Pengantar:
Saya mulai menulis tentang sejarah. Sebagai seorang
antropolog, saya sudah lama tertarik dengan sejarah terutama karena pengkayaan
yang diperoleh selama pendidikan teologi. Saya seorang teolog dengan minat
studi Perjanjian Lama. Memasuki bulan Agustus 2012, yang adalah bulan
Kemerdekaan Indonesia, saya ingin memulai menulis tentang sejarah, siapa yang
memiliki sejarah dan bagaimana sejarah ditulis. Keinginan ini sudah lama ada
pada saya, terutama menulis topik ini dalam bahasa Indonesia. Penelitian S3 saya
tentang sejarah agama dan konflik sosial di Maluku ditulis dalam bahasa
Inggeris. Untuk anda yang ingin membacanya bisa mengakses langsung pada situs
online dari Universiteit van Radboud Njimegen di mana saya dipromosikan dengan
Promotor Prof. Frans Husken seorang antropolog yang menggabungkan pendekatan
sejarah dalam riset-risetnya dan menguatkan keyakinan saya tentang sejarah dalam antropologi dan antropologi dalam sejarah. Beliau meninggalkan tanggal 28 April 2010. Hari
ini tanggal 28, jadi saya mau mendedikasikan tulisan saya kepada guru yang
sangat saya hormati, pak Frans.
Link ke disertasi saya, Farsijana Adeney-Risakotta,
Politics, Ritual and Identity in Indonesia. A Moluccan History of Religions
and Social Conflict. The Netherlands: Radboud University
Njimegen. 2005 (digital copy can be accessed at http://webdoc.ubn.ru.nl/mono/r/risakotta_f/poliriani.pdf )
Bagian Pertama: Menulis Sejarah dan Sejarah Milik Siapa?
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Pertanyaan sejarah itu milik siapa, sama dengan bertanya
bagaimana sejarah dibuat. Bahasa Inggeris menggunakan kata “history” untuk
menjelaskan yang dalam bahasa Indonesia disebut “sejarah”. Kata Inggeris “history”
diambil dari bahasa Yunani “historia” yang berarti “makna”, “pengetahuan” yang
digali mendalam. Penjelasan dari pengetahuan yang bermakna tersebut kemudian
disusun menjadi suatu pengertian tentang peristiwa yang sudah terjadi pada masa
lalu. Penyusunannya ternyata memerlukan seorang yang disebut sejarawan untuk
bisa menjelaskan tentang hubungan antara setiap individu, kelompok yang
membentuk bersama peristiwa-peristiwa penting masa lalu dalam kehidupan mereka.
Tiba pada penjelasan tentang peran sejarawan, di kalangan
feminis yang lahir sesudah gerakan sipil di Amerika Serikat tahun 1960an, kata “history”
kemudian diplesetkan seolah-olah kata tersebut terdiri dari dua arti, pertama “his”
dan “story”. “Story” berarti “cerita”
dan “his” menunjukkan subyek yang mempunyai cerita adalah lelaki. Jadi “history”
secara harafiah bisa dijelaskan sebagai cerita dari lelaki. Peristiwa periodik
yang berlangsung dalam perjalanan hidup seseorang tampil sebagai cerita yang
didokumentasikan oleh lelaki, yang kemudian dinamakan “history”. Peran lelaki sangat
besar dalam membentuk cerita-cerita yang menunjukkan periodik kejadian dalam
hidup sehari-hari. Sehingga kaum
feminisme kemudian mengusulkan supaya sejarah juga perlu didengar dari
perempuan untuk menjadikan “herstory”.
Sementara arti kata
sejarah diambil dari kata bahasa Arab yaitu “syajarotun” yang berarti pohon. Arti
kata ini walaupun terlihat lebih netral tetapi sebenarnya juga menunjukkan
bahwa pohon sebagai perumpamaan dari suatu riwayat kehidupan hanya dimiliki
oleh keturunan raja-raja. Kalangan rakyat biasa tidak memerlukan tulisan rigid
tentang riwajat, asal usulnya. Kalangan bangsawan memerlukan penjelasan tentang
asal usul supaya keturunan mereka bisa makin membesar secara kualitas, pengaruh
dan jumlah. Penjelasan diperlukan pada saat pernikahan di antara kalangan
bangsawan yang dapat terjadi lintas teritori untuk tujuan-tujuan kekuasaan.
Penggambaran makna sejarah ini setidaknya menjelaskan tentang peran lelaki
dalam menentukan perjalanan periodik kehidupan dalam keluarga maupun klannya.
Kedua pengertian dari
kata “history” maupun “syajarotun” dalam bahasa Indonesia modern ditampung
menggayakan kata “sejarah”. Saya ingat sejarawan Nugroho Notosusanto pada jaman
regim Soeharto tampil sangat kuat sebagai figur dari sejarawan Orde Baru. Saya
pernah menulis kesamaan peran Nugroho Notosusanto, mantan menteri Pendidikan
Nasional, dengan penulis-penulis sejarah pada jaman raja-raja Israel yang
menghasilkan berbagai buku seperti Kitab Raja-Raja, Samuel dsb (Adeney-Risakotta:
1995). Setiap penulis sejarah lahir pada masa yang membutuhkannya, termasuk regim
yang melahirkannya untuk mengabadikan nama kebesarannya dalam ingat bersama
bangsanya. Dalam studi Biblika, kajian sejarah untuk melihat penulisan berbagai
versi suatu silsilah secara berbeda-beda tergantung pada kepentingan dari regim
yang memproduksinya. Contohnya, penonjolan tentang peran raja Daud menjadi
sangat kuat dalam aliran sejarah dari pendukung keturunan Daud. Sementara
aliran sejarah terkait dengan raja Saul tampil kuat dari madsab terkait dengan
keturunannya. Penggambaran ini bisa membawa pada kesimpulan bahwa seorang
sejarawan dapat menghasilkan tulisan sejarah berdasarkan siapa yang memesannya.
Lalu kita tiba pada
pertanyaan, apakah sejarah bisa netral, bisa menjaminkan suatu tuturan kejadian
yang tampil sejujur-jujurnya. Pertanyaan ini muncul dari berbagai fenomena
tentang keikutsertaan individu dan komunitas dalam menarasikan sejarahnya
sendiri. Sejarah bukan produk pengetahuan yang bebas nilai. Karena sejarah sebagai
penggambaran tentang apa yang pernah terjadi, maka alat kerjanya yang paling
utama adalah “tafsir”. Pengetahuan tentang tafsir terhadap kejadian-kejadian
masa lalu dilakukan dengan memperhatikan relasi-relasi sosial dari berbagai
aktor yang menyebabkan suatu peristiwa bersejarah itu terjadi. Relasi-relasi
sosial bisa tampil menjelaskan stratifikasi masyarakat, di mana masing-masing
aktor berfungsi, menegosiasikan kekuasaannya dan menentukan bersama keputusan
kebijakan yang tepat untuk semua. Hasilnya dapat memuaskan terutama untuk
mereka yang sepakat dengan proses keputusan dibuat tetapi seringkali ada
banyak ketidakpuasaan sehingga memunculkan perlawanan, protes dari mereka yang
merasa suaranya tidak didengar.
Lahirnya versi-versi
penulisan sejarah didukung oleh fakta adanya perbedaan narator, siapa yang bercerita,
menjelaskan tentang bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Sejarawan dalam
kategori ini, saya sebut mereka, sejarawan
berpihak. Istilah dalam studi Biblika, mereka disebut sejarawan istana.
Pembedaan ini perlu dilakukan untuk
menunjukkan adanya kelompok sejarawan yang netral. Kata netral di sini
dimaksudkan terutama untuk menggambarkan posisi penyeimbangan sebagai
prasyaratan yang dimilik oleh seorang sejarawan. Dalam menafsir
peristiwa-peristiwa yang terjadi, si sejarawan melakukannya dengan menghadirkan
secara holistik perspektif dari semua aktor yang berinteraksi menghasilkan
peristiwa penting yang terjadi bagi mereka. Mereka dalam kategori ini, saya
sebut sejarawan independen, walaupun
posisinya “netral” tetapi mereka mempunyai kepentingan, yaitu menghadirkan semua
aktor sebagai narator untuk menggayakan tasfir sejarah yang sedang
dikonstruksikannya. Seorang sejarawan dengan kemampuan akademik dilatih untuk
memposisikan dirinya sebagai bandul yang menyeimbangkan narasi-narasi dari
peristiwa masa lalu dari suatu masyarakat. Mereka inilah bisa kemudian menjadi
sejarawan independen.
Masyarakat yang
melewati peristiwa-peristiwa masa lalu tidak selamanya menyimpan ingatan mereka
dalam dokumen-dokumen. Dunia modern membiasakan manusia menulis dan menyimpan
dokumen dari catatan dirinya. Masyarakat pra sistem penulisan, menyimpan
ingatannya dalam cerita-cerita turun temurun yang disebut legenda, maupun
tindak-tindakan ritual yang tampil dalam berbagai upacara-upacara dari suatu
lingkaran kehidupan.
Misalkan ingatan
tentang pelanggaran terhadap pencaplokan tanah yang terjadi pada saat
pengusiran kerajaan Portugis di Halmahera Utara. Daerah di sekitar Tobelo, yang
beberapa desanya sebenarnya adalah bagian dari Galela, yaitu Gorua dengan
desa-desa sekitarnya. Penduduk di desa-desa ini berbahasa Galela, tetapi mereka
dimasukan ke dalam Tobelo. Penggabungan terjadi pada saat Kesultanan Ternate
meminta masyarakat Tobelo membantunya untuk mengusir Portugis kira-kira 500
tahun lalu.
Pengusiran terjadi,
kerajaan Moratia bisa dihancurkan dari wilayah Galela (sekitar Mede). Hadiah
yang diberikan oleh Sultan Ternate kepada kapitan Tobelo adalah memberikan beberapa
desa, dari Gorua sampai Luari yang aslinya adalah wilayah Galela, dimasukan ke
dalam wilayah Tobelo. Sultan Ternate melakukan tanpa persetujuan dari
masyarakat Galela. Sultan Ternate menganggap seluruh Halmahera adalah wilayah
kekuasaan. Akan tetapi masyarakat menyimpan ketidakadilan tersebut dalam
ingatan mereka. Sehingga mereka sampai saat ini menerapkan denda yang harus
dibayar oleh setiap perempuan atau lelaki dari Tobelo yang menikah ke Galela.
Calon pengantin dari Tobelo harus membayar denda dari kesalahan yang dilakukan
oleh kapitan Tobelo ketika ia mendapat wilayah Galela yang tidak sah, sekalipun
diberikan oleh Sultan Ternate kepada mereka. Denda ini disebut ciko ma bobangu (Adeney-Risakotta: 2005, 97).
Sebagai seorang
antropolog, menuliskan tentang ritual denda bagi orang Tobelo dan Galela, saya
harus menghadirkan ingatan masa lalu yang merupakan peristiwa sejarah dari
kedua masyarakat. Mereka masing-masing tahu, secara turun temurun apa yang
terjadi dan bagaimana narasi kecil mereka tenggelam oleh kebijakan dari Sultan
Ternate yang menghadirkan narasi besar dari sejarah baru pembentukan wilayah
Tobelo dengan menambahkan desa-desa dari wilayah Galela sebagai hadiah untuk
kapitan Tobelo. Contoh ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan antropologis,
yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika seorang antropolog berada pada
saat kejadian dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, pada saat itu sedang
terhubungkan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu yang disimpan dalam ingatan
bersama masyarakat melalui tindakan ritualistik mereka. Dalam cara yang
berbeda, masyarakat ternyata adalah pemilik sejarah karena mereka menyimpan dan
menurunkan cerita-cerita masa lalu dalam ritual.
Mengakhiri tulisan
ini, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Pertama, proses penulisan sejarah
tampil tidak semata-mata sebagai dokumen. Sejarah dari kalangan istana
cenderung mendokumentasikan peristiwa masa lalu untuk menjadi kontinuitas dari
kekuasaan keluarga atau klan yang perlu dirawat. Sementara masyarakat kecil,
memelihara peristiwa-peristiwa masa lalu mereka dalam bentuk ritual. Seorang
penulis sejarah, atau sejarawan perlu sensitif untuk memadukan sumber-sumber
informasi dari peristiwa masa lalu yang ada baik dalam dokumen dan ritual untuk
menjelaskan sebab penyebab suatu peristiwa itu terjadi. Tetapi bisa terjadi
juga seorang sejarawan berpihak untuk mengabadikan cerita tertentu dari
perspektif dan kepentingan mereka yang berkuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar