Translate

Minggu, 13 Mei 2012

Pelajaran di balik kekerasan atas nama Irshad Manji, atas nama Allah!



Memperbincangkan seksualitas, menghadirkan perempuan akar rumput dan pemuda/i
Bagian kedelapan: A learning lesson behind the violence in the name of Irshad 
                             Manji and Allah!

Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Dalam Young Queer Interfaith and Sexuality Camp, saya mempopulerkan Irshad Manji (IM).  Sedikit pemuda/I yang tahu tentang pemikirannya. Tetapi sejak minggu lalu hingga sekarang IM menjadi buah bibir. Kedatangannya ke Indonesia menjadi berkat dan kutuk. Ia bukan saja disanjung tetapi juga dihujat, kedua ekspresi ini dilakukan dalam nama Allah. 

Bahkan yang paling kejam, kedua massa yang menyanjung dan menghujat saling berhadapan. Agresitas dari massa yang menghujat tak terkendali. Mereka menyerbu, membubarkan, dan merusakan pertemuan bahkan fasilitas di sekitar LKiS diporakporandakan.  Di Salihara, Jakarta, penyerangan terhindari karena pertemuannya sudah lebih dulu dihentikan oleh Polisi.

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X telah meminta Kapolda DIY untuk menindak tindakan sewenang-wenang dari massa yang menatasnamakan Majelis Mujahidin untuk diinvestigasi.  Cerminan Yogyakarta sebagai kota yang bebas dari intimidasi polisi setidaknya nampak. Pada hari yang sama LKiS diserang, paginya kegiatan diskusi dengan IM dihentikan karena ada SMS dari Rektor UGM kepada Direktur CRCS, Dr. Zainal Bagir.  Kedua kegiatan di Yogyakarta berbeda dengan peristiwa Salihara di Jakarta, ketika polisi datang menghentikan pertemuan.

Membandingkan dua hal yang berbeda, saya merasa harus mengakui keberanian teman-teman yang memindahkan pertemuan dari  CRCS UGM ke LKiS.  Sekalipun LKiS diporakporandakan, tetapi pertemuan itu mengirimkan signal ke seantero negeri, ke seluruh penjuru Indonesia, bahwa rakyat tidak bisa diintimidasi oleh kekerasan apapun.  Penegasan ini diperkuat dengan unjuk rasa dari Gerakan Rakyat Yogya anti kekerasan (Gerayak) yang diikuti oleh 1000 orang dan dipimpin oleh Imam Aziz dari PB NU. Unjuk rasa ini menunjukkan tentang karakter Yogya sebagai kota toleran. 

Peristiwa penganiayaan terhadap pertemuan di LKiS bukan suatu kecolongan! Peristiwa tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kedua kelompok massa harus duduk bersama untuk mendiskusikan tentang isu penting yang mengganggu iman Islam. Lebih dari itu, isu seksualitas yang berbeda ini juga mengganggu kewibawaan agama lain, termasuk juga Kristen di Indonesia.

Menarik menganalisa bahwa massa yang datang ke CRCS UGM berasal dari Front Pembela Islam (FPI) sementara yang ke LKiS adalah Majelis Mujahidin (MM). Apakah kedua organisasi ini sama, dalam arti orang-orang yang sama datang ke UGM maupun LKiS, kita tidak tahu. Tetapi klaim perbedaan kelompok dari FPI yang berada di UGM dan MM yang menyerbu LKiS sangat menarik di analisis. 

CRCS dan ICRS Yogya pernah melakukan seri workshop tentang berbagai tema untuk menghadirkan pemimpin-pemimpin agama dari kelompok-kelompok yang dilabel atau melabelkan diri sendiri sebagai “fundamentalis”. Fundamentalis adalah mereka yang dalam ajarannya kembali ke fondasi agama.  Kelompok fundamentalis ada dalam semua agama. Di Srilanka, karena perang saudara, kedua kelompok masyarakat dibedakan menurut agama Budha dan Hindu, keduanya berada pada sisi ekstrim yang disebut fundamentalis Budha dan fundamentalis Hindu. 

Kegiatan CRCS dan ICRS Yogya menghadirkan semua kelompok fundamentalis dari berbagai agama. Saya ingat pada seri workshop terakhir yang dilakukan secara internasional, kalifah MM di Indonesia berbicara tentang visi dan misi MM. Mungkin yang tidak hadir adalah representasi dari FPI.

Jadi hubungan CRCS dengan MM sebenarnya sudah terbentuk. Sudah ada dialog dengan MM untuk mendengarkan pemikiran mereka. Sementara FPI mungkin belum pernah terlibat dalam dialog-dialog bersama karena resistensinya untuk menolak semua bentuk konstruksi teologi yang bertujuan untuk menelanjangi Islam.  Apakah hubungan inilah yang menyebabkan FPI datang ke CRCS UGM untuk menghentikan rencana diskusi dengan IM. Kemudian MMlah yang melakukan penyerangan ke LKiS, karena terbebas dari hubungan emosi seperti yang pernah terjalin dengan CRCS dan ICRS Yogya.

Analisa konflik ini dilakukan untuk memikirkan lebih jauh tentang perlunya diskusi-diskusi terbuka tentang topik-topik yang sensitif seperti seksualitas secara rutin. Diskusi tidak harus menunggu datangnya seorang yang bernama besar. Membangun kesiapan masyarakat untuk hidup saling pengertian tidak harus dimulai dari orang-orang yang sudah hebat. Perubahan pola pikir beragama dapat dimulai dari cara hidup yang paling sederhana, sehari-hari.

Ruang-ruang perjumpaan publik harus dibukakan kepada semua kelompok sehingga suara mereka bisa didengar untuk memicu diskusi-diskusi yang dilakukan tanpa rasa takut.  Koran harus mulai berani memuat tulisan tentang seksualitas. Surat kabar dan media elektronik lainnya harus menjadi pelopor untuk menghadirkan forum public kepada semua warga negara. Atas nama figur diri, suatu diskusi tidak semana-mena bisa dihentikan, dibatalkan.

Pemikiran Irshad Manji tentang Allah yang mengasihi juga ada pada tokoh-tokoh agama seperti Imam Aziz. FPI dan MM juga mempunyai pandangan dan teologi tentang Allah yang mengasihi. Irshad Manji merefleksikan Allah yang mengasihi dari pengalaman seorang lesbian yang tertindas. Imam Aziz menguraikan Allah yang mengasihi dari pengalaman keragaman teologi kitab kuning ala NU. FPI dan MM menjelaskan Allah yang mengasihi dari perspektif Islam murni, Islam seperti tertulis dalam Al Quran. 

Pengalaman iman berpengaruh terhadap perumusan tentang kasih Allah. Dalam konteks kepelbedaan inilah seharusnya mereka bisa saling menerima, karena siapakah yang dapat mengklaim dan membatasi cintakasih Allah kepada dirinya sendiri? Tetapi ketika masing-masing pihak saling tuduh menuduh tentang kebenaran dan klaim dari pandangannya tentang Allah, maka memang tidak bisa ada dialog.

Dialog sangat perlu diupayakan. Dalam jaman modern saat ini, cara beragama dan informasi  dari berbagai pemikiran tentang agama, bisa diakses oleh umat dari berbagai sumber. Wibawa dari pemimpin agama, sebagai satu-satunya ukuran dan sumber kebenaran agama sudah bergeser. Umat juga mulai berpikir kritis tentang agama yang mengajarkan dan menghadirkan nilai-nilai yang bertentangan dengan jalan agama yang diajarkannya.

Umat tahu kepada siapakah dirinya akan menyerahkan imannya. Ia menyerahkan imannya kepada Allah bukan kepada pemimpin agama yang bisa menghasut umat untuk saling membenci.  Umat mulai terbuka untuk mengakui bahwa dirinya tidak semudah saja mengklaim kebenaran pada dirinya sendiri karena hanya Allahlah yang benar!

Peristiwa LKiS perlu dilihat dalam perspektif kebersamaan, di mana setiap orang meminta ruang di tengah-tengah publik untuk didengar. Saya bersyukur, polisi tidak turut campur tangan dalam hal ini. Kita tidak tahu apakah dibelakang layar ada upaya polisi menghentikan pertemuan tersebut. Tetapi setidaknya ketidakhadiran polisi memperlihatkan pengulatan ruang publik yang sedang tarik menarik di antara kelompok yang berbeda. Mereka yang harus memulai berani berdialog tanpa menggunakan kekerasan.

Sekarang benar apa yang dikatakan oleh Sri Sultan, polisi harus  melakukan investigasi untuk mencari tahu bagaimana pelanggaran ruang-ruang publik bisa dilakukan.  Memasuki dan menghancurkan milik seseorang atau sekelompok tertentu tanpa izin merupakan suatu tindak pidana yang harus ditindak demi penegakan kebenaran dan hukum di negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar