Pembelajaran
dari Pembubaran Seminar Nasional “Menuju
Kesejahteran dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969”.
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Ruang yang dipenuh oleh banyak partisipan sehingga ada yang harus berdiri, akhirnya harus dikosongkan ketika mahasiswa Papua yang menghadiri acara tersebut meminta semua orang Papua keluar dari ruangan University Club. Peristiwa ini terjadi sebelum jam makan siang ketika sesi pertama yang dimoderatori oleh Kania Sutisnawinataa dari Metro – TV sedang berlangsung. Pembicara-pembicara yang menyampaikan materi di sesi pertama ini adalah Julius Septer Manufandu sebagai Sekjen Forum LSM Papua, Jaka Triana SH., LLM., MA sebagai pakar sejarah dan hukum tatanegara UGM dan Prof.Drs. Purwo Santoso, MA,PhD. Menanggapi pembicara-pembicara tersebut, moderator mempersilahkan penanggap yang khusus dipilih untuk memberikan pandangan mereka terhadap masukan dari para pembicara.
Urutan
percakapan yang disepakai, sesudah pembicara yang duduk di podium, kemudian
penanggap terpisah baru penanggap dari peserta umum yang duduk berjubel
memenuhi ruang sampai ke belakang pintu masuk. Jadi sesudah penanggap terpilih yang
duduk di meja-meja bundar, kemudian
moderator membuka kesempatan untuk tiga penanggap dari lapisan peserta umum. Pada
saat itulah, sesudah seorang penanggap dari Papua menyampaikan pandangannya
tentang apa yang dimaksudkan dengan Pepera 1969, langsung tiba-tiba seorang
partisipan seminar berdiri menepuk-nepukan gulungan kertas putih ke atas meja
untuk meminta teman-temannya dari Papua meninggalkan ruangan seminar. Ajakan
ini menyebabkan teman-temannya bereaksi sehingga ruangan makin mencekam sampai
akhirnya moderator meminta untuk acara seminar diskor. Desakan untuk seminar
dihentikan sangat kuat, sehingga semua pembicara akhirnya meninggalkan ruangan.
Ruangan
seminar tetap dipenuhi dengan banyak peserta lainnya yang masih menyaksikan
proses berakhirnya kegiatan tersebut. Seorang pemimpin Papua yang sudah lama
menetap di Yogyakarta, pak Hans Maniburi sebagai sesepuh masyarakat Papua,
tiba-tiba bersuara untuk menenangkan peserta seminar dari Papua tsb. Perlu
waktu kira-kira 10 menit sebelum akhirnya pemuda-pemuda Papua bisa tenang
kembali. Pak Hans Maniburi berbicara dengan suara merangkul yang menyentuh hati
pemuda-pemuda Papua. Seminar ini tidak
akan diteruskan lagi. Penyampaian bahwa seminar tsb langsung ditutup
sebagaimana penjelasan yang diterima oleh pak Hans Maniburi dari panitia
penyelenggara menyebabkan pemuda-pemuda Papua bersorak sorai.
Lebih
lanjut, pak Hans Maniburi mengatakan bahwa masyarakat Papua perlu mengetahui tujuan
pelaksanaan seminar tsb di Yogyakarta untuk menunjukkan solidaritas bersama dari
saudara-saudara di seluruh tanah air terhadap
perkembangan situasi yang sedang berlangsung di Papua. Penyelenggara kegiatan
seminar, Lingkar Pelangi Nusantara dan jejaring terkait bermaksud baik untuk
menginisiasi dialog terbuka terutama terkait dengan topik yang jarang disentuh
dalam diskusi tentang permasalahan Papua. Penyampaikan isi hati pak Hans
Maniburi dilakukan dengan menyentuh hati pemuda-pemuda Papua tsb, menyebabkan
situasi bisa terkontrol kembali.
Kemudian pak
Hans Maniburi mengajak seorang pemimpin gereja yang hadir pada acara tsb untuk
berdoa bersama dengan pemuda-pemuda Papua. Doa yang dipimpin oleh Pdt.
Indriarto dari Omah Pirukun sangat mengharukan banyak peserta yang masih berada
pada ruangan seminar itu. Doa ini menghadirkan kembali kesejukkan dan hati yang
mengasihi di antara semua peserta sehingga mengiklaskan peristiwa tsb harus
diakhir lebih cepat dari yang direncanakan. Pihak manajemen University Club UGM
merasa lega bahwa acara seminar tidak diteruskan dan bisa berakhir tanpa
kekerasan sekalipun ada beberapa gelas yang pecah ketika tersenggol dari
pemuda-pemuda yang bergerak maju membubarkan acara seminar ini.
Tanggapan
dari berbagai orang terhadap penghentian seminar nasional bertemakan "Menuju Kesejahteraan dan Keadilan Papua Setelah 43 tahun Pepera 1969", yang dilakukan pada tanggal 9 Juli 2012 di University Club UGM, perlu dijelaskan dalam
laporan ini dengan tujuan untuk memahami tentang situasi yang sedang terjadi
pada saat seminar berlangsung. Ketegangan terhadap mekanisme seminar sebenarnya
sudah muncul ketika moderator menjelaskan tentang proses seminar yang akan
hanya melibatkan pembicara dan penanggap. Atas desakan peserta terutama
pemuda-pemuda dari Papua, tanya jawab juga dibuka untuk peserta umum sesudah penanggap terpilih menyampaikan
pandangan mereka. Keberatan pemuda-pemuda Papua terkait dengan mekanisme representasi dalam acara seminar
terutama penanggap terpilih dianggap bukan berasal dari usulan pemuda-pemuda
Papua di Yogyakarta.
Sekalipun
judulnya sangat menarik untuk didiskusikan, sebagaimana diusulkan dari
penyelenggara, tetapi menurut pemuda-pemuda Papua, judul tersebut tidak
mengakomodasikan usulan dari Lembaga Intelektual Tanah Papua yang bersama
dengan Lingkar Pelangi Nusantara adalah juga penyelenggara seminar ini. Usulan
mereka adalah Solusi konflik penangan Papua atau Solusi untuk Papua, suatu
paparan judul yang lebih umum sehingga tidak harus terfokus pada pembahasan
Pepera 1969.
Pada sisi
lain, penyelenggara tetap memasang tema tersebut karena berasumsi bahwa
pembahasan secara akademik tentang masalah Papua belum menyentuh isu Pepera
1969. Pemunculan topik ini sebenarnya muncul
dari diskusi-diskusi informal di kalangan pemuda-pemuda Papua di Yogyakarta.
Sehingga sangatlah penting tema seminar mengangkat isu Pepera 1969 yang
dikaitkan dengan isu lainnya yaitu kesejahteraan dan keadilan sesudah 43 tahun
pelaksanaan Pepera. Penyelenggaraannya di universitas, terutama di UGM untuk
memberikan muatan intelektual sehingga tujuan dari dialog terbuka bisa terselenggara.
Kenyataan
pembubaran seminar nasional ini sebenarnya menjelaskan banyak hal terkait
dengan kesesuaian antara isu yang diperjuangkan dengan metode
memperjuangkannya. Terlihat jelas bahwa pemuda-pemuda Papua berasumsi bahwa
seminar dengan isu tentang Pepera 1969 seharusnya dibahas di Papua, bukan di
Yogyakarta. Pembahasan tentang solusi untuk Papua, bisa dilakukan dalam konteks
lebih luas di Indonesia, tetapi bahasan yang terkait dengan Pepera 1969
harusnya dilaksanakan di Papua. Sementara untuk penyelenggara, apabila Papera
1969 adalah permasalahan, sebaiknya didiskusikan secara terbuka juga diluar
bumi Papua, supaya seluruh warganegara Indonesia mengerti permasalahannya.
Kesalahpemahaman
terkait dengan maksud penyelenggaraan dan pemilihan tema pembahasan seminar
nasional ini, akhirnya menyebabkan seminar nasional berjalan setengah
pelaksanaannya saja. Ketegangan dalam memahami maksud penyelengaraan dari acara
seminar nasional terlihat belum terselesaikan sehingga akhirnya dibawa sampai
pada pelaksanaannya. Sekalipun demikian yang sangat menarik terlihat bahwa
seminar berlangsung tanpa penjagaan aparat. Pendekatan anti kekerasan sebagai
prinsip penyelenggara sangat mewarnai kegiatan seminar ini. Upaya berdiskusi
dicoba dibangun tanpa terpengaruh dengan stigmatisasi yang sudah berkembang
dalam masyarakat tentang permasalahan Papua yang terkait dengan peran aparat
dalam kekerasan di Papua.
Dengan
pilihan ini, menetralkan ruang seminar dari kehadiran aparat, diharapkan akan
ada diskusi yang terbuka dan kekeluargaan tentang masalah Papua. Akan tetapi
situasi ternyata menunjukkan kenyataan lain. Asumsi diskusi intelektual yang
diharapkan berlangsung akhirnya harus dihentikan sesudah beberapa orang
terpancing emosi oleh karena upaya penggalian tentang Pepera 1969 yang ternyata
dalam benak masyarakat Papua mempunyai makna yang berbeda dengan peserta
lainnya yang sama sekali masih baru dalam mengerti tentang isu ini. Kesan
kekerasan muncul seolah-olah ada ketidakkonsistensi dari perjuangan HAM yang
sedang dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai
yang sedang diperjuangkannya sendiri.
Pembelajaran
yang bisa dipetik dari penyelenggaraan seminar untuk tujuan dialog adalah
penentuan tema harus merupakan kesepakatan dari semua pihak yang mempunyai
kepentingan terhadap isu yang dibahas. Apabila tema tertentu akhirnya harus
diangkat sebagai bahasan, maka proses sosialisasi pematangan persepsi tentang isu
tsb perlu dilakukan merata sebelum kemudian dibuka untuk didiskusikan lebih
meluas dengan menghadirkan semakin banyak orang. Mekanisme kegiatan dilakukan
dari bawah, sebenarnya merupakan metode berdialog berjenjang yang memang harus
melalui suatu proses dengan waktu tertentu. Prinsip-prinsip ini apabila
dilakukan, ditambah dengan proses menetralisasikan ruang diskusi publik atau
seminar dari kehadiran aparat pada akhirnya dapat menghasilkan kualitas seminar
dengan tujuan pencapaiannya yang diharapkan bersama.
Bisa diteruskan ke artikel berikutnya "Papua adalah korban pertarungan ideologi", suatu ulasan dari seminar nasional tsb ( http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/.../papua-adalah-korban...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar