Translate

Sabtu, 12 Mei 2012

Merawat Jiwa


Merawat Jiwa*
by Farsijana Adeney-Risakotta on Sunday, August 29, 2010 at 5:20pm 

* Tulisan ini dipublikasi pada jaringan Facebook on Sunday, August 29, 2010 at 5:20pm, seperti tertulis di atas. Saya menyalinkannya ke blog ketika menulis tentang Jakarta Jakarta Jakarta.
                                               

Dunia bergetar. Bumi bergoyang. Cuma ketika gempa bumi manusia berlari ketakutan. Seterusnya bumi tetap tenang. Juga ketika manusia berlari dikejar waktu. Kemanakah manusia pergi sejak fajar lalu balik pulang sebelum petang. Burung-burung lakukan yang sama. Ketika panggilan doa dipanjatkan di ujung-ujung bangunan.

Bumi sudah berwarna jingga. Saya juga sudah balik ke rumah. Cuma timbunan pikiran dari kerjaan masih mengikut pulang. Seharusnya saya lepaskan beban kerja di depan pintu masuk. Ingat nasihat bijak, tinggalkan kerja untuk pulang berdoa bersama. Di meja makan menunggu anak-anak dan suami untuk dinner bareng. Maka duduklah diriku dalam lingkaran semua orang yang juga sudah capek. Kemudian kapan waktu untuk diriku sendiri?

Sudah lama kurindukan diriku sendiri. Bisakah diriku dikarantina tanpa alasan sakit? Sakit seperti flu sering banget. Tetapi sakit ini lemah untuk menolak pertemuan di luar rumah. Kurindukan sendiri juga kalau harus dengan sakit asal bukan flu. Pernah terlintas pikiran itu. Ketika saya sedang bertanya-tanya tentang kapan diriku bebas bagi diriku, kapan diriku punya waktu untuk diriku sendiri. Kemudian saya sakit. Hebatnya kerinduan sakit bisa terkabul karena memang jiwa rindu sendiri.

Kata seorang teman sakitku, sakit yang ngak elit. Sakit menular! Saya harus dipingit supaya penyakitnya ngak berpindah ke anggota keluarga lain. Padahal saya ketularan dari anak ketika dirawat sakit yang sama. Beberapa hari panas tinggi, sekarang sudah menurun tetapi proses pengeringan bintikan cairan cacar perlu waktu. Ini masa yang paling menular untuk bertemu orang lain. Jadi bersama diri sendiri adalah pilihan yang terbaik. Paling diharuskan!

Suamiku merawat diriku. Sebuah stereo dipindahkan ke kamar kami supaya saya bisa mendengar musik. Sehari-hari karena sering terburu-buru dengan berbagai kesibukan dengar musik kesayangan dilakukan sambil nyopir. Sakit mendekatkan diriku dengan Tuhan Pengasih. Kristus penolong penyembuh dalam tradisi Kristiani melawatku. Tetapi kumohon Kristus membiarkan diriku sendiri untuk sembuh secara alamiah. Hatiku tenang dalam naungan kasihNya.

Kamar kami juga dikelilingi dengan kertas-kertas dan buku-buku yang sedang kugunakan untuk kerja-kerjaku. Meringankan diriku, saya putuskan untuk membaca bukan untuk pengetahuan pikiran. Membaca untuk jiwaku. Novel pertama yang kubaca selama sakit adalah novelnya Ahmad Fuadi, “Negeri 5 Menara”. Ini kisah sejati yang dirangkaikan dengan sangat indah dalam bahasa Alif, mantan wartawan Syams, majalah Pondok Mandani, tempat awal dilatih sebelum menjadi wartawan Tempo.

Pondok Mandani adalah nama pena untuk Pesantren Gontor di Jawa Timur yang menjebloskan penulis dengan prestasi penguasaan ilmu dan bahasa bisa taklukan dunia. Itu benar. Kemudian penulis mendapat 8 beasiswa termasuk memenuhi mimpinya meneruskan di Unpad sesudah lulus dari pesantren dan berkelana untuk belajar di berbagai belahan bumi. Cita-cita masa kecilnya di Minang terkabul ketika di Bandung ia bertemu dengan Randai, teman dan pesaingannya dari masa di kampong yang lebih dulu belajar di ITB.

Negeri 5 Menara antara fakta dan fantasi dalam ingatan Fuadi yang dirumuskan sebagai keyakinan kaum pesantren, iklas dan man jadda wajada, semboyan bahasa Arab yang berarti kalau mau usaha pasti berhasil. Mengiklaskan diri untuk membumi dengan Pondok Mandani menjadikan pelaku-pelaku dalam Negeri 5 Menara mengisahkan gerakan dirinya dengan sangat hidup sebagai imajinasi dari kenyataan hidup sang penulis. Suatu gerakan kehidupan yang dirahmahni alam semesta dan diridhoi Allah.

Ketika jenuh baca, saya mendengar Aretha Franklin. Album “Say a little pray” Aretha saya putar beberapa kali sampai merasakan gejolak jiwa dari penyanyi yang disebut Ratu Jiwa (the queen of soul). Penyanyi berusia 68 tahun ini bisa membuat saya sang penderita terhentak ketika ia menyanyikan lagunya “a natural woman”.

Looking out on the morning rain
I used to feel uninspired
And when I knew I had to face another day
Lord, it made me feel so tired
Before the day I met you, life was so unkind
But you’re the key to my peace of mind

Cause you make me feel,
You make me feel like
A natural woman

When my soul was in the lost-and-found
You came along to claim it
I didn’t know just what was wrong with me
‘Til your kiss helped me name it
Now I’m no longer doubtful of what I am living for
And if I make you happy I don’t need do more

You make me feel,
You make me feel,
You make me feel like
A natural woman

Oh, baby, what you’ve done to me
Oooh, you make me feel so good inside
Aaah-nd I just want to be close to you
You make me feel so aliiiiiiiive

You make me feel,
You make me feel,
You make me feel like
A natural woman
 
Sungguh menjadi perempuan yang alamiah sangatlah penting. Perempuan yang bisa merawat jiwa. Tak kupedulikan apapun rupaku sesudah cacar air. Semangatnya Alif Fuasi, tokoh utama dari “Negeri 5 Menari” kudekap dalam sanubari. Tak kupedulikan apapun tampak diriku. Juga ketika kulit berganti perlu waktu. Juga ketika harus tampil di ruang kelas dan diberbagai tempat dalam keadaan sebelum kulit yang menua kembali normal. Ini bukanlah kutuk dari Allah. Kuterima kesakitanku supaya kupunya waktu untuk diriku sendiri, menikmati tuturan Fuadi tentang Gontor dan semangat perempuan alamnya Aretha yang meneguhkan jalanku. Merawat jiwa dari seorang perempuan alam adalah bagian dari diriku saat ini.

Merawat jiwa. Kurenungkan kebaikan dari sakitku, terutama ketika seorang teman telpon tentang acara kemarin, Temu Pemimpin Perempuan D.I.Yogyakarta yang tidak menampakkan diriku. Saya katakan Temu Pemimpin Perempuan D.I.Y adalah suatu gerakan sosial. Mungkin sakitku harus terjadi pada saat kegiatan itu berlangsung supaya makna gerakan menjadi milik bersama. Temu Pemimpin Perempuan D.I.Yogyakarta bukanlah milikku. Kegiatan itu sudah digulirkan seperti bola salju, ia menjadi milik masyarakat, bukan hanya perempuan iho. Begitulah ucapanku kepada sahabat yang prihatin dengan sakit saya.

Biarkanlah diriku merawat jiwa. Kumohonkan pengertian dari sahabat, kolega yang mengambil banyak tanggungjawab dari absenku. Kuperoleh pengertian itu dan diberikan waktu itu. Mahasiswa dan lembaga-lembaga yang bekerja sama, sungguh pengertian semua membolehkan diriku meneruskan upaya merawat jiwaku. Tulisan ini adalah bagian dari ucapan terima kasih saya kepada semua teman, kolega dan sanak saudara yang membolehkan diriku sendiri membaca, mendengar musik dan menidurkan diriku dalam pelukan kasihNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar