Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan
pemuda/i
Bagian kedelapan: A learning lesson behind the violence in the name of
Irshad
Manji and Allah!
Manji and Allah!
Oleh
Farsijana Adeney-Risakotta
Dalam Young
Queer Interfaith and Sexuality Camp, saya mempopulerkan Irshad Manji (IM). Sedikit pemuda/I yang tahu tentang
pemikirannya. Tetapi sejak minggu lalu hingga sekarang IM menjadi buah bibir. Kedatangannya ke Indonesia menjadi berkat dan
kutuk. Ia bukan saja disanjung tetapi juga dihujat, kedua ekspresi ini
dilakukan dalam nama Allah.
Bahkan yang paling kejam, kedua massa yang
menyanjung dan menghujat saling berhadapan. Agresitas dari massa yang menghujat
tak terkendali. Mereka menyerbu, membubarkan, dan merusakan pertemuan bahkan
fasilitas di sekitar LKiS diporakporandakan. Di Salihara, Jakarta, penyerangan terhindari
karena pertemuannya sudah lebih dulu dihentikan oleh Polisi.
Gubernur
DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X telah meminta Kapolda DIY untuk menindak
tindakan sewenang-wenang dari massa yang menatasnamakan Majelis Mujahidin untuk
diinvestigasi. Cerminan Yogyakarta
sebagai kota yang bebas dari intimidasi polisi setidaknya nampak. Pada hari
yang sama LKiS diserang, paginya kegiatan diskusi dengan IM dihentikan karena
ada SMS dari Rektor UGM kepada Direktur CRCS, Dr. Zainal Bagir. Kedua kegiatan di Yogyakarta berbeda dengan
peristiwa Salihara di Jakarta, ketika polisi datang menghentikan pertemuan.
Membandingkan
dua hal yang berbeda, saya merasa harus mengakui keberanian teman-teman yang
memindahkan pertemuan dari CRCS UGM ke
LKiS. Sekalipun LKiS diporakporandakan,
tetapi pertemuan itu mengirimkan signal ke seantero negeri, ke seluruh penjuru
Indonesia, bahwa rakyat tidak bisa diintimidasi oleh kekerasan apapun. Penegasan ini diperkuat dengan unjuk rasa
dari Gerakan Rakyat Yogya anti kekerasan (Gerayak) yang diikuti oleh 1000 orang
dan dipimpin oleh Imam Aziz dari PB NU. Unjuk rasa ini menunjukkan tentang
karakter Yogya sebagai kota toleran.
Peristiwa
penganiayaan terhadap pertemuan di LKiS bukan suatu kecolongan! Peristiwa
tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kedua kelompok massa harus duduk bersama
untuk mendiskusikan tentang isu penting yang mengganggu iman Islam. Lebih dari
itu, isu seksualitas yang berbeda ini juga mengganggu kewibawaan agama lain,
termasuk juga Kristen di Indonesia.
Menarik
menganalisa bahwa massa yang datang ke CRCS UGM berasal dari Front Pembela
Islam (FPI) sementara yang ke LKiS adalah Majelis Mujahidin (MM). Apakah kedua
organisasi ini sama, dalam arti orang-orang yang sama datang ke UGM maupun
LKiS, kita tidak tahu. Tetapi klaim perbedaan kelompok dari FPI yang berada di
UGM dan MM yang menyerbu LKiS sangat menarik di analisis.
CRCS dan
ICRS Yogya pernah melakukan seri workshop tentang berbagai tema untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin
agama dari kelompok-kelompok yang dilabel atau melabelkan diri sendiri sebagai “fundamentalis”.
Fundamentalis adalah mereka yang dalam ajarannya kembali ke fondasi agama. Kelompok fundamentalis ada dalam semua agama.
Di Srilanka, karena perang saudara, kedua kelompok masyarakat dibedakan menurut
agama Budha dan Hindu, keduanya berada pada sisi ekstrim yang disebut
fundamentalis Budha dan fundamentalis Hindu.
Kegiatan
CRCS dan ICRS Yogya menghadirkan semua kelompok fundamentalis dari berbagai
agama. Saya ingat pada seri workshop terakhir yang dilakukan secara
internasional, kalifah MM di Indonesia berbicara tentang visi dan misi MM.
Mungkin yang tidak hadir adalah representasi dari FPI.
Jadi
hubungan CRCS dengan MM sebenarnya sudah terbentuk. Sudah ada dialog dengan MM
untuk mendengarkan pemikiran mereka. Sementara FPI mungkin belum pernah
terlibat dalam dialog-dialog bersama karena resistensinya untuk menolak semua
bentuk konstruksi teologi yang bertujuan untuk menelanjangi Islam. Apakah hubungan inilah yang menyebabkan FPI
datang ke CRCS UGM untuk menghentikan rencana diskusi dengan IM. Kemudian MMlah
yang melakukan penyerangan ke LKiS, karena terbebas dari hubungan emosi seperti
yang pernah terjalin dengan CRCS dan ICRS Yogya.
Analisa
konflik ini dilakukan untuk memikirkan lebih jauh tentang perlunya
diskusi-diskusi terbuka tentang topik-topik yang sensitif seperti seksualitas
secara rutin. Diskusi tidak harus menunggu datangnya seorang yang bernama
besar. Membangun kesiapan masyarakat untuk hidup saling pengertian tidak harus
dimulai dari orang-orang yang sudah hebat. Perubahan pola pikir beragama dapat
dimulai dari cara hidup yang paling sederhana, sehari-hari.
Ruang-ruang
perjumpaan publik harus dibukakan kepada semua kelompok sehingga suara mereka
bisa didengar untuk memicu diskusi-diskusi yang dilakukan tanpa rasa takut. Koran harus mulai berani memuat tulisan
tentang seksualitas. Surat kabar dan media elektronik lainnya harus menjadi
pelopor untuk menghadirkan forum public kepada semua warga negara. Atas nama figur
diri, suatu diskusi tidak semana-mena bisa dihentikan, dibatalkan.
Pemikiran
Irshad Manji tentang Allah yang mengasihi juga ada pada tokoh-tokoh agama
seperti Imam Aziz. FPI dan MM juga mempunyai pandangan dan teologi tentang Allah
yang mengasihi. Irshad Manji merefleksikan Allah yang mengasihi dari pengalaman seorang lesbian yang tertindas. Imam Aziz menguraikan Allah yang mengasihi dari pengalaman keragaman teologi kitab kuning ala NU. FPI dan MM menjelaskan Allah yang mengasihi dari perspektif Islam murni, Islam seperti tertulis dalam Al Quran.
Pengalaman iman berpengaruh terhadap perumusan tentang kasih Allah. Dalam konteks kepelbedaan inilah seharusnya mereka bisa saling menerima, karena siapakah yang dapat mengklaim dan membatasi cintakasih Allah kepada dirinya sendiri? Tetapi ketika masing-masing pihak saling tuduh menuduh tentang kebenaran dan klaim dari pandangannya tentang Allah, maka memang tidak bisa ada dialog.
Pengalaman iman berpengaruh terhadap perumusan tentang kasih Allah. Dalam konteks kepelbedaan inilah seharusnya mereka bisa saling menerima, karena siapakah yang dapat mengklaim dan membatasi cintakasih Allah kepada dirinya sendiri? Tetapi ketika masing-masing pihak saling tuduh menuduh tentang kebenaran dan klaim dari pandangannya tentang Allah, maka memang tidak bisa ada dialog.
Dialog
sangat perlu diupayakan. Dalam jaman modern saat ini, cara beragama dan
informasi dari berbagai pemikiran
tentang agama, bisa diakses oleh umat dari berbagai sumber. Wibawa dari
pemimpin agama, sebagai satu-satunya ukuran dan sumber kebenaran agama sudah
bergeser. Umat juga mulai berpikir kritis tentang agama yang mengajarkan dan
menghadirkan nilai-nilai yang bertentangan dengan jalan agama yang diajarkannya.
Umat tahu
kepada siapakah dirinya akan menyerahkan imannya. Ia menyerahkan imannya kepada
Allah bukan kepada pemimpin agama yang bisa menghasut umat untuk saling
membenci. Umat mulai terbuka untuk
mengakui bahwa dirinya tidak semudah saja mengklaim kebenaran pada dirinya
sendiri karena hanya Allahlah yang benar!
Peristiwa
LKiS perlu dilihat dalam perspektif kebersamaan, di mana setiap orang meminta
ruang di tengah-tengah publik untuk didengar. Saya bersyukur, polisi tidak
turut campur tangan dalam hal ini. Kita tidak tahu apakah dibelakang layar ada upaya polisi menghentikan pertemuan tersebut. Tetapi setidaknya ketidakhadiran polisi memperlihatkan pengulatan ruang publik yang sedang tarik menarik di antara kelompok yang berbeda. Mereka yang harus memulai berani berdialog tanpa menggunakan kekerasan.
Sekarang benar apa yang dikatakan oleh Sri Sultan, polisi harus melakukan investigasi untuk mencari tahu bagaimana pelanggaran ruang-ruang publik bisa dilakukan. Memasuki dan menghancurkan milik seseorang atau sekelompok tertentu tanpa izin merupakan suatu tindak pidana yang harus ditindak demi penegakan kebenaran dan hukum di negara.
Sekarang benar apa yang dikatakan oleh Sri Sultan, polisi harus melakukan investigasi untuk mencari tahu bagaimana pelanggaran ruang-ruang publik bisa dilakukan. Memasuki dan menghancurkan milik seseorang atau sekelompok tertentu tanpa izin merupakan suatu tindak pidana yang harus ditindak demi penegakan kebenaran dan hukum di negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar