rutin tahunan yang masih memperlihatkan angka kekerasan yang tinggi di kalangan perempuan Indonesia.  Kekerasan yang terjadi karena konflik-konflik sosial di dalam masyarakat menyebabkan perempuan menjadi korban. Kekerasan dalam rumah tangga masih sangat tinggi sekalipun perempuan-perempuan aktivis dan parlemen sudah berhasil mendorong lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

Menguraikan politik perempuan Indonesia, memang tidak bisa sekedar berhenti pada penjelasan berapa jumlah perempuan yang duduk pada jabatan politik di parlemen, pemerintahan, atau perempuan yang sering memberikan ceramah untuk membuat kebijakan politik tetapi kasus-kasus kekerasan terus menguat dalam masyarakat.  Menguraikan politik perempuan Indonesia, adalah memikirkan secara strategis tentang pendidikan politik yang paling sederhana dilakukan kepada seluruh perempuan Indonesia.

 

Saya di sela tugas-tugas pengajaran, dalam pelayanan bersama Koalisi Perempuan Indonesia mengendarai sepeda motor menjumpai perempuan-perempuan di desa terpencil untuk secara bersama-sama membahas UU PKDRT yang dihasilkan oleh negara untuk melindungi perempuan.  Memfasilitasi perempuan di Gunung Kidul yang mempunyai tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia, supaya mereka bisa berbicara, memang memerlukan penghayatan untuk mengerti pergumulan perempuan-perempuan biasa ini.

 

Saya tinggal bersama mereka, mendengar cerita-cerita mereka, ke ladang dengan mereka, mengunjungi tempat-tempat di mana mereka bekerja sebelum pelatihan pendidikan pembahasan UU PKDRT dimulai. Kami bernyanyi bersama-sama. Kami menjelaskan satu demi satu kendala-kendala yang mereka hadapi dalam hubungan suami istri. Simulasi dilakukan ketika mereka masih sungkan untuk menceritakan pengalamannya sendiri. Ketika tiba-tiba semakin jelas terbentang dalam benak mereka tentang penderitaan dan harapan keluar darinya, mereka bisa merancang sendiri urutan tindakan mengatasi krisis ketika terjadi suatu kekerasan di dalam desa sendiri.

 

Perempuan akar rumput adalah fondasi pergerakan perempuan Indonesia. Perempuan-perempuan ini bukan sekedar memberikan hak perwakilannya kepada perempuan-perempuan yang berkapasitas untuk mewakilinya membuat perundangan yang berpihak kepadanya. Perempuan-perempuan akar rumput inilah sebenarnya inti dari pergerakan politik perempuan Indonesia. Perempuan-perempuan akar rumput mengingatkan perempuan-perempuan politikus menggunakan keterwakilan yang diterima dari masyarakat dengan bertanggungjawab sehingga tidak terjebak pada kelemahan manusia terjerat korupsi sehingga perjuangan mereka dari rumah negara harus berpindah ke rumah tahanan.  Perempuan-perempuan akar rumput inilah harusnya menjadi pencerahan perempuan politikus untuk mengingat panggilan sejati mereka melayani sesama warganegara yang diperjuangkannya. Kepada merekalah, saya ingin memberikan selamat hari Ibu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar