Translate

Minggu, 17 Maret 2013

Mendalami upaya mencari indikator damai di Papua




 Petisi Warganegara NKRI untuk Papua dalam Morning News (18 Maret 2013)
“Mendalami upaya mencari indikator damai di Papua”

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta


Pulau Papua sudah terkenal sejak pra kolonialisasi. Ketenarannya bisa dilihat dari minat besar kesultanan Tidore ketika meluaskan teritori kekuasaannya ke timur sampai ke daerah yang sekarang disebut Kepala Burung. Kata Papua, selain dihubungkan dengan pencirian fisik orang-orang Melanesia, yang berkeriting, seperti yang dijelaskan oleh Stirling, dalam bahasa Maluku Utara, istilah Papua dipergunakan untuk menyebut daerah yang tidak berpemimpin, tidak ada raja, seperti yang terlihat pada praktek pemerintahan di Maluku Utara pada waktu itu.  Jadi nama Papua dalam bahasa Maluku Utara terdiri dari dua suku kata yaitu Papa-Ua, yang berarti  anak piatu. Sebutan ini diberikan untuk menjelaskan daerah di sebelah timur Maluku Utara yang tidak memiliki seorang raja (Stirling, 1943:4, dalam Koentjaraningrat, 1993).

Memperhatikan sistem kehidupan 255 suku di Papua, dengan pola interaksi sosial di antara mereka, maka penyebutan Papua menurut penamaan dari bahasa Maluku Utara sebenarnya menunjukkan kebenaran tentang realitas “kesetaraan” di antara suku-suku Papua. Ide kerajaan datangnya dari bagian barat dengan perluasan sistem pemerintahan kemaharajaan dimulai dari jaman kerajaan2 Hindu, Budha sampai dengan kesultanan Islam yang terkait dengan penguasaan lahan2 produksi antara pulau dan negeri dengan target perdagangan rempah-rempah dimulai dari empat pulau saudara di bagian utara kepulauan Maluku yaitu, Moti, Makian, Ternate dan Tidore ke selatan sesudah politik hongi mulai diterapkan pada jaman penjajahan barat (Adeney-Risakotta, 2005).

Sesudah masa kejayaan rempah-rempah sirna, di jaman pembebasan koloni-koloni barat di seluruh dunia, paska perang dunia ke-2, dengan penemuan teknologi eksplorasi penambangan, target ekspolari mulai beralih kepada pengolahan pertambangan. Eksplorasi geologis pertama, yang disebut ekspedisi Colijin karena dipimpin oleh Dr. A. H. Colijin. Selain Colijin, dua orang koleganya J.J. Dozy dan H. Wissel, sesama berkebangsaan Belanda, menemukan gunung tembaga, Ertsberg di pegunungan Jayawijaya.  Sejak itu pemerintah kolonial Belanda, mengejar riset-riset eksplorasi pertambangan di hampir seluruh tanah Papua. 

Sesudah kemenangan Perang Dunia kedua oleh AS dan sekutu-sekutunya, semua informasi dan hak pengolahan eksplorasi pertambangan di tanah Papua diberikan kepada perusahaan Freeport Surphur Company. Kehancuran negara-negara Eropa termasuk Belanda pada perang dunia ke-2 memerlukan dukungan dana untuk membangun kembali negaranya. Pengintegrasian Papua ke dalam NKRI merupakan salah satu kesepakatan antara PBB, pemerintah AS, Belanda dan Indonesia yang memungkinkan pengoperasian  Freeport Surphur Company, sebagai  Freeport Indonesia  menandatangani kontrak pertama pada tanggal 5 April 1967. (Adeney-Risakotta, 2012). 

Kebijakan pertambangan nasional mengharuskan Freeport Indonesia membayar saham dimulai dari 9 sampai sekarang dengan kenaikan 11 persen kepada pemerintah Indonesia ternyata belum bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup warga asli Papua,  lingkungan alam di sekitarnya dan perbaikan hak-hak asasi manusia di tanah Papua. Bahkan sejak itu, tahun 1967, perpindahan penduduk ke Papua tidak tertahan lagi. Data 2010, BPS Papua mencatat jumlah penduduk Papua saat ini terdiri dari penduduk asli 2.159.318 jiwa (76,21%) dan 674.063% (35,4%).  Sedangkan jumlah penduduk di Papua Barat berjumlah 798.601.  Migrasi terjadi di Papua bukan terutama karena program transmigrasi, tetapi karena perpindahan warganegara NKRI dari daerah-daerah lain untuk mencari pekerjaan di Papua. Eksplorasi pertambangan membuka berbagai jaringan perdagangan sekalipun sebagian besar dari pekerjaan pertambangan melakukan pembelajaan kebutuhan mereka di luar pulau Papua di mana keluarganya sebenarnya bertempat tinggal.  

Kebijakan pembangunan yang pro globalisasi, ternyata menguntungkan bagi warganegara NKRI yang datang dengan kapasitas, kapabilitas yang melebihi warganegara NKRI Papua, orang asli Papua. Kesenjangan ekonomi mengarah pada eksploitasi pasar untuk mengeruk dan mengelilingi warganegara NKRI Papua menyebabkan ketergantungan dan mengakibatkan lebih dari 80% orang asli Papua yang hidup di tanahnya yang kaya, masih hidup dalam kemiskinan. Menurut BPS Papua Barat, sesuai dengan laporan bulan September 2012,  sumbangan garis kemiskinan makanan (GKM) terhadap garis kemiskinan sebesar 73,10 persen di perkotaan dan 82,71 persen di pedesaan. Indikator GKM adalah besaran pengeluaran untuk berbelanja makanan sesuai dengan kebutuhan asupan energi sebesar 2.100 kilo kalori per kapita per hari yang disumbangkan dari 52 jenis komoditi meliputi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu.    Selain aksesitas ekonomi yang rendah, partisipasi orang asli Papua  dalam pendidikan, pemenuhan kesehatan mendasar dan mengkonsumsikan makanan bergisi  masih tertinggal jauh dari warganegara NKRI lainnya.

Dalam konteks inilah menarik untuk menerbitkan pertanyaan mendasarkan dari hati nurani warganegara NKRI, terkait dengan bentuk tanggungjawab macam apakah yang perlu dibangun untuk mendorong mencapai keadilan dan kesejahteraan di tanah Papua. Ketika berbagai kalangan mencari indikator perdamaian untuk mengerti tentang upaya bersama penduduk di Papua mengatasi krisis Papua, sangat penting bertanya sejauhmana indikator keadilan dan kesejahteraan dibahas berbarengan dengan indikator politik yang terkait dengan loyalitas basudara Papua dalam NKRI. NKRI adalah bingkai perjuangan bersama berbangsa yang harus ditopang dengan pewajahan pembangunan yang adil dan sejahtera menuju pada perdamaian menyeluruh di berbagai bidang kehidupan warganegara di daerahnya di mana ia berdaulat.  

Pertanyaan ini sangat penting direnungkan bersama, terutama ketika para pendatang dan basudara asli Papua sedang memproses bentuk indikator perdamaian yang cocok untuk membangun pemahaman bersama mengatasi krisis Papua. Ada banyak contoh yang baik dari kehidupan antara basudara Papua, baik yang muslim dan nasrani seperti yang diposting oleh Petisi Warganegara NKRI untuk Papua pada Sunday News, 17 Maret 2013, yaitu situasi sebelum kapitalisme global menyentuh Papua dan merusak kehidupan berbangsa di tanah Papua.

Orang Papua terbuka kepada saudara sendiri membangun daerah bersama, termasuk untuk kaum pendatang. Prinsip "kesetaraan" sangat kuat muncul dalam kelembutan hati basudara asli Papua. Prinsip "kesetaraan" tampil dalam bentuk pertukaran sumber daya alam yang diolah secara terpisah tetapi digunakan ketika terjadi tukar menukar  termasuk penjualan sesudah tercapai pemenuhan suplai bagi kebutuhan keluarga sehingga dimungkinkan untuk ditawarkan kepada pasar.  



Menerima Papua sebagai bagian dari daerah dan etnisitas yang membuka pintu kepada warganegara NKRI dari berbagai daerah lain mencari kehidupan di sana, adalah bagian dari tanda penghormatan kepada Papua. Inilah tanda tukar menukar yang menunjukkan "kesetaraan" di antara orang asli Papua dengan warganegara NKRI pendatang di tanah Papua.  Semua orang yang tinggal di tanah Papua, secara otomatis adalah orang Papua sekalipun mereka berasal dari suku bangsa lainnya di seluruh Indonesia.

Penerimaan tentang keberadaan penyebutan orang Papua untuk baik penduduk asli maupun pendatang harus diikuti dengan kesediaan untuk mengatur kebijakan ekonomi yang berdampak kepada pencapaian keadilan dan kesejahteraan kepada semua orang, terutama basudara asli Papua. Di sinilah peran masyarakat sipil di Papua untuk bekerja bersama menurunkan kebijakan publik demi kebaikan bersama. Tetapi dasar kebaikan bersama ini harus mengandung prinsip perlindungan, pemberdayaan dan pemihakan kepada orang asli Papua sebagaimana tercermin pada kebijakan Negara dalam UU 21 tahun 2021 Otsus Papua.  Kerangka dasar inilah harusnya menjadi indikator dalam membangun pemahaman tentang wujud perdamaian yang ingin dicapai bersama di tanah Papua.

Petisi Warganegara NKRI untuk Papua mengucapkan selamat kepada
Pastor Dr. Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua yang sudah memulainya dengan mempertemukan berbagai forum masyarakat sipil di Papua untuk mewujudkan Indikator Papua Tanah Damai sebagai prasyaratan mendorong pemerintah RI melakukan dialog dengan basudara Papua.
Artikel-artikel terkait dengan upaya mencari indikator perdamaian di Papua bisa dilihat langsung pada website dari Aliansi Demokrasi untuk Papua www.aldp.papua.com
Salam amalulukee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar