Jakarta Jakarta Jakarta
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
“denyut di jantungmu kota
pusat gelisah dan tawa
dalam selimut debu dan kabut
yang hitam kelam warnanya
sejuta janjimu kota
menggoda wajah-wajah resah
ada di sini dan ada di sana
menunggu di dalam tanya
menunggu di dalam tanya
tanya
mengapa semua berkejaran dalam bising
mengapa oh mengapa
sejuta wajah engkau libatkan
dalam himpitan kegelisahan
adakah hari esok makmur sentosa
bagi wajah-wajah yang menghiba”
Lirik lagu di
atas dipopularkan oleh band God Bless, dengan singer, Achmad Albar di sekitar tahun
1980an. Saya ingat menyanyikan lagu itu
ketika masih remaja tinggal di Yogya. Ketika itu, ayah masih bertugas di Ambon.
Tetapi setiap saat ia ke Jakarta untuk tugas, saya selalu diminta menyusulnya
ke Jakarta.
Setiap
memasuki Jakarta, di Gambir ketika kereta berhenti, saya sadar harus menjadi
orang Jakarta. Orang Jakarta berlomba dengan kecepatan. Perjalanan panjang di
jalan raya yang macet adalah dinamika hidup.
Kemudian sesudah lulus SMA di Yogya, bersamaan dengan kepindahan orang
tua ke Jakarta, saya juga mulai memasuki Jakarta.
Jakarta
mengajarkan kepada saya tentang kemandirian. Jakarta membentuk keberanian. Saya
setiap hari menggunakan bus dari Tomang Raya, di mana orang tua saya tinggal ke
jurusan Salemba Raya. Melompat turun di
areal Mega Ria, seperti terlepas dari penjara untuk berjalan bebas ke Jalan Proklamasi
di mana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta berada.
Selama di
bus kota saya harus waspada karena mungkin akan kecopetan. Orang-orang berjas dengan menjepit stop map bergaya
perlente siap sedia menggunakan celaan seseorang yang terkesan polos dan lemah.
Ketika yakin mangsanya di dekat mereka,
segera dengan desak-desakan mereka mulai mempretelin milik seseorang dengan
sangat halus sehingga lenyap tanpa disadari.
Jakarta
mengajarkan saya menjadi perempuan dengan pribadi yang hati-hati. Kehati-hatian
terhadap jebakan-jebakan saya bawa ke mana-mana. Kehati-hatian ini pernah menyebabkan tangan saya dipukulin oleh seseorang yang
sakit hati di kereta di Athena Yunani.
Suami dan saya tiba-tiba dipisahkan oleh gerombolan orang-orang ketika
kami sama-sama berebutan memasuki subway di Athena. Genggaman tangan kami
dipisahkan dengan paksa.
Desakan
beberapa lelaki yang masuk tiba-tiba dan memisahkan menyebabkan kami tidak bisa
berbuat apa-apa. Saya tiba-tiba sudah dikelilingi oleh lelaki-lelaki. Suamiku
ada diseberang dari tempat saya berada. Dengan bahasa Indonesia, saya berteriak
kepada suamiku: “Jangan panik, saya bisa menjaga diri”. Gelagak suami yang
ingin menerobos mereka untuk menyatu dengan saya tiba-tiba menjadi tenang
sesudah ia mendengar saya berteriak: “Jangan panik”.
Sesudah
memastikan ketenangan suamiku, saya pun tenang. Dengan konsentrasi penuh, saya
memastikan berdiri tegak dan memegang rapat tas yang disilangkan ke depan. Saya
tidak sedikitpun menunjukkan kecurigaan bahwa saya tahu mereka. Saya tenang dan
waspada. Ketika kereta berhenti saya melebarkan kedua tangan sendiri yang
sekaligus melingkar pada besi pegangan. Ketika orang-orang itu mencoba bersandaran
saya menyikut mereka.
Beberapa
kali saya harus menyikut mereka. Setiap saya melakukan itu, saya ingat di
Jakarta. Jadi ketika kereta berhenti, semua penumpang turun, tiba-tiba tangan
saya dipukuli oleh lelaki yang beberapa kali saya harus mendorongnya dengan
menyikut. Saya terlindung. Orang itu tidak mendapat apa-apa dari saya.
Kota-kota
besar di mana saja sama. Kota-kota ini
melebihi hutan liar di Halmahera, Sulawesi Tengah bahkan di daerah sekitar Johanesburg di Afrika Selatan. Daya tahan kita
adalah ketika bisa mengatasinya tanpa merendahkan orang-orang tersebut. Kewaspadaan.
Sebagai perempuan kita perlu menghindari konstruksi masyarakat yang membuat
perempuan tidak percaya diri. Sehingga bisa diganggu ketenangan kita ketika
berjalan sendiri dengan transportasi umum.
Kembali ke
Jakarta beberapa kali, saya diingatkan tentang kewaspadaan itu. Di antara
kewaspadaan dan romantisme ketahanan. Saya ingat pernah sesudah beberapa tahun
di Belanda, tiba di Jakarta untuk mengunjungi ibunda. Di sana beberapa hari saya saya memutuskan
menggunakan bus mengelilingi Jakarta.
Tujuan saya adalah memanggil keluar lagi kekuatan
diri dari perjalanan bersama orang-orang itu.
Tinggal lima
tahun di Jakarta bersama orang tua dan saudara/i saya, menyebabkan saya
berjanji untuk akan tinggal di Yogya saja, kota remaja saya. Tetapi setiap kali
merasakan kembali kedinamisan Jakarta,
jantung saya berdebar. Jakarta kota hidup untuk mereka yang mau hidup.
Seminggu
ini saya juga ada di Jakarta. Sesudah tiba di airport saya mengambil bus Damri
untuk membawa saya ke tempat pertemuan. Di Damri saya tertidur. Kenek
berteriak-teriak Cempaka Putih. Saya kaget langsung bangun ketika bus mendekat
di tempat perhentian di Stop Honda di Cempaka Putih. Saya harus turun
cepat-cepat. Di jalan sudah menunggu beberapa lelaki. Ojek. Ojek. Mereka
menawarkan kepada saya. Sudah gelap. Tidak ada taksi. Saya lihat wajah mereka.
Saya menyebut nama tempat saya akan ke sana.
Seorang
lelaki menunjukkan bahwa ia tahu. Saya bertanya apakah bisa membawa koper kecil
dengan ojek. Ia katakan bisa. Itu pertama kalinya saya naik ojek dengan koper
kecil di depannya. Bapak itu memberikan
helem kepada saya. Saya mengenakannya. Kemudian dia mengendarai motornya di
atas trotoar membuat belokan sehingga mencapai jalan tembus keluar dari jalur
lambat. Ia mengambil jalur bus way sebagai jalurnya. Saya bertanya apakah ini
diperbolehkan. Ia katakan kalau malam tidak apa-apa. Siang hari ada polisi.
Saya tahu beberapa kali bus way menabrak pengendara motor ketika berpapasan
dengannya di jalur bus way. Jantung saya debar-debar.
Ketika saya akan balik ke Yogya, saya ke airport dengan mengambil bus
damri di terminal Rawamangun. Saya mencegat taksi yang membawa saya ke terminal. Saya ingin mendengar dari sopir
tentang situasi Jakarta selama kampanye pemilukada. Dengan tukang ojek
saya tidak sempat bercerita banyak. Saya terlalu kuatir dengan perasaan akan ditabrak bus way. Walaupun
tukang ojek sudah mengatakan akan minggir dari jalan ketika bus way datang, saya masih dek-dekan. Saya berpikir-pikir mungkin akan melompat
kalau tukang ojek macam-macam. Syukur saya diturunkan ditempat yang dituju
dengan selamat.
Jadi di
taksi Blue Bird yang membawa saya ke terminal Rawamangun, saya lebih rileks.
Saya bertanya siapa yang akan dipilihnya. Ia katakan belum tahu. Ia sedang
menunggu undangan pemilukada. Saya bertanya lagi. Kalau undangan sudah
diterima, ketika pemilukada dilakukan, akan pilih siapa. Ia katakan: "Ya pilih
yang sudah jelas berbuat kepada orang Jakarta". Suaranya memberikan tekanan pada kata berbuat.
Saya kemudian menggali lebih mendalam: “Apa maksud bapak masalah Jakarta yang paling penting dan sudah dilakukan oleh seorang kandidat Gubernur?”. Ia menjawab: “Banjir". Ternyata jawabannya banjir. Saya salah duga. Saya pikir jawabannya mungkin tentang kemacetan.
Saya kemudian menggali lebih mendalam: “Apa maksud bapak masalah Jakarta yang paling penting dan sudah dilakukan oleh seorang kandidat Gubernur?”. Ia menjawab: “Banjir". Ternyata jawabannya banjir. Saya salah duga. Saya pikir jawabannya mungkin tentang kemacetan.
Seolah-olah saya berada di Belanda, di kota-kota pantai utara yang sering saya kunjungi seperti Rotterdam atau Zealand di pantai barat daya. Saya ingat berhenti di BKT dan membaca catatan tertulis pada prasasti yang diletakan di atas jalan tinggi tertulis tentang kerjasama pemerintah DKI Jaya dengan pemerintah Belanda. Proyeknya sudah berjalan sejak tahun 1991.
Pada tahun 1973 Netherlands Engineering Consultants membantu pemerintah menyusun “Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta". Bahkan jauh sebelumnya, pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1920an sudah merencanakan pengembangan Banjir Kanal Jakarta yaitu pengembangan kali Ciliwung mengalir keluar melewati Batavia.
BKT yang panjangnya 23,5 km menyatukan aliran air dari kali Ciliwung, kali Cililitan, kali Cipinang, kali Sunter, kali Buaran, kali Jati Kramat, dan kali Cakung juga menggunakan sistem yang sama untuk membawa keluar air sungai dari wilayah pemukiman. Ada 11 kelurahan di Jakarta Timur dan 2 kelurahan di Jakarta Utara yang terlintasi BKT.
Jadi pak
supir taksi tidak peduli dengan sejarah pengembangan BKT. BKT bukan hasil kerja dari pemerintah DKI sekarang, karena pengerjaannya dilakukan dengan anggaran dari Departemen Pekerjaan Umum. Perencanaan berpuluh-puluh tahun memang sekarang mulai
memberikan dampak kepada warga Jakarta. Bapak sopir itu tidak mau tahu. Ia hanya tahu sekarang rumahnya tidak
kebanjiran lagi. Katanya: “Kami tidak kuatir lagi dengan kebanjiran di Jakarta”.
Bapak ini
juga memastikan bahwa keputusannya memilih ada dalam kesepakatan bersama dengan
teman-temannya. Mereka tahu apa yang diperbuat oleh pejabat. Mungkin ada
perubahan apabila ada analisis lain tentang ukuran keberhasilan seorang pejabat
yang telah berbuat untuk Jakarta. Siapakah dia? Apakah calon rakyat kecil dari pinggiran
Jakarta adalah Fauzi Bowo?
Jakarta
Jakarta Jakarta, wajah-wajah masyarakatnya yang ingin memastikan ada keamanan
minimum. Ketimpangan mungkin bisa diterima tanpa harus digoyahkan dengan
ketidakpastian alam karena banjir. Dengan banyaknya manusia di Ibu Kota Negara,
akan ada berkat untuk mereka yang kerja keras. Juga kalau harus pergi pagi dan
pulang malam. Itu keadilan. Tetapi adalah kebodohan apabila terjadi banjir.
Beberapa
hari di Jakarta, banjir ketika hujan berturut-turut tanggal 6-7 Mei. Warga
tidak terlalu kuatir lagi. Selamat Jakarta…Selamat pemilukada….Siapapun gubernur selamat
meneruskan pembangunan yang memberikan kenyamanan kepada warganya.
lihat tulisan terkait, link
"Jakarta Memilih: Politik Tubuh Fauzi Bowo-Nara versus Jokowi-Ahok"
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/09/jakarta-memilih-politik-tubuh-fauzi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar