Translate

Minggu, 29 April 2012

Tubuh-identitas-moralitas-iman


Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian ketujuh: Tubuh-identitas- moralitas-iman

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Masih tentang tubuh. Masih tentang identitas. Masih tentang moralitas. Sekarang saya ingin menambah, di manakah iman dalam diskusi tentang LGTB-IQ?.   Saya juga ingin memastikan keterhubungan dari titik-titik pembahasan ini. Setidaknya uraian sederhana ini dapat membantu saya meluruskan pengertian paradoksif dalam memahami orientasi seksualitas yang berbeda.  
  
Secara ilmiah, pandangan tentang orientasi seksual yang berbeda sudah direvisi, tidak dianggap lagi sebagai penyakit. Akan tetapi yang masih belum diselesaikan adalah pandangan dari kalangan agama. LGTB-IQ adalah sesat, berdosa, tidak bermoral. 

Secara ilmiah, sangat jelas bagi saya ketegangan yang masih terpelihara antara agama dan LGTB-IQ. Agama yang saya maksudkan adalah institusi yang mempunyai kuasa dan otoritas untuk menghukum, menghakimi mereka yang dianggap berdosa. 

Masih segar dalam ingatan saya apa yang dikatakan mas Dede Utomo.  Apabila diparafrase kira-kira begini. Agama-agama yang berkotbah kepada orang-orang LGTB-IQ mungkin harus bersiap-siap untuk kecewa.  Orang-orang LGTB-IQ tidak akan berubah.  LGTB-IQ bukan profesi. LGTB-IQ adalah identitas.  LGTB-IQ adalah orientasi seksual yang berbeda.  Pernyataan mas Dede Utomo keluar dari seorang yang memandang identitas sebagai suatu pencarian yang sejati yang tidak akan berubah.  Pandangan ini dikategorikan esensialisme. 

Pekerjaan apapun yang dianggap sebagai “profesi” mungkin akan menyebabkan perubahan.  Contohnya, perubahan profesi “PSK” (pekerja seksual komersial).  Profesi bisa berubah karena waktu.  Semakin manusia menua,  fungsi-fungsi tubuh akan melemah sehingga harus “berhenti” mengerjakan pekerjaan yang selama waktu panjang dilakukannya terus menerus.

Memperbandingkan LGTB-IQ dengan PSK ternyata juga problematis. Pandangan yang menganggap PSK adalah profesi sebenarnya menunjukkan penerimaan sistem global ekonomi yang menindas perempuan sehingga menjadi PSK. 

PSK adalah korban dari ketidakadilan sistem dunia. Perempuan terjebak dan dijebak oleh sistem ekonomi.  Bahkan klaim perempuan atas hak dasarnya untuk hidup, bisa dipakai sebagai alasan memperjuangkan kepentingannya tanpa menyadari tentang eksploitasi dari sistem dunia kepada dirinya sendiri. Misalkan tubuh perempuan dikuasai oleh “germonya”. Jadi PSK membayar pajak dari  “profesinya” tanpa terjadi perubahan kesejahteraan dirinya. 

Muncul pertanyaan mendasar lain!  Bagaimana membedakan antara identitas sebagai hak dasar manusia untuk memilih dengan “perilaku elastisitas seksual”?.  Perilaku elastisitas seksual adalah praktek pencampuran klaim identitas dan pergantian relasi seksual yang terjadi pada rentangan keruangan dari Diri seorang berorientasi seksual berbeda. Misalkan, seseorang yang bolak balik berganti orientasi seksualitasnya, dari seorang homoseksual menjadi heteroseksual menjadi homoseksual dengan sekaligus mengganti-ganti pasangan. 

Klaim ini mencampurkan dua kenyataan. Pertama, adanya perbedaan realitas terkait dengan identitas dan nilai. Kedua, mempertentangkan nilai dalam tampilan tindakan yang kontradiktif, yaitu kebebasan dan individualitas dengan nilai lainnya, kesetiaan – komitmen dan tanggungjawab.  

Hak dasar manusia sebenarnya mengandung berbagai nilai yang tidak bertentangan, seperti kekebasan, kesetiaan, komitmen, tanggungjawab, individualitas dan komunalitas.  Dalam nilai  kebebasan ada kesetiaan, ada tanggungjawab, ada komitmen.  Kebebasan lebih dari sekedar keamanan diri, bebas dari rasa takut, bebas membuat pilihan.  

Tetapi kadang-kadang bisa didapati seorang yang mendewakan kebebasan ternyata orang yang takut sekaligus tidak bertanggungjawab. Ketakutannya bukan disebabkan karena ditakuti, tetapi penyebabnya adalah proteksi yang terlalu ketat pada diri sendiri. Rasa iba, kasihan pada diri sendiri menyebabkan munculnya ketakutan.   

Saya menduga, kerancuan mengartikan “perilaku elastisitas seksual” menjadi penyebab kesalahan kaprah yang menimpa relasi tidak harmonis antara kelompok LGTB-IQ, masyarakat umumnya terutama kaum beragama. Relasi tidak harmonis terjadi karena masing-masing mengabaikan berkomunikasi, supaya bisa mengerti posisinya sendiri-sendiri.  
  
Jadi apa terjadi kalau seorang berorientasi seksual berbeda menerapkan nilai-nilai yang mendukung “perilaku komitmen seksual” dalam memelihara identitasnya?  “Perilaku komitmen seksual” adalah praktek seksual yang dilakukan karena adanya komitmen, keterbukaan secara publik di antara dua manusia berorientasi seksual berbeda untuk saling setia pada pasangnya sendiri.  

Dalam kondisi ini, apakah kaum beragama akan menerima mereka sebagai warga bumi, warga negara yang setara? Mungkinkah mereka diizinkan untuk berpasangan dan membentuk “keluarga”?  Untuk menjawab pertanyaan ini saya ingin bercerita. Kisah nyata seorang partisipan yang sangat menyentuh hati saya.

Ia seorang kristiani,  seorang pemuda. Sesudah menyelesaikan pendidikan teologi, ia mulai menjalankan tugas untuk mempersiapkan diri menjadi seorang pendeta (masa vikariat).  Jemaat menerimanya dengan antusias.  Ia terlibat dalam berbagai kegiatan pelayanan di gereja. Jemaat merasakan pelayanannya.  

Bulan berjalan sampai tiba waktunya ia akan menyelesaikan masa vikariat.  Mulai muncul pertanyaan di kalangan jemaat kapan pemuda calon pendeta ini akan menikah.  Kebetulan selain dirinya ada juga seorang  pemudi yang bersamanya sedang mengikuti masa vikariat di gereja yang sama. Karena masa vikariat hampir selesai yang berarti, ia akan ditahbiskan sebagai seorang pendeta, jemaatnya mendorong pemuda ini segera menikah. Mereka bahkan mendorongnya untuk berpacaran dengan pemudi calon pendeta yang sehari-hari bersamanya.   

Hatinya kacau! Pemuda ini bingung karena sedikitpun ia tidak tertarik apalagi jatuh cinta dengan pemudi tsb. Saat itu ia sedang mencintai seorang lelaki tanpa seorangpun tahu.  Mereka terus mendesaknya.  Akhirnya ia menjelaskan kepada tua-tua (majelis jemaat) tentang perasaannya yang tidak tertarik kepada pemudi tsb. Ia belum terbuka tentang dirinya.  Majelis memberikan ultimatum, ia bisa ditahbiskan apabila menikah dengan pemudi tsb!

Desakan untuk ditahbiskan menyebabkan akhirnya ia berpacaran dengan pemudi calon pendeta. Pacaran berjalan beberapa bulan tetapi kemudian bubar.  Akhirnya ia menjelaskan tentang siapakah dirinya kepada seorang  majelis yang dipercayai.  Majelis tsb memintanya untuk menuliskan surat pengunduran diri yang menjelaskan bahwa ia tidak bisa melanjutkan masa vikariat ini.  Sesudah memikirkan dengan tenang, ia memutuskan menerima saran dari majelis jemaat. Ia menulis surat kepada gereja tsb. 

Surat tersebut mengagetkan seluruh warga jemaat  karena pemuda ini sangat professional dalam menjalankan tugas seharian pendeta selama masa vikariat.  Jemaat tidak mau kehilangan pemuda ini. Ia masih dibutuhkan oleh jemaat. Tetapi untuk menghindari pro kontra dalam jemaat, akhirnya diputuskan supaya pemuda ini meninggalkan gereja tsb. Dengan berat ia tinggalkan gereja itu! 

Pemutusan kerja sewenang-wenang ini terjadi karena gereja memfungsikan dirinya sebagai institusi pemberi pekerjaan yang mempunyai otoritas menentukan "moralitas pekerjaan". Padahal pemuda ini sangat profesional dalam kerja "pelayanan" maupun bebas dari tuduhan perselingguhan kecuali memelihara kesetiaan terhadap dirinya sebagai seorang yang berbeda orientasi seksual.


Lebih jauh, pendiaman atas pengakuan diri seorang LGTB-IQ  bisa berdampak terhadap pasangan heteroseksual yang dipacarin atau dinikahkannya. Karena tekan sosial, seorang LGTB-IQ terpaksa mengikuti kemauan sosial daripada pilihan dirinya. Seorang homoseksual kemudian membangun keluarga secara heteroseksual tetapi pada saat yang sama memelihara diam-diam hubungan sesama jenisnya. Pilihan dualisme ini bisa menyebabkan prahara kepada diri, keluarga dan masyarakatnya!


Untuk pemuda ini, pemutusan kerja  tsb sempat membuatnya “down”. Tetapi ia meneguhkan hatinya. Ia bangkit lagi. Ia mencoba melihat kebaikan dari ajaran kristiani, ajaran Yesus Kristus yang sebenarnya ada dalam gereja tetapi sudah terlupakan. Yesus yang memberikan pengampunan sebagai daya hidup kepada mereka yang galau dan sendirian. Kebangkitannya itu ternyata membawanya kembali melayani gereja bukan sebagai calon pendeta tetapi seorang pekerja di gereja. 

Jemaat gereja ini sangat menghargainya!  Mereka mengasihinya.  Tetapi mereka masih belum tahu identitas pemuda ini.  Pemuda ini masih punya harapan untuk menggali kekuatan jemaat tsb sehingga mereka bisa hidup dalam cara Yesus yang mengasihi umat manusia apa adanya, tanpa penghakiman!. 

Ceritanya mengiris hati saya. Ia bercerita dengan getaran kekuatan yang terhembus keluar dari dirinya. Ia sudah memilih identitasnya! Ia juga memilih “perilaku komitmen seksual”. Pertanyaannya, apa hubungan antara pilihan identitasnya dengan doktrin gereja?   Ia mengerti bahwa pilihannya sebagai seorang “gay” tidak sedang menolak doktrin utama dari ajaran Kristiani tentang Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus.

Pemuda tsb berada pada Youth Interfaith Queer and Sexuality Camp untuk mencoba mengerti bagaimana secara bersama, pemuda antara iman bisa menghadapi tekanan dari masyarakat terutama umat beragama. Apakah orang-orang beragama, institusi agama bisa berlaku adil kepada mereka ketika semua inti ajaran agama sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri sehingga mereka mempraktekan  nilai-nilai kehidupan kepada sesamanya? Mengapa institusi agama harus mengatur dengan siapa seseorang menikah? Apakah perjodohan dari institusi agama tsb didasarkan pada pandangan dan praktek keadilan berdasarkan hak seseorang untuk hidup?  

Pertanyaan-pertanyaan ini saya membawanya pulang. Sekarang saya menulisnya kembali. Saya diingatkan untuk kembali kepada ajaran Yesus Kristus yang tertulis dalam Alkitab. Pemungut cukai, Zakeus disadarkan kembali melakukan kebaikan dan keadilan. Cara hidup lamanya berubah. Maryam Magdalena, seorang mantan pelacur diterima kembali sebagai perempuan yang diampuni sehingga bisa berguna untuk dirinya dan sesama. 

Cerita yang mirip muncul dalam benak saya! Cerita Yesus bertemu dengan seorang perempuan yang ternyata sudah menikah beberapa kali termasuk hubungan dengan seorang lelaki yang sedang disembunyikannya. Pertemuannya di dekat sumur mengubah diri perempuan itu. Melalui pertemuan dengan Yesus, perempuan itu menemukan belaskasihan dan pengampunan dari Allah.  Ia kemudian menjadi manusia baru yang pulang ke kampungnya untuk menjelaskan tentang keselamatan yang diterimanya dari Allah.

Injil tidak menjelaskan tentang pertemuan Yesus dengan orang-orang berorientasi seksual berbeda. Sebenarnya orang-orang berorientasi seksual berbeda lebih banyak "berada" pada kelas atas, mereka yang dekat dengan pemerintahan Romawi yang menjajah tanah Yahudi pada saat Yesus hidup.

Berorientasi seksual berbeda pada jaman itu tampil sebagai "gaya hidup" dari para elit raja-raja. Mereka memperbudak secara seksual pemuda-pemuda. Saya ingat ketika mengunjungi istana Topkapi di Istambul, saya belajar bahwa pemuda-pemuda baya dibawa dari Afrika untuk menjadi partner seks dari para Sultan. Bahkan yang paling mengerikan mereka harus dikebiri lebih dulu.

Mereka kaum elit dengan "gaya hidup" erotisme liar inilah yang menekan orang-orang kecil sampai saatnya mereka bertemu dengan kasih dan pengampunan dari Yesus Kristus. Bahkan pemimpin agamapun lebih menegakkan hidup legalitas daripada kehidupan berkeadilan yang nyata kepada mereka yang memerlukan.   Saya ingat cerita seorang lumpuh yang berbaring selama tiga puluh delapan tahun dekat kolam Bethesda. 

Kolam Bethesda dalam tradisi Yahudi adalah kolam penyembuhan. Ketika seseorang yang sakit masuk ke dalam kolam pada saat airnya bergoncang, maka orang tsb akan mengalami kesembuhan. Tetapi orang lumpuh tsb selalu terlambat untuk masuk ke kolam ketika airnya bergoyak. Tidak ada seorangpun yang menolongnya.

Ketika Yesus menyembuhkan orang ini, malahan banyak orang di sekitarnya mempertanyakanNya. Mengapa orang lumpuh tsb harus disembuhkan pada hari Sabat?  Hari Sabat dalam tradisi Yahudi adalah hari perhentian, tidak ada pekerjaan. Hari Sabat adalah hari “Sabtu” menurut kalender bersama sekarang. 

Tetapi Yesus minta orang lumpuh tsb mengangkat tempat tidurnya ketika Ia bertanya apakah orang tsb ingin sembuh. Orang itu mengangat tilamnya. Ia bisa berjalan.  Penyembuhan orang lumpuh di hari sabat adalah mengembalikan kemurahan Allah mengatasi tradisi agama yang sewenang-wenang terhadap manusia. Suatu tradisi yang tampil kaku bahkan menelantarkan manusia yang harusnya ditolong dalam keadaannya yang hampir mati.

Orang banyak bertanya mengapa Yesus menyembuhkannya di hari Sabat? Yesus mengatakan Ia bekerja seperti BapaNya bekerja. Orang banyak ingin membunuhnya sesudah mendengar jawaban Yesus. Mereka menganggap Yesus menyamakan dirinya dengan Allah. Kesembuhan yang diterima dari Yesus adalah kesembuhan yang diberikan dari Allah. Yesus mengatakan: “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan barangsiapa yang dikehendakiNya” (Yohanes 5: 21)

LGTB-IQ sebagai pilihan identitas dengan perilaku komitmen seksual sebenarnya menunjukkan penghormatannya kepada nilai-nilai kehidupan. Penolakan dalam cara apapun menimbulkan penderitaan.  Penderitaan kaum LGTB-IQ, sebenarnya adalah juga penderitaan dalam keluarga, umat beragama, dan masyarakat umum. Semuanya menderita karena adanya anggapan yang salah bahwa LGTB-IQ adalah orang-orang berdosa, najis. 

Terhadap tuduhan ini, kenajisan seksualitas, saya ingat kata-kata Yesus ketika banyak orang mempersoalkan penerimaannya kepada seorag perempuan yang berzina. KataNya: “Barangsiapakah di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu!” (Yohanes 8: 7b).  Injil menulis, tidak ada seorangpun yang berani melemparkan perempuan itu. 

Perempuan terhina, semua orang lain yang terpinggir pada jaman Yesus telah mengalami banyak penghakiman, sangsi sosial dari masyarakat.  Sangsi ini bahkan menghilangkan akses kepada hak mereka untuk hidup termasuk hak mereka untuk beribadah, hak mereka untuk  berkomunikasi dengan Sang Pemberi Hidup yang dipercayainya. Mereka dilarang memasuki tempat-tempat suci dimana ibadah agama diselenggarakan atau tempat suci dimana mujisat menantinya.

Sesudah peristiwa penyembuhan orang lumpuh di tepi kolam Bethesda, sejak itu banyak orang mencari Yesus untuk dibunuh.  Orang-orang ini telah menghakimi sesamanya. Terhadap mereka Yesus mengatakan: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa. Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa yang mengutus Dia (Yohanes 5: 22-23).

Apabila pemuda  calon pendeta memilih identitas “gay”, pilihan itu pasti dihargai oleh Yesus. Dalam Injil, kata pilihan sangat penting. Ada cerita tentang dua orang perempuan kakak beradik yang bernama Marta dan Maria. Mereka mendapat kunjungan dari Yesus yang datang ke rumahnya.  

Marta memutuskan menyiapkan makanan tetapi sekaligus mengeluh karena Maria tidak membantunya. Maria menemani Yesus bercerita. Marta mengeluh kepada Yesus.  Jawab Yesus: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan  diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadaNya” (Lukas 10:41).

Cerita menjelaskan tentang pandangan dan praktek Yesus Kristus. Cerita tentang pemuda calon pendeta adalah cerita yang menghormati dan mempercayai  Yesus Kristus.  Mengapakah gereja dan umat Kristiani menjadi penghambat kepadanya untuk memberikan hidupnya melayani jemaat  yang juga menghormati dan mempercayai Yesus Kristus?  Bukankah identitasnya tidak sedang menghambatnya untuk beribadah kepada Allah, Anak dan Roh Kudus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar