Petisi Warganegara NKRI untuk Papua (Berita Siang, 2 Juli
2012).
"Persoalan
Papua, jangan diambil alih oleh Jakarta, kembalikan spirit Otsus kepada Papua!"
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Kompas, Sabtu, 30 Juni 2012 memberitakan pernyataan
Presiden SBY tentang status Papua sebagai bagian NKRI yang sudah final. Pernyataan ini disampaikan dihadapan 1000
perwira siswa TNI/Polri di Markas Komando Sekolah Calon Perwira TNI AD di
Bandung Jawa Barat pada hari Jumat tanggal 29 Juni 2012. Dialog bisa terus
dilakukan tetapi bukan untuk meluruskan sejarah integrasi Papua, demikian
ringkasan penyataan Presiden SBY. Diakhir dari berita Kompas (hal. 15) juga
disampaikan pandangan dari beberapa tokoh tentang pentingnya dialog termasuk
melibatkan berbagai pihak di Papua yang menghendaki pelurusan sejarah integrasi
Papua tsb.
Pagi ini (2 Juli 2012), Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
berbicara melalui telepon dengan seorang tokoh Papua, tokoh Gereja, Dr. Phil.
Karel Erari untuk mencari tahu bagaimana tanggapan warga Papua terhadap
pernyataan Presiden SBY. Diakui oleh
Pdt.Erari, bahwa mungkin saja Presiden SBY memperoleh informasi yang salah
tentang situasi terakhir di Papua. Sambil mengingatkan tentang janji Presiden
SBY pada tanggal 16 Desember 2011 di Cikeas ketika bertemu dengan empat
represengtasi pimpinan Gereje-gereja
Papua, mengatakan kesediaannya untuk melakukan dialog. Dialog yang dimaksudkan
adalah dialog yang adil, setara dan bermartabat. Menurutnya, tanpa dialog, masalah Papua tidak
bisa diselesaikan. Dialog harus melibatkan semua pihak yang ada di Papua, untuk
memikirkan jalan keluar terbaik bagi kehidupan warganegara NKRI-Papua.
Gereja-gereja di Papua, baik Prostestan dan Katolik sudah
siap untuk memfasilitasi dialog di antara Pemerintah RI dan warga Papua. Topik-topik dialog yang akan diikutsertakan
berkaitan dengan substansi Papua yang meliputi persepsi warga masyarakat
tentang integrasi dan persoalan HAM di Papua. Ajakan Gereja-gereja saat ini
adalah meminta kesediaan dari Pemerintah RI dalam hal ini Presiden SBY untuk
mempersiapkan lagi agenda dialog yang dijanjikannya. Pembahasan tentang tujuan,
substansi dan mekanisme dialog bisa dilakukan bersama-sama.
Diakuinya bahwa perjalanan Papua untuk mencapai harkat
martabatnya sebagai warganegara NKRI yang setara dengan warganegara lainnya
akan menghadapi masa yang panjang. Apabila sekarang pemerintah RI, dalam hal
ini Presiden SBY mulai disibukkan dengan persiapan Pemilu 2014, warganegara
NKRI-Papua tetap akan menunggu janji Pemerintah RI untuk melaksanakan dialog
Papua terkait dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Papua.
Payung hukum untuk pelaksanaan dialog juga belum tersedia.
Sesudah sepuluh tahun UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi
Papua disahkan oleh Pemerintah RI (Presiden Megawati Soekarnoputri), ternyata
ada banyak hal dalam UU tersebut yang belum diimplementasikan oleh negara. Pelaksanaan dialog Papua harus dilakukan
karena diamanatkan dalam UU 21 tahun 2001 tentang pembentukan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (pasal 46). Sampai saat ini, sesudah mengoperasionalisasikan
UU Otsus tersebut, ternyata Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum terbentuk.
Merujuk pada pasal 46 ini, maka
warganegara NKRI-Papua mendesak supaya pemerintah RI segera mengupayakan
pelaksanaan pembentukan Komsi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan
memfasilitasi dialog Papua. Ayat 1 dari
pasal 46 mencatat bahwa tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah
melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan
bangsa dalam Negara Kesatuan Indonesia, merumuskan dan menetapakan
langkah-langkah rekonsiliasi. Jadi sebenarnya, sesuai dengan UU 21 tahun 2001,
yang diberikan tugas untuk memfasilitasi proses klarifikasi sejarah Papua dan
rekonsiliasi bukan Presiden SBY tetapi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pada
ayat 3 dijelaskan tentang fungsi Presiden RI adalah memberikan persetujuan
melalui Ketetapan Presiden atas usulan dari Gubernur terkait dengan susunan
keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Tekanan dari DPR RI supaya Presiden SBY memberikan perhatian mendukung penyelesaian
masalah Papua bukan berarti Presiden RI mengendalikan sepenuhnya upaya mencari
kebenaran dan rekonsiliasi di Papua. Kalau hal ini terjadi, di mana Presiden RI
diberikan hal sepenuhnya, berarti ada upaya untuk melanggar UU 21 tahun 2001,
menjauhkan warga Papua dari spirit Otonomi Khusus yang diberikan kepada mereka
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara mandiri dan
bermartabat. Lebih jauh perlu warganegara NKRI mewaspadai adalah desakan dari Komisi I yang membidangi TNI dan BIN untuk membentuk Panja Papua. Saat ini di DPR RI sudah ada tim Otsus Papua. Baik tim Otsus Papua maupun Panja Papua apabila dibentuk oleh Komisi I DPR RI tidak sama dengan pembentukan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditetapkan oleh UU 21 tahun 2001.
Melalui wawancara ini dan upaya untuk
mendudukan kembali spirit UU 21 tahun 2001, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua
mendorong warganegara NKRI di seluruh Indonesia untuk mewaspadai upaya
pembodohan publik yang dilakukan oleh Pemerintah RI, Presiden SBY dan DPR RI
terhadap masalah Papua. Tujuan wawancara adalah untuk mengembalikan peran dari
warganegara NKRI di seluruh tanah air untuk berperan aktif mengawal segala
bentuk kebijakan negara termasuk upaya-upaya penelantaran negara demi
kepentingan sempit elite politiknya yang mengorbankan warga sipil di mana-mana,
terutama sekarang yang sedang terjadi di Papua. Salam solidaritas NKRI, marilah
kita meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan benar
(Farsijana Adeney-Risakotta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar