Translate

Senin, 09 Juli 2012

Pembelajaran dari Pembubaran Seminar Nasional "Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969"


Pembelajaran dari Pembubaran Seminar Nasional  “Menuju Kesejahteran dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun  Pepera 1969”.

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Ruang yang dipenuh oleh banyak partisipan sehingga ada yang harus berdiri, akhirnya harus dikosongkan ketika mahasiswa Papua yang menghadiri acara tersebut meminta semua orang Papua keluar dari ruangan University Club. Peristiwa ini terjadi sebelum jam makan siang ketika sesi pertama yang dimoderatori oleh Kania Sutisnawinataa dari Metro – TV sedang berlangsung. Pembicara-pembicara yang menyampaikan materi di sesi pertama ini adalah Julius Septer Manufandu sebagai Sekjen Forum LSM Papua, Jaka Triana SH., LLM., MA sebagai pakar sejarah dan hukum tatanegara UGM dan Prof.Drs. Purwo Santoso, MA,PhD. Menanggapi pembicara-pembicara tersebut, moderator mempersilahkan penanggap yang khusus dipilih untuk memberikan pandangan mereka terhadap masukan dari para pembicara.

Urutan percakapan yang disepakai, sesudah pembicara yang duduk di podium, kemudian penanggap terpisah baru penanggap dari peserta umum yang duduk berjubel memenuhi ruang sampai ke belakang pintu masuk. Jadi sesudah penanggap terpilih yang duduk di meja-meja bundar,  kemudian moderator membuka kesempatan untuk tiga penanggap dari lapisan peserta umum. Pada saat itulah, sesudah seorang penanggap dari Papua menyampaikan pandangannya tentang apa yang dimaksudkan dengan Pepera 1969, langsung tiba-tiba seorang partisipan seminar berdiri menepuk-nepukan gulungan kertas putih ke atas meja untuk meminta teman-temannya dari Papua meninggalkan ruangan seminar. Ajakan ini menyebabkan teman-temannya bereaksi sehingga ruangan makin mencekam sampai akhirnya moderator meminta untuk acara seminar diskor. Desakan untuk seminar dihentikan sangat kuat, sehingga semua pembicara akhirnya meninggalkan ruangan.

Ruangan seminar tetap dipenuhi dengan banyak peserta lainnya yang masih menyaksikan proses berakhirnya kegiatan tersebut. Seorang pemimpin Papua yang sudah lama menetap di Yogyakarta, pak Hans Maniburi sebagai sesepuh masyarakat Papua, tiba-tiba bersuara untuk menenangkan peserta seminar dari Papua tsb. Perlu waktu kira-kira 10 menit sebelum akhirnya pemuda-pemuda Papua bisa tenang kembali. Pak Hans Maniburi berbicara dengan suara merangkul yang menyentuh hati pemuda-pemuda Papua.  Seminar ini tidak akan diteruskan lagi. Penyampaian bahwa seminar tsb langsung ditutup sebagaimana penjelasan yang diterima oleh pak Hans Maniburi dari panitia penyelenggara menyebabkan pemuda-pemuda Papua bersorak sorai.

Lebih lanjut, pak Hans Maniburi mengatakan bahwa masyarakat Papua perlu mengetahui tujuan pelaksanaan seminar tsb di Yogyakarta untuk  menunjukkan solidaritas bersama dari saudara-saudara di seluruh tanah air  terhadap perkembangan situasi yang sedang berlangsung di Papua. Penyelenggara kegiatan seminar, Lingkar Pelangi Nusantara dan jejaring terkait bermaksud baik untuk menginisiasi dialog terbuka terutama terkait dengan topik yang jarang disentuh dalam diskusi tentang permasalahan Papua. Penyampaikan isi hati pak Hans Maniburi dilakukan dengan menyentuh hati pemuda-pemuda Papua tsb, menyebabkan situasi bisa terkontrol kembali.

Kemudian pak Hans Maniburi mengajak seorang pemimpin gereja yang hadir pada acara tsb untuk berdoa bersama dengan pemuda-pemuda Papua. Doa yang dipimpin oleh Pdt. Indriarto dari Omah Pirukun sangat mengharukan banyak peserta yang masih berada pada ruangan seminar itu. Doa ini menghadirkan kembali kesejukkan dan hati yang mengasihi di antara semua peserta sehingga mengiklaskan peristiwa tsb harus diakhir lebih cepat dari yang direncanakan. Pihak manajemen University Club UGM merasa lega bahwa acara seminar tidak diteruskan dan bisa berakhir tanpa kekerasan sekalipun ada beberapa gelas yang pecah ketika tersenggol dari pemuda-pemuda yang bergerak maju membubarkan acara seminar ini.

Tanggapan dari berbagai orang terhadap penghentian seminar nasional bertemakan "Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969", yang dilakukan pada tanggal 9 Juli 2012 di University Club UGM,  perlu dijelaskan dalam laporan ini dengan tujuan untuk memahami tentang situasi yang sedang terjadi pada saat seminar berlangsung. Ketegangan terhadap mekanisme seminar sebenarnya sudah muncul ketika moderator menjelaskan tentang proses seminar yang akan hanya melibatkan pembicara dan penanggap. Atas desakan peserta terutama pemuda-pemuda dari Papua, tanya jawab juga dibuka untuk  peserta umum sesudah penanggap terpilih menyampaikan pandangan mereka. Keberatan pemuda-pemuda Papua terkait dengan  mekanisme representasi dalam acara seminar terutama penanggap terpilih dianggap bukan berasal dari usulan pemuda-pemuda Papua di Yogyakarta.



Sekalipun judulnya sangat menarik untuk didiskusikan, sebagaimana diusulkan dari penyelenggara, tetapi menurut pemuda-pemuda Papua, judul tersebut tidak mengakomodasikan usulan dari Lembaga Intelektual Tanah Papua yang bersama dengan Lingkar Pelangi Nusantara adalah juga penyelenggara seminar ini. Usulan mereka adalah Solusi konflik penangan Papua atau Solusi untuk Papua, suatu paparan judul yang lebih umum sehingga tidak harus terfokus pada pembahasan Pepera 1969.


Pada sisi lain, penyelenggara tetap memasang tema tersebut karena berasumsi bahwa pembahasan secara akademik tentang masalah Papua belum menyentuh isu Pepera 1969.  Pemunculan topik ini sebenarnya muncul dari diskusi-diskusi informal di kalangan pemuda-pemuda Papua di Yogyakarta. Sehingga sangatlah penting tema seminar mengangkat isu Pepera 1969 yang dikaitkan dengan isu lainnya yaitu kesejahteraan dan keadilan sesudah 43 tahun pelaksanaan Pepera. Penyelenggaraannya di universitas, terutama di UGM untuk memberikan muatan intelektual sehingga tujuan dari dialog terbuka bisa terselenggara.

Kenyataan pembubaran seminar nasional ini sebenarnya menjelaskan banyak hal terkait dengan kesesuaian antara isu yang diperjuangkan dengan metode memperjuangkannya. Terlihat jelas bahwa pemuda-pemuda Papua berasumsi bahwa seminar dengan isu tentang Pepera 1969 seharusnya dibahas di Papua, bukan di Yogyakarta. Pembahasan tentang solusi untuk Papua, bisa dilakukan dalam konteks lebih luas di Indonesia, tetapi bahasan yang terkait dengan Pepera 1969 harusnya dilaksanakan di Papua. Sementara untuk penyelenggara, apabila Papera 1969 adalah permasalahan, sebaiknya didiskusikan secara terbuka juga diluar bumi Papua, supaya seluruh warganegara Indonesia mengerti permasalahannya.

Kesalahpemahaman terkait dengan maksud penyelenggaraan dan pemilihan tema pembahasan seminar nasional ini, akhirnya menyebabkan seminar nasional berjalan setengah pelaksanaannya saja. Ketegangan dalam memahami maksud penyelengaraan dari acara seminar nasional terlihat belum terselesaikan sehingga akhirnya dibawa sampai pada pelaksanaannya. Sekalipun demikian yang sangat menarik terlihat bahwa seminar berlangsung tanpa penjagaan aparat. Pendekatan anti kekerasan sebagai prinsip penyelenggara sangat mewarnai kegiatan seminar ini. Upaya berdiskusi dicoba dibangun tanpa terpengaruh dengan stigmatisasi yang sudah berkembang dalam masyarakat tentang permasalahan Papua yang terkait dengan peran aparat dalam kekerasan di Papua.

Dengan pilihan ini, menetralkan ruang seminar dari kehadiran aparat, diharapkan akan ada diskusi yang terbuka dan kekeluargaan tentang masalah Papua. Akan tetapi situasi ternyata menunjukkan kenyataan lain. Asumsi diskusi intelektual yang diharapkan berlangsung akhirnya harus dihentikan sesudah beberapa orang terpancing emosi oleh karena upaya penggalian tentang Pepera 1969 yang ternyata dalam benak masyarakat Papua mempunyai makna yang berbeda dengan peserta lainnya yang sama sekali masih baru dalam mengerti tentang isu ini. Kesan kekerasan muncul seolah-olah ada ketidakkonsistensi dari perjuangan HAM yang sedang dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai yang sedang diperjuangkannya sendiri.

Pembelajaran yang bisa dipetik dari penyelenggaraan seminar untuk tujuan dialog adalah penentuan tema harus merupakan kesepakatan dari semua pihak yang mempunyai kepentingan terhadap isu yang dibahas. Apabila tema tertentu akhirnya harus diangkat sebagai bahasan, maka proses sosialisasi pematangan persepsi tentang isu tsb perlu dilakukan merata sebelum kemudian dibuka untuk didiskusikan lebih meluas dengan menghadirkan semakin banyak orang. Mekanisme kegiatan dilakukan dari bawah, sebenarnya merupakan metode berdialog berjenjang yang memang harus melalui suatu proses dengan waktu tertentu. Prinsip-prinsip ini apabila dilakukan, ditambah dengan proses menetralisasikan ruang diskusi publik atau seminar dari kehadiran aparat pada akhirnya dapat menghasilkan kualitas seminar dengan tujuan pencapaiannya yang diharapkan bersama.
Bisa diteruskan ke artikel berikutnya "Papua adalah korban pertarungan ideologi", suatu ulasan dari seminar nasional tsb ( http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/.../papua-adalah-korban...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar