Translate

Minggu, 22 Juli 2012

Rentangan sejarah panjang memahami Pepera 1969


Merayakan sebulan Petisi Warganegara NKRI untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua

Rentangan sejarah panjang memahami Pepera 1969
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Tulisan ini baru mewujud sekarang, tetapi embrionya sudah muncul sejak pelaksanaan Seminar Nasional  bertemakan “Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 Tahun Pepera 1969”.  Walaupun pelaksanaan seminar tsb menuai pembubaran, tetapi sesudah peristiwa itu saya sudah menulis beberapa artikel. Artikel pertama berjudul Pembelajaran dari Pembubaran Seminar Nasional “Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/pembelajaran-dari-pembubaran-seminar.html . Artikel kedua berjudul “Papua adalah Korban Pertarungan Ideologi” http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html

Dalam tulisan saya lainnya, saya menyinggung tentang sedikitnya ulasan tentang Pepera 1969 sebagaimana diharapkan dalam tema seminar nasional tsb.  Diskusi lebih banyak diarahkan untuk memahami kondisi sosial politik ekonomi Papua sesudah penetapan Pepera tahun 1969. Kesimpulannya terkait dengan kenyataan penelantaran pembangunan dan pengabaian pengembangan sumber daya manusia dari  warganegara NKRI Papua. Adapun pertarungan dua ideologi nasionalisme  terkait dengan pandangan pemerintah Pusat  tentang nasionalisme Papua dalam NKRI dan ideologi nasionalisme dari warganegara NKRI Papua yang diartikan dengan rendahnya  pencapaian kemerdekaan yang terukur dalam kualitas kehidupan warga.  Pertarungan ini meminta banyak korban bagi warganegara NKRI Papua.

Eskalasi pertarungan makin gencang, sulit terbentengi.  Berbagai  aksi protes yang digelarkan oleh masyarakat Papua karena kekerasan aparat terhadap warga sipil yang dianggapnya sebagai pejuang nasionalisme Papua berkedok OPM.  Tindak kekerasan yang  dilakukan aparat  kepada warga sipil  di Papua menurut informasi Komnas HAM telah mencapai batas keprihatinan. Sekalipun demikian upaya menuntaskan masalah Papua belum juga terwujud. Pada satu sisi, Pemerintah Pusat beranggapan bahwa pemberian Otsus Papua 2001 merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah Papua. Akan tetapi dalam melaksanakan Otsus ternyata ada banyak hal yang belum diimplementasikan.

Ketidakpuasaan warganegara NKRI Papua terhadap Pemerintah NKRI menyebabkan mereka menggugat kembali proses integrasi Papua ke dalam NKRI. Ada dua hal yang saya akan membahas dalam tulisan ini. Pertama, apa makna gugatan warganegara NKRI Papua terhadap legitimasi NKRI bagi kedaulatan bumi Papua berintegrasi dengan Indonesia? Kedua, bagaimana sesungguhnya Pepera 1969 harus didudukkan dalam konteks pengintegrasian Papua ke dalam wilayah NKRI.

Bruce Gilley (2009) menjelaskan bahwa negara dengan tingkat kekerasan terhadap warga sipil yang tinggi, terutama upaya dengan sengaja melenyapkan mereka yang melakukan protes, sebenarnya sedang menghadapi kehilangan legitimasinya. Legitimasi adalah kekuasaan yang diterima negara dalam hal ini pemerintah dari warganegaranya.  Ada berbagai ciri dari legitimasi negara.  Legitimasi tercapai karena warganegara memberikan kepada pemerintah terpilih otoritas untuk memimpin mereka dan mengendalikan negara.  Dengan legitimasi ini, negara mempunyai kekuasaan untuk mempersatukan warganegaranya mencapai kepentingan bersama.  

Sebaliknya ketika negara tidak mempunyai legitimasi, kecenderungan untuk menggunakan regulasi sebagai alat penekan untuk mempersatukan warganegara akan makin tinggi.  Ketika warganegara menolak untuk tunduk pada regulasi yang dibuat tanpa partisipasi mereka, maka negara akan melakukan tindakan kekerasan bahkan menuju pada brutalisme.  Legitimasi negara semakin tipis ketika tingkat protes terhadap legitimasi pemerintah makin tinggi.

Dengan semakin tingginya eskalasi kekerasan di bumi Papua, di mana aparat terlibat dalam melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil sebenarnya sesuai dengan penjelasan teori legitimasi di atas, dapat dikategorikan sedang mengalami krisis legitimasi. Otoritas NKRI dipertanyakan adalah sebenarnya mempertanyakan kekuasaan pemerintahan yang sedang berkuasa, baik pemerintah Daerah maupun Pusat.  Pemerintah yang dimaksudkan adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan program-program untuk masyarakat.

Otsus Papua menyebabkan mengalirnya dana perimbangan pusat daerah yang hampir 80% dikembalikan kepada daerah dari pendapatan yang dihasilkan di dalam Papua sendiri. Akan tetapi masuknya dana tersebut kembali ke Papua, belum terlihat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Penekanan pada infrastruktur dengan banyaknya bangunan, perumahan dan prasarana lainnya  yang didirikan masih mendominasi kebijakan pembangunan di Papua. Sementara asas pemanfaatan kepada institusi dan prasarana fisik tersebut terkesan terbatas terhadap aksesitas bagi orang-orang asli Papua.  Mereka ternyata belum dipersiapkan untuk bisa siap dalam mengelola sarana prasarana institusi, organisasi, jaring-jaring pembangunan selain prasarana fisik yang sudah tersedia.

Misalkan pengalaman saya memasuki pasar-pasar di Papua, terutama pasar dengan tampilan yang canggih, bersih, luas, hanya ditempati oleh warga asli Papua yang menjual hasil-hasil bumi. Bahkan yang paling terasa adalah pembedaan dalam mengoperasikan pasar. Kebutuhan makanan dari warga non Papua bisa diperoleh melalui penjual keliling yang mengendarai motor dengan sistem lemari pajangan jualannya yang sangat canggih.  Kegiatan penjualan yang lain, dikendalikan oleh jaringan ekonomi diluar orang-orang Papua asli dan dibangun di luar areal infrastruktur ekonomi orang Papua asli. Penggambaran ini menunjukkan bahwa orang Papua melakukan transaksi dagang yang tidak berimbang. Penjualan yang dilakukan orang asli Papua bernilai rendah dengan tingkat pembelian kebutuhan lain yang sangat tinggi, bahkan melebihi batas kewajaran seperti yang dijelaskan dalam tulisan saya lainnya http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/07/papua-adalah-korban-pertarungan.html

Warganegara NKRI mempertanyakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Daerah maupun Pusat dalam memproteksi orang-orang asli Papua. Mereka tahu dana Otsus Papua yang diberikan kepada setiap keluarga asli Papua ternyata hilang terlalu cepat. Jaringan perekonomian yang dikuasai oleh kaum pendatang, sudah menyusup sampai ke desa-desa. Misalkan hanya untuk menukar uang persembahan yang akan dibawa ke dalam ibadah di gereja, mereka harus membayar mahal untuk satu permen kepada pedagang yang sudah menunggunya di dekat tempat beribadah. Rakyat tidak punya pilihan untuk menolak pendatang yang memasuki desanya untuk berdagang. Bahkan mereka diberikan tempat yang layak untuk berdagang.

Dengan kepekaan tinggi, orang asli Papua menyimpulkan bahwa Otsus Papua 2001 dikategorikan gagal.  Selain beberapa tindakan lanjutan dari Otsus yang belum nampak seperti Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, optimalisasi kerja MRP (Majelis Rakyat Papua),  kapasitas SDM di kalangan orang asli Papua ternyata juga tidak siap untuk mengelola fasilitas negara dalam bentuk dana program yang dialokasikan kepada mereka. Kegagalan implementasi 10 tahun Otsus Papua 2001 ternyata berdampak terhadap proses penghilangan legitimasi warganegara bagi pemerintahnya sendiri, baik yang ada di Daerah maupun di Pusat.

Menarik diteruskan analisis ini, terutama untuk meninjau upaya penggoncangan legitimasi negara dilakukan oleh warganegara NKRI Papua dengan menggugat Pepera 1969.  Pertanyaan saya, bisakah Pepera 1969 dipergunakan sebagai alasan dalam meruntuhkan legitimasi NKRI yang dianggap sejak paska Pepera, artinya dalam 43 tahun ini belum menampakkan perubahan yang menuju pada kesejahteraan orang asli Papua?

Tulisan dari Tri Bangun L.Sony sebagai Asisten Deputi Peningkatan Peran Masyarakat, Kementrian Lingkungan  Hidup RI menjelaskan panjang lebar tentang pengabsahan Pepera 1969.  Pepera adalah singkatan dari Penentuan Pendapat Rakyat yang dilaksanakan kepada rakyat Papua dari tanggal 14 Juli sd 4 Agustus 1969. Pelaksanaannya disaksikan oleh utusan Sekjen PBB Duta Besar Dr. Fernando Ortiz Sanz. Pada tanggal 19 November 1969, dilakukan Sidang Umum PBB di New York untuk mendengar laporan dari Dr. Fernando Ortiz Sanz. Kemudian dilakukan pemungutan suara di kalangan anggota PBB untuk menerima hasil Pepera 1969 yang dikukuhkan dalam Resolusi 2504.  Ada 84 negara yang menyatakan setuju dengan Resolusi tersebut, termasuk di dalamnya Belanda, 30 negara abstain dan tidak ada satupun negara yang menolak.

Pelaksanaan Pepera 1969 dilakukan berdasarkan pada Persetujuan New York yang dibuat pada tanggal 15 Agustus 1962. Ada tiga hal penting diputuskan dalam Persetujuan New York 1962. Pertama, penyerahan Papua dari pemerintah Belanda kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Kedua, UNTEA menyelenggarakan pemerintah yang stabil di Papua untuk kurun masa waktu tertentu.  Ketiga, UNTEA melaksanakan Pepera melibatkan warga masyarakat Papua.

Banyak analisis dari kalangan aktivis HAM Papua, mempersoalkan tentang pelaksanaan Papera 1969 yang dianggap tidak merepresentasikan kedaulatan warga Papua. Prosedur keterwakilan dan kemandirian pemilihan sangat diragukan karena pelaksanaannya Pepera tidak berjenjang dari kabupaten, tetapi hanya pada tingkat propinsi.  Lebih jauh Pepera 1969 dipandang sekedar alat legitimasi untuk menyerahkan Papua kepada Indonesia sebagaimana diatur dalam Perjanjian Roma pada tahun 1957.  Dalam Perjanjian Roma ini dijelaskan bahwa pemerintahan Belanda sebagai bagian dari  Komunitas Ekonomi Eropa harus memberikan Papua kepada pemerintah Indonesia untuk digunakan dalam jangka waktu 25 tahun.

Menarik mengkaji pandangan kedaulatan suatu bangsa yang dipahami sebagai hasil dari kalah perang dunia kedua.  Kedaulatan suatu negara hampir tidak ada sama sekali sesudah Jepang dikalahkan oleh NATO dan sekutunya.  Indonesia yang mengumumkan kemerdekaannya harus berhadapan dengan penolakan pengakuan dari pemerintah Belanda yang baru bisa dipenuhi pada tahun 1949. Sementara  Belanda bisa kembali menguasai Papua Barat sampai dengan peristiwa Pepera 1969 dengan lebih dulu dilalui dengan operasi Trikora selama dua tahun dari tanggal 19 Desember 1961 sd 15 Agustus 1962.

Mempersengketakan Belanda atas pemilikan kembali Papua, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Soekarno didasarkan pada logika daerah kekuasaan kolonial Belanda yang meliputi seluruh teritori dagang dari Dutch East Indies termasuk juga Papua. Periode pendudukan Jepang di antara tahun 1942-1945 telah menghilangkan kekuasaan Belanda termasuk juga ketika Jepang kalah dalam perang dunia kedua.  Sebagai pemenang perang dunia kedua, Amerika Serikat dan sekutunya ternyata berkuasa untuk menentukan arah perjalanan suatu negara. Negara-negara Eropa termasuk Belanda adalah penerima bantuan dari Amerika Serikat melalui program Marshal Plan dari tahun 1948 sd 1953 untuk membangun negara masing-masing  sesudah perang dunia kedua. Amerika Serikat dan sekutunya juga yang turut berkuasa menentukan nasib Papua yang akhirnya dimasukan dalam rencana pengembangan komunitas Ekonomi Eropa seperti dicantumkan dalam Perjanjian Roma tahun 1957.

Mempelajari sejarah pembagian wilayah-wilayah dari suatu daerah yang kalah perang dunia kedua, menyadarkan kita tentang kekuasaan besar yang sedang dilawan oleh seluruh warganegara Indonesia termasuk Papua, adalah pertumbuhan kantong-kantong kapitalisme, eksploirasi sumber daya alam dan rendahnya pemerintah Indonesia dalam membela rakyatnya sendiri berhadapan dengan gurita perekonomian dunia. Tiba pada kesimpulan ini, menyadarkan kita semua, bahwa perjuangan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di bumi Papua, adalah juga perjuangan seluruh warganegara NKRI.

Apabila pemerintah Indonesia sendiri tidak bisa lagi memperjuangkan nasib warganegaranya, termasuk melindunginya dari eksploitasi penanaman modal asing karena alasan-alasan sejarah, kekalahan perang dunia kedua, maka saatnya untuk seluruh warganegara bergandeng tangan mengupayakan pembebasan tersebut. Jalan ke sana memang panjang tetapi harus dimulai sekarang. Caranya adalah memberikan jempol anda kepada Petisi Warganegara NKRI untuk Papua http://www.facebook.com/petisi.untuk.papua




Tidak ada komentar:

Posting Komentar