Maluku
adalah propinsi rempah-rempah dari kejayaan masa lalu. Dimulai dari
deretan Maluku Kie Raha, empat pulau kecil berjejeran dari selatan ke
utara yaitu Makian, Moti, Tidore dan Ternate (Lapian, 1990, 9;
Adeney-Risakotta, 2005, 155). Istilah Maluku Kie Raha berarti empat
gunung yang terlihat dari pulau Halmahera. Di antara keempat pulau ini,
hanya Makian sebagai satu-satu penghasil cengkeh. Ternate dan Tidore
terkenal sebagai pelabuhan perdagangan cengkeh.
Karena erupsi gunung api
Kie Besi di Makian, masyarakat pindah ke pulau Bacan yang kemudian membentuk
Kerajaan Bacan. Demikian juga
dengan pulau Moti, yang terkena imbas dari erupsi Kei Besi di Makian,
pindah ke pulau Halmahera, yang disebut Jailolo yang kemudian menjadi
kerajaan Jailolo (Adeney-Risakotta, 2005, 155) . Keempat pulau “Maluku Kie Raha” tsb
secara fisik merepresentasikan ikatan persaudaraan sekandung dari satu
ayah bernama Jafar Sadek.
Sebagai
pengertian kata, istilah Maluku yang berarti gunung merupakan kata asli
diambil dari bahasa Galela dan Tobelo (Watuseke, 1977, 308). Pengertian
istilah ini terutama diambil dari kata gabungan Maluku Kie Raha. Sehingga
pandangan lain yang digagaskan oleh
M.C. Ricklefs (1993, [1981], 310) dengan menganggap kata Maluku berasal dari
bahasa Arab, Jazirat al- Muluk tidak tercermin dalam maksud bahasan ini. Penggunaan
kata Maluku kemudian dipergunakan ke seluruh teritori yang dikuasai oleh
Sultan Ternate, sebagai penguasa yang sangat perpengaruh selama beberapa abad,
dimulai dari abad ke-13 sd 17.
Kepemimpinan
Sultan Ternate mulai memudar setelah politik hongi yang dijalankan oleh
Belanda (VOC) di abad ke-17. Politik hongi adalah upaya pembelian pohon cengkeh
termasuk akar-akarnya. Bahkan yang sangat parah, pengembirian
kepemimpinannya dilakukan dengan menanggalkan semua gelar ningrat yang
diberikan Sultan Ternate kepada anggota keluarganya. Tujuannya adalah
supaya mengurangi pembiayaan Sultan Ternate. Kemudian Belanda memberikan
gaji kepada Sultan Ternate (Adeney-Risakotta, 2005).
Penghilangan
cengkeh dari wilayah utara telah menghilangkan monopoli sekaligus
mengembiri kekuasaan Sultan Ternate. Kebijakan Belanda (VOC) meneruskan kebijakan penanaman cengkeh di luar wilayah Sultan Ternate di bagian utara Maluku yang sudah dilakukan oleh Portugis. Portugis kemudian diikuti oleh Belanda melakukan penanaman cengkeh
besar-besaran di wilayah Maluku Tengah, terutama di pulau Lease
yaitu tiga pulau kecil menghadap pulau Ambon. Ketiga pulau tersebut
adalah Saparua, Haruku dan Nusa Laut. Di pulau Saparua, Portugis mendirikan suatu benteng yang kemudian direbut oleh Belanda dan diberikan nama benteng Duurstede. Dari sinilah, VOC mengontrol ekspor cengkeh ke Amsterdam. Pada tanggal 15 Mei 1817, Kapitan Pattimura dibantu masyarakat Saparua berperang dan merebut benteng Duurstede dari Belanda.
(Meriam di benteng Duurstede di Saparua. Foto
diambil oleh Rolin dengan kamera Jeff)
Walaupun
kekuasaan Sultan Ternate berkurang, tetapi keberhasilannya menempatkan
kimelaha-kimelahanya (setingkat dengan lurah) di seluruh wilayah
kekuasaannya yang tersebar sampai ke Timor Timur sekaligus sebagai cara
penyebaran agama Islam.
Peran Sultan Ternate dalam
penyebaran Islam ke seluruh Maluku sangat besar sekali.
Walaupun demikian, masih banyak
wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama Islam. Di wilayah Maluku
Utara saja, di Galela misalkan, sekalipun penempatan kepala Soa diberikan
kepada seorang muslim, tetapi warga masyarakatnya tidak beragama Islam.
Tobelo juga bisa ditempatkan sebagai contoh di mana warganya tidak
satupun beragama Islam. Penolakan kepada Islam dilakukan oleh warga
karena tindakan-tindakan Sultan Ternate yang tidak adil kepada warga
sehingga menuai protes dengan melakukan perampasan-perampasan pada
perahu-perahu Sultan maupun Belanda yang membawa bahan-bahan dagangnya
(Adeney-Risakotta, 2005).
Islam Maluku merupakan salah satu
Islam yang cukup tua sejak diperkenalkan di abad ke 13 bersamaan dengan
kejayaan Sultan Ternate dalam membangun jaringan perdagangan dunia.
Kehadiran Portugis dalam wilayah Sultan Ternate sekalipun sebentar,
kurang lebih 66 tahun ternyata sangat berpengaruh untuk melakukan
kristenisasi kepada wilayah-wilayah yang penduduknya belum beragama. Kehadiran Portugis yang dibarengi
dengan pengalaman pembebasan dari Islam di wilayah Iberia dan Andalusia di Eropa Selatan, membentuk
caranya yang agresif dalam penyebaran agama Kristen.
Islam sebagai agama tidak lebih
penting daripada etnis atau suku untuk Portugis. Portugis menyebut Islam
dengan Moro yang diambil dari kata Moroko, orang –orang yang berasal dari
Afrika. Penyebutan Islam sebagai
Moro juga dilakukan ketika Portugis berada di Maluku. Pulau Morotai di Maluku Utara disebut
untuk menyebut wilayah yang ditempati oleh orang-orang Moro (beragama
Islam). Kerajaan Katolik di sekitar desa Mede, Halmahera Utara juga disebut Morotia (Adeney-Risakotta, 2005). Ketika Portugis di usir
oleh Ternate dengan mendapat bantuan dari Hitu dan Jawa, wilayah-wilayah
inilah yang kemudian menjadi daerah Protestan, yang diserah terimakan
kepada Belanda sebagai salah satu pasukan asing yang membantu Ternate.
Pengusiran Portugis berlangsung
dalam perang yang cukup lama, misalkan dicatat dalam perang Hitu di mana
pasukan Ternate mendapat bantuan dari pasukan Hitu dan dari Jawa. Dampak dari paska perang ternyata
memberikan pengaruh sangat besar bagi penerusan kepentingan Belanda di
daerah ini. Kerugian perang harus segera di atasi termasuk juga
memulihkan kerjasama antara warga masyarakat. Pada saat inilah konsep
dari pela mulai diperkenalkan.
Saya pernah menulis tentang hubungan
antara praktek pela di Maluku Tengah dengan pella yang dimaksudkan
sebagai daerah penampungan pengungsi pada jaman Yunani. Pela sebagai
gerakan orang bersaudara ternyata mempunyai kepentingan yang kuat sebagai
bikinan dari Belanda. Pela adalah penamaan ikatan persaudaraan yang cara
pemeliharaannya dilakukan dengan saling mengunjungi , tolong menolong
dalam membangun bangunan umum, maupun kehadiran khusus pada acara-acara adat
yang berlangsung di desa masing-masing. Dalam artikel berjudul "Satu Dekade 11
September dan tarikan
kerusuhan Maluku", saya menjelaskan
tentang Pela (lihat blog: Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua).
Penekanan pada pela di Maluku Tengah
menjadi sangat penting karena terkait dengan kepentingan dagang Belanda. Praktek yang sama seperti Pela
terlihat juga pada desa-desa di Maluku Utara tetapi tidak disebut Pela
seperti yang dilakukan di Maluku Tengah (Adeney-Risakotta, 2005). Pela
dibedakan atas beberapa tingkatan. Dimulai dari istilah gandong yang
berarti kakak beradik satu bapak satu ibu, kemudian pela makan sirih,
dll. Contoh gandong bisa dilihat pada negeri atau desa Tulehu yang bersaudara dengan
negeri Paperu di pulau Saparua. Orang-orang diajarkan turun temurun bahwa
apa yang dimiliki oleh Paperu adalah milik orang-orang Tulehu maupun
sebaliknya. Banyaknya orang Paperu membawa mikro mini, mobil penumpang
milik orang Tulehu adalah satu bukti kedekatan antara dua gandong yang
berbeda agama. Paperu adalah desa Kristen dan Tulehu adalah desa Muslim.
Maluku sebagai propinsi yang
menggunakan kata Maluku merupakan hasil dari konstruksi ideologi
Belanda. Ambon merupakan pusat
dagang yang dipilih untuk bersaing dengan Ternate. Kemajemukan di Ambon
tidak bisa diragukan lagi karena hanya di kota Ambon inilah bahasa
daerahnya sudah punah. Pulau-pulau di sekitar kota Ambon masih memelihara
bahasanya masing-masing. Syukurlah, desentralisasi pada masa awal
reformasi, 1998 memungkinkan pemisahan antara propinsi Maluku dengan pusat
ibukota Ambon dari propinsi Maluku Utara dengan kota pemerintahan Ternate
(sekarang Sofifi, di Jailolo).
Kuatnya praktek gandong dan pela di
provinsi Maluku merupakan modal sosial kepada pemerintah dan masyarakat
Maluku. Modal ini bukan saja berlaku pada jaman pemerintahan Belanda,
tetapi juga sampai sekarang. Sesudah konflik Maluku, keinginan untuk
menguatkan gandong dan pela menjadi salah satu tugas yang sudah difasilitasi
dengan melibatkan Gubernur Maluku sendiri. Bersama dengan pemuda/pemudi muslim dan
kristiani di Yogyakarta, saya memfasilitasi pertemuan dialog budaya
Maluku pada tahun 2004. Dialog ini bisa menghadirkan raja-raja dari
muslim dan kristen ke Yogyakarta.
Sebagai tindak lanjutnya adalah dilakukan pelaksanaan kumpul
keluarga dan panas pela yang melibatkan langsung desa-desa di seluruh
propinsi Maluku pada perayaan kota Ambon, 7 September 2006.
(mesjid Siri Sori Islam terlihat dari pantai)
Dampak dari kegiatan ini, bisa
terlihat langsung pada pelaksanaan rekonsiliasi di antara desa muslim dan
kristen seperti yang terjadi dengan desa Siri Sori Nasrani yang musnah
pada saat konflik tetapi kemudian dibangunkan lagi oleh masyarakat Siri
Sori Islam maupun Siri Sori Nasrani. Radja Siri Sori Islam hadir pada
acara Dialog Budaya Maluku tsb, yang menginisiasi pendirian kembali
kampung Siri Sori Nasrani. Walaupun sebenarnya kampung - kampung nasrani
lainnya yang terprovokasi dengan kekerasan massa di kota Ambon akhirnya terlibat pertama-tama menyerang kampung Siri Sori Islam.
Pertahanannya yang dibantu oleh pasukan PKO (pasukan khusus operasi) malahan akhirnya
menghancurkan kampung tetangganya, kampung gandongnya, yaitu Siri Sori
Nasrani.
(gereja Siri Sori Nasrani yang baru didirikan)
Sekalipun demikian, masih ada
kampung kristen atau islam yang ditinggalkan oleh penghuninya karena
ketiadaan rasa aman. Misalkan kampung Iha, dipulau Saparua, yaitu desa
muslim tertua di Maluku Tengah memilih untuk meninggalkan desanya dan
tidak pernah sejak konflik kembali menengok kuburan sanak keluarganya
sekalipun. Masyarakat Iha sekarang tersebar ke pulau Seram (Nusa Ina)
Selain penyebaran Islam ke Maluku
Tengah dimulai dari Maluku Utara, Maluku Utara menyumbangkan penempatan
lokasi ulubalangnya ke seluruh wilayah kekuasaannya. Pemindahan
ulubalalangnya juga sekaligus pemindahan warga masyarakat lainnya dari
Maluku Utara ke pulau-pulau di Maluku Tengah. Warga Maluku Utara di Maluku Tengah menjaga
kesetiaannya dengan mengembangkan ritual agama Islam yang disesuaikan
dengan konteks lokal.
Misalnya di Tulehu, setiap perayaan
Idul Adha harus dilakukan “angkat adat” di mana pada kesempatan itu
saudara gandongnya harus datang untuk bercakalele (menari dengan
salawaku). Kemudian mereka yang muslim membagi daging korban kepada
gandongnya. Sebaliknya ketika saudara gandong Peperu ada acara adat, maka
ia akan mengundang gandongnya untuk bercakalele di rumah adat mereka di
kampung Paperu. Rumah adat bernama balileo yang dibangun dari topangan
tiang-tiang yang mencerminkan nama-nama klan satu keluarga. Setiap nama
dari klan ada pada tiang-tiang penonggak balileo, termasuk juga nama
tiang dari saudara sekandung muslim yang tidak tinggal satu desa.
(Foto di atas menunjukkan balileo yang memperlihatkan tiang-tiangnya di negeri Paperu di pulau Saparua. Sebelah kiri adalah lokasi yang menyediakan dua batu datar berwarna hitam disebut batu karamat sebagai tempat bercakalele. Posisi meletakan batu karamat ditentukan oleh pengelompokkan negeri menurut tradisi pata lima atau pata siwa. Batu karamat di negeri Paperu diletakkan di antara pantai dan balileo yang menunjukkan akar tradisi pata lima sekalipun negeri ini adalah negeri Kristen)
Uraian
di atas paling tidak mendorong masyarakat propinsi Maluku meninjau ulang
tentang klaim asal usul manusianya yang dipercayai dari pulai Nusa Ina
(pulau Ibu). Sebutan pulau Nusa Ina berarti pulau besar yang tidak ada
hubungan langsung dengan penyebaran penduduk keluar dari Nusa Ina ke
pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sebaliknya pulau Nusa Ina menjadi tempat migrasi untuk alasan pembuangan maupun keamanan. Misalkan keturunan kesultanan Jailolo dari pulau Halmahera di Maluku Utara sesudah keratonnya dimusnahkan, mereka pindah ke pulau Nusa Ina (Adeney-Risakotta, 2005).
Fenomena munculnya beberapa negeri seperti Nunusaku, Sahulau, dan Sir belum bisa disetarakan dengan kekuasaan yang terbangun dari sistem kerajaan seperti yang terjadi di Maluku Utara. Apabila kemudian terjadi penguatan politik lokal yang dimotori oleh ketiga negeri di Seram, maka yang terjadi adalah proses kontektualisasi sekaligus pemutusan dari pengaruh kekuasaan di Maluku Utara sesudah pendudukan kekuatan Eropa di kepulauan Maluku.
Kedua, fenomena migrasi dari
pulau-pulau kecil ke pulau Nusa Ina untuk tujuan keamanan karena jauh dari
letusan gunung api seperti di pulau Banda dstnya. Sekalipun di Amahai
pernah terjadi daerah yang patah karena terkait dengan gempa bumi yang
dicatat Rumpius pada tanggal 17 Februari 1678. Gempa bumi ini menewaskan
isterinya dan anaknya di kota Ambon.
Upaya
mengeratkan persaudaraan antara gandong, dan pela terus dilakukan baik
oleh pemerintah maupun individu. Trauma dari konflik Maluku masih turut
membekas dalam ingatan masyarakat, tetapi sekaligus ada harapan baru
tentang lahirnya kebutuhan untuk saling menguatkan di antara komunitas
muslim dan kristiani. Penguatan ini harus tetap dilakukan untuk
menghindari peran militer yang menjaga Maluku. Tugas penjagaan inilah
yang harus diberikan kepada masyarakat Maluku itu sendiri. Mereka yang
disebut gandong maupun pela.
Bersambung:
Heka
Leka membangun Maluku Cerdas, menguatkan jejaring adat
|