Merayakan sebulan Petisi Warganegara NKRI
untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua
Rentangan sejarah panjang memahami Pepera
1969
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Tulisan ini baru mewujud sekarang, tetapi
embrionya sudah muncul sejak pelaksanaan Seminar Nasional bertemakan “Menuju Kesejahteraan dan Keadilan
Papua Setelah 43 Tahun Pepera 1969”.
Walaupun pelaksanaan seminar tsb menuai pembubaran, tetapi sesudah
peristiwa itu saya sudah menulis beberapa artikel. Artikel pertama berjudul
Pembelajaran dari Pembubaran Seminar Nasional “Menuju Kesejahteraan dan
Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/pembelajaran-dari-pembubaran-seminar.html
. Artikel kedua berjudul “Papua adalah Korban Pertarungan Ideologi” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html
Dalam tulisan saya lainnya, saya menyinggung
tentang sedikitnya ulasan tentang Pepera 1969 sebagaimana diharapkan dalam tema
seminar nasional tsb. Diskusi lebih
banyak diarahkan untuk memahami kondisi sosial politik ekonomi Papua sesudah
penetapan Pepera tahun 1969. Kesimpulannya terkait dengan kenyataan
penelantaran pembangunan dan pengabaian pengembangan sumber daya manusia dari warganegara NKRI Papua. Adapun pertarungan dua
ideologi nasionalisme terkait dengan pandangan
pemerintah Pusat tentang nasionalisme
Papua dalam NKRI dan ideologi nasionalisme dari warganegara NKRI Papua yang
diartikan dengan rendahnya pencapaian
kemerdekaan yang terukur dalam kualitas kehidupan warga. Pertarungan ini meminta banyak korban bagi
warganegara NKRI Papua.
Eskalasi pertarungan makin gencang, sulit
terbentengi. Berbagai aksi protes yang digelarkan oleh masyarakat
Papua karena kekerasan aparat terhadap warga sipil yang dianggapnya sebagai
pejuang nasionalisme Papua berkedok OPM.
Tindak kekerasan yang dilakukan
aparat kepada warga sipil di Papua menurut informasi Komnas HAM telah
mencapai batas keprihatinan. Sekalipun demikian upaya menuntaskan masalah Papua
belum juga terwujud. Pada satu sisi, Pemerintah Pusat beranggapan bahwa
pemberian Otsus Papua 2001 merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah
Papua. Akan tetapi dalam melaksanakan Otsus ternyata ada banyak hal yang belum
diimplementasikan.
Ketidakpuasaan warganegara NKRI Papua
terhadap Pemerintah NKRI menyebabkan mereka menggugat kembali proses integrasi
Papua ke dalam NKRI. Ada dua hal yang saya akan membahas dalam tulisan ini. Pertama, apa makna gugatan warganegara
NKRI Papua terhadap legitimasi NKRI bagi kedaulatan bumi Papua berintegrasi
dengan Indonesia? Kedua, bagaimana
sesungguhnya Pepera 1969 harus didudukkan dalam konteks pengintegrasian Papua
ke dalam wilayah NKRI.
Bruce Gilley (2009) menjelaskan bahwa
negara dengan tingkat kekerasan terhadap warga sipil yang tinggi, terutama
upaya dengan sengaja melenyapkan mereka yang melakukan protes, sebenarnya
sedang menghadapi kehilangan legitimasinya. Legitimasi adalah kekuasaan yang
diterima negara dalam hal ini pemerintah dari warganegaranya. Ada berbagai ciri dari legitimasi
negara. Legitimasi tercapai karena
warganegara memberikan kepada pemerintah terpilih otoritas untuk memimpin
mereka dan mengendalikan negara. Dengan
legitimasi ini, negara mempunyai kekuasaan untuk mempersatukan warganegaranya
mencapai kepentingan bersama.
Sebaliknya ketika negara tidak mempunyai
legitimasi, kecenderungan untuk menggunakan regulasi sebagai alat penekan untuk
mempersatukan warganegara akan makin tinggi.
Ketika warganegara menolak untuk tunduk pada regulasi yang dibuat tanpa
partisipasi mereka, maka negara akan melakukan tindakan kekerasan bahkan menuju
pada brutalisme. Legitimasi negara
semakin tipis ketika tingkat protes terhadap legitimasi pemerintah makin
tinggi.
Dengan semakin tingginya eskalasi
kekerasan di bumi Papua, di mana aparat terlibat dalam melakukan kekerasan
terhadap masyarakat sipil sebenarnya sesuai dengan penjelasan teori legitimasi
di atas, dapat dikategorikan sedang mengalami krisis legitimasi. Otoritas NKRI
dipertanyakan adalah sebenarnya mempertanyakan kekuasaan pemerintahan yang
sedang berkuasa, baik pemerintah Daerah maupun Pusat. Pemerintah yang dimaksudkan adalah mereka yang
terlibat dalam pengelolaan program-program untuk masyarakat.
Otsus Papua menyebabkan mengalirnya dana
perimbangan pusat daerah yang hampir 80% dikembalikan kepada daerah dari
pendapatan yang dihasilkan di dalam Papua sendiri. Akan tetapi masuknya dana
tersebut kembali ke Papua, belum terlihat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
Penekanan pada infrastruktur dengan banyaknya bangunan, perumahan dan prasarana
lainnya yang didirikan masih mendominasi
kebijakan pembangunan di Papua. Sementara asas pemanfaatan kepada institusi dan
prasarana fisik tersebut terkesan terbatas terhadap aksesitas bagi orang-orang
asli Papua. Mereka ternyata belum
dipersiapkan untuk bisa siap dalam mengelola sarana prasarana institusi,
organisasi, jaring-jaring pembangunan selain prasarana fisik yang sudah
tersedia.
Misalkan pengalaman saya memasuki
pasar-pasar di Papua, terutama pasar dengan tampilan yang canggih, bersih,
luas, hanya ditempati oleh warga asli Papua yang menjual hasil-hasil bumi.
Bahkan yang paling terasa adalah pembedaan dalam mengoperasikan pasar.
Kebutuhan makanan dari warga non Papua bisa diperoleh melalui penjual keliling
yang mengendarai motor dengan sistem lemari pajangan jualannya yang sangat
canggih. Kegiatan penjualan yang lain,
dikendalikan oleh jaringan ekonomi diluar orang-orang Papua asli dan dibangun
di luar areal infrastruktur ekonomi orang Papua asli. Penggambaran ini menunjukkan
bahwa orang Papua melakukan transaksi dagang yang tidak berimbang. Penjualan
yang dilakukan orang asli Papua bernilai rendah dengan tingkat pembelian
kebutuhan lain yang sangat tinggi, bahkan melebihi batas kewajaran seperti yang
dijelaskan dalam tulisan saya lainnya http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html
Warganegara NKRI mempertanyakan apa yang
telah dilakukan oleh pemerintah Daerah maupun Pusat dalam memproteksi
orang-orang asli Papua. Mereka tahu dana Otsus Papua yang diberikan kepada setiap
keluarga asli Papua ternyata hilang terlalu cepat. Jaringan perekonomian yang
dikuasai oleh kaum pendatang, sudah menyusup sampai ke desa-desa. Misalkan
hanya untuk menukar uang persembahan yang akan dibawa ke dalam ibadah di
gereja, mereka harus membayar mahal untuk satu permen kepada pedagang yang
sudah menunggunya di dekat tempat beribadah. Rakyat tidak punya pilihan untuk
menolak pendatang yang memasuki desanya untuk berdagang. Bahkan mereka
diberikan tempat yang layak untuk berdagang.
Dengan kepekaan tinggi, orang asli Papua
menyimpulkan bahwa Otsus Papua 2001 dikategorikan gagal. Selain beberapa tindakan lanjutan dari Otsus
yang belum nampak seperti Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
optimalisasi kerja MRP (Majelis Rakyat Papua),
kapasitas SDM di kalangan orang asli Papua ternyata juga tidak siap
untuk mengelola fasilitas negara dalam bentuk dana program yang dialokasikan
kepada mereka. Kegagalan implementasi 10 tahun Otsus Papua 2001 ternyata
berdampak terhadap proses penghilangan legitimasi warganegara bagi
pemerintahnya sendiri, baik yang ada di Daerah maupun di Pusat.
Menarik diteruskan analisis ini, terutama
untuk meninjau upaya penggoncangan legitimasi negara dilakukan oleh warganegara
NKRI Papua dengan menggugat Pepera 1969.
Pertanyaan saya, bisakah Pepera 1969 dipergunakan sebagai alasan dalam
meruntuhkan legitimasi NKRI yang dianggap sejak paska Pepera, artinya dalam 43
tahun ini belum menampakkan perubahan yang menuju pada kesejahteraan orang asli
Papua?
Tulisan dari Tri Bangun L.Sony sebagai
Asisten Deputi Peningkatan Peran Masyarakat, Kementrian Lingkungan Hidup RI menjelaskan panjang lebar tentang
pengabsahan Pepera 1969. Pepera adalah
singkatan dari Penentuan Pendapat Rakyat yang dilaksanakan kepada rakyat Papua
dari tanggal 14 Juli sd 4 Agustus 1969. Pelaksanaannya disaksikan oleh utusan
Sekjen PBB Duta Besar Dr. Fernando Ortiz Sanz. Pada tanggal 19 November 1969,
dilakukan Sidang Umum PBB di New York untuk mendengar laporan dari Dr. Fernando
Ortiz Sanz. Kemudian dilakukan pemungutan suara di kalangan anggota PBB untuk
menerima hasil Pepera 1969 yang dikukuhkan dalam Resolusi 2504. Ada 84 negara yang menyatakan setuju dengan
Resolusi tersebut, termasuk di dalamnya Belanda, 30 negara abstain dan tidak
ada satupun negara yang menolak.
Pelaksanaan Pepera 1969 dilakukan
berdasarkan pada Persetujuan New York yang dibuat pada tanggal 15 Agustus 1962.
Ada tiga hal penting diputuskan dalam Persetujuan New York 1962. Pertama,
penyerahan Papua dari pemerintah Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary
Executive Authority). Kedua, UNTEA menyelenggarakan pemerintah yang stabil di
Papua untuk kurun masa waktu tertentu. Ketiga,
UNTEA melaksanakan Pepera melibatkan warga masyarakat Papua.
Banyak analisis dari kalangan aktivis HAM
Papua, mempersoalkan tentang pelaksanaan Papera 1969 yang dianggap tidak
merepresentasikan kedaulatan warga Papua. Prosedur keterwakilan dan kemandirian
pemilihan sangat diragukan karena pelaksanaannya Pepera tidak berjenjang dari
kabupaten, tetapi hanya pada tingkat propinsi.
Lebih jauh Pepera 1969 dipandang sekedar alat legitimasi untuk
menyerahkan Papua kepada Indonesia sebagaimana diatur dalam Perjanjian Roma
pada tahun 1957. Dalam Perjanjian Roma
ini dijelaskan bahwa pemerintahan Belanda sebagai bagian dari Komunitas Ekonomi Eropa harus memberikan Papua
kepada pemerintah Indonesia untuk digunakan dalam jangka waktu 25 tahun.
Menarik mengkaji pandangan kedaulatan
suatu bangsa yang dipahami sebagai hasil dari kalah perang dunia kedua. Kedaulatan suatu negara hampir tidak ada sama
sekali sesudah Jepang dikalahkan oleh NATO dan sekutunya. Indonesia yang mengumumkan kemerdekaannya
harus berhadapan dengan penolakan pengakuan dari pemerintah Belanda yang baru
bisa dipenuhi pada tahun 1949. Sementara Belanda bisa kembali menguasai Papua Barat
sampai dengan peristiwa Pepera 1969 dengan lebih dulu dilalui dengan operasi
Trikora selama dua tahun dari tanggal 19 Desember 1961 sd 15 Agustus 1962.
Mempersengketakan Belanda atas pemilikan
kembali Papua, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Soekarno didasarkan pada
logika daerah kekuasaan kolonial Belanda yang meliputi seluruh teritori dagang
dari Dutch East Indies termasuk juga Papua. Periode pendudukan Jepang di antara tahun
1942-1945 telah menghilangkan kekuasaan Belanda termasuk juga ketika Jepang
kalah dalam perang dunia kedua. Sebagai
pemenang perang dunia kedua, Amerika Serikat dan sekutunya ternyata berkuasa
untuk menentukan arah perjalanan suatu negara. Negara-negara Eropa termasuk Belanda
adalah penerima bantuan dari Amerika Serikat melalui program Marshal Plan dari
tahun 1948 sd 1953 untuk membangun negara masing-masing sesudah perang dunia kedua. Amerika Serikat
dan sekutunya juga yang turut berkuasa menentukan nasib Papua yang akhirnya
dimasukan dalam rencana pengembangan komunitas Ekonomi Eropa seperti
dicantumkan dalam Perjanjian Roma tahun 1957.
Mempelajari sejarah pembagian
wilayah-wilayah dari suatu daerah yang kalah perang dunia kedua, menyadarkan
kita tentang kekuasaan besar yang sedang dilawan oleh seluruh warganegara
Indonesia termasuk Papua, adalah pertumbuhan kantong-kantong kapitalisme,
eksploirasi sumber daya alam dan rendahnya pemerintah Indonesia dalam membela
rakyatnya sendiri berhadapan dengan gurita perekonomian dunia. Tiba pada
kesimpulan ini, menyadarkan kita semua, bahwa perjuangan keadilan,
kesejahteraan dan perdamaian di bumi Papua, adalah juga perjuangan seluruh
warganegara NKRI.
Apabila pemerintah Indonesia sendiri tidak
bisa lagi memperjuangkan nasib warganegaranya, termasuk melindunginya dari
eksploitasi penanaman modal asing karena alasan-alasan sejarah, kekalahan
perang dunia kedua, maka saatnya untuk seluruh warganegara bergandeng tangan
mengupayakan pembebasan tersebut. Jalan ke sana memang panjang tetapi harus
dimulai sekarang. Caranya adalah memberikan jempol anda kepada Petisi
Warganegara NKRI untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar