Translate

Senin, 30 September 2013

A student at the private Ob Anggen School, Bokondini, Tolikara.


A student at the private Ob Anggen school, Bokondini, Tolikara by Bobby Anderson 

published in

Inside Indonesia 113: Jul-Sep 2013 on the title



Under Papua’s 2001 Special Autonomy Law, the majority of Papua’s natural resource wealth is returned to the province. The law was meant to address both the sources of political unrest in Papua, and the challenges ordinary Papuans experience on a daily basis. For example, it was meant to increase Papuan access to government jobs and economic opportunities, as well as to health and education services. A dozen years and billions of dollars later, most Papuans still live in misery: they have the highest malnutrition, tuberculosis and HIV rates in Indonesia; they are the poorest; and they have the lowest rate of life expectancy.

Special autonomy has failed. But the greatest failure has little to do with the aspects of special autonomy that were implemented by Jakarta. Rather, it is the parts of special autonomy that were handed over to provincial and district officials: health and education services.

The autonomy cash cow

Many local officials and elites no longer see special autonomy as a means of development. For them, it is a way to access greater national subsidies, which they can take for themselves or spread through their patronage networks. For the elite, affirmative action is no longer a means to redress the under-representation of Papuans in official positions; instead, it is another way of milking the system. ‘No-show’ jobs have proliferated. Papua now has more than double the number of civil servants that it actually requires. This is an obvious benefit for those who get the jobs, but it has little value for those still locked out.

The failings of special autonomy are enhanced by the uncontrolled creation of new districts, sub-districts and villages under the process known as ‘pemekaran’ (proliferation).. In theory, pemekaran intends to make smaller government entities more accountable. In reality, it simply allows local elites to access funds while pushing ordinary Papuans further away from the services that could improve their lives. Special autonomy has created a dividing line between Papuan elites who benefit directly from it, and the majority of Papuans, who receive a pittance.

In previous articles (Living without a state; The middle of nowhere; Land of ghosts), I have explored particular regions in Papua’s highlands and lowlands. I have tried to bring to light the struggles and concerns of the people who live there – struggles which are divorced from the political discourses that many outsiders mistakenly believe are paramount in the lives of most Papuans. Now I aim to explain how Papuan governments are dealing with their people’s most pressing concerns in the era of special autonomy. In this article, I will discuss how and why the educational system has collapsed in the highlands. I will look at similar failings in healthcare in a later article.

The death of a system

In Papua’s highlands, the interplay of misused special autonomy funding; pemekaran; flawed human resource management; and local understandings of the nature of education, have combined to break the educational system. Almost nobody acknowledges these problems. Instead, a pantomime occurs where many government officials blame the poor education system,  lack of infrastructure, or even highland children themselves. Because of this misunderstanding of the problem, the solutions offered are flawed.

Papua’s 2010/11 provincial development plan for basic and secondary education(RPDP) indicates that school enrolment for children aged between seven and 12 throughout the province is 73 per cent. In other words, at least 100,000 out of the 400,000 children in the province are not in school. Junior secondary enrolment is 55 per cent and senior secondary just 37 per cent.

A grimmer and more realistic picture of Papua’s failing educational system in remote areas can be found in Yahukimo, a pemekaran district in the highlands (profiled in my earlier articles, ‘Living without a state’ and ‘The middle of nowhere’). District Department of Education figures indicate that only 18 per cent of children complete primary school there. Worse still, completing primary school is no guarantor of literacy. The majority of highland high school graduates are barely literate.

to be continued:



Terjemahan:

Kegagalan Pendidikan di dataran tinggi", dipublikasi di Inside Indonesia 113: Jul-Sep 2013 dengan  judul The failure of education in Papua’s highlands

Seorang pelajar di sekolah Ob Anggen, Bokodini, Tolikara, oleh  Bobby Anderson


Di bawah UU Otsus Papua 2001, sebagian besar kekayaan sumber daya alam Papua dikembalikan ke provinsi. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatasi baik  kerusuhan  politik di Papua dan tantangan pengalaman sehari-hari yang dihadapi masyarakat di sana.  Setidaknya, kebijakan UU Otsus Papua dimaksudkan untuk meningkatkan akses Papua dalam keikutsertaan mengelola pemerintahan,  mengakses peluang ekonomi, peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan.  Belasan tahun  eksplorasi sumber daya alam menghasilkan miliaran dolar tetapi sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kesengsaraan. Mereka mengalami kekurangan gizi,  tuberkulosis dan tingkat HIV tertinggi  i Indonesia selain  mereka juga yang termiskin  dengan tingkat terendah dalam harapan hidup.  Otonomi khusus telah gagal.   Tetapi kegagalan terbesar tidak ada hubungan dengan aspek otonomi khusus yang dilaksanakan oleh Jakarta, sebaliknya adalah  bagian dari otonomi khusus yang diserahkan kepada pejabat provinsi dan kabupaten. Sorotan kegagalan tersebut bisa terlihat pada pelayanan kesehatan dan pendidikan.


Otonomi Sapi Perah

Banyak pejabat lokal dan elit tidak lagi melihat otonomi khusus sebagai sarana pembangunan. Bagi mereka, otonomi khusus adalah cara untuk mengakses subsidi nasional yang lebih besar, yang bisa diambil  untuk diri sendiri atau menyebar keseantero jaringan patron klien yang ada. Untuk elit, tindakan afirmatif tidak lagi menjadi sarana untuk memperbaiki keterwakilan orang Papua dalam posisi resmi, melainkan merupakan cara lain untuk memerah sistem. Pekerjaan 'No -show ' (tidak hadir di tempat kerja) telah menjamur.  Papua sekarang memiliki lebih dari dua kali lipat jumlah Pegawan Negeri Sipil yang jauh dari kebutuhan.  PNS dimanfaatkan dengan sangat jelas bagi mereka yang mempunyai akses untuk mendapatkan pekerjaan tetapi  memiliki nilai yang kecil bagi mereka yang masih jauh dari aksesitas tersebut.


Kegagalan otonomi khusus diperkuat oleh kebijakan pengadaan dan pengendalian  kabupaten baru, kecamatan dan desa-desa di bawah proses yang dikenal sebagai ' pemekaran. Secara teori, pemekaran bertujuan untuk membuka akses dan mendorong akuntabitas terhadap  pemerintahan pada tingkat yang lebih kecil.  Tetapi kenyataannya, pemekaran  hanya memungkinkan elit lokal untuk mengakses dana sambil mendorong orang Papua yaitu masyarakat biasa makin menjauh dari layanan yang harusnya bisa memperbaiki kehidupan mereka . Otonomi khusus telah menciptakan garis pemisah antara elit Papua yang mendapatkan manfaat langsung dari kebijakan tersebut, dan sebagian besar orang Papua  yang menerimanya tanpa kualitas apapun.


Pada artikel sebelumnya
(Living without a state: The Middle of Nowhere; Land of ghosts), saya telah mengeksplorasi daerah tertentu di dataran tinggi Papua dan dataran rendah. Saya telah mencoba menunjukkan ke cahaya perjuangan dan kekhawatiran orang-orang Papua yang tinggal di sana, suatu perjuangan yang dipisahkan dari  wacana politik tetapi sekaligus oleh orang-orang di luar Papua sangat sulit dipercayai bahwa kondisi kehidupan yang sangat minim sedang terjadi dalam kehidupan kebanyakan orang Papua di sana.  Dalam tulisan ini, saya bermaksud untuk menjelaskan bagaimana pemerintah Papua berurusan dengan masalah yang paling menekan rakyat mereka di era otonomi khusus . Pada artikel ini , saya akan membahas bagaimana dan mengapa sistem pendidikan telah runtuh di dataran tinggi. Saya juga akan melihat kegagalan serupa dalam aspek kesehatan pada artikel selanjutnya.

Kematian sistem

 Pada dataran tinggi Papua, ada beberapa masalah yang saling tumpang tindih yang memecahkan sistem pendidikan diantaranya  penggunaan dana otonomi khusus yang salah,  pemekaran,  kelumpuhan manajemen sumber daya manusia dan pemahaman yang keliru tentang sifat pendidikan secara lokal. Hampir tidak ada yang mengakui kegagalan pendidikan dengan keterkaitan masalah-masalah yang saya uraikan.  Sebaliknya, banyak pejabat yang berpantomim dengan melemparkan kesalahan pada sistem pendidikan yang buruk, kurangnya infrastruktur, atau bahkan memojokkan anak-anak dataran tinggi itu sendiri sebagai penyebab kegagalan pendidikan. Karena kesalahpahaman terhadap masalah ini, solusi yang ditawarkan juga tidak mempan mengubah keadaan.


Rencana pembangunan 2010/11 provinsi Papua untuk pendidikan dasar dan menengah ( RPDP ) menunjukkan bahwa pendaftaran sekolah untuk anak-anak berusia antara 7 dan 12 tahun  di seluruh provinsi adalah 73 persen. Dengan kata lain, sedikitnya 100.000  dari 400.000 anak di provinsi ada yang tidak bersekolah. Sedangkan pendaftaran untuk sekolah menengah mencapai  55 persen dan sekolah menengah hanya 37 persen. Statistik ini menunjukkan suatu  gambaran suram yang dengan sangat realistis  sekaligus menggambarkan kegagalan sistem pendidikan Papua di daerah terpencil seperti ditemukan di Yahukimo, di sebuah distrik pemekaran di dataran tinggi sebagaimana bisa dilihat pada artikel saya sebelumnya. ( diprofilkan dalam artikel saya sebelumnya , Living without a state and The middle of nowhere). Data dari Departemen Pendidikan di Distrik menunjukkan angka bahwa hanya 18 persen dari anak-anak menyelesaikan sekolah dasar di sana. Lebih buruk lagi, mereka yang menyelesaikan sekolah dasar terkait dengan program pemberantasan buta aksara yang dilakukan kepada mayoritas dataran tinggi lulusan SMA yang ternyata masih buta huruf. Suatu bangunan baru diselesaikan untuk sekolah di Nalca, Yahukimo, tetapi tidak ada anak-anak yang pernah belajar di gedung sekolah ini.

berlanjut:


   









 


 

Rabu, 11 September 2013

Bersama Prof.Robert Hefner, Merayakan iman Islam Indonesia mempertanggungkannya kepada dunia!



Pengantar: Tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan yang berjudul "Together with Prof. Robert Hefner, Celebrating Indonesian Islamic faith accountable to the world!"
Link ke tulisan asli bisa dilihat pada
http://farsijanaforpizza.blogspot.com/2013/09/together-with-prof-hefner.html
 

Bersama Prof. Robert Hefner, Merayakan iman Islam Indonesia mempertanggungjawabkannya kepada dunia!

Sebuah refleksi untuk mengenang  peristiwa 11 September .


Oleh Farsijana Adeney Risakotta  * )


Serangan pada 11 September 2001 yang hari ini dirayakan untuk mengenang tragedi kemanusiaan di dunia modern saat ini. Tragedi yang menghancurkan dua gedung pencakar langit dari World Trade Center di New York City, termasuk 3000 orang yang berada di sana bersama-sama dengan orang-orang yang berada di pesawat yang digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan dua bangunan raksasa meninggalkan  adegan horor untuk semua negara di seluruh dunia. Sejak saat itu, kesan tentang kekejaman yang muncul pada kelompok-kelompok radikal Osama Bin Laden dan berbagai kelompok lain yang telah mengiring  Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan dan Irak karena negara-negara ini dianggap sebagai sarang teroris .


Setelah 11 September, gerakan untuk menyelaraskan peran agama dalam kehidupan publik terus mengalir. Para pengikut agama saling bertemu untuk membahas, menulis buku bersama-sama, melakukan pendalaman tentang iman mereka karena keinginan untuk menyelaraskan pandangan yang dibentuk oleh bencana dari  11 September terkesan  anti-Islam - modernitas, Islam adalah agama yang menang dari  penderitaan orang lain. Gerakan untuk memahami agama mendalam . Saya ingat beberapa orang Amerika menjelaskan bahwa sejak 11 September, banyak gereja penuh. Orang-orang mempertanyakan tentang agama mereka kembali secara mendalam untuk memahami peran agama dalam kehidupan manusia . Jika serangan 11 September terjadi, bagaimana peran Islam dalam membentuk tindakan seseorang untuk melakukan perbuatan keji seperti itu. Masjid membuka pintu untuk menjelaskan kepada warga Amerika Serikat tentang ajaran Islam yang mengajarkan kasih, pengampunan dan kepedulian terhadap orang lain.


Upaya untuk menggali pemahaman yang benar tentang kehidupan keagamaan dan sosial masyarakat di dunia masih terus berlanjut. Dunia membutuhkan penjelasan yang sulit ditemukan di tengah-tengah propaganda tentang wajah yang keras dan kejam dari agama tertentu sebagaimana tercermin pada kejadian 11 September. Islam menghadapi gambaran yang sedang memasuki satu periode demokrasi seperti yang dijelaskan dalam Arab Spring, seolah-olah secara drastis melakukan melakukan tindakan kekerasan seperti yang terlihat di Mesir dan Suriah. Kembali , wajah Islam tampil keras dan kacau.


Saya merasa gelisah tentang fakta bahwa sebagai orang Kristen, saya telah mengalami dalam hubungan mereka dengan saudara-saudara dan saudari muslim di Indonesia, berbagi hidup bersama yang menjadi ukuran dari praktik Islam berjalan dalam  jalan Allah. Meskipun pada tingkat politik nasional saya juga sangat kecewa dengan kebijakan di beberapa daerah yang menghasilkan Perda untuk menekan kelompok minoritas. Posisi kelompok minoritas setelah Reformasi adalah terutama melihat bagaimana kekuatan kebijakan daerah, kebijakan publik yang sangat politis bukanlah hasil dari produk hukum berdasarkan Sharia Islam.

Menarik untuk mendengar pandangan dari Prof Hefner dalam memahami bagaimana untuk melihat tragedi 11 September. Saya mewawancarainya kemarin sekitar 1 jam lebih. Prof Robert Hefner adalah seorang antropolog, seorang Profesor di Departemen Athropology di Boston University. Saat ini , Hefner adalah direktur Institut Kebudayaan , Agama dan Urusan Dunia disingkat CURA dari Boston University. CURA didirikan oleh Prof Peter Berger yang memiliki Sosiolog terkenal di dunia .


Sebagai seorang antropolog, Hefner memulai penelitiannya di masyarakat Tengger, Hindu di lereng lembah Bromo di Jawa Timur, Indonesia . Penelitian  memperlihatkan ketahanan masyarakat untuk mempraktekkan agama yang unik di tengah tekanan agama besar lainnya di Indonesia dan ideologi yang cenderung menyeragamkan masyarakat, Hefner kemudian semakin tertarik untuk memahami situasi Indonesia sebelum masa penjajahan. Proses menuju keseragaman agama dilihat dari upaya Departemen Agama untuk membuat definisi " Agama sesuai dengan ajaran agama-agama besar seperti Islam sehingga berpengaruh meletakkan praktek keagamaan masyarakat Hindu Tengger dalam kotak menurut definisi baku agama dari pemerintah .


Menghadapi fakta bahwa Islam telah memainkan peran penting untuk menentukan definisi Agama " yang dibentuk oleh Departemen Agama, Hefner kemudian mengembangkan minatnya dalam meneliti hubungan antara identitas agama dan pasar sebagaimana terlihat dalam kehidupan politik ekonomi suatu komunitas sehingga bisa menjelaskan secara makro peran agama setelah agama Hindu dan Buddha dengan kedatangan Islam dalam membangun masyarakat di seluruh Asia Tenggara.


Hefner memiliki pandangan yang sangat argumentatif  yang memperlihatkan  pertumbuhan arus baru dalam komunitas Islam di Indonesia untuk membentuk komunitas Muslim yang beradab. Setelah gerakan Reformasi dan diikuti oleh tragedi yang mengerikan,  11 September, di tengah berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di Indonesia dan menimpa minoritas , ternyata mayoritas umat Islam Indonesia sama sekali tidak terpengaruh, dan diprovokasi untuk kemungkinan pemisahan disebabkan oleh ketegangan global yang menyajikan penampilan Islam secara kejam. Indonesia telah mengalami beberapa serangan teroris di Bali ( 2002) dan di Jakarta ( 2009), namun komitmen pemerintah untuk menjangkau, merangkul kelompok-kelompok radikal di Indonesia telah membawa perdamaian, dan mengatasi gelombang kelompok radikal melalui persuasi dan pengenaan sanksi pidana kepada mereka yang bersalah .


Hasil apresiasi mendalam tentang ajaran agama, menyebabkan masyarakat muslim Indonesia muncul sangat dinamis dalam membangun bangsa bukan untuk memerangi satu sama lain termasuk untuk kontrol negara.  Arus baru tersebut menjelaskan bahwa kontrol Islam di Indonesia bukan pada penguasaan negara tetapi terutama pada pengembangan gerakan etika sosial yang didasarkan pada ajaran etika - Islam ( syariat Islam ). Umat ​​Islam Indonesia telah meninggalkan mitos kontrol negara , Hefner menunjukkan beberapa temuan penting dari penelitian . Perubahan ini tidak datang dari luar tetapi merupakan hasil refleksi mendalam tentang ajaran Islam itu sendiri seperti yang dibahas dalam " Akam " . Dalam " Akam " digambarkan Nabi Muhammad SAW yang memperingatkan bahwa kekuasaan sangat berbahaya bahwa ulama bukanlah pemimpin pemerintahan.  Masjid tidak dibentuk dengan kepemimpinan hirarkis  seperti yang terlihat dalam gereja untuk agama Kristen .


Menurut Hefner, serangan 11 September telah membuka dialog lagi tentang relevansi Islam dan demokrasi . Penelitiannya yang dimulai pada tahun 1999 bertujuan sebenarnya untuk menunjukkan wajah yang sangat berbeda dari Islam seperti yang ditemukan dari penelitian lapangan sebagai seorang antropolog . Penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia dan di negara-negara Islam lainnya juga muncul arus baru di mana tujuan aktivis Islam tidak lagi mengendalikan negara, tetapi pembentukan tindakan etis dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah cara berpikir baru tentang Islam dan Politik. Hefner membangun argumennya melawan  artikel yang kemudian menjadi buku kontroversial dari  Samuel Huntington , Clash of Civilization yang menunjukkan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi.


Memang, seperti yang diakui oleh Hefner adalah bentuk pencegahan yang diperlukan karena ketika demokrasi tiba akan ada banyak perdebatan bahkan sampai tindakan kekerasan untuk mempersoalkan tentang peran Islam dalam struktur negara. Sebagai masyarakat modern, dan Islam Indonesia modern di mana pun selalu tergoda oleh kekuasaan negara . Mereka pikir, ketika negara dikuasai semua masalah dapat diselesaikan. Pandangan ini sangat berbahaya karena masih banyak masalah yang tidak diselesaikan bahkan jika semakin banyak orang memperebutkan posisinya dalam mengontrol negara.


Sebelum 11 September pandangan Hefner ini sudah didengar oleh pemerintah Presiden Bill Cliton yang tidak sependapat dengan Samuel Hungtington. Hefner dan ahli lain Amerika tentang Islam, Prof John Espocito dari Georgetown University beberapa kali berkunjung ke Washington DC untuk membahas dengan para pembuat kebijakan dengan pandangan baru terhadap Islam. Hal lain yang harus dilakukan adalah memberikan pandangan umum bahwa negara-negara muslim terutama seperti Indonesia dengan  mayoritas muslim di dunia sedang bertumbuh meraih modernitas di mana  perdebatan tentang negara,  bentuknya dan aspek kewarganegaraan akan terus menerus tampil.  Mencoba untuk meyakinkan para pembuat kebijakan selama periode tersebut, tetapi kedatangan serangan 11 September telah membawa kembali beberapa keraguan tentang kesesuaian Islam dan demokrasi di dunia modern .


Makna ajaran Islam, pertanyaan doktrin dari Al Quran, Sunnah , ulamah adalah sama di mana-mana . Tapi agama sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, prakteknya  tampil berbeda seperti yang diamati mendalam oleh mata antropolog seorangi Robert Hefner. Untuk itu, kekuatan Islam di Indonesia  ada tiga hal menurutnya . Pertama adalah keterbukaan untuk membutuhkan pendidikan . Muslim Indonesia menginvestasi  untuk membangun akses yang sangat besar dalam dunia pendidikan. Kedua adalah dalam rangka untuk meningkatkan kualitas seorang muslim sebagai individu, setiap orang didorong untuk terlibat dalam organisasi kemasyarakatan. Ketiga adalah keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan mendorong munculnya rasa tanggung jawab kepada orang lain . Penekanan pada kemanfaatan bagi sesama ( maslahat ) adalah bagian dari agama kehidupan sehari-hari . Praktik-praktik keagamaan yang berasal dari ajaran iman, Sunnah , Al’Quran mempengaruhi dan menuntun cara-cara kehidupan bersosial.  Agama dipraktekkan sebagai ajaran agama dan tradisi dilakukan sebagai penghargaan tetapi juga mulai ditinggalkan oleh generasi muda karena mereka tidak wajib.


Daya Indonesia inilah yang menyebabkan munculnya aliran baru dari kelas menengah Islam. Muslim yang terbuka untuk mengembangkan diri dalam bidang seni, mendorong partisipasi sendiri dalam pengambilan keputusan bersama sehingga kebijakan negara tidak hanya mempengaruhi kelompok mereka sendiri tetapi juga untuk kelompok lain di luar lingkarannya.  Agama sekaligus menetapkan manfaat kepada orang lain dan bangsa. Kekuatan umat Islam Indonesia menghadirkan cara pandangan baru di Amerika Serikat dalam mengerti tentang  Islam dan Politik, kata Hefner yang kapasitas pengetahuan sedang dibagikan di seluruh dunia ketika memfasilitasi  penelitian tentang Islam dengan politik di berbagai negara yang berbeda.


Indonesia bisa berperan utama dalam mempengaruhi opini dunia terkait dengan Islam dan Politik untuk menunjukkan peran organisasi sipil yang ada. Di Amerika Serikat, setelah 11 September, muslim di Amerika mulai mengorganisir diri dalam beberapa asosiasi nasional seperti ISNA dan ICNA . Tapi asosiasi ini tidak membangun mekanisme kader seperti yang dilakukan di Indonesia, di mana melalui dua organisasi besar bahwa NU dan Muhammadiah sebagai dua organisasi muslim terbesar di dunia mampu mentransfer pengetahuan dan membangun kesadaran kebijaksanaan dalam menanggapi Islam terhadap dunia .


Hefner menganggap bahwa tragedi 11 September tidak perlu dibesar-besarkan tetapi juga tidak dapat diremehkan. Ternyata tragedi dibawa ke keterkaitan antara bangsa-bangsa dengan latar belakang agama dan budaya masing-masing . Kenyataan bahwa di dunia ini ada banyak perbedaan tidak berarti orang tidak bisa menerima satu sama lain. Upaya untuk menjangkau satu sama lain harus terus sampai setiap tiba di titik pertemuan ketidaksepakatan yang darinya dapat dibangun alat untuk mengembangkan mekanisme negosiasi . Kewarganegaraan menjadi masalah yang sangat serius karena pada tingkat nilai, melintasi perbatasan bangsa dan negara untuk menyentuh aspek fundamental dari hak hidup individu sebagai manusia. Islam dan umat Islam di Indonesia bisa menjadi pelopor untuk saudara-saudara lainnya merangkul agama yang berbeda sebagai bagian dari ajaran dasar Islam sehingga memungkinkan tercapai upaya-upaya tersebut.


* ) Farsijana Adeney Risakotta - saat ini menjadi peneliti tamu di CURA ( Institut Kebudayaan , Agama dan Urusan Dunia ) dari Boston University .
 
Sesudah wawancara, Prof. Robert Hefner menerima dua buku saya yaitu Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dan Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua
 

 

Selasa, 10 September 2013

PIZZA, Jawaban untuk 9/11


Pengantar:
Tulisan ini adalah terjemahan dari naskah dalam bahasa Inggeris berjudul "PIZZA in response to 9/11" yang bisa diakses pada
 
 
Peristiwa 11 September dikenang dengan dengan membiarkan lubang di mana bekas gedung pencakar langit World Trade Center dikuburkan . Kedua lubang fondasi dari gedung WTC saat ini mengalir air terjun yang tidak berhenti. Foto ini diambil dalam perjalanan terakhir saya tanggal  14 Agustus 2013 ke monumen peringatan 11 September.


PIZZA, Jawaban untuk 9/11

oleh
Farsijana Adeney - Risakotta

Hari ini tepat (11 September 2013), 12 tahun peristiwa mengerikan di dunia,   serangan  9/11 di World Trade Center yang menewaskan 3.000 warga biasa dari negara yang berbeda yang berada di kedua gedung pencakar langit tsb di New York City termasuk para penumpang di kedua pesawat.

9/11 menjelaskan tata cara penulisan penanggalan di Amerika Serikat, yaitu 9 menunjukkan bulan September dan 11 untuk tanggalnya. Tetapi 911 juga adalah nomor telepon khusus untuk keadaan darurat yang berlaku di seluruh negara bagian.  Bagi saya, rasanya seperti benar-benar lucu bahwa 911 menyerupai nomor panggilan darurat di Amerika Serikat. Saya terpaku. Hmmm .. !  Bahkan jika ada kecelakaan, kebakaran dan keadaan darurat karena kesakitan yang membutuhkan ambulans, warga dapat menghubungi 911 untuk meminta bantuan.


Hanya sekarang setelah berkali-kali saya mengunjungi "ground zero" di New York City , tempat di mana bangunan World Trade Center runtuh tertanam dalam bumi, saya menyadari makna  baru dari  911.

911 adalah tragedi menyedihkan karena nyawa manusia terbuang. Warga biasa menjadi tumbal untuk membayar kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang menyebabkan kengerian dalam bayangan pembom bunuh diri yang menggunakan pesawat sebagai bom. Tragedi 911 telah menimbulkan  pro dan kontra sebagai reaksi dari berbagai bangsa . Kritik terhadap pelaku yang disebut teroris mengalir dari berbagai negara ke Amerika Serikat yang berduka pada saat itu. Sesudah itu ada banyak perang anti - teroris yang dilakukan  Amerika Serikat untuk mengejar mereka yang dicap " teroris ". Amerika Serikat menyerang Afghanistan, Irak dan banyak tempat lainnya yang dianggap melahirkan teroris dan tidak akan berhenti.

Ketika  perang terus berlanjug, warga sipil adalah korban. Timbul pertanyaan apakah perang menyelesaikan masalah yang disebut " teroris " ? Selain itu, hukum internasional juga tidak bekerja dengan baik karena serangan dilakukan tanpa mempedulikan pada hukum tsb yang mengatakan bahwa suatu negara dapat membantu negara untuk mengirimkan pasukan militer perdamaian jika ada permintaan dari negara itu.

Dalam hal ini, Amerika Serikat telah melakukan beberapa serangan untuk membunuh lawan-lawan politiknya di negara lain karena tuduhan penggunaan senjata kimia. Perang menguntungkan mereka yang kaya dan berkuasa. Situasi tampak bahkan lebih buruk bagi demokrasi ketika perang sipil pecah di antara warga dalam suatu bangsa.   Seperti yang terlihat di Mesir saat ini, pengunjuk rasa tewas militer ketika membela Presiden terpilih, Mohammad Morsi yang mengakibatkan kekerasan dengan pembakaran  gereja-gereja dari kelompok minoritas Kristian yang dilakukan oleh kelompok Muslim Brotherhood. .

Kejadian ini mengingatkan saya pada gerakan 3011 pada tahun 1965 yang disebut dalam bahasa Indonesia sebagai “Gerakan Tiga Puluh September 1965 ".  Tragedi menegangkan ini terjadi di antara tahun 1965- 1966 dimana warga sipil dibunuh karena ideologi yang berbeda. Darah pengikut partai komunis halal sehingga patut dibunuh sekalipun mereka adalah warganegara Indonesia.

Konflik tingkat global tidak saja mempengaruhi hubungan internasional antara negara tetapi juga hubungan antara sesama warganegara di dalam suatu negara seperti terlihat pada konflik di Ambon, Maluku, Indonesia. Pada saat masyarakat Amerika Serikat sedang merayakan satu dekade 11 September pada tahun 2011, di kota Ambon, Maluku, Indonesia di mana konflik berbasis agama beberapa tahun sesudah Reformasi Politik di Indonesia. Pecahnya konflik ini dihubungkan oleh beberapa kalangan di Maluku dengan kejadian 11 September di Amerika Serikat. Masyarakat digambarkan dengan istilah sabili untuk menunjukkan kepada kaum muslim dan salibis untuk kaum kristen karena mempercayai salib  (Adeney-Risakotta, 2013). 



911 adalah tanda krisis seperti yang dikenal oleh seluruh warganegara Amerika Serikat . Ketika seseorang menelepon 911 situasi darurat ada yang harus segera dilakukan. Keadaan politik dunia saat ini, setelah 12 tahun masih belum berubah bahkan ketika alarm sudah berdering,  911 sebagai tanda krisis tidak menunjukkan adanya perubahan.

Di sinilah peran masyarakat sipil di dunia untuk menghentikan perang yang dikendalikan oleh para penguasa dan orang kaya dengan mengorbankan warga sipil biasa. Warga dunia perlu memahami bagaimana untuk tidak terjebak dalam kekacauan perang yang dikendalikan oleh mereka dengan kuasa.  Kepanikan perang dapat menyebabkan orang yang baik menjadi pembunuh karena mereka harus lakukan yang kejam untuk melindungi diri mereka sendiri. Pengalaman masa lalu kekerasan di Provinsi Maluku di bagian timur Indonesia adalah cermin untuk mengingatkan kita tentang kerentanan yang ada dalam kondisi manusia. Individu akan hilang tetapi bangsa terus hidup. Generasi baru membawa ingatan  dari masa lalu sehingga siklus kekerasan akan terus berputar-putar bahwa mereka percaya harus terjadi sebagai pembalasan atas peristiwa masa lalu yang belum terbayar .

Menghadapi dinamika psikologis perang dan ingatan yang mewarisinya bisa mendorong kita untuk melakukan sesuatu untuk mencapai ruang yang lebih luas yang memungkinkan warga negara biasa mampu  membangun kepercayaan terhadap satu sama lain .


Pada hari ini, ketika getaran sinyal pencakar langit reruntuhan World Trade Center datang di seluruh dunia,  911 berfungsi sebagai peringatan bagi dunia .Kiranya sudah cukup warga sipil menjadi korban kekerasan atas nama negara sangat kuat .


Dalam krisis saat dunia, saya memutuskan untuk merilis  blog yang berjudul PIZZA. PIZZA adalah panganan dunia saat ini  sesudah dipopulerkan oleh PIZZA HUT ke berbagai belahan dunia. Produk globalisasi dengan membayaran biaya untuk pengelolaan merek / paten, PIZZA HUT dapat dikelola oleh siapa saja di seluruh dunia  PIZZA HUT saat ini melibatkan pengelolaan dari masyarakat setempat.


PIZZA adalah gerakan di seluruh dunia untuk memberikan persiapan bagi warga dunia sehingga ketika sinyal alarm berbunyi, orang memiliki kapasitas untuk mengatasi krisis tanpa panik . Panik dapat menyebabkan orang baik mereka menyesali  kekerasan  dari perang yang melibatkan mereka. Ketika orang makan PIZZA mereka juga siap untuk memahami makna baru dari PIZZA. Saya memberikan arti PIZZA dengan mengikuti setiap huruf depan dari kata yang membentuk  PIZZA. P adalah singkatan untuk Peace, Z berarti Zoom , Z singkatan Zone dan A singkatan Autthencity .

Ketika ada damai PIZZA dapat dibuat dengan rasa indah dan lezat.  Damai sejahtera prasyarat yang sangat penting tidak bisa ditunda lagi. Perdamaian adalah perspektif sekaligus gaya hidup dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan orang lain. Ketika perdamaian didekati secara rinci akan terlihat berbagai bentuk ekspresi dan upaya untuk menjangkau sesama manusia hidup untuk harmonis. Semakin meluasnya praktik untuk membangun perdamaian yang beriringan dengan prinsip demokratis dalam masyarakat maka zona damai yang nyata harus dihormati karena hubungan saling percaya yang telah terbangun dalam masyarakat.  Keunikan dan keaslian perdamaian akan menjadi perisai untuk melawan kecepatan dari tekanan luar terus mengganggu keharmonisan dan perdamaian dunia .


PIZZA bukan hanya sebuah konsep, melainkan awal dari praktik menuju perubahan dalam refleksi tindakan kolektif untuk membangun kehidupan masyarakat mulai dari tingkat terendah lokal, regional , nasional dan internasional. PIZZA adalah suatu tindakan untuk mengubah dunia menjadi lebih adil, damai dan sejahtera secara merata.

Boston , 911 2013
Farsijana Adeney - Risakotta