Translate

Jumat, 20 Juli 2012

Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik


                             (stiker ajakan joblos Jokowi & Ahok terpasang pada pintu mikrolet)


“Jokowi,  Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik”
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Memasuki Jakarta sesudah Pilkada 2012, tanggal 11 Juli 2012, menarik ditulis. Saya sendiri penasaran mengerti pikiran apa yang ada dalam benak orang-orang Jakarta sesudah pasangan Jokowi dan Ahok mengungguli perhitungan suara.
Ini cerita mereka, orang Jakarta sesudah Pilkada.  Saya menikmati centohan mereka sesudah kembali lagi ke Jakarta.  Saya pernah menulis Jakarta Jakarta Jakarta http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/05/jakarta-jakarta-jakarta.html Cerita itu tentang tantangan hidup di Jakarta.

Sekarang saya mau menulis tentang manusia Jakarta. Jakarta Jakarta Jakarta, saya sebut demikian karena setiap saya ke sini segera balik Yogya sesudah urusan selesai. Datang ke Jakarta, jangan berlama-lama di sana. Saya selalu pusing keliling-keliling di Jakarta karena macetnya. Tetapi setiap ke sana, ada banyak cerita yang bisa mengalir menjadi tulisan. Jakarta memang seru!
Jadi saya senang sekali ngobrol dengan siapa saja yang suka bercerita tentang peristiwa beberapa hari lalu. Jakarta yang mengejutkan karena Pilkada 2012  putaran pertama dimenangkan oleh Jokowi  dan Ahok.
Kata orang Jakarta, “orang daerah” datang dan menang di Jakarta. Jakarta menerima berbagai orang dari seluruh Indonesia. Dulu yang paling gencar menggagaskan konsep menggelilingi Jakarta dari pinggiran adalah kader-kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa elit PKS yang pernah saya bertemu di Amsterdam, menjelaskan  slogan tsb seumpama seseorang yang sedang makan bubur panas.  Bubur panas enak di makan tetapi bahaya di lidah karena bisa hangus. Jadi kenikmatan tsb bisa didapat dengan memulai makan dari pinggiran menuju ke tengah piring.
Apa yang diinginkan oleh kader PKS ternyata hanya mimpi. Karena yang membuktikan kebenaran dari slogan mengelilingi Jakarta dari pinggiran ternyata malahan sedang diupayakan oleh pasangan Jokowi dan Ahok yang keduanya benar-benar dari luar Jakarta. Jokowi dari Solo dan Ahok dari Bangka Belitung.
Jokowi-Ahok sedang menjadi harapan dari wong cilik Jakarta. Mereka pada umumnya bukan penduduk resmi Jakarta. Ada banyak warga Jakarta mencari hidup sendirian di ibukota sementara anggota keluarganya menetap di kampung halaman, entah di dalam atau di luar pulau Jawa. Berbekal kartu tinggal sementara, mereka menempati rumah bilik persewaan bersama dengan beberapa orang yang saling mengenal. Kantong-kantong rumah kontrakkan sederhana tersebar di berbagai wilayah di sekitar DKI Jaya. Daerah-daerah dengan “slum” yang memberikan kontribusi pada Jakarta.
Mereka inilah yang mungkin pada saat akan dilakukan Pilkada 2012 DKI sangat mau ikut tetapi tidak mendapat undangan. Akses mereka sedikit. Tetapi mereka adalah orang-orang yang yang menyebut dirinya sebagai sukarelawan yang dengan kesadaran sendiri bersedia menjelaskan kepada calon pemilih  tentang siapakah Jokowi dan mengapa ia harus dipilih. Sebagai juru kampanye independen mereka menyebarkan luaskan ajakan supaya wong Jakarta memilih Jokowi- Ahok.
Seorang bapak, Ade Feri H sudah bekerja sebagai sopir taksi Blue Bird Group selama 18 tahun, dengan NIP 01945. Ia berasal dari Tasikmalaya, tinggal di Jakarta tanpa keluarga. Mengontrak bersama beberapa temannya, ia pulang kampung setiap tiga bulan. Ia seorang dari mereka yang selalu acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada. Tetapi tahun ini pilkada, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, ia sangat penasaran.
Katanya, bukan hanya dirinya yang penasaran tetapi juga banyak orang lain.  Orang Daerah berani masuk Jakarta dan menantang mereka yang sudah punya nama di Jakarta. Hampir sulit dipercayai!, demikian ceritanya bersemangat dengan saya.
Penasaran telah menyebabkan banyak orang Jakarta secara otodidak mau tahu siapakah orang itu,  Jokowi.  Publikasinya melalui media cetak sangat kurang. Tetapi selama masa kampanye, kedatangannya ketemu rakyat kecil di kereta api, terminal, pasar-pasar sangat mengharukan banyak orang. Masyarakat penasaran. Penasaran siapakah orang ini?
Apa yang mereka ketahui tentang Jokowi? Orang Jakarta ternyata melek teknologi informasi. Seorang pedagang kecil, seorang sopir, seorang pemilik toko bisa mengoperasikan komputer dan mengakses internet di warnet.  Informasi tentang Jokowi diterima dari googling di internet. Cerita-cerita yang sangat disukai terkait dengan kedekatannya Jokowi bersama wong cilik  di Solo. Cerita-cerita kesuksesan Jokowi di Solo, kemampuannya untuk menyadarkan warga masyarakat mempertimbangkan kembali cara membangun kota Solo telah memikat hari warga Jakarta.
Kepemimpinan Jokowi untuk memediasi proses pembangunan tanpa menimbulkan konflik dengan wong cilik menghasilkan banyak jempol dari warga Jakarta. Contohnya pemindahan pedagang kaki lima (PKL) dari pasar Banjarsari yang dilakukan sesudah menjamu mereka sebanyak 53 kali makan siang di rumah dinas Wali Kota Solo. Negosiasi berwajah kelembutan dan bersahabat dengan wong cilik menjadi cerita-cerita yang  menyentuh hati orang Jakarta.
Lapisan masyarakat Jakarta terdiri dari kelas atas, para jetset sampai mereka dari kaum dufa.  Penduduk Jakarta dengan jumlah rakyat berpenghasilan rendah menempati piramida paling bawah terbanyak di DKI.   Mereka ini bisa acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada, tetapi untuk Pilkada 2012 DKI Jaya mereka rela berubah.
Katanya ketika Jokowi mulai berkampanye, di Jakarta sudah berkembang aliran Jokowisme. Eh tahunya ada “slengean”, Jokowisme atau Jokowisdom. Kata orang Jakarta, sekarang di Jakarta ada keduanya, Jokowisme dan Jokowisdom. Yokowisme yaitu aliran “Joko”, sang manusia yang  tampil polos, apa adanya, tidak ganteng tapi percaya diri. Ketokohannya telah terbukti sebagai Wali Kota Solo yang melakukan gebrakan perubahan.
Solo sesudah Reformasi terkenal sebagai daerah dengan tingkat konflik tertinggi di Jawa Tengah. Kekerasan yang terjadi pada etnis Tionghoa ketika Reformasi sedang berlangsung masih membekas dalam benak wong Solo. Memberikan perhatian kepada PKL selain mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh warga Solo juga merendam potensi konflik berbasis ekonomi. 
Dalam mempercantik dan menata kota, ada kecenderungan PKL disingkirkan karena dianggap berdagang tanpa kualitas kelas. Diskriminasi terhadap PKL bisa memicu konflik ketika wong cilik dimobilisasi melakukan kekerasan terhadap sesama anggota komunitas karena alasan SARA.  Padahal dasar masalah ada pada "gap" ekonomi.
Jokowisme dimulai melalui branding Solo sebagai “the Spirit of Java”. Setiap kota menyimpan sejarah dirinya. Menonton sendratari Ramayana baik yang dipentaskan di dalam maupun di luar gedung di candi Prambanan, segera bisa membedakan pengaruh kedirian yang membedakan antara Solo dan Yogyakarta. Ramayana yang dipentaskan di Prambanan memberikan kesan kuat tentang pengaruh Solo yang dinamis. Pengaruh Yogyakarta dikenal sebagai penjaga pakem seni klasik Jawa.
 
Pengaruh Solo tampil dalam kostum pelakon Ramayana yang berwarna cerah, meriah dalam dandanan dan semarak dengan tata rias panggung. Cuplikan potongan cerita yang menakjubkan, mencekam seperti pembakaran kerajaan Alengka mengvisualisasi percampuran pementasan cerita klasik Jawa dalam kemasan tontonan modern.

Penonton pada pementasan outdoor Ramayana seolah-olah melihat di latar belakang, candi Prambanan sedang dibakar. Api menjulut merobohkan kekuatan Rahwana.  Pengaruh Solo mendudukan kota Solo  sejak jaman kolonial sudah melatih dirinya sebagai kota  dengan kesiapan mempertontonkan budaya Jawa dalam kemasan yang dinamis kepada penonton luar negeri.
Hasil jalan-jalannya ke negara-negara Eropa sebagai seorang pedagang meubel sebelum terpilih menjadi Walikota Solo menguatkan visi Jokowi tentang Solo. Solo, kota dengan semangat Jawa yang dinamis. Penataan transportasi dalam kota yang dilakukan dengan konsep pesiar menikmati kenangan dari kota Solo menghadirkan keinginan dari pelancong untuk terus menggali sejarah kota yang sedang dikunjunginya.
Misalkan penamaan bus tingkat “WERKUDARA” jelas menunjukkan romantisme masa dulu, ketika banyak kelas menengah Jawa berbicara bahasa Belanda. Werkudara berasal dari dua kata “werk” dalam bahasa Belanda yang berarti kerja dan udara, yang mengartikan tentang Solo sebagai kota kerja, kota produksi, kota dagang yang bisa dinikmati sambil berjalan-jalan.
Dunia masa dulu, sekarang dan masa depan adalah tetap sama. Orang senang berjalan-jalan. Melalui perjalanan ada ide baru, ada tambahan jejaring, ada perdagangan.  Pengunjung ingin menceritakan tentang kota yang dikunjunginya sehingga suatu kenang-kenangan diperlukan untuk mengabadikan ceritanya tentang tempat tersebut. Jadi pelancong bisa berjalan-jalan dengan Bus Batik Solo Trans untuk berbelanja oleh-oleh batik di pasar Klewer.  Jokowi mengerti tentang keberlangsungan kota Solo dari masa lalu hingga saat ini.
Kemeja kotak-kotak menjadi branding untuk Jokowi-Ahok selama masa kampanye Pilkada 2012 DKI Jaya. Makna kotak-kotak menyebarkan isme tentang ketiadaan pengotak-ngotakan. Masyarakat adalah keragaman secara etnis, ras, agama maupun status sosial. Dengan kerja bersama, menata kota, membangun keadilan bersama, maka nasib keberuntungan terdistribusi kepada semua lapisan masyarakat secara bersama. Pemerintah harus mempunyai kebijakan yang bisa mengubah nasib orang kecil.
Branding keberpihakan pemerintah kepada wong cilik benar-benar sudah terlihat dalam kepemimpinan Jokowi. Wong cilik di Jakarta percaya dan menginginkan Jokowi menjadi pemimpin mereka. Cerita-cerita inilah yang membuat warga Jakarta, percaya Jokowisme bisa membawa kemakmuran untuk semua penduduk di DKI. Jokowisme menokohkan Jokowi sebagai pribadi dengan wajah rakyat, berhati pejabat yang peduli pada wong cilik.

Jabatan yang diduduki Jokowi adalah untuk melayani rakyat. Kepedulian Jokowi karena ia adalah pemimpin yang berada di lapangan. Jokowi seorang pemimpin akar rumput, yang tahu keberhasilan pembangunan hanya bisa diukur apabila partisipasi wong cilik diakomadasikan dalam kebijakan pemerintah.
Jadi cerita tentang keberpihakan Jokowi di Solo, diserbu oleh wong cilik  di Jakarta. Berita-berita di internet yang menulis tentang Jokowi tiba-tiba mengalirkan suatu harapan untuk sebuah kebajikan bagi ibu kota negara RI, Jakarta. Keberpihakan orang kecil bukan omong kosong, ada buktinya. Jokowisdom adalah Joko, sang manusia dengan kebajikan, ngomong sedikit tapi laku terukur.

Jokowisdom menggandeng pribadi Joko dengan wisdom, kata dalam bahasa Inggeris yang berarti kebijaksanaan. Nilai-nilai kebajikan dalam pribadi Jokowi tampil sebagai kebijaksanaan yang langka di tengah bumi Indonesia di mana para pejabat cenderung menggunakan alasan demi "wong cilik" untuk membangun kepentingannya sendiri.

Contoh, acara jalan-jalan para pejabat DPR RI  ke Eropa untuk survei penataan transportasi di sana dengan alasan penyusunan RUU Transportasi. Pemborosan perjalanan dinas dengan uang rakyat, baru saja menuai protes publik dari beberapa LSM di Jakarta.  Harusnya wakil rakyat ini jalan-jalan ke Solo belajar proses kontekstualisasi  transportasi daerah yang berhasil menerapkan standar internasional kenyamanan dan kualitas manajemen pengangkutan umum.

Berbeda dengan yang dilakukan oleh Jokowi sebelum menjadi Wali Kota Solo. Dengan uang sendiri sebagai pedagang meubel Jokowi berjalan-jalan di Eropa bertemu dengan para buyernya, sambil belajar tentang negara mereka. Pengetahuan ini kemudian dimanfaatkan ketika menjadi Wali Kota Solo. Ketika menjadi Wali Kota, ia sukar mendapat waktu luang berjalan-jalan lagi, malahan membangun sistem perjalanan canggih di Solo termasuk menghubungkan Solo dengan Yogyakarta melalui Prameks, kereta api antar propinsi.
Pak Ade, sopir taksi Blue Bird, mengatakan, apabila Jokowi menjadi Gubernur DKI Jaya, ia ingin kebijakan transportasi di Solo diterapkan di Jakarta. Solo memang berbeda dengan Jakarta, katanya. Mengubah Jakarta memang harus dimulai dari jalan raya yaitu dengan melatihkan kesabaran kepada pengendara sehingga mereka bisa memperlancar jalannya kendaraan. Macet disebabkan karena pengendara terburu-buru terus menyerobot tanpa menjaga jarak yang memungkinkan pergantian jalur berjalan dengan baik dan lancar.
Harapan pak Ade, semoga Jokowi bersedia berada pada titik-titik macet di jalan raya di Jakarta seperti di Semanggi, di perempatan Tomang Raya dengan jalan tol Tangerang dan masih banyak titik lainnya. Tujuannya  supaya Jokowi bisa memberikan contoh kepada orang Jakarta tentang mengendarai kendaraan dengan kesabaran yang penuh.
Setidaknya kedua isu tsb dengan pengalaman keberhasilannya menangani  PKL dan transportasi yang elegan di Solo menyebabkan Jokowi – Ahok akhirnya memenangkan putaran pertama Pilkada 2012 di DKI Jaya.  Warga Jakarta menunggu Jokowisme and Jokowisdom diterapkan menata wajah dan kehidupan masyarakat di sana. Perubahan sudah di depan mata, jadi inilah saatnya wong cilik di Jakarta menguatkan barisannya meneguhkan pemilihan putaran kedua, memilih Jokowi-Ahok.

Tepislah berbagai upaya memindahkan isu keberhasilan Jokowi ke persoalan SARA!  Perubahan ada ditangan semua warga Jakarta, yaitu mereka yang belajar dari fakta-fakta, keberhasilan pemimpin yang sangat dicintai oleh PKL di Solo. Seorang pemimpin yang membawa perdamaian di Solo sehingga kebangkitannya kembali menjadi kota dagang yang beradab dan berbudaya tampil membanggakan. 
Kesempatan itu akan tiba di Jakarta ketika semua warganya terlibat membuat perubahan saat ini. Jakarta perlu pemimpin yang berwawasan kebangsaan, perdamaian tetapi juga seorang yang tahu pembelaan kepada wong cilik harus dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang adil.  Mendistribusikan pembangunan kepada semua pihak akan memberikan kedamaian kepada warga Jakarta, yang merupakan modal sosial untuk membangun kehidupan bahagia bersama.  Itu harapan yang saya dengar di mana-mana di Jakarta saat ini. Akhirnya secercah harapan akan tiba di Jakarta!

lihat juga tulisan terkait:

"Jakarta Memilih: Politik Tubuh Fauzi Bowo-Nara versus Jokowi-Ahok"
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/09/jakarta-memilih-politik-tubuh-fauzi.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar