Translate

Kamis, 21 Maret 2013

Papua terus mengetuk pintu hati Presiden SBY



Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (22 Maret 2013)
 
Papua terus mengetuk pintu hati Presiden SBY
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Komarudin Wotubun sebagai wakil rakyat menghitung janji Presiden SBY untuk menyelesaikan konflik Papua (Kompas, 20 Maret 2013). "Janji tinggal janji, sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya".  Wotubun seperti halnya semua basudara Papua dan juga warganegara NKRI lainnya sekarang ini sedang meragukan maksud baik Presiden SBY menyelenggarakan Dialog Papua Damai. Ketika keraguan makin besar, apakah kemudian basudara Papua dan warganegara NKRI patah arang, putus asa. Pemerintah SBY bisa menelantarkan janjinya, tetapi kalifah terus berjalan.

Basudara Papua adalah kalifah, pemimpin yang terus perlu memberikan dorongan kepada pemerintah RI untuk menuntaskan “kasus” Papua.  Petisi Warganegara NKRI untuk Papua memperhatikan dengan cermat upaya-upaya basudara Papua menolak penelantaran.  Sejarah Papua mulai ditulis dari perspektif basudara Papua sendiri. Buku-buku diterbitkan. Tulisan-tulisan di koran-koran datang hilir berganti. Tulisan-tulisan di internet membanjiri.  Papua ada di mana-mana. Memang seolah-olah Presiden SBY sedang melupakan, tetapi hutang adalah hutang, sehingga Presiden SBY selalu terganggu dengan bayang2 Papua.

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua malahan berpikir sebaliknya, dari pada melupakan, menelantarkan, sebaiknya Presiden SBY memfasilitasi Dialog Papua Damai. Papua adalah “takdir” semua presiden RI dimulai dari Gus Dur ketika menerima 100 wakil Papua yang meminta hak-haknya dari pemerintah RI. Presiden Megawati menandatangani UU Non 21 Tahun 2001, Otsus Papua dengan kekuatan perlindungan, pembelaan dan pemihakan kepada orang asli Papua, tetapi sekaligus membagi-bagi Papua  tanpa pertimbangan dari basudara Papua sendiri.

Mungkin inilah “takdir” Presiden SBY menyatukan kembali Papua untuk menegakkan harkat dan martabatnya.  Sebagai tokoh internasional, tokoh perdamaian seperti diakui oleh dunia, Presiden SBY harus menunjukkan kepada bangsa dan negaranya komitmen perdamaian yang menjadi bagian dari kepemimpinannya untuk menyelesaikan konflik Papua.  Kepentingan berbagai golongan, baik di dalam negeri dan luar negeri terhadap pengelolaan SDA Papua dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tidak akan pernah pupus. Kepentingan-kepentingan ini tidak bisa menggunakan sekedar legitimasi dalam nama negara RI untuk melindungi kebutuhan-kebutuhan pribadi setiap insan yang terlibat di dalamnya tanpa mencapai kesejahteraan, keadilan dan perdamaian bagi basudara asli Papua.  

Misalkan peluncuran Inpres  No 2 Tahun 2013 tentang  Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri yang tujuannya di tingkat operasional terkait dengan pengelolaan bersama antara TNI dan Polri terhadap sarana prasarana keamanan tidak bisa dipergunakan sebagai alasan untuk menebarkan militerisasi di mana-mana.  Semangat kebijakan presiden ini ternyata bertentangan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.VI/MPR-RI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.  Pengaturan selanjutnya tentang peran TNI dan Polri diatur dalam TAP No.VII/MPR-RI/2000, di mana TNI berperan di bidang pertahanan dan tugas Polri di bidang keamanan. 

Kajian akademis seperti dilakukan oleh TIM LIPI tentang relasi antara kebijakan publik seperti terlihat dalam kedua Ketetapan  MPR terkait dengan TNI-Polri berkesimpulan bahwa pengaturan relasi kedua institusi keamanan ini mengalami tumpang tindih di tingkat operasional.  Dampaknya bisa terlihat langsung dari cara penanganan konflik-konflik yang terjadi di Papua, Ambon, Maluku Tengah, Maluku Utara, Poso, dan Batam (lihat Ikrar Nusa Bakhti dll, 2004).   

Argumentasi riset ini mengabaikan kenyataan bahwa kekacauan penanganan konflik di Papua, Maluku dan Poso sudah terjadi sebelum TAP MPR No VI dan VII Tahun 2000 dikeluarkan. Keputusan politik bangsa RI untuk menerbitkan kedua TAP MPR tersebut sebenarnya dipicu oleh tindakan-tindakan operasional di lapangan, di daerah-daerah konflik yang nyata-nyata, warga masyarakat melihat kelumpuhan TNI dan Polri dalam membangun perdamaian.  Misalkan beredarnya senjata-senjata laras panjang di antara kelompok-kelompok masyarakat  menunjukkan kepemilikan persenjataan yang hanya dikuasai oleh institusi keamanan (Adeney-Risakotta, 2005).

Mempertimbangkan semua temuan yang di lapangan, sebagai realitas operasional dan kaitannya dengan kebijakan publik yang dikeluarkan untuk tujuan melindungi warganegara NKRI, maka upaya perdamaian harus terus dilakukan. Upaya ini adalah tugas dari Presiden RI. Peran Presiden RI, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU diatur pada pasal 10 UUD 1945 dengan turunan perundangan penguatannya pada UU No.20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI.   

Menurut Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, Presiden SBY, ketokohan internasionalnya dalam perdamaian selayaknya diimplementasikan dalam fungsinya sebagai pemegang kekuasaan keamanan tertinggi negara dengan mengedepankan pengelolaan konflik yang berharkat dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 daripada sekedar mencampurkan kepentingan –kepentingan institusi yang sempit.

Marilah warganegara NKRI untuk Papua memberikan dukungan dan kesempatan sekali lagi kepada Presiden SBY untuk menggunakan kepemimpinan, kenegarawaan dan kekalifahannya dalam menegakkan  keadilan, kesejahteraan dan perdamaian di Papua.
 
Salam amalulukee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar