TABIR KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF TRADISI ABRAHAMIK
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta
Bagian Kedua: Transformasi Kekerasan Manusia
Kekerasan seperti benang kusut
yang harus diuraikan supaya bisa diamati pertalian dari setiap satuan benang. Proses
penguraian ini bisa mengerikan karena kita dapat melihat hakekat diri dalam
proses penafsiran ajaran agama, kebangkitan nasionalisme, pengunaan simbol,
ritual dan tradisi, penyebaran rumor dan penguatan ideologi tertentu sebagai
alasan legitimasi untuk mengaktualisasikan tindakan-tindakan kekerasan. Proses
penguraian bisa menolong para analisis kekerasan massa untuk memperhatikan
pengaruh dari pengkristalan ketakutan terhadap bahaya dan bencana yang akan dihadapi
oleh kelompok tertentu sebelum bencana itu tiba.
Imajinasi ketakutan yang
disuntikan kepada pelaku kekerasan bisa mengubah manusia menjadi seorang yang
tidak rasional untuk dapat mengendalikan potensial kekerasan yang meletus keluar
dirinya. Kadang-kadang untuk meneguhkan kesadaran pelaku kekerasan terhadap tindakan
kekerasan sebagai sesuatu yang baik dan
benar, mereka harus menelan obat penenang atau minum minuman alkohol.
Manusia ”beragama” tidak bisa bersandar
pada kesadaran dirinya sendiri untuk melakukan kekerasan bengis yang
menunjukkan aspek kebinatangan dari sisi kemanusiaan manusia. Mereka
membutuhkan jaminan keamanan yang diberikan melalui suntikan ideologi,
indoktrinasi, uang, dukungan pejabat, alat-alat perang dan obat-obat penenang
untuk membangkitkan dan memelihara hatinya yang berkobar-kobar supaya bisa
melakukan kekerasan.
Tetapi dalam tradisi tentang
kematian pertama manusia ini, Allah SWT memutuskan menolong Kain sehingga ia
tidak terjebak dalam lingkaran kekerasan. Kain disadarkan terhadap perbuatan
terlarangnya untuk membunuh adiknya sendiri. Pembunuh bengis yang dilakukan
oleh Kain terhadap Habel pertama-tama direkam sebagai rasa bersalah dalam diri
Kain. Kain sadar terhadap keterperangkapannya dalam kekerasan yang sangat mengerikan sebagaimana
digambarkan dalam Alkitab, ”darah adiknya berteriak-teriak dalam diri Kain”.
Bahkan suara Allah SWT datang ketika bertanya: ”Di mana Habel, adikmu itu? Kain
ketakutan dan menjawab: ”Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (Kejadian
4:9). Kesadaran Kain datang ketika ia
menyadari bahwa Allah SWT tidak sedang mengadudombakan dirinya dengan sang
adik, yang akhirnya dibunuh.
Akan tetapi kesadaran Kain
tidak sendirinya membawanya kepada ketenangan. Ia masih diliputi ketakutan. Ketakutan
memelihara kekerasan dalam ikatan diri manusia. Kejaran ketakutan yang membelit
dalam kebencian Kain bisa memancar keluar kapan saja. Sehingga Kain bisa mengubah
dirinya seperti monster yang akan terus mentargetkan korban-korban
berikutnya.
Ketakutan mengikat dalam
kekerasan yang bisa memecah dan melembagakan
dirinya menyerupai suatu mata rantai kematian. Gigi balas gigi. Terperangkap
dalam ketakutan seperti memasuki lorong-lorang gelap dari gejolak diri Kain
yang sedang memproses fantasinya terhadap darah segar Habel dalam perasaan dahaga
yang tak tertahan kecuali harus melakukan pembunuhan demi pencapaian kepuasaan
diri yang absolut.
Melakukan kekerasan seperti
orgasme. Kitab Suci menggambarkan momen di mana Kain harus memaksakan dirinya
untuk mengubah kecenderungan keliarannya dalam membunuh. Manusia bukan Allah
SWT untuk berhak mencabut nyawa sesamanya dan siapa yang membunuh akan terbunuh.
Perubahan tata cara kehidupan
Kain ini diyakini dalam tradisi Yahudi, Kristen dan Islam sebagai bagian dari
keterlibatan Allah SWT. Allah
SWT terlibat memutuskan mata rantai kekerasan untuk menjaminkan penerusan
reproduksi manusia. Keterlibatan Allah SWT sangat nyata untuk melakukan
perdamaian sejati dengan memberikan kemungkinan Kain, sang pembunuh bertobat.
Pertobatan berarti melepaskan
diri dari lingkaran kekerasan yang pelembagaannya dilakukan karena suntikan
obat-obatan penenang, uang, janji-janji dan dukungan politik yang diberikan
kepada para pembela kebijakan publik yang terkesan sakral dan agamis. Ketika Kain melepaskan pertaruhannya dalam
mengklaim keabsolutan persembahan korban
kepada Allah pada saat itu jalan menuju transformasi kekerasan ke perbuatan
kebaikan mulai terbuka di hadapannya.
Pertobatan yang diberikan Allah SWT kepada Kain adalah lambang
perdamaian yang independen yang memungkinkan ia berziarah dalam lakunya untuk
mengenal dan menyeimbangkan akal budi dan emosinya sehingga mampu membangun dialog dengan dirinya sendiri untuk
mencapai perdamaian dengan sesamanya. Berbagai suntikan penguat kekerasan
dilepaskan sehingga yang nampak hanya sosok manusia Kain yang rentan dalam
penyerahan sujudnya di hadapan Allah yang sungguh mengasihinya. Pada saat itu Allah mentransformasikan kekerasan
Kain menjadi perdamaian yang memberikan berkat kepada diri dan bangsanya.
Transformasi kekerasan
dilakukan dengan berjuang (jihad)
terhadap kedagingan manusia. Nabi Muhammad SAW melakukan dialog dengan
komunitas dari suku dan agama yang berbeda seperti disaksikan dalam Al Qur’an. (Ashki:
2006). Dialog nabi Muhammad SAW dengan komunitas suku dan agama berbeda dimungkinkan
karena nabi menerima kebenaran Allah SWT tentang ciptaanNya yang beragama dalam
beriman kepadaNya, keragaman budaya dan etnis seperti tertulis dalam Al Qur’an
(Alhujurat 13).
Kitab suci bukan hanya ajaran
tetapi napas kehidupan. Agama Allah SWT tidak ideologis dan bukan dari hasil pertarungan
ideologis. Agama Allah SWT tidak mengadu domba, tidak menyeramkan dalam wajah
kebinatangan yang siap menerkam, mengancam dan mematikan manusia.
Agama Allah SWT adalah laku
kehidupan yang mensifatkan karaktek kehidupan dari Allah SWT sendiri. Penerusan
karakter illahi diberikan kepada manusia untuk memelihara kemanusiaan yang menghidupkan manusia. Apabila
Indonesia hidup dalam karakter dan cara Allah SWT seperti dipraktekkan oleh hamba-hambaNya
maka keadilan dan damai sejahtera akan dialami oleh seluruh anak-anak negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar