Translate

Selasa, 18 September 2012

Jakarta Memilih. Politik tubuh Fauzi Bowo-Nara versus tubuh Jokowi-Ahok




Jakarta memilih!
Politik tubuh Fauzi Bowo-Nara versus tubuh Jokowi-Ahok
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
 

Besok DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilkada bersejarah. Sudah lama sejarah yang menggetarkan terhenti. Besok, 20 September 2012 Indonesia mencatat sejarah baru. Walaupun hasil Pilkadanya belum diketahui tetapi sejarah mencatat tentang Pilkada Kepala Daerah DKI Jakarta yang sedang mengembalikan esensi nilai dan prinsip demokrasi Pancasila di bumi Indonesia.  Pilkada DKI Jakarta membawa ke bumi Indonesia harapan dari suatu kenyataan yang sangat dikuatirkan karena mulai menghilang. Syukurlah, Pilkada DKI Jakarta memanifestasikan kembali nilai dasar manusia dalam kehidupan bernegara sebagai bangsa. Nilai-nilai itu akan digetarkan besok dalam Pilkada DKI Jakarta. Setiap warga negara RI di DKI Jakarta tergetar, terkagum-kagum bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk menghadirkan nilai-nilai yang diyakini dalam agama maupun bernegara, berbangsa tanpa takut dan gentar. Nilai-nilai itu adalah kesetaraan kesempatan, keterwakilan, kemerdekaan, kebebasan semua warga negara untuk memilih dan dipilih.

Hanya mereka yang sadar mendalam bisa memperjuangkan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Jokowi – Ahok bisa diumpamakan seperti nabi Daud dalam kitab-kitab suci umat Muslim, Nasrani dan Yahudi. Tubuh mereka kecil, tidak segagah Fauzi Bowo. Dalam debat di TV, Fauzi Bowo bahkan menggunakan tangannya menyentuh ujung matanya untuk menggambarkan kesipitan yang dimiliki oleh Ahok. Jokowi apalagi, pria kerempeng yang mudah tertiup angin bukan apa-apanya tandingan dari Fauzi Bowo yang ganteng, perlente, sang lelaki piawai dambaan para ibu-ibu Jakarta. Tubuh menjadi kekuatan terakhir dari benteng pertahanan Fauzi Bowo untuk mempertahankan kekuasaannya.
Tubuh Fauzi Bowo sesudah bercokol dalam pemerintahan menjadi seolah-olah layak mempertahankan dirinya pada ruang-ruang yang telah menyuburkannya. Tubuhnya sendiri sedang bereaksi untuk menolak kemungkinan hengkang dari ruang-ruang umum yang telah diprivatisasinya. Penolakan tubuh Fauzi Bowo ternyata sangat menyakitkan untuk dirinya sendiri, sehingga dalam berbagai kesempatan tubuh tersebut bereaksi diluar kontrolnya sendiri. Peremehan kepada tubuh Ahok menjadi bukti betapa rentannya tubuh Fauzi Bowo yang gagah, perlente dan kekar. Tubuh Fauzi Bowo bisa diumpamakan dengan tubuh Goliat, sang perkasa yang berhadapan dengan tubuh Daud, si kecil yang imut-imut.

Dibalik kekuasaan tubuh sebenarnya ada kekuatan yang maha besar perlu dikaji untuk mengerti esensi keberadaan diri dalam mengemban suatu tanggungjawab yang mahabesar. Setiap manusia diberikan tanggungjawab oleh sesamanya untuk melakukan sesuatu. Sensifitas seseorang terbentuk sejak kecil untuk mengerti panggilan dirinya, yang kadang kala disadari seperti wangsit. Soekarno bukan seorang pemimpin Indonesia yang lahir tanpa kesadaran sejarah yang membentuknya. Keberanian dan keyakinannya untuk mengerti hak dasar manusia yang sedang tertindas sebagai bangsa Indonesia muncul dari penghargaannya pertama-tama kepada tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang berpindah-pindah untuk menginteraksikan dirinya dengan berbagai orang dari belahan dunia the Netherlands East Indish yang disebut Indonesia, menyebabkan dirinya sadar tentang tubuhnya sendiri. Berdarah Bali Jawa bukanlah apa-apa sebagai tubuh, kecuali ia bermakna untuk juga membebaskan tubuh-tubuh yang lain, mereka yang ada di pulau-pulau dengan sebutan yang berbeda. Mereka tertekan, mereka terkuras, mereka dihina, mereka dihancurkan oleh tirani penjajahan. Tubuh Soekarno mengeliat, tubuhnya bereaksi untuk menolak penghinaan yang sudah lama terjadi terhadap tubuh-tubuh lain. Penjajahan 350 tahun Belanda, 3,5 tahun Jepang terjadi karena tubuh-tubuh manusia Pertiwi terkungkung. Mereka lemah, mereka tak berdaya karena mereka dijajah, dibentuk sebagai yang lemah, hina, papa, tanpa kekuatan. Ukuran penjajah dipakai untuk merebut bukan saja tubuh tetapi tanah di mana tubuh dilahirkan dan akan dikembalikan ke tanah.

Soekarno tahu tubuh-tubuh Indonesia harus menjadi tubuh-tubuh yang bermakna. Ketika tubuh-tubuh Indonesia kembali ke persada Pertiwi, tubuh-tubuh itu diterima oleh bumi. Tubuh-tubuh yang mengeliat akhirnya bangkit mempertahankan hak-hak dasarnya untuk hidup. Inilah kekuatan getaran tubuh yang bisa memukul mundur penjajah. Soekarno sudah melakukannya. Indonesia sudah merdeka 67 tahun. Tetapi pengulangan sejarah sedang terjadi lagi. Politik ketubuhan sedang dipergunakan oleh manusia Indonesia sendiri untuk melemahkan sesamanya.  Politik ketubuhan yang dipergunakan Fauzi Bowo menghina, menekan, mengintimidasi tubuh sesamanya yang juga adalah tubuh terlahir dari bumi Indonesia.

Siapakah manusia? Apakah ia hanyalah sekedar tubuh? Pembatasan, peremehan manusia pada tingkat tubuh sebenarnya sedang dilakukan oleh mereka yang sedang menggunakan hak Sang Pencipta untuk menguasai, menjajah sesamanya. Mereka ini tampil sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan mewujud dalam rupa Sang Pencipta. Kalau Sang Pencipta mempunyai cinta kasih, maka tampilan mereka sebenarnya berlawanan. Mereka sedang memberhalakan Sang Pencipta dengan menghina tubuh sesamanya.  Mereka juga sedang menjadikan kekuasaannya sebagai tirani. Mereka menolak kekuasaan yang sedang dipercayakan sesama kepadanya ditantang, diadu dalam pesta demokrasi. Mereka menggunakan tubuhnya, tubuh yang rentan, tubuh yang diciptakan Sang Pencipta untuk mempertahankan kekuasaannya, karena sebenarnya mereka sudah selesai. Kekuasaan mereka melemah, mereka tidak berdaya, karena sudah lama praktek kekuasaan ketubuhannya menekan, menjajah sesamanya sendiri.

Sekarang waktunya, tubuh-tubuh yang tertekan, terjajah di Jakarta bangkit. Tubuh-tubuh yang diintimidasi bangkit untuk menghadirkan tubuh utuh, tubuh yang dikasih oleh Sang Pencipta. Tubuh-tubuh ini menggunakan pesta demokrasi untuk menghadirkan kembali wajah Sang Pencipta yang lembut, termasuk yang lemah seperti nabi Daud. Jokowi dan Ahok adalah representasi tubuh yang lemah seperti diremehkan dalam gerakan mengejek Fauzi Bowo di muka layar TV. Tetapi dari tubuh lemah inilah, muncul kepedulian untuk berjalan bersama Sang Pencipta membangun semangat, memikirkan strategi bersama dengan mereka, tubuh-tubuh lemah lainnya yang berada di Jakarta. Sudah lama Jakarta hanya membesarkan tubuh-tubuh yang kuat seperti tubuh Fauzi Bowo.  Tubuh-tubuh seperti Jokowi-Ahok disingkirkan.

Marilah Jakarta, bangkitlah tubuh-tubuh lemah, tubuh-tubuh yang hina, untuk melihat pada jalan Sang Pencipta, jalan Allah, untuk bersama dengan tubuh hina lainnya, tubuh Jokowi, tubuh Ahok membangun Jakarta supaya menjadi tempat yang layak untuk semua. Pesan itulah yang saya terima dari politik kekuasaan tubuh yang sedang dimainkan oleh Fauzi Bowo. Fauzi Bowo dengan tubuhnya yang gagah, perlente dan kekar akan dikelilingi oleh tubuh-tubuh hina yang mengasihinya, menghormatinya karena sudah lama membangun Jakarta.  Tubuh-tubuh hina bukan sedang menyingkirkannya, tetapi dengan penuh hormat dan cinta kasih sedang memintanya untuk juga memberikan ruang kehidupan kepada mereka yang sedang disingkirkan di Jakarta. Tubuh-tubuh hina, luka dan kecil sudah lama disakiti. Pengalaman kesakitan mereka bukan menjadi alasan pergolakan untuk membalasnya kepada tubuh Fauzi Bowo. Tubuh-tubuh mereka bangkit untuk merangkul baik tubuh yang kuat dan tubuh yang lemah membangun bersama.

Sejarah sudah bergulir. Besok apapun hasilnya, sejarah akan mencatat dalam lembaran negara, bangsa Indonesia tentang peristiwa maha penting. Politik tubuh Fauzi Bowo menjadi berarti buat Jokowi-Ahok karena sebenarnya penghinaan kepada Ahok, telah membangkitkan kesadaran semua tubuh-tubuh di Jakarta tentang kenyataan Jakarta saat ini. Jakarta dengan pencakar langit. Siapakah dibalik pencakar langit itu? Di manakah tubuh-tubuh lemah, tak berdaya? Mereka telah disingkirkan oleh pencakar langit, gedung-gedung hasil penanaman modal Indonesia Taiwan dan Korea. Mereka dibiarkan hilang sesudah perkampungannya dibakar supaya dari sana proyek-proyek megacity bisa dibangun?

Tubuh-tubuh ini adalah wajah Indonesia. Wajah Indonesia bukan representasi pada tubuh putih seperti dalam iklan Ponds di TV,  atau tubuh kekarnya Fauzi Bowo, tetapi juga tubuh marhaen, tubuh petani, tubuh nelayan, tubuh buruh, tubuh pekerja bangunan, tubuh pedagang di pasar, tubuh-tubuh yang terbakar panas terik supaya tetap punya arti bagi kehidupan. Tubuh-tubuh ini apakah besok juga akan memilih dalam Pilkada DKI Jakarta. Berita-berita tentang protes yang datang dari calon pemilih kepada KPU karena perkampungannya yang terbakar, setidaknya bisa menyadarkan mereka yang memilih besok tentang terwakilannya bagi mereka yang aksesnya sedang dihilangkan. Tubuh-tubuh lemah, tubuh-tubuh hina, adalah tubuh kita sendiri, manusia Indonesia. Biarlah mereka dengan tubuh-tubuh putih, tubuh-tubuh gagah mengingatkan tubuh sesamanya, supaya keterwakilannya untuk memilih, kebebasannya untuk menusuk nama calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta akan melakukan dengan hati nuraninya yang mendalam. Tubuh-tubuh kuat akan memberikan suara, berdiri di hadapan Sang Pencipta yang sedang menyentuh hati nurani semua insan ciptaannya supaya mengingat tubuh-tubuh lain karena tubuhnya sendiri juga sangat rentan memerlukan belas kasihan dari Sang Pencipta.

Nabi Daud berdiri menengadah ke langit memohonkan kekuatan dari Sang Pencipta, Allah yang mengizinkan dirinya untuk berhadapan dengan Goliat. Tubuhnya yang kecil dan lemah, tiba-tiba sudah menjatuhkan tubuh Goliat hanya dengan kertapel. Semua tubuh-tubuh hina lainnya terperana, mereka seolah-olah sadar ternyata ada kekuatan pada tubuh-tubuh kecil, ada kecerdasan, ada keberanian, ada komitmen. Mereka datang merayakan bersama nabi Daud untuk menghadirkan keadilan, perdamaian yang sudah lama menghilang dari bumi yang dijadikan Allah. Mungkin kisah nabi Daud akan terulang besok dalam Pilkada DKI Jakarta untuk menunjukkan kemahakuasaan Sang Pencipta yang sudah lama menderita bersama tubuh-tubuh hina yang sedang dipinggirkan oleh pencakar langit.

Selamat Jakarta, masa depan cerah untuk mengembalikan kesempatan dari semua yang punya hak untuk hidup sedang dinantikan bersama.  Pesta demokrasi sudah bergulir dalam sejarah dan sekarang saya menulisnya untuk mengingatkan tubuh-tubuh kita bersama.

Salam demokrasi untuk semua!



Lihat juga tulisan terkait

"Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik"

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar