(stiker ajakan joblos Jokowi & Ahok terpasang pada pintu mikrolet)
“Jokowi, Jokowisme, Jokowisdom: Wajah Rakyat, Hati
Pejabat, Peduli Wong Cilik”
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Memasuki
Jakarta sesudah Pilkada 2012, tanggal 11 Juli 2012, menarik ditulis. Saya
sendiri penasaran mengerti pikiran apa yang ada dalam benak orang-orang Jakarta
sesudah pasangan Jokowi dan Ahok mengungguli perhitungan suara.
Ini cerita
mereka, orang Jakarta sesudah Pilkada. Saya
menikmati centohan mereka sesudah kembali lagi ke Jakarta. Saya pernah menulis Jakarta Jakarta Jakarta http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/05/jakarta-jakarta-jakarta.html Cerita itu tentang tantangan hidup di Jakarta.
Sekarang saya
mau menulis tentang manusia Jakarta. Jakarta Jakarta Jakarta, saya sebut
demikian karena setiap saya ke sini segera balik Yogya sesudah urusan selesai.
Datang ke Jakarta, jangan berlama-lama di sana. Saya selalu pusing
keliling-keliling di Jakarta karena macetnya. Tetapi setiap ke sana, ada banyak
cerita yang bisa mengalir menjadi tulisan. Jakarta memang seru!
Jadi saya
senang sekali ngobrol dengan siapa saja yang suka bercerita tentang peristiwa
beberapa hari lalu. Jakarta yang mengejutkan karena Pilkada 2012 putaran pertama dimenangkan oleh Jokowi dan Ahok.
Kata orang
Jakarta, “orang daerah” datang dan menang di Jakarta. Jakarta menerima berbagai
orang dari seluruh Indonesia. Dulu yang paling gencar menggagaskan konsep
menggelilingi Jakarta dari pinggiran adalah kader-kader Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Beberapa elit PKS yang pernah saya bertemu di Amsterdam,
menjelaskan slogan tsb seumpama seseorang yang sedang makan bubur
panas. Bubur panas enak di makan tetapi
bahaya di lidah karena bisa hangus. Jadi kenikmatan tsb bisa didapat dengan
memulai makan dari pinggiran menuju ke tengah piring.
Apa yang
diinginkan oleh kader PKS ternyata hanya mimpi. Karena yang membuktikan
kebenaran dari slogan mengelilingi Jakarta dari pinggiran ternyata malahan
sedang diupayakan oleh pasangan Jokowi dan Ahok yang keduanya benar-benar dari
luar Jakarta. Jokowi dari Solo dan Ahok dari Bangka Belitung.
Jokowi-Ahok sedang
menjadi harapan dari wong cilik Jakarta. Mereka pada umumnya bukan penduduk
resmi Jakarta. Ada banyak warga Jakarta mencari hidup sendirian di ibukota sementara
anggota keluarganya menetap di kampung halaman, entah di dalam atau di luar
pulau Jawa. Berbekal kartu tinggal sementara, mereka menempati rumah bilik
persewaan bersama dengan beberapa orang yang saling mengenal. Kantong-kantong
rumah kontrakkan sederhana tersebar di berbagai wilayah di sekitar DKI Jaya. Daerah-daerah
dengan “slum” yang memberikan kontribusi pada Jakarta.
Mereka
inilah yang mungkin pada saat akan dilakukan Pilkada 2012 DKI sangat mau ikut tetapi tidak mendapat
undangan. Akses mereka sedikit. Tetapi mereka adalah orang-orang yang yang
menyebut dirinya sebagai sukarelawan yang dengan kesadaran sendiri bersedia
menjelaskan kepada calon pemilih tentang siapakah Jokowi dan mengapa ia harus dipilih. Sebagai juru kampanye independen mereka menyebarkan luaskan ajakan supaya wong Jakarta memilih Jokowi- Ahok.
Seorang
bapak, Ade Feri H sudah bekerja sebagai sopir taksi Blue Bird Group selama 18
tahun, dengan NIP 01945. Ia berasal dari Tasikmalaya, tinggal di Jakarta tanpa keluarga.
Mengontrak bersama beberapa temannya, ia pulang kampung setiap tiga bulan. Ia
seorang dari mereka yang selalu acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada. Tetapi
tahun ini pilkada, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, ia sangat penasaran.
Katanya,
bukan hanya dirinya yang penasaran tetapi juga banyak orang lain. Orang Daerah berani masuk Jakarta dan
menantang mereka yang sudah punya nama di Jakarta. Hampir sulit dipercayai!,
demikian ceritanya bersemangat dengan saya.
Penasaran
telah menyebabkan banyak orang Jakarta secara otodidak mau tahu siapakah orang
itu, Jokowi. Publikasinya melalui media cetak sangat
kurang. Tetapi selama masa kampanye, kedatangannya ketemu rakyat kecil di
kereta api, terminal, pasar-pasar sangat mengharukan banyak orang. Masyarakat
penasaran. Penasaran siapakah orang ini?
Apa yang mereka
ketahui tentang Jokowi? Orang Jakarta ternyata melek teknologi informasi.
Seorang pedagang kecil, seorang sopir, seorang pemilik toko bisa mengoperasikan
komputer dan mengakses internet di warnet.
Informasi tentang Jokowi diterima dari googling di internet. Cerita-cerita
yang sangat disukai terkait dengan kedekatannya Jokowi bersama wong cilik di Solo. Cerita-cerita kesuksesan Jokowi di
Solo, kemampuannya untuk menyadarkan warga masyarakat mempertimbangkan kembali
cara membangun kota Solo telah memikat hari warga Jakarta.
Kepemimpinan
Jokowi untuk memediasi proses pembangunan tanpa menimbulkan konflik dengan wong
cilik menghasilkan banyak jempol dari warga Jakarta. Contohnya pemindahan
pedagang kaki lima (PKL) dari pasar Banjarsari yang dilakukan sesudah menjamu
mereka sebanyak 53 kali makan siang di rumah dinas Wali Kota Solo. Negosiasi berwajah kelembutan dan bersahabat
dengan wong cilik menjadi cerita-cerita yang menyentuh hati orang Jakarta.
Lapisan
masyarakat Jakarta terdiri dari kelas atas, para jetset sampai mereka dari kaum
dufa. Penduduk Jakarta dengan jumlah
rakyat berpenghasilan rendah menempati piramida paling bawah terbanyak di DKI. Mereka ini bisa acuh tak acuh dengan pemilu/pilkada,
tetapi untuk Pilkada 2012 DKI Jaya mereka rela berubah.
Katanya
ketika Jokowi mulai berkampanye, di Jakarta sudah berkembang aliran Jokowisme.
Eh tahunya ada “slengean”, Jokowisme atau Jokowisdom. Kata orang Jakarta, sekarang
di Jakarta ada keduanya, Jokowisme dan Jokowisdom. Yokowisme yaitu aliran “Joko”,
sang manusia yang tampil polos, apa
adanya, tidak ganteng tapi percaya diri. Ketokohannya telah terbukti sebagai Wali Kota Solo yang melakukan gebrakan perubahan.
Solo sesudah
Reformasi terkenal sebagai daerah dengan tingkat konflik tertinggi di Jawa
Tengah. Kekerasan yang terjadi pada etnis Tionghoa ketika Reformasi sedang
berlangsung masih membekas dalam benak wong Solo. Memberikan perhatian kepada
PKL selain mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh warga Solo juga
merendam potensi konflik berbasis ekonomi.
Dalam
mempercantik dan menata kota, ada kecenderungan PKL disingkirkan karena dianggap
berdagang tanpa kualitas kelas. Diskriminasi terhadap PKL bisa memicu konflik
ketika wong cilik dimobilisasi melakukan kekerasan terhadap sesama anggota
komunitas karena alasan SARA. Padahal
dasar masalah ada pada "gap" ekonomi.
Jokowisme dimulai
melalui branding Solo sebagai “the Spirit of Java”. Setiap kota menyimpan
sejarah dirinya. Menonton sendratari Ramayana baik yang dipentaskan di dalam
maupun di luar gedung di candi Prambanan, segera bisa membedakan pengaruh
kedirian yang membedakan antara Solo dan Yogyakarta. Ramayana yang dipentaskan
di Prambanan memberikan kesan kuat tentang pengaruh Solo yang dinamis. Pengaruh Yogyakarta dikenal sebagai penjaga pakem seni klasik Jawa.
Pengaruh
Solo tampil dalam kostum pelakon Ramayana yang berwarna cerah, meriah dalam dandanan dan semarak dengan tata rias panggung. Cuplikan potongan cerita
yang menakjubkan, mencekam seperti pembakaran kerajaan Alengka mengvisualisasi percampuran pementasan cerita klasik Jawa dalam kemasan tontonan modern.
Penonton pada
pementasan outdoor Ramayana seolah-olah melihat di latar belakang, candi
Prambanan sedang dibakar. Api menjulut merobohkan kekuatan Rahwana. Pengaruh Solo mendudukan kota Solo sejak jaman kolonial sudah melatih dirinya
sebagai kota dengan kesiapan
mempertontonkan budaya Jawa dalam kemasan yang dinamis kepada penonton luar negeri.
Hasil
jalan-jalannya ke negara-negara Eropa sebagai seorang pedagang meubel sebelum
terpilih menjadi Walikota Solo menguatkan visi Jokowi tentang Solo. Solo, kota
dengan semangat Jawa yang dinamis. Penataan transportasi dalam kota yang
dilakukan dengan konsep pesiar menikmati kenangan dari kota Solo menghadirkan
keinginan dari pelancong untuk terus menggali sejarah kota yang sedang
dikunjunginya.
Misalkan penamaan
bus tingkat “WERKUDARA” jelas menunjukkan romantisme masa dulu, ketika banyak
kelas menengah Jawa berbicara bahasa Belanda. Werkudara berasal dari dua kata “werk” dalam bahasa Belanda yang berarti kerja dan udara, yang mengartikan tentang Solo sebagai kota kerja, kota produksi, kota dagang yang
bisa dinikmati sambil berjalan-jalan.
Dunia masa
dulu, sekarang dan masa depan adalah tetap sama. Orang senang berjalan-jalan.
Melalui perjalanan ada ide baru, ada tambahan jejaring, ada perdagangan. Pengunjung ingin menceritakan tentang kota
yang dikunjunginya sehingga suatu kenang-kenangan diperlukan untuk mengabadikan
ceritanya tentang tempat tersebut. Jadi pelancong bisa berjalan-jalan dengan
Bus Batik Solo Trans untuk berbelanja oleh-oleh batik di pasar Klewer. Jokowi mengerti tentang keberlangsungan kota
Solo dari masa lalu hingga saat ini.
Kemeja
kotak-kotak menjadi branding untuk Jokowi-Ahok selama masa kampanye Pilkada
2012 DKI Jaya. Makna kotak-kotak menyebarkan isme tentang ketiadaan
pengotak-ngotakan. Masyarakat adalah keragaman secara etnis, ras, agama maupun
status sosial. Dengan kerja bersama, menata kota, membangun keadilan bersama, maka
nasib keberuntungan terdistribusi kepada semua lapisan masyarakat secara
bersama. Pemerintah harus mempunyai kebijakan yang bisa mengubah nasib orang
kecil.
Branding
keberpihakan pemerintah kepada wong cilik benar-benar sudah terlihat dalam
kepemimpinan Jokowi. Wong cilik di Jakarta percaya dan menginginkan Jokowi
menjadi pemimpin mereka. Cerita-cerita inilah yang membuat warga Jakarta,
percaya Jokowisme bisa membawa kemakmuran untuk semua penduduk di DKI. Jokowisme
menokohkan Jokowi sebagai pribadi dengan wajah rakyat, berhati pejabat yang
peduli pada wong cilik.
Jabatan yang diduduki Jokowi adalah untuk melayani rakyat. Kepedulian Jokowi karena ia adalah pemimpin yang berada di lapangan. Jokowi seorang pemimpin akar rumput, yang tahu keberhasilan pembangunan hanya bisa diukur apabila partisipasi wong cilik diakomadasikan dalam kebijakan pemerintah.
Jadi cerita
tentang keberpihakan Jokowi di Solo, diserbu oleh wong cilik di Jakarta. Berita-berita di internet yang
menulis tentang Jokowi tiba-tiba mengalirkan suatu harapan untuk sebuah kebajikan
bagi ibu kota negara RI, Jakarta. Keberpihakan orang kecil bukan omong kosong,
ada buktinya. Jokowisdom adalah Joko, sang manusia dengan kebajikan, ngomong
sedikit tapi laku terukur.
Jokowisdom menggandeng pribadi Joko dengan wisdom, kata dalam bahasa Inggeris yang berarti kebijaksanaan. Nilai-nilai kebajikan dalam pribadi Jokowi tampil sebagai kebijaksanaan yang langka di tengah bumi Indonesia di mana para pejabat cenderung menggunakan alasan demi "wong cilik" untuk membangun kepentingannya sendiri.
Contoh, acara jalan-jalan para pejabat DPR RI ke Eropa untuk survei penataan transportasi di sana dengan alasan penyusunan RUU Transportasi. Pemborosan perjalanan dinas dengan uang rakyat, baru saja menuai protes publik dari beberapa LSM di Jakarta. Harusnya wakil rakyat ini jalan-jalan ke Solo belajar proses kontekstualisasi transportasi daerah yang berhasil menerapkan standar internasional kenyamanan dan kualitas manajemen pengangkutan umum.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh Jokowi sebelum menjadi Wali Kota Solo. Dengan uang sendiri sebagai pedagang meubel Jokowi berjalan-jalan di Eropa bertemu dengan para buyernya, sambil belajar tentang negara mereka. Pengetahuan ini kemudian dimanfaatkan ketika menjadi Wali Kota Solo. Ketika menjadi Wali Kota, ia sukar mendapat waktu luang berjalan-jalan lagi, malahan membangun sistem perjalanan canggih di Solo termasuk menghubungkan Solo dengan Yogyakarta melalui Prameks, kereta api antar propinsi.
Pak Ade,
sopir taksi Blue Bird, mengatakan, apabila Jokowi menjadi Gubernur DKI Jaya, ia
ingin kebijakan transportasi di Solo diterapkan di Jakarta. Solo memang berbeda
dengan Jakarta, katanya. Mengubah Jakarta memang harus dimulai dari jalan raya
yaitu dengan melatihkan kesabaran kepada pengendara sehingga mereka bisa memperlancar
jalannya kendaraan. Macet disebabkan karena pengendara terburu-buru terus
menyerobot tanpa menjaga jarak yang memungkinkan pergantian jalur berjalan
dengan baik dan lancar.
Harapan pak
Ade, semoga Jokowi bersedia berada pada titik-titik macet di jalan raya di Jakarta
seperti di Semanggi, di perempatan Tomang Raya dengan jalan tol Tangerang dan
masih banyak titik lainnya. Tujuannya supaya Jokowi bisa memberikan contoh kepada
orang Jakarta tentang mengendarai kendaraan dengan kesabaran yang penuh.
Setidaknya kedua
isu tsb dengan pengalaman keberhasilannya menangani PKL dan transportasi yang elegan di Solo menyebabkan
Jokowi – Ahok akhirnya memenangkan putaran pertama Pilkada 2012 di DKI Jaya. Warga Jakarta menunggu Jokowisme and
Jokowisdom diterapkan menata wajah dan kehidupan masyarakat di sana. Perubahan sudah di depan mata, jadi inilah saatnya
wong cilik di Jakarta menguatkan barisannya meneguhkan pemilihan putaran kedua,
memilih Jokowi-Ahok.
Tepislah berbagai upaya memindahkan isu keberhasilan Jokowi ke persoalan SARA! Perubahan ada ditangan semua warga Jakarta, yaitu mereka yang belajar dari fakta-fakta, keberhasilan pemimpin yang sangat dicintai oleh PKL di Solo. Seorang pemimpin yang membawa perdamaian di Solo sehingga kebangkitannya kembali menjadi kota dagang yang beradab dan berbudaya tampil membanggakan.
Kesempatan itu akan tiba di Jakarta ketika semua warganya terlibat membuat perubahan saat ini. Jakarta perlu pemimpin yang berwawasan kebangsaan, perdamaian tetapi juga seorang yang tahu pembelaan kepada wong cilik harus dilakukan dengan kebijakan pemerintah yang adil. Mendistribusikan pembangunan kepada semua pihak akan memberikan kedamaian kepada warga Jakarta, yang merupakan modal sosial untuk membangun kehidupan bahagia bersama. Itu harapan yang saya dengar di mana-mana di Jakarta saat
ini. Akhirnya secercah harapan akan tiba di Jakarta!
lihat juga tulisan terkait:
"Jakarta Memilih: Politik Tubuh Fauzi Bowo-Nara versus Jokowi-Ahok"
http://farsijanaindonesiauntuksemua.blogspot.com/2012/09/jakarta-memilih-politik-tubuh-fauzi.html