Jakarta memilih!
Politik tubuh Fauzi Bowo-Nara versus tubuh Jokowi-Ahok
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Besok DKI Jakarta akan menyelenggarakan Pilkada
bersejarah. Sudah lama sejarah yang menggetarkan terhenti. Besok, 20 September
2012 Indonesia mencatat sejarah baru. Walaupun hasil Pilkadanya belum diketahui
tetapi sejarah mencatat tentang Pilkada Kepala Daerah DKI Jakarta yang sedang mengembalikan
esensi nilai dan prinsip demokrasi Pancasila di bumi Indonesia. Pilkada DKI Jakarta membawa ke bumi Indonesia
harapan dari suatu kenyataan yang sangat dikuatirkan karena mulai menghilang.
Syukurlah, Pilkada DKI Jakarta memanifestasikan kembali nilai dasar manusia
dalam kehidupan bernegara sebagai bangsa. Nilai-nilai itu akan digetarkan besok
dalam Pilkada DKI Jakarta. Setiap warga negara RI di DKI Jakarta tergetar,
terkagum-kagum bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk menghadirkan nilai-nilai
yang diyakini dalam agama maupun bernegara, berbangsa tanpa takut dan gentar.
Nilai-nilai itu adalah kesetaraan kesempatan, keterwakilan, kemerdekaan,
kebebasan semua warga negara untuk memilih dan dipilih.
Hanya mereka yang sadar mendalam bisa memperjuangkan
nilai-nilai dasar kemanusiaan. Jokowi – Ahok bisa diumpamakan seperti nabi Daud
dalam kitab-kitab suci umat Muslim, Nasrani dan Yahudi. Tubuh mereka kecil,
tidak segagah Fauzi Bowo. Dalam debat di TV, Fauzi Bowo bahkan menggunakan
tangannya menyentuh ujung matanya untuk menggambarkan kesipitan yang dimiliki
oleh Ahok. Jokowi apalagi, pria kerempeng yang mudah tertiup angin bukan
apa-apanya tandingan dari Fauzi Bowo yang ganteng, perlente, sang lelaki piawai
dambaan para ibu-ibu Jakarta. Tubuh menjadi kekuatan terakhir dari benteng
pertahanan Fauzi Bowo untuk mempertahankan kekuasaannya.
Tubuh Fauzi Bowo
sesudah bercokol dalam pemerintahan menjadi seolah-olah layak mempertahankan
dirinya pada ruang-ruang yang telah menyuburkannya. Tubuhnya sendiri sedang
bereaksi untuk menolak kemungkinan hengkang dari ruang-ruang umum yang telah
diprivatisasinya. Penolakan tubuh Fauzi Bowo ternyata sangat menyakitkan untuk
dirinya sendiri, sehingga dalam berbagai kesempatan tubuh tersebut bereaksi
diluar kontrolnya sendiri. Peremehan kepada tubuh Ahok menjadi bukti betapa
rentannya tubuh Fauzi Bowo yang gagah, perlente dan kekar. Tubuh Fauzi Bowo
bisa diumpamakan dengan tubuh Goliat, sang perkasa yang berhadapan dengan tubuh
Daud, si kecil yang imut-imut.
Dibalik kekuasaan tubuh sebenarnya ada kekuatan yang
maha besar perlu dikaji untuk mengerti esensi keberadaan diri dalam mengemban
suatu tanggungjawab yang mahabesar. Setiap manusia diberikan tanggungjawab oleh
sesamanya untuk melakukan sesuatu. Sensifitas seseorang terbentuk sejak kecil
untuk mengerti panggilan dirinya, yang kadang kala disadari seperti wangsit. Soekarno
bukan seorang pemimpin Indonesia yang lahir tanpa kesadaran sejarah yang
membentuknya. Keberanian dan keyakinannya untuk mengerti hak dasar manusia yang
sedang tertindas sebagai bangsa Indonesia muncul dari penghargaannya
pertama-tama kepada tubuhnya sendiri. Tubuhnya yang berpindah-pindah untuk
menginteraksikan dirinya dengan berbagai orang dari belahan dunia the Netherlands East
Indish yang disebut Indonesia, menyebabkan dirinya sadar tentang tubuhnya
sendiri. Berdarah Bali Jawa bukanlah apa-apa sebagai tubuh, kecuali ia bermakna
untuk juga membebaskan tubuh-tubuh yang lain, mereka yang ada di pulau-pulau
dengan sebutan yang berbeda. Mereka tertekan, mereka terkuras, mereka dihina,
mereka dihancurkan oleh tirani penjajahan. Tubuh Soekarno mengeliat, tubuhnya
bereaksi untuk menolak penghinaan yang sudah lama terjadi terhadap tubuh-tubuh
lain. Penjajahan 350 tahun Belanda, 3,5 tahun Jepang terjadi karena tubuh-tubuh
manusia Pertiwi terkungkung. Mereka lemah, mereka tak berdaya karena mereka
dijajah, dibentuk sebagai yang lemah, hina, papa, tanpa kekuatan. Ukuran
penjajah dipakai untuk merebut bukan saja tubuh tetapi tanah di mana tubuh dilahirkan
dan akan dikembalikan ke tanah.
Soekarno tahu tubuh-tubuh Indonesia harus menjadi
tubuh-tubuh yang bermakna. Ketika tubuh-tubuh Indonesia kembali ke persada Pertiwi,
tubuh-tubuh itu diterima oleh bumi. Tubuh-tubuh yang mengeliat akhirnya bangkit
mempertahankan hak-hak dasarnya untuk hidup. Inilah kekuatan getaran tubuh yang
bisa memukul mundur penjajah. Soekarno sudah melakukannya. Indonesia sudah
merdeka 67 tahun. Tetapi pengulangan sejarah sedang terjadi lagi. Politik
ketubuhan sedang dipergunakan oleh manusia Indonesia sendiri untuk melemahkan
sesamanya. Politik ketubuhan yang
dipergunakan Fauzi Bowo menghina, menekan, mengintimidasi tubuh sesamanya yang
juga adalah tubuh terlahir dari bumi Indonesia.
Siapakah manusia? Apakah ia hanyalah sekedar tubuh?
Pembatasan, peremehan manusia pada tingkat tubuh sebenarnya sedang dilakukan
oleh mereka yang sedang menggunakan hak Sang Pencipta untuk menguasai, menjajah
sesamanya. Mereka ini tampil sebagai pemimpin, tetapi kepemimpinan mewujud
dalam rupa Sang Pencipta. Kalau Sang Pencipta mempunyai cinta kasih, maka
tampilan mereka sebenarnya berlawanan. Mereka sedang memberhalakan Sang
Pencipta dengan menghina tubuh sesamanya. Mereka juga sedang menjadikan kekuasaannya
sebagai tirani. Mereka menolak kekuasaan yang sedang dipercayakan sesama
kepadanya ditantang, diadu dalam pesta demokrasi. Mereka menggunakan tubuhnya,
tubuh yang rentan, tubuh yang diciptakan Sang Pencipta untuk mempertahankan
kekuasaannya, karena sebenarnya mereka sudah selesai. Kekuasaan mereka melemah,
mereka tidak berdaya, karena sudah lama praktek kekuasaan ketubuhannya menekan,
menjajah sesamanya sendiri.
Sekarang waktunya, tubuh-tubuh yang tertekan, terjajah
di Jakarta bangkit. Tubuh-tubuh yang diintimidasi bangkit untuk menghadirkan
tubuh utuh, tubuh yang dikasih oleh Sang Pencipta. Tubuh-tubuh ini menggunakan
pesta demokrasi untuk menghadirkan kembali wajah Sang Pencipta yang lembut,
termasuk yang lemah seperti nabi Daud. Jokowi dan Ahok adalah representasi
tubuh yang lemah seperti diremehkan dalam gerakan mengejek Fauzi Bowo di muka layar TV. Tetapi dari
tubuh lemah inilah, muncul kepedulian untuk berjalan bersama Sang Pencipta
membangun semangat, memikirkan strategi bersama dengan mereka, tubuh-tubuh
lemah lainnya yang berada di Jakarta. Sudah lama Jakarta hanya membesarkan
tubuh-tubuh yang kuat seperti tubuh Fauzi Bowo. Tubuh-tubuh seperti Jokowi-Ahok disingkirkan.
Marilah Jakarta, bangkitlah tubuh-tubuh lemah,
tubuh-tubuh yang hina, untuk melihat pada jalan Sang Pencipta, jalan Allah,
untuk bersama dengan tubuh hina lainnya, tubuh Jokowi, tubuh Ahok membangun
Jakarta supaya menjadi tempat yang layak untuk semua. Pesan itulah yang saya
terima dari politik kekuasaan tubuh yang sedang dimainkan oleh Fauzi Bowo.
Fauzi Bowo dengan tubuhnya yang gagah, perlente dan kekar akan dikelilingi oleh
tubuh-tubuh hina yang mengasihinya, menghormatinya karena sudah lama membangun
Jakarta. Tubuh-tubuh hina bukan sedang
menyingkirkannya, tetapi dengan penuh hormat dan cinta kasih sedang memintanya
untuk juga memberikan ruang kehidupan kepada mereka yang sedang disingkirkan di
Jakarta. Tubuh-tubuh hina, luka dan kecil sudah lama disakiti. Pengalaman
kesakitan mereka bukan menjadi alasan pergolakan untuk membalasnya kepada tubuh
Fauzi Bowo. Tubuh-tubuh mereka bangkit untuk merangkul baik tubuh yang kuat dan
tubuh yang lemah membangun bersama.
Sejarah sudah bergulir. Besok apapun hasilnya, sejarah
akan mencatat dalam lembaran negara, bangsa Indonesia tentang peristiwa maha
penting. Politik tubuh Fauzi Bowo menjadi berarti buat Jokowi-Ahok karena
sebenarnya penghinaan kepada Ahok, telah membangkitkan kesadaran semua
tubuh-tubuh di Jakarta tentang kenyataan Jakarta saat ini. Jakarta dengan
pencakar langit. Siapakah dibalik pencakar langit itu? Di manakah tubuh-tubuh
lemah, tak berdaya? Mereka telah disingkirkan oleh pencakar langit,
gedung-gedung hasil penanaman modal Indonesia Taiwan dan Korea. Mereka
dibiarkan hilang sesudah perkampungannya dibakar supaya dari sana proyek-proyek
megacity bisa dibangun?
Tubuh-tubuh ini adalah wajah Indonesia. Wajah Indonesia
bukan representasi pada tubuh putih seperti dalam iklan Ponds di TV, atau tubuh kekarnya Fauzi Bowo, tetapi juga
tubuh marhaen, tubuh petani, tubuh nelayan, tubuh buruh, tubuh pekerja
bangunan, tubuh pedagang di pasar, tubuh-tubuh yang terbakar panas terik supaya
tetap punya arti bagi kehidupan. Tubuh-tubuh ini apakah besok juga akan memilih
dalam Pilkada DKI Jakarta. Berita-berita tentang protes yang datang dari calon
pemilih kepada KPU karena perkampungannya yang terbakar, setidaknya bisa
menyadarkan mereka yang memilih besok tentang terwakilannya bagi mereka yang
aksesnya sedang dihilangkan. Tubuh-tubuh lemah, tubuh-tubuh hina, adalah tubuh
kita sendiri, manusia Indonesia. Biarlah mereka dengan tubuh-tubuh putih,
tubuh-tubuh gagah mengingatkan tubuh sesamanya, supaya keterwakilannya untuk
memilih, kebebasannya untuk menusuk nama calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta
akan melakukan dengan hati nuraninya yang mendalam. Tubuh-tubuh kuat akan
memberikan suara, berdiri di hadapan Sang Pencipta yang sedang menyentuh hati
nurani semua insan ciptaannya supaya mengingat tubuh-tubuh lain karena tubuhnya
sendiri juga sangat rentan memerlukan belas kasihan dari Sang Pencipta.
Nabi Daud berdiri menengadah ke langit memohonkan
kekuatan dari Sang Pencipta, Allah yang mengizinkan dirinya untuk berhadapan
dengan Goliat. Tubuhnya yang kecil dan lemah, tiba-tiba sudah menjatuhkan tubuh
Goliat hanya dengan kertapel. Semua tubuh-tubuh hina lainnya terperana, mereka
seolah-olah sadar ternyata ada kekuatan pada tubuh-tubuh kecil, ada kecerdasan,
ada keberanian, ada komitmen. Mereka datang merayakan bersama nabi Daud untuk
menghadirkan keadilan, perdamaian yang sudah lama menghilang dari bumi yang
dijadikan Allah. Mungkin kisah nabi Daud akan terulang besok dalam Pilkada DKI
Jakarta untuk menunjukkan kemahakuasaan Sang Pencipta yang sudah lama menderita
bersama tubuh-tubuh hina yang sedang dipinggirkan oleh pencakar langit.
Selamat Jakarta, masa depan cerah untuk mengembalikan
kesempatan dari semua yang punya hak untuk hidup sedang dinantikan
bersama. Pesta demokrasi sudah bergulir
dalam sejarah dan sekarang saya menulisnya untuk mengingatkan tubuh-tubuh kita
bersama.
Salam demokrasi untuk semua!
Lihat juga tulisan terkait
"Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik"
Lihat juga tulisan terkait
"Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati Pejabat, Peduli Wong Cilik"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar