Sisipan cerita!
Warga mengubah pencitraan sungai Winongo!
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta
Tahun 2009,
saya pertama kali datang di sini, di bangunan yang disebut rumah bambu. Banyak perempuan berkumpul. Masing-masing
terlihat sangat sibuk. Masih segar dalam ingatan saya. Ruang itu penuh warna
warni dari berbagai karya perempuan. Ada pakaian siap pakai, tas manik-manik,
tas dengan bahan perca, taplak meja dari bahan bloco dengan motif bordiran yang
menggambarkan alam sekitar kali. Masih banyak produk ketrampilan lainnya
terbentang menawan di atas estalase sederhana di rumah bambu.
Mereka
berkelompok menempati ruang dengan sekat. Selain pajangan hasil kerja kelompok
yang siap dipasarkan, mereka masing-masing mempersiapkan nasi tumpeng yang
dihiasi cantik. Imajinasi seseorang akan makin menakjubkan ketika bertemu dengan
ide orang lain. Kreasi dari kreatifitas imaginasi bersama serupa kekuatan air
Winongo yang terus bergerak. Karya-karya mereka itu dilombakan. Saya terkagum-kagum sebagai juri. Semua
bagus-bagus!
Itu
kenangan perayaan hari Kartini beberapa tahun lalu. Sejak itu sudah beberapa
kali saya kembali ke pondok bambu. Tetapi hanya beberapa hari lalu menjelang datangnya
bulan baru, bulan Mei 2012, saya sedang menyaksikan perubahan yang sedang
terjadi di sana. Pengorganisasian warga
sekitar sungai Winongo yang dimulai mba
Endang Rohjiani sejak
tahun 2007 ternyata bertumbuh dan mengubah wajah kampung dengan sangat
menakjubkan.
Mba Endang adalah teman seperguruan saya, sama-sama anggota Koalisi Perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi. Cerita dirinya sangat mengharukan hati saya. Di tahun ketika ia harus meninggalkan suatu LSM tempatnya bekerja bertahun-tahun, yang digambarkan sebagai masa kritis sekaligus kegilaannya justru itulah permulaan untuk bekerja tanpa pamrih. Ia mulai membersihkan tanah di mana rumah bambu berada. Tanah itu penuh dengan sampah! Pelan-pelan ia keluar dari rumahnya berjejaring dengan warga setempat mengolah sampah dan menata sungai.
Kerjanya ini mulai menyembuhkan dirinya dan membuka jalan untuk memberikan hidupnya kepada komunitas di mana ia tinggal. Tidak banyak orang yang melakukan hal ini. Mba Endang adalah satu dari banyak orang yang bisa memulai dan program-programnya mengubah pelan-pelan warga setempat.
Mba Endang adalah teman seperguruan saya, sama-sama anggota Koalisi Perempuan Indonesia untuk keadilan dan demokrasi. Cerita dirinya sangat mengharukan hati saya. Di tahun ketika ia harus meninggalkan suatu LSM tempatnya bekerja bertahun-tahun, yang digambarkan sebagai masa kritis sekaligus kegilaannya justru itulah permulaan untuk bekerja tanpa pamrih. Ia mulai membersihkan tanah di mana rumah bambu berada. Tanah itu penuh dengan sampah! Pelan-pelan ia keluar dari rumahnya berjejaring dengan warga setempat mengolah sampah dan menata sungai.
Kerjanya ini mulai menyembuhkan dirinya dan membuka jalan untuk memberikan hidupnya kepada komunitas di mana ia tinggal. Tidak banyak orang yang melakukan hal ini. Mba Endang adalah satu dari banyak orang yang bisa memulai dan program-programnya mengubah pelan-pelan warga setempat.
Rumah bambu menyimpan energi untuk menjadikan dirinya menyatu dengan alam di sekitarnya. Tetapi sekarang pusat aktivitas sudah melebar keluar dari rumah bambu. Seolah-olah bambu-bambu yang bertumbuh tegak sepanjang sungai Winongo membuka diri mereka. Di sanalah mba Endang dan masyarakat menata kehidupan kampung mereka bersama. Sungai Winongo disentuh lembut oleh perempuan-perempuan yang menggandeng lelaki dan anak-anak membangun bersama. Tawa anak-anak berlarian. Sapaan hormat di antara mereka yang bertemu di jalan. Semua mata sekarang menuju ke pinggiran sungai. Semua melangkah ke sana.
Kami
berjalan melewati lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah penduduk yang
sangat padat. Dengan sentuhan kasih,
rumah-rumah kumuh mulai tertata indah dan kuat. Sebuah rumah yang dulu kumuh
baru saja direnovasi. Ini hasil kerjasama antara komunitas yang dipimpin mba
Endang dengan Habitat for Humanity. Pemilik rumah itu seorang janda. Mba Endang
lega, sekarang perempuan dengan posisi sebagai orang tua tunggal itu bisa tidur
tenang ketika hujan lebat lepas dari langit.
Tinggal di
sekitar sungai adalah nasib. Seperti air mengalir suaranya bergetar terpukul
bebatuan. Tebing batu alam setinggi 50 meteran berdiri tegak sepanjang 30 meter
pada kedua sisian sungai. Di tengah sungai
terlentang tegak bebatuan hitam setinggi 2-3 meter. Batu-batu terpencar membuat
arah aliran air serupa tarian bersuara. Sepintas saya seperti melihat tampilanl
putri air terbaring di tengah sungai. Saya ingin menceburkan diri ke sungai
itu.
Perasaan
kuat itu datang membawa kenangan ketika saya menceburkan diri di salah satu
anakan sungai dari danau Young di taman nasional Yosemite Park di California. Kira-kira
10 tahun lalu, ketika musim panas, suami dan saya hiking seminggu sampai melewati danau
Young. Kami mendirikan tenda di dekat sungai dan tinggal di sana selama beberapa
hari. Siang hari kami trekking di hutan menelusuri jejak kotoran beruang. Sesudah capek,
berkeringat, kami langsung menceburkan diri dalam air sungai.
Pengalaman
ini membekas karena ketika saya melompat menyelam ke sungai, saya merasa
seluruh tubuh panas. Terbakar! Mendidih! Air sungai dingin seperti es. Saya merasa jantung berhenti. Sekonyong-konyong saya melihat wajah seseorang
perempuan tersenyum terpancar dari dalam air. Saya tidak percaya! Aneh! Rasa darah mendidih dalam diri karena kedinginan
dari air sungai serasa melemah.
Saya
menyelam mendekat ke dasar sungai. Semakin dekat semakin jelas wajah tersenyum
keluar dari batu berwarna coklat yang terbentang di bawah sana.
Senyum seorang putri sungai! Seolah-olah putri sungai sedang menormalkan
didihan darah tropis saya. Saya bisa
berenang lagi dalam air sungai dari aliran glazier di sekitar pegunungan di
Yosemite Park. Kami menikmati berenang bersama! Bertahun saya menyimpan perasaan
itu.
Sungai
Winongo berbeda. Airnya hangat. Bebatuannya seolah-olah baru saja dimuntahkan
keluar dari rahim gunung Merapi. Airnya berwarna kecoklatan tidak sebening air
dari pegunungan Yosemite park. Tetapi suara pukulan air di mana saja sama.
Airnya yang menerpa bebatuan mengingatkan saya pada suara pecahan ombak di
pantai selatan. Mba Endang bermimpi
kelak akan ada banyak perahu
karet lalu lalang bermain arum jeram di sana.
Sungai Winongo sudah lama menyimpan misteri untuk
warga. Kadang-kadang mereka melihat ada
keris terapung sambil mengepulkan asap mengalir dari hulu ke hilir. Warga menonton
diam-diam sampai ia menghilang. Kemudian
diceritakan mba Endang tentang sungai Winongo pada jaman Mataram.
Sungai ini adalah
tempat membuang sial. Mereka yang
melawan kerajaan seperti selir, anggota keluarga lainnya bisa disingkirkan ke
sini. Sungai Winongo menjadi penampung orang-orang
yang terpinggirkan dari kekuasaan kraton. Pusaka-pusaka kraton yang sudah usang
juga dibuang di sungai ini.
Nasib
sungai sebagai tempat pembuangan kemudian masih dipercayai sampai sekarang. Antrian
orang-orang setiap pagi membuang hajatnya panjang. Sambil merokok jejeran kulit tubuh sewarna
dengan air sungai duduk mencongkok menikmati pembebasan diri di sungai
Winongo.
Pemandangan
ini tersembunyi di balik potongan bermacam kain warna-warni yang dipasang menutupi
pagar bambu sepanjang tepian sungai. Tujuannya untuk memastikan ketenangan pelaksanaan ritual pembuangan tanpa gangguan dari
pandangan pejalan kaki. Sungai
ternyata juga masih menyimpan privasi diri seseorang sekalipun ketika ritual
mandi di sungai dilakukan tubuh terbalut kain transparan memperlihatkan keindahan lekukannya yang telanjang.
Sesudah
melepaskan hajatnya, satu-satu berjalan ke mata air untuk mandi. Air bening
seperti air pancuran mengalir keluar dari mata air yang membersihkan tubuh
penduduk di sana. Mandi di sungai lebih segar
daripada mandi di MCK yang dibuatkan dari dana pemerintah. Mandi dan mencuci di
sungai memberikan kebahagiaan. Keakraban bersenandung dengan menggosipkan sesama.
Seorang ibu tinggal di pusat kota Yogya, dari
lokasi sekitar pasar Patuk
datang mencuci di mata air sungai Winongo.
Mata air
adalah berkat kepada warga. Airnya sekarang mengisi kolam renang berukuran 5 x 10 meter yang
ketika banjir bandang akan tertutup oleh tumpahan air sungai Winongo. Ketika saya di sana, anak-anak dengan orang
tua mereka sedang berenang. Beberapa orang transgender juga sedang berenang.
Tahun 2011,
Bappeda DIY menyetujui usulan warga yang diorganisir oleh mba Endang untuk
menata pinggiran sungai. Program hibah sebesar Rp 200 juta dikelola berhasil. Semua berpartisipasi termasuk
membuat satu-satunya kolam renang warga pinggiran sungai yang ada di propinsi
DIY. Warga bangga dengan apa yang sedang terjadi.
Dengan membayar Rp 1.000 sekali kunjungan mereka bisa berenang sepuas-puasnya. Airnya diganti setiap tiga hari. Dikatakan air kolam renang lebih bersih dari air yang ada di rumah-rumah penduduk karena sudah tercemar oleh bakteri Coli. Sebelum menurun ke lokasi kolam renang, saya melihat bapak-bapak sedang membangun warung yang akan dipakai oleh ibu-ibu anggota PKK menjual produk mereka.
Dengan membayar Rp 1.000 sekali kunjungan mereka bisa berenang sepuas-puasnya. Airnya diganti setiap tiga hari. Dikatakan air kolam renang lebih bersih dari air yang ada di rumah-rumah penduduk karena sudah tercemar oleh bakteri Coli. Sebelum menurun ke lokasi kolam renang, saya melihat bapak-bapak sedang membangun warung yang akan dipakai oleh ibu-ibu anggota PKK menjual produk mereka.
Di alam
Winongo, di sinilah mba Endang, suaminya dan kedua anak mereka tinggal. Rumahnya
di antara kepadatan rumah penduduk lainnya yang cukup jauh dari batas pemukiman
penduduk di bibir sungai. Bentaran sungai yang masih kosong mulai ditata supaya
penduduk tidak menyerobot menduduki area tersebut. Ruang terbuka hijau sebagai
program masyarakat mulai nampak buahnya. Konservasi lingkungan hijau sepanjang
200 meter sedang berbenah. Sebuah gazebo gantung dibangun di sebelah selatan
sungai. Kami ke sana untuk bercerita sambil menonton kereta api lewat.
Sementara
kami di gazebo, datang tiga anak tanggung. Mereka sedang belajar di SD. Ada seorang yang gendut, dan dua orang lainnya
tubuh ramping. Mereka memegang satu bungkus indomie. Saya memperhatikan saja
apa yang akan dilakukannya. Bungkusan indomie
dibuka kemudian satu persatu paket
yang ada di dalam dirobek. Bumbunya dituangkan dalam bungkusan mie kering.
Minyak, sambel dan kecapnya kemudian dicampurkan juga dalam bungkusan mie.
Dengan
menggunakan jari telunjuk anak gendut itu mulai mengaduk-aduk. Sesudah semuanya tercampur, satu per
satu jari dari ketiga anak ini mengambil potongan mie kemudian memakannya. Saya
merasa lapar menyaksikan cara anak-anak makan mie yang tidak dimasak. Ada
kekuatiran tentang bahaya zat pengawet yang dimakan langsung tanpa memasak.
Berapa sering mereka memakan mie dengan cara ini. Saya bertanya dalam hati.
Bahaya penyakit regeneratif sedang mengintip anak-anak ini. Saya prihatin!
Sambil
bercerita dengan mba Endang, saya menyaksikan tingkah anak-anak ini. Diam-diam, bungkusan paket di dalam plastik
indomie, sesudah dibuka, plastiknya dibuang di antara cela-cela bambu dari
lantai gazebo gantung. Saya sudah biasa
melihat kebiasaan buang sampah plastik keluar dari mobil di jalan raya. Saya sedih tapi tidak bisa buat apa-apa. Dari mobil-mobil mewah sering banyak sampah
dibuang di jalan raya. Tetapi
sekarang di depan saya, anak-anak melakukannya dengan ringan. Saya menunggu
mereka selesai.
Ketika
bungkusan indomie akan dibuang di antara cela bambu, saya bertanya apakah
mereka menikmati makanannya. Mereka semuanya tersenyum mengatakan enak!. Kemudian
saya bertanya rencana mereka membuang sampah.
Anak gendut mengatakan akan membuat di sungai. Saya bertanya: “Mengapa harus membuang sampah di
sungai”?. Mereka
mengatakan itu kebiasaan di sini. Kemudian saya menunjukkan kepada mereka akar
pohon bambu yang dibungkus oleh ratusan sobekan plastik. Plastik-plastik yang
tersangkut pada akar bambu membuat pemandangan tidak nyaman pada sungai. Mereka
terkesima!Mungkin mereka sedang melihatnya dengan pandangan baru!
Seorang
dari ketiga anak itu kemudian mengatakan: “Saya akan membawa pulang plastik dan
membuangnya di tempat sampah di rumah”. Kedua anak lainnya tertawa sambil
mengangguk kepala mereka. Kemudian saya
mengajak mereka untuk turun ke bawah gazebo gantung untuk mencari potongan
bungkusan yang dibuang di antara cela-cela bambu. Anak gendut itu berjalan duluan. Ia juga yang mengambil
kembali potongan bungkusan kosong yang dibuangnya. Saya tersenyum lega. Semoga mereka ingat
pengalaman pertamanya membuang sampah di
rumahnya sendiri.
Mba Endang
mengeluhkan tentang mentalitas membuang sampah yang menjadi keprihatinan
bersama. Sekalipun bank sampah sudah
dibangun dan warga mendapat kesempatan pengembangan daur ulang plastik dari
sampah tsb, tetapi ketika saya di sungai, ada banyak orang yang masih datang
membersihkan karung dan ember sampah sambil membuang sampah sisanya di sana.
Mengubah
mentalitas dimulai dari membiasakan terus menerus kebiasaan yang baru sampai
otak kita terbiasa. Keindahan sungai
terkait dengan kebersihannya. Tantangan
ini akan membuat rumah bambu mengiatkan kembali pembelajaran kebiasan-kebiasan baik untuk
lingkungan sungai kepada kelompok usia dini, menengah maupun tua. Saya
mengusulkan pembelajaran dengan menggunakan foto dan film yang menceritakan
kehidupan warga sendiri. Mereka menonton diri sendiri dan mengomentarinya juga.
Kami juga melewati beberapa kolam kosong tanpa ikan tawar yang berada di tepi sungai. Kolam-kolam ini belum pernah dipakai oleh warga. Kolam-kolam terngangah ini menunjukkan kegagalan pemerintah. Program ini direncanakan tanpa melibatkan warga. Program dilakukan untuk menghabiskan anggaran akhir tahun. Mba Endang memperhatikan, keacuhan warga, rendahkan kesadaran mereka untuk terlibat dalam program bersama secara sukarela sangat dipengaruhi oleh cara pemberdayaan dari program pemerintah yang memberikan bantuan dana langsung kepada warga. Sekarang seseorang mau mengikuti program tertentu akan bertanya apakah ada uang transpor dan harian untuknya.
Mimpi mba
Endang untuk melihat sungai Winongo
menjadi sumber pengetahuan alam dan pembelajaran kehidupan masyarakat tidak
terhalangi oleh kebiasaan lama yang belum terkoreksi. Ruang hijau terbuka sekarang sudah menjadi
mimpi warga Winongo juga. Sepuluh desa lain yang masuk dibawah supervisi
mba Endang mulai belajar dari warga sekitar sesudah kolam renang bisa dibangun
di sana. Kalau warga mau, mereka bisa melakukannya. Mba Endang menggunakan istilah “heboh” untuk
menjelaskan perubahan perilaku warga sesudah kolam renang dibangun. Ketika kegiatan mulai menghasilkan uang semua orang sibuk, banyak yang ingin mengurusnya! Sekarang mereka semua terpanggil untuk memikirkan
manajemennya.
Sudah siang, hampir mendekat sholat asar, kami mampir makan lotek kangkung di warung
seorang ibu dalam perjalanan balik ke rumah bambu. Saya akan kembali lagi ke
sana. Seperti sungai Code yang adalah sungai permandian keluarga kraton sesudah pulang dari perburuan di Kaliurang, di kaki gunung Merapi, nasib
sungai Winongo sedang diluruskan kembali oleh warganya. Sekarang kesialan sungai Winongo mulai
berganti dengan harapan.
Gambaran dirinya berubah, karena ada satu orang dan kemudian
dua orang, kemudian tiga orang, kemudian semuanya yang ingin mengubah pencitraannya.
Sekarang mereka sudah mulai. Mereka terus berjalan menggandengkan mimpi sang
aktivis kampung dengan mimpi semua. Saya membawa cerita ini dan memulai menulisnya
sesudah tiba lagi di kampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar