Translate

Sabtu, 12 Mei 2012

Jakarta Jakarta Jakarta



Jakarta Jakarta Jakarta

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

denyut di jantungmu kota
pusat gelisah dan tawa
dalam selimut debu dan kabut
yang hitam kelam warnanya

sejuta janjimu kota
menggoda wajah-wajah resah
ada di sini dan ada di sana
menunggu di dalam tanya
menunggu di dalam tanya
tanya

mengapa semua berkejaran dalam bising
mengapa oh mengapa
sejuta wajah engkau libatkan
dalam himpitan kegelisahan

adakah hari esok makmur sentosa
bagi wajah-wajah yang menghiba

Lirik lagu di atas dipopularkan oleh band God Bless, dengan singer, Achmad Albar di sekitar tahun 1980an.  Saya ingat menyanyikan lagu itu ketika masih remaja tinggal di Yogya. Ketika itu, ayah masih bertugas di Ambon. Tetapi setiap saat ia ke Jakarta untuk tugas, saya selalu diminta menyusulnya ke Jakarta.

Setiap memasuki Jakarta, di Gambir ketika kereta berhenti, saya sadar harus menjadi orang Jakarta. Orang Jakarta berlomba dengan kecepatan. Perjalanan panjang di jalan raya yang macet adalah dinamika hidup.  Kemudian sesudah lulus SMA di Yogya, bersamaan dengan kepindahan orang tua ke Jakarta, saya juga mulai memasuki Jakarta.

Jakarta mengajarkan kepada saya tentang kemandirian. Jakarta membentuk keberanian. Saya setiap hari menggunakan bus dari Tomang Raya, di mana orang tua saya tinggal ke jurusan Salemba Raya.  Melompat turun di areal Mega Ria, seperti terlepas dari penjara untuk berjalan bebas ke Jalan Proklamasi di mana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta berada.  

Selama di bus kota saya harus waspada karena mungkin akan kecopetan.  Orang-orang berjas dengan menjepit stop map bergaya perlente siap sedia menggunakan celaan seseorang yang terkesan polos dan lemah.  Ketika yakin mangsanya di dekat mereka, segera dengan desak-desakan mereka mulai mempretelin milik seseorang dengan sangat halus sehingga lenyap tanpa disadari.

Jakarta mengajarkan saya menjadi perempuan dengan pribadi yang hati-hati. Kehati-hatian terhadap jebakan-jebakan saya bawa ke mana-mana.  Kehati-hatian ini pernah menyebabkan  tangan saya dipukulin oleh seseorang yang sakit hati di kereta di Athena Yunani.  Suami dan saya tiba-tiba dipisahkan oleh gerombolan orang-orang ketika kami sama-sama berebutan memasuki subway di Athena. Genggaman tangan kami dipisahkan dengan paksa. 

Desakan beberapa lelaki yang masuk tiba-tiba dan memisahkan menyebabkan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Saya tiba-tiba sudah dikelilingi oleh lelaki-lelaki. Suamiku ada diseberang dari tempat saya berada. Dengan bahasa Indonesia, saya berteriak kepada suamiku: “Jangan panik, saya bisa menjaga diri”. Gelagak suami yang ingin menerobos mereka untuk menyatu dengan saya tiba-tiba menjadi tenang sesudah ia mendengar saya berteriak: “Jangan panik”. 

Sesudah memastikan ketenangan suamiku, saya pun tenang. Dengan konsentrasi penuh, saya memastikan berdiri tegak dan memegang rapat tas yang disilangkan ke depan. Saya tidak sedikitpun menunjukkan kecurigaan bahwa saya tahu mereka. Saya tenang dan waspada. Ketika kereta berhenti saya melebarkan kedua tangan sendiri yang sekaligus melingkar pada besi pegangan. Ketika orang-orang itu mencoba bersandaran saya menyikut mereka.

Beberapa kali saya harus menyikut mereka. Setiap saya melakukan itu, saya ingat di Jakarta. Jadi ketika kereta berhenti, semua penumpang turun, tiba-tiba tangan saya dipukuli oleh lelaki yang beberapa kali saya harus mendorongnya dengan menyikut. Saya terlindung. Orang itu tidak mendapat apa-apa dari saya.

Kota-kota besar di mana saja sama.  Kota-kota ini melebihi hutan liar di Halmahera, Sulawesi Tengah bahkan di daerah sekitar Johanesburg di Afrika Selatan.  Daya tahan kita adalah ketika bisa mengatasinya tanpa merendahkan orang-orang tersebut. Kewaspadaan. Sebagai perempuan kita perlu menghindari konstruksi masyarakat yang membuat perempuan tidak percaya diri. Sehingga bisa diganggu ketenangan kita ketika berjalan sendiri dengan transportasi umum.

Kembali ke Jakarta beberapa kali, saya diingatkan tentang kewaspadaan itu. Di antara kewaspadaan dan romantisme ketahanan. Saya ingat pernah sesudah beberapa tahun di Belanda, tiba di Jakarta untuk mengunjungi ibunda.  Di sana beberapa hari saya saya memutuskan menggunakan bus mengelilingi Jakarta. 
Tujuan saya adalah memanggil keluar lagi kekuatan diri dari perjalanan bersama orang-orang itu.

Tinggal lima tahun di Jakarta bersama orang tua dan saudara/i saya, menyebabkan saya berjanji untuk akan tinggal di Yogya saja, kota remaja saya. Tetapi setiap kali merasakan kembali  kedinamisan Jakarta, jantung saya berdebar. Jakarta kota hidup untuk mereka yang mau hidup.

Seminggu ini saya juga ada di Jakarta. Sesudah tiba di airport saya mengambil bus Damri untuk membawa saya ke tempat pertemuan. Di Damri saya tertidur. Kenek berteriak-teriak Cempaka Putih. Saya kaget langsung bangun ketika bus mendekat di tempat perhentian di Stop Honda di Cempaka Putih. Saya harus turun cepat-cepat. Di jalan sudah menunggu beberapa lelaki. Ojek. Ojek. Mereka menawarkan kepada saya. Sudah gelap. Tidak ada taksi. Saya lihat wajah mereka. Saya menyebut nama tempat saya akan ke sana. 

Seorang lelaki menunjukkan bahwa ia tahu. Saya bertanya apakah bisa membawa koper kecil dengan ojek. Ia katakan bisa. Itu pertama kalinya saya naik ojek dengan koper kecil di depannya.  Bapak itu memberikan helem kepada saya. Saya mengenakannya. Kemudian dia mengendarai motornya di atas trotoar membuat belokan sehingga mencapai jalan tembus keluar dari jalur lambat. Ia mengambil jalur bus way sebagai jalurnya. Saya bertanya apakah ini diperbolehkan. Ia katakan kalau malam tidak apa-apa. Siang hari ada polisi. Saya tahu beberapa kali bus way menabrak pengendara motor ketika berpapasan dengannya di jalur bus way. Jantung saya debar-debar.

Ketika saya akan balik ke Yogya, saya ke airport dengan mengambil bus damri di terminal Rawamangun. Saya mencegat taksi yang membawa saya ke terminal. Saya ingin mendengar dari sopir tentang situasi Jakarta selama kampanye pemilukada. Dengan tukang ojek saya tidak sempat bercerita banyak. Saya terlalu kuatir dengan perasaan akan ditabrak bus way. Walaupun tukang ojek sudah mengatakan akan minggir dari jalan ketika  bus way datang, saya masih dek-dekan.  Saya berpikir-pikir mungkin akan melompat kalau tukang ojek macam-macam. Syukur saya diturunkan ditempat yang dituju dengan selamat. 

Jadi di taksi Blue Bird yang membawa saya ke terminal Rawamangun, saya lebih rileks. Saya bertanya siapa yang akan dipilihnya. Ia katakan belum tahu. Ia sedang menunggu undangan pemilukada. Saya bertanya lagi. Kalau undangan sudah diterima, ketika pemilukada dilakukan, akan pilih siapa. Ia katakan: "Ya pilih yang sudah jelas berbuat kepada orang Jakarta". Suaranya memberikan tekanan pada kata berbuat.   

Saya kemudian menggali lebih mendalam: “Apa maksud bapak masalah Jakarta yang paling penting dan sudah dilakukan oleh seorang kandidat Gubernur?”. Ia menjawab: “Banjir". Ternyata jawabannya banjir. Saya salah duga. Saya pikir jawabannya mungkin tentang kemacetan.

Menurutnya, pemerintah, gubernur sekarang sudah berhasil mengalirkan banjir ke BKT (Banjir Kanal Timur).  Saya sangat familiar dengan BKT. Rumah ibunda di daerah Kali Malang sehingga setiap kali ke sana, Casablanca dan BKT menjadi jalan alternatif yang sangat indah. Ketika melewatinya pada sore hari, ada pemandangan yang sangat mengharukan. Anak-anak bermain di bagian punggung jalan yang luas. 

Seolah-olah saya berada di Belanda, di kota-kota pantai utara yang sering saya kunjungi seperti Rotterdam  atau Zealand di pantai barat daya. Saya ingat berhenti di BKT dan membaca catatan tertulis pada prasasti yang diletakan di atas jalan tinggi tertulis tentang kerjasama pemerintah DKI Jaya dengan pemerintah Belanda.  Proyeknya sudah berjalan sejak tahun 1991.

Pada tahun 1973 Netherlands Engineering Consultants membantu pemerintah menyusun “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta". Bahkan jauh sebelumnya, pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1920an sudah merencanakan pengembangan Banjir Kanal Jakarta yaitu pengembangan kali Ciliwung mengalir keluar melewati Batavia.  

BKT  yang panjangnya 23,5 km menyatukan aliran air dari kali Ciliwung, kali Cililitan, kali Cipinang, kali Sunter, kali Buaran, kali Jati Kramat, dan kali Cakung juga menggunakan sistem yang sama untuk membawa keluar air sungai dari wilayah pemukiman. Ada 11 kelurahan di Jakarta Timur dan 2 kelurahan di Jakarta Utara yang terlintasi BKT.

Jadi pak supir taksi tidak peduli dengan sejarah pengembangan BKT.  BKT bukan hasil kerja dari pemerintah DKI sekarang, karena pengerjaannya dilakukan dengan anggaran dari Departemen Pekerjaan Umum.  Perencanaan berpuluh-puluh tahun memang sekarang mulai memberikan dampak kepada warga Jakarta.  Bapak sopir itu tidak mau tahu. Ia hanya tahu sekarang rumahnya tidak kebanjiran lagi. Katanya: “Kami tidak kuatir lagi dengan kebanjiran di Jakarta”.  

Bapak ini juga memastikan bahwa keputusannya memilih ada dalam kesepakatan bersama dengan teman-temannya. Mereka tahu apa yang diperbuat oleh pejabat. Mungkin ada perubahan apabila ada analisis lain tentang ukuran keberhasilan seorang pejabat yang telah berbuat untuk Jakarta. Siapakah dia? Apakah calon rakyat kecil dari pinggiran Jakarta adalah Fauzi Bowo?

Jakarta Jakarta Jakarta, wajah-wajah masyarakatnya yang ingin memastikan ada keamanan minimum. Ketimpangan mungkin bisa diterima tanpa harus digoyahkan dengan ketidakpastian alam karena banjir. Dengan banyaknya manusia di Ibu Kota Negara, akan ada berkat untuk mereka yang kerja keras. Juga kalau harus pergi pagi dan pulang malam. Itu keadilan. Tetapi adalah kebodohan apabila terjadi banjir.

Beberapa hari di Jakarta, banjir ketika hujan berturut-turut tanggal 6-7 Mei. Warga tidak terlalu kuatir lagi. Selamat Jakarta…Selamat pemilukada….Siapapun gubernur selamat meneruskan pembangunan yang memberikan kenyamanan kepada warganya.

lihat tulisan terkait, link
"Jakarta Memilih: Politik Tubuh Fauzi Bowo-Nara versus Jokowi-Ahok"
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/09/jakarta-memilih-politik-tubuh-fauzi.html
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar