Translate

Senin, 25 Maret 2013

KeIndonesiaan dalam KePapuaan dan KePapuaan dalam keIndonesiaan




Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (26 Maret 2013)

KeIndonesiaan dalam kePapuaan dan KePapuaan dalam keIndonesiaan
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Petisi Warganegara NKRI untuk Papua menyampaikan selamat pagi kepada sahabat2. Harap semua bersemangat untuk meneruskan aktivitas di minggu ini.  Pagi ini Petisi Warganegara NKRI untuk Papua ingin meneruskan diskusi yang dimulai kemarin. Satu artikel online yang dihasilkan dari seminar berjudul “Meneropong keIndonesiaan dalam kePapuaan menuju dialog untuk memutuskan siklus konflik dan kekerasan di Papua” telah diposting oleh Petisi Warganegara NKRI untuk Papua sebagai menu utama Morning News kemarin, 25 Maret 2013. 

Link:

Pertanyaan keIndonesiaan dalam pengalaman kePapuaan ini, akan lebih lengkap apabila diikuti dengan pertanyaan tentang kePapuaan dalam keIndonesiaan. Relasi antar ethnis sangat penting diangkat dalam wacana multikulturalisme di Indonesia. 

Menanggapinya, Habel Melkias Suwae, Ketua DPD Golkar Propinsi Papua berargumentasi tentang tiga pendekatan yang diobservasikan dalam mengerti upaya identitas kePapuaan dibentuk di tengah-tengah keIndonesiaan. Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengutip pernyataannya: “
Terdapat  tiga respons atas konstruksi identitas Papua. Pertama, ada yang merespons dengan ketundukan, dalam arti proses pembentukan identitas internalnya sangat dipengaruhi oleh pengkonstruksifaktor eksternal, yaitu negara dan agama. Dalam proses ini, orang Papua mengkonstruksi identitasnya seperti yang dikonstruksi negara, dengan menjadiIndonesia yang bias pusat. Sementara orang Papua juga mengkonstruksi identitasnyaseperti yang dikonstruksikan agama, dengn menjadi Kristen yang meninggalkansistem keyakinan lokalnya, dan bahkan ada yang berbalik menjadi pelaku pemberantasan keyakinan lokal.
Respons kedua atas pengkonstruksian dua narasi bersar tersebut adalahakomodatif. Akan tetapi sikap akomodatif orang Papua ini lebih tepat penerimaandalam ketidakberdayaan. Karena kondisi obyektif masyarakat Papua memang lemahsumber daya manusia, dan bersamaan dengan itu perlu akselerasi dan eskalasi untukmaju atau modern, maka mau tidak mau Papua perlu penggerak ekonomi, penggerakpendidkan yang harus didatangkan dari luar. Akhirnya ia berada dalam suatu situasiserba terpaka menerima kedatangan pihak dari luar. Sikap mereka terhadap luar initerpaksa harus “toleran”, yang secara substantif lebih merupakan ketidakberdayaan.
Respons ketiga atas pengkonstruksian identitas dari dua narasi dominan ituadalah dengan negosiasi. Dengan mengambil momen era reformasi, orang Papuamencoba mengkonstruksi identitasnya dengan taktik negosiasi. Dengan taktiknegosiasi itu orang Papua mengkonstruksi identitas yang cair, sebuah identitas yang
meng “atas”-i kekentalan golongn, etnis, dan agama. Caranya dengan taktikbernegosiasi dan dialog dengan narasi dominan”


Penjelasan selengkapnya bisa dilihat pada link:
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/3198_RD-2013-02002-habelMS.pdf



Tujuan perbandingan kedua penjelasan ini untuk melihat lebih jauh tentang kesiapan orang Papua dalam berdialog dengan pemerintah RI. Orang Papua ternyata sudah siap berdialog. Refleksi diri tentang identitasnya diikuti dengan konsolidasi pada pemimpin agama, tradisi dan adat telah menghadirkan komitmen kepada orang Papua, bahwa dialog merupakan solusi terbaik bagi penyelesaian masalah Papua. Taktik negosiasi yang dilihat oleh Habel Melkias diharapkan akan mencapai puncaknya pada pelaksanaan dialog antara Papua dengan NKRI.  Menurut Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, yang mungkin harus dipertanyakan lebih lanjut adalah sejauhmana taktik negosiasi ini berakar dalam masyarakat sehingga hasilnya bisa  bermanfaat kepada masyarakat secara keseluruhan tidak sekedar berhenti pada pemimpin-pemimpin Papua saja. Di atas semuanya, Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mendukung semua upaya diaog yang digagaskan oleh masyarakat sipil Papua. Salam amalulukee.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar