Merawat Jiwa*
by Farsijana Adeney-Risakotta on Sunday, August 29,
2010 at 5:20pm
* Tulisan ini dipublikasi pada jaringan Facebook on Sunday, August 29, 2010 at 5:20pm, seperti tertulis di atas. Saya menyalinkannya ke blog ketika menulis tentang Jakarta Jakarta Jakarta.
Dunia
bergetar. Bumi bergoyang. Cuma ketika gempa bumi manusia berlari ketakutan.
Seterusnya bumi tetap tenang. Juga ketika manusia berlari dikejar waktu.
Kemanakah manusia pergi sejak fajar lalu balik pulang sebelum petang.
Burung-burung lakukan yang sama. Ketika panggilan doa dipanjatkan di
ujung-ujung bangunan.
Bumi sudah
berwarna jingga. Saya juga sudah balik ke rumah. Cuma timbunan pikiran dari
kerjaan masih mengikut pulang. Seharusnya saya lepaskan beban kerja di depan
pintu masuk. Ingat nasihat bijak, tinggalkan kerja untuk pulang berdoa bersama.
Di meja makan menunggu anak-anak dan suami untuk dinner bareng. Maka duduklah
diriku dalam lingkaran semua orang yang juga sudah capek. Kemudian kapan waktu
untuk diriku sendiri?
Sudah lama
kurindukan diriku sendiri. Bisakah diriku dikarantina tanpa alasan sakit? Sakit
seperti flu sering banget. Tetapi sakit ini lemah untuk menolak pertemuan di
luar rumah. Kurindukan sendiri juga kalau harus dengan sakit asal bukan flu.
Pernah terlintas pikiran itu. Ketika saya sedang bertanya-tanya tentang kapan
diriku bebas bagi diriku, kapan diriku punya waktu untuk diriku sendiri.
Kemudian saya sakit. Hebatnya kerinduan sakit bisa terkabul karena memang jiwa
rindu sendiri.
Kata seorang
teman sakitku, sakit yang ngak elit. Sakit menular! Saya harus dipingit supaya
penyakitnya ngak berpindah ke anggota keluarga lain. Padahal saya ketularan
dari anak ketika dirawat sakit yang sama. Beberapa hari panas tinggi, sekarang
sudah menurun tetapi proses pengeringan bintikan cairan cacar perlu waktu. Ini
masa yang paling menular untuk bertemu orang lain. Jadi bersama diri sendiri
adalah pilihan yang terbaik. Paling diharuskan!
Suamiku
merawat diriku. Sebuah stereo dipindahkan ke kamar kami supaya saya bisa
mendengar musik. Sehari-hari karena sering terburu-buru dengan berbagai
kesibukan dengar musik kesayangan dilakukan sambil nyopir. Sakit mendekatkan
diriku dengan Tuhan Pengasih. Kristus penolong penyembuh dalam tradisi
Kristiani melawatku. Tetapi kumohon Kristus membiarkan diriku sendiri untuk
sembuh secara alamiah. Hatiku tenang dalam naungan kasihNya.
Kamar kami
juga dikelilingi dengan kertas-kertas dan buku-buku yang sedang kugunakan untuk
kerja-kerjaku. Meringankan diriku, saya putuskan untuk membaca bukan untuk
pengetahuan pikiran. Membaca untuk jiwaku. Novel pertama yang kubaca selama
sakit adalah novelnya Ahmad Fuadi, “Negeri 5 Menara”. Ini kisah sejati yang
dirangkaikan dengan sangat indah dalam bahasa Alif, mantan wartawan Syams,
majalah Pondok Mandani, tempat awal dilatih sebelum menjadi wartawan Tempo.
Pondok
Mandani adalah nama pena untuk Pesantren Gontor di Jawa Timur yang menjebloskan
penulis dengan prestasi penguasaan ilmu dan bahasa bisa taklukan dunia. Itu
benar. Kemudian penulis mendapat 8 beasiswa termasuk memenuhi mimpinya
meneruskan di Unpad sesudah lulus dari pesantren dan berkelana untuk belajar di
berbagai belahan bumi. Cita-cita masa kecilnya di Minang terkabul ketika di
Bandung ia bertemu dengan Randai, teman dan pesaingannya dari masa di kampong
yang lebih dulu belajar di ITB.
Negeri 5
Menara antara fakta dan fantasi dalam ingatan Fuadi yang dirumuskan sebagai
keyakinan kaum pesantren, iklas dan man jadda wajada, semboyan bahasa
Arab yang berarti kalau mau usaha pasti berhasil. Mengiklaskan diri untuk
membumi dengan Pondok Mandani menjadikan pelaku-pelaku dalam Negeri 5 Menara
mengisahkan gerakan dirinya dengan sangat hidup sebagai imajinasi dari
kenyataan hidup sang penulis. Suatu gerakan kehidupan yang dirahmahni alam
semesta dan diridhoi Allah.
Ketika jenuh
baca, saya mendengar Aretha Franklin. Album “Say a little pray” Aretha saya
putar beberapa kali sampai merasakan gejolak jiwa dari penyanyi yang disebut
Ratu Jiwa (the queen of soul). Penyanyi berusia 68 tahun ini bisa membuat saya
sang penderita terhentak ketika ia menyanyikan lagunya “a natural woman”.
Looking out
on the morning rain
I used to
feel uninspired
And when I
knew I had to face another day
Lord, it
made me feel so tired
Before the
day I met you, life was so unkind
But you’re
the key to my peace of mind
Cause you
make me feel,
You make me
feel like
A natural
woman
When my soul
was in the lost-and-found
You came
along to claim it
I didn’t
know just what was wrong with me
‘Til your
kiss helped me name it
Now I’m no
longer doubtful of what I am living for
And if I
make you happy I don’t need do more
You make me
feel,
You make me
feel,
You make me
feel like
A natural
woman
Oh, baby,
what you’ve done to me
Oooh, you
make me feel so good inside
Aaah-nd I
just want to be close to you
You make me
feel so aliiiiiiiive
You make me
feel,
You make me
feel,
You make me
feel like
A natural
woman
Sungguh
menjadi perempuan yang alamiah sangatlah penting. Perempuan yang bisa merawat
jiwa. Tak kupedulikan apapun rupaku sesudah cacar air. Semangatnya Alif Fuasi,
tokoh utama dari “Negeri 5 Menari” kudekap dalam sanubari. Tak kupedulikan
apapun tampak diriku. Juga ketika kulit berganti perlu waktu. Juga ketika harus
tampil di ruang kelas dan diberbagai tempat dalam keadaan sebelum kulit yang
menua kembali normal. Ini bukanlah kutuk dari Allah. Kuterima kesakitanku
supaya kupunya waktu untuk diriku sendiri, menikmati tuturan Fuadi tentang
Gontor dan semangat perempuan alamnya Aretha yang meneguhkan jalanku. Merawat
jiwa dari seorang perempuan alam adalah bagian dari diriku saat ini.
Merawat
jiwa. Kurenungkan kebaikan dari sakitku, terutama ketika seorang teman telpon
tentang acara kemarin, Temu Pemimpin Perempuan D.I.Yogyakarta yang tidak
menampakkan diriku. Saya katakan Temu Pemimpin Perempuan D.I.Y adalah suatu
gerakan sosial. Mungkin sakitku harus terjadi pada saat kegiatan itu
berlangsung supaya makna gerakan menjadi milik bersama. Temu Pemimpin Perempuan
D.I.Yogyakarta bukanlah milikku. Kegiatan itu sudah digulirkan seperti bola
salju, ia menjadi milik masyarakat, bukan hanya perempuan iho. Begitulah
ucapanku kepada sahabat yang prihatin dengan sakit saya.
Biarkanlah
diriku merawat jiwa. Kumohonkan pengertian dari sahabat, kolega yang mengambil
banyak tanggungjawab dari absenku. Kuperoleh pengertian itu dan diberikan waktu
itu. Mahasiswa dan lembaga-lembaga yang bekerja sama, sungguh pengertian semua
membolehkan diriku meneruskan upaya merawat jiwaku. Tulisan ini adalah bagian
dari ucapan terima kasih saya kepada semua teman, kolega dan sanak saudara yang
membolehkan diriku sendiri membaca, mendengar musik dan menidurkan diriku dalam
pelukan kasihNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar