Perjalanan Iman Perjalanan Mendunia. Catatan tertinggal dari Seminyak.
Bagian Pertama: Iman peziarah
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Peziarahan adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan perjalanan suci
seseorang untuk bertemu dengan kekudusan.
Setiap orang membuat makna suci untuk dirinya. Peziarahan merupakan bagian
dari perjalanan seseorang menjawab pertanyaan eksistensial tentang dari mana
manusia datang dan kemana ia pergi. Dalam peziarahan manusia membawa dirinya
bertemu dengan kekuatan yang melebihi dirinya sendiri.
Peziarahan sebagai tindakan berjalan seringkali dilakukan secara
sendiri-sendiri tetapi juga terjadi dengan dalam kebersamaan. Manusia berjalan
mengunjungi pusat-pusat ziarah untuk menemukan kembali narasi dan pengalaman
kudus. Ingatan dengan narasi suci dari masa lalu diperlukan untuk menyucikan dunia
yang menghidupkan manusia saat ini. Perziarahan merupakan praktek iman yang
sangat tua dalam sejarah peradaban manusia.
Penetapan tempat ziarah terjadi dalam pengalaman bersama yang langka,
yang menggetarkan. Misalkan di daerah yang kering karena sulit ditemukan sumber
air, tetapi di antara tempat itu ada mata air, maka tempat yang langka ini
dianggap mempunyai kekuatan. Sungai, gunung, samudera, danau, dan alam di
sekitarnya bisa diterima sebagai daerah yang kudus, karena
keistimewaan-keistimewaannya.
Sekularisasi yang terjadi di dalam kehidupan manusia, bisa mempengaruhi
hilangnya kesucian dari suatu tempat. Kekuatan yang dianggap sebagai bagian
dari dunia roh mengandung gaib, keajaiban, bisa dirasakan sebagai fenomena alam
yang biasa.
Dunia yang dulu ditempuh dalam waktu berhari-hari dengan kapal, sekarang
adalah alam tanpa jarak. Perjalanan makin mudah dengan pesawat. Bahkan dengan
internet, skype, orang bisa terhubungkan. Manusia berjalan tapi mungkin
peziarahan tidak terjadi.
Tinggal beberapa hari di Bali sesudah film Eat,
Pray, Love yang mulai diputar pada bulan Agustus 2010 di seluruh dunia
menghadirkan makna yang berbeda kepada saya. Terutama sesudah saya menonton
filmnya kemudian datang lagi berkunjung ke Bali.
Film ini memilih Bali menjadi salah satu
tempat sebagai pusat ziarah dunia. Pulau
Dewata, the Island of Goddess menjadi tempat di mana orang-orang dari berbagai
dunia berziarah.
Film Eat, Pray, Love yang disutradarai
oleh Ryan Murphy dan dimainkan oleh Julia Roberts menjelaskan kesatuan alam dan
manusia yang memberikan inspirasi kepada banyak orang untuk menemukan
perjalanan dirinya kepada kesucian. Film ini diangkat dari novel Eat, Pray, Love
yang ditulis sebagai suatu memoir dari Elizabeth Gilbert. Tulisan Gilbert dimuat secara berkala sampai
187 seri mingguan di The New York Times.
Keindahan
dalam kata-kata dan pengalaman manusia seperti dijelaskan dalam novel
diterjemahkan dalam gambar dari film
oleh Columbia Pictures. Gambarannya
menghidupkan kehidupan dan romantisme
tentang Italia, India dan Indonesia. Roma, New Dehli dan Bali menghadirkan dirinya sebagai tempat-tempat
peziarah manusia modern.
Manusia berbeda dari sekedar mesin. Manusia
membangun makna hidup. Suatu makna yang menenangkan dirinya sesudah dalam waktu
yang panjang terus dijalani sampai penemuan diri tiba. Dengan Sang Pencipta
manusia berelasi. Tetapi relasi manusia
dengan Sang Pencipta bisa tampil secara mekanik. Kerutinan tanpa makna hanya
sebagai tradisi dapat menghilangkan kedalaman pengertian dan menyebabkan
manusia terasing dari Sang Pencipta.
Relasi dengan Sang Pencipta yang memusatkan pada pengalaman kesadaran
bisa hadir tanpa makna.
Pertanyaannya apakah Bali memberikan inspirasi
bagaimana manusia memelihara imannya? Keluasan orang-orang Bali dalam
mengekspresikan imannya, dalam cara menghadirkan teritori kudus di mana-mana
manusia berada sebenarnya menggetarkan bagi para peziarah yang memasuki Bali
dengan kehampaan. Dirinya adalah mesin tua yang sedang menghangus.
Mendaratkan tubuh peziarah berdekatan pada
pohon raksasa yang diberikan kain penutup auranya, menindiskan kaki pada
pepasiran di sepanjang pantai seakan menggetarkan bagian tubuh yang kaku serupa
mesin. Sang peziarah seolah-olah bisa kembali menemukan dirinya yang sudah
hilang.
Mensejajarkan Bali dengan Roma seolah-olah
menghadirkan tentang masa lalu peziarah. Kekuasaan Roma, dalam kekudusannya
dengan tampilan akar peradaban yang menyebarkan spiritualitas dan pengalaman
keseluruh dunia telah membawa peziarah kembali untuk mengerti tentang dirinya.
Pijakannya sekarang adalah produk dari masa
lalu tetapi juga masa kini yang telah membebaskannya. Pernah berada di Roma,
saya bisa membayangkan getaran yang muncul dari peziarah yang terkagum-kagum
kepada kekayaan gereja di Vatikan. Penggambaran tentang Allah yang terpancar
dalam kemaharajaan dari urapan ukiran emas bertahta. Iman yang mengunci pada
ruang dengan tatanan kekuasaan terstruktur dalam bangunan ibadah. Ingatan
bersama tentang dirinya, dari sejarah masa lalu, sejarah bersama sebagai
seorang kristiani terpaku di sana. Peziarah mengunjungi dirinya dalam teritori
suci, yang menyimpan semua kegelisahan.
Pengalaman ini sangat berbeda dengan peziarahan yang memusatkan pada alam semesta. India, New Delhi yang mengalirkan sungai Gangga. Wajah kemiskinan dan kerumitan penduduk India seolah-olah menghadirkan getaran permenungan diri. Meditasi ada dalam cara untuk melihat pusat dunia dipindahkan dari bangunan kepada tubuh.
Di Bali, pusat dunia ada pada alam semesta
yang menyentuh diri peziarah dengan sesamanya yang dewasa dari penderitaan.
Setiap kata-kata bijak mendorong pemenungan yang menggetarkan. Manusia yang
saling membutuhkan menyatakan cinta kasih. Spiritualitas bukan hanya kekaguman
semesta tetapi kebaikan diri dalam berbagi dengan sesama. Sentuhan-sentuhan
persahabatan dari masyarakat lokal yang memberikan penjelasan tentang ritual
agama mereka mengkayakan perjalanan iman peziarah.
Ketika duduk memandang senja sore, menikmati
alunan musik, bukan saja lidah mengunyah La Plancha (barbeque) seafood tetapi
jiwa dikenyangkan karena pengertian yang semakin jelas dalam benak
sendiri.
La Plancha, salah satu aroma Spanyol seolah
mengubah Bali menjadi dirinya yang lain. Di Bali ternyata peziarah bisa
menemukan akar dirinya. Penggabungannya bisa terjadi secara alamiah. La Plancha, restoran Spanyol di sepanjang
Seminyak seolah-olah menghadirkan lagi perjalanan saya keliling Spanyol belajar
bersama suami tentang Alhamra, Cordoba, Granada, Seville di Andalusia, Madrid dengan kekuasaannya
yang menyebar sampai ke benua Amerika dan Asia.
Suatu perjalanan yang dilakukan sebagai tanda
munculnya kekuasaan baru selain Vatikan, negara di dalam Roma. Kekuasaan ini tampil mendorong munculnya
pertanyaan individu yang ingin melonggarkan pengaruh kuat dari institusi iman demi
keotentikan imannya sendiri di hadapan Sang Pencipta. Mungkin karena itu, Julia
Roberts sesudah memainkan film Eat Pray Love kemudian mengumumkan dirinya
menjadi seorang penganut agama Hindu.
Suara lepasan ombak dan gambaran memutih
memecah di tepian pantai. Saya membiarkan diri berziarah dalam hati, mengangkat
pengalaman hati sejajar dengan kesadaran ingatan supaya lebih peka tentang
perjalanan iman sesama manusia. Apakah
ini cara menghormati mereka dengan membuka ruang diri saya melintasi kesadaran
yang ada dalam hati dan penalarannya tentang apa yang disebut sebagai iman?
Saya bertanya sehingga jawabannya masih harus diteruskan!
Bu Farsi, sy daftar sbg pengikut di Blog ibu Farsi. dan sy sudah baca tulisan di atas ini. Menarik sekali...kebetulan sy juga punya catatan khusus mengenai FILM EAT PRAY LOVE itu... hanya sy blm publish di blog pribadi saya... oh iya: saya FRANSISKUS BORGIAS M. (Peserta kuliah ibu bersama prof.Heidi di ICRS thn 2010 silam). Frans BM.
BalasHapusPak Frans tentu saja saya ingat bapak. Semakin banyak refleksi tentang film East Pray Love semakin menarik pak. Tulisannya belum selesai. Ini baru suatu permulaan. Sebagai suatu perjalanan, penceritaan tentang iman perlu waktu dalam kematangan menjelaskan. Demi penghargaan kepada pengalaman hati dan kehidupan manusia. Harap semakin banyak orang yang bersedia berbagi dan terhubung dengan tulisan dalam tema ini. Salam. f
Hapus