Translate

Jumat, 25 Mei 2012

Tabir Kekerasan dalam Perspektif Tradisi Abrahamik (Bagian Pertama)


           TABIR KEKERASAN  DALAM PERSPEKTIF TRADISI ABRAHAMIK
                           Farsijana Adeney-Risakotta[1]

Bagian Pertama: Dimulai dari Manusia Pertama

      Sesudah reformasi kekerasan menjamur di Indonesia. Kekerasan tampil dalam bentuk permusuhan antara penganut umat beragama seperti yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, Maluku dan Poso. Kekerasan antar etnis terjadi di Pontianak. Kekerasan struktural terhadap etnis Tionghoa di Jakarta. Kekerasan dilakukan terhadap orang-orang Papua. Kekerasan terlihat di gedung-gedung pendidikan, perkantoran pemerintah maupun di tempat-tempat umum lainnya.    
Fenomena kekerasan yang dilakukan secara masal menjadi pemandangan yang lazim dalam tayangan televisi.  Analisis kekerasan struktural dan massa secara historis sosial politik berkesimpulan bahwa transisi pengalihan kepemimpinan politik di suatu tempat berpengaruh terhadap penggunaan kekerasan dalam ruang publik. Pengorganisasian massa melalui pengarahan kekuatan simbol-simbol keagamaan dan etnis merupakan metode yang ampuh untuk memobilisasi masyarakat terlibat dalam kekerasan.
Persaingan suatu kekuasaan bisa berekor pada mobilisasi para pengikut untuk menggunakan kekerasan mengklaim kepentingan atas nama banyak orang. Perebutan pengelolaan sumber daya alam dan pengubahan bentuk manajemen kepemilikan yang muncul dalam konflik-konflik agraria di Indonesia tampil memobilisasi warga masyarakat dengan menggunakan kekerasan tanpa ada rasa bersalah.
Penderitaan dari kekerasan itu sedang merobek jiwa kebangsaan dan persaudaraan umat beragama di Indonesia.  Karena itu saya ingin menguraikan bagaimana agama-agama dari tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) menjelaskan dan mewaspadai kekerasan.
Pewahyuan Allah SWT yang nampak dalam tradisi Abrahamik sangat “sadar” sekaligus “mewaspadai” realitas dan esensi kekerasan di dalam kehidupan manusia. Kitab suci menjelaskan kekerasan sebagai wahyu yang merupakan bagian dari rentetan cerita penciptaan alam semesta dengan seluruh isiannya termasuk manusia.
Pertama adalah “penciptaan”. Kata Ibrani “Adam” yang diadopsikan juga kedalam bahasa Arab seperti ditulis dalam Al’Quran mempunyai arti “manusia” (Kitab Kejadian 1:27, 2:7 dan Surah II: 31-35; Surah III: 59, Surah VII: 11). Allah berperan dalam proses penciptaan manusia (Adam) dengan cara menarik keluar identitas lelaki (Adam) dan pasangannya pada saat Allah meniupkan napas hidupnya (Hawa) kepada lelaki maupun pasangannya, perempuan. Penjelasan tentang “Hawa” sebenarnya tidak nampak dalam Al Qur’an tetapi dicatat dalam hadis, sementara dalam Alkitab, penjelasan Hawa sebagai perempuan nampak dalam penjelasan teologi seksualitas di mana Adam dan Hawa bersetubuh sehingga Allah SWT menolong dengan memberikan mereka dua orang anak lelaki yang dilahirkan dari rahim Hawa.
Penamaan “Hawa” dengan arti napas hidup diberikan kepada perempuan untuk memberikan gambaran keintiman antara lelaki dan perempuan. Keintiman ini juga nampak dalam hubungan antara Allah SWT dengan manusia. Dikatakan kedekatan orang beriman dengan Allah SWT seperti manusia yang sedang bernapas. Pemberian identitas “napas” Allah SWT yang ditiupkan dalam diri lelaki dan perempuan bertujuan  selain menunjukan keintiman, juga bermaksud untuk meneruskan reproduksi manusia.  Visi penciptaan Allah SWT adalah menjaminkan  kehidupan bagi manusia.
Kedua adalah dosa yang membawa kepada kekerasan. Penciptaan sebagai karya Allah SWT yang maha agung segera dihancurkan oleh manusia sendiri. Tragedi kehancuran manusia dimulai ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah SWT dengan memakan buah pengetahuan yang baik dan benar yang dilarang oleh Allah. Tindakan ini mendudukan manusia sebagai oknum yang cenderung akan merebut wibawa dan kekuasaan Allah  SWT.
Dengan mengatas namakan kekuasaan Allah SWT, manusia kemudian secara mudah bisa memanipulasi pengertiannya sendiri dalam membangun klaim tentang kebenaran dari  Allah SWT. Kesadaran tentang proses legitimasi dan pemutar balikan kebenaran Allah SWT digambarkan dalam kitab suci sebagai upaya manusia untuk saling menyalahkan satu dengan lainnya.
Dalam tradisi Kristiani, Adam menyalahkan Hawa yang kemudian menyalahkan sang ular sebagai sumber malapetaka yang mengantar manusia untuk bisa mencapai posisi mendudukan dirinya sederajat dengan Allah SWT. Dalam bahasa teologi, penggambaran kehancuran ini ditandai sebagai bentuk awal dari kejatuhan manusia dalam dosa. Tragedi kejatuhan manusia diteruskan dengan kematian pertama manusia seperti nampak dalam cerita Kain dan Habel yang dicatat baik dalam Al’Quran maupun dalam Alkitab (Surat V:27 dan Kejadian 4:1-16).
Anak-anak dari Adam dan Hawa, yaitu Kain sebagai kakak dan Habel, sebagai adik ditampilkan sebagai representasi pribadi manusia yang bersaing untuk menguasai sumber-sumber alam. Klaim penguasaan sumber-sumber alam diikat dengan gambaran keberhasilan pemberian korban bakaran mereka kepada Allah SWT. Kain mewakili dirinya sebagai manusia petani sedangkan Habel sebagai manusia peternak.  Korban pembakaran dari hasil-hasil pertanian dan peternakan yang diberikan oleh mereka kepada Allah SWT ternyata tampil berbeda. Persembahan Habel mewakili kesuksesan peternakan dengan pertumbuhannya yang tambun.
Perbedaan bau asap bakaran dari hasil tanaman dan binatang cukup membantu kita untuk menafsir tentang seolah-olah Allah SWT memilih korban yang dipersembahkan Habel. Karakter kedagingan yang dibakar menebarkan bau yang harum, meluaskan kebanggaan kesuburan ternak.  Gambaran penolakan Allah SWT terhadap korban bakaran Kain sebenarnya menunjukan konteks kekeringan di daerah di  mana Kain dan keturunannya hidup. Kain menyakini perbedaan realitas kekayaan ini sebagai bagian dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah SWT. Seolah-olah Allah SWT tidak adil sehingga Kain membangun kebencian dengan menimbun kecemburuan yang mengiringnya pada rencana membunuh adiknya sendiri. 
Cara kitab suci membahas kekerasan “segera” dan runtun sesudah pewahyuan kisah penciptaan dengan jelas menunjukkan argumentasi tentang realitas manusia yang seperti dua sisi dari satu mata uang.  Manusia adalah berkat untuk mewarisi kehidupan tetapi juga bisa menggunakan kekuasaannya  untuk melakukan kekerasan. Kedua realitas ini disadari sangat mendalam seperti nampak dengan kisah Kain dan Habel. Tradisi Abrahamik menyadari penuh kemungkinan manusia terperangkap dalam kekerasan karena itu Allah SWT yang harus berperan untuk melepaskan Kain dari potensial kekerasan yang sedang membelenggunya.  
Kekerasan mengambil bentuk secara dinamis.  Di Indonesia, ketika pembahasan kekerasan didekati dari perspektif sejarah untuk melihat hubungan-hubungan kekuasaan yang ada  dalam masyarakat maka sebenarnya akar kekerasan bukan semata-mata bersifat teologis tetapi sangat manusiawi. Persaingan dan kecemburuan terhadap perbedaan-perbedaan sumber daya yang dimiliki dalam masyarakat menjadi alasan utama terjadinya kekerasan.
Konflik atas nama agama seperti yang terjadi di wilayah propinsi Maluku, Maluku Utara maupun Sulawesi Tengah (Tentena, Poso, Palu) sebenarnya sangat dipicu oleh kebijakan pembangunan yang tidak adil, ingatan bersama masa lalu sebelum jaman keIndonesiaan. Penguasaan monopoli sumber-sumber daya alam dan penindasan terhadap kelompok-kelompok marginal jaman pra Indonesia 1945 terus  terbawa sampai masa perubahan struktur masyarakat karena modernisasi kepimpinan lokal, pembangunan nasional dan kebijakan otonomi daerah yang memungkinkan kebangkitan loyalitas kesukuan marginal menduduki posisi-posisi strategis paska reformasi 1998 (Adeney-Risakotta:2005, 2008).
Seperti dijelaskan dalam Alkitab, kebencian Kain seolah-olah menuduh Allah SWT yang berpihak kepada Habel.  Kebenciannya nampak dalam wajahnya. Dalam situasi terbelenggu dengan kemarahan dan prasangka terhadap Habel, Allah SWT sudah memperingatkan Kain supaya bisa menguasai dirinya karena kekerasan itu sangat dekat pada dirinya sendiri. Kekerasan muncul dalam bentuk kata-kata ancaman yang dengan cepat mengambil bentuk dalam tindakan menyakitkan tubuh.  
Kekerasan digambarkan sebagai penggoda yang sekali memerangkap akan selalu menjerat manusia untuk mengulangi hal yang sama. Al’Quran mencatat bahwa pewahyuan ayat tentang Kain dan Habel yang diterima oleh nabi Muhammad SAW secara historis diberikan Allah SWT dalam konteks penurunan Surah terakhir yang sering disebut ”Siarah Perpisahan nabi ke Mekah”.
Wahyu ini merepresentasikan situasi global dari persaingan yang terjadi antara suku-suku yang beragama Kristen yang loyal terhadap kekaisaran Romawi Timur dengan suku-suku lain yang  beragama lain maupun mereka yang menerima Islam sebagai jalan menuju Allah SWT  (Pickthall: 1961, 96).  Jadi tujuan penurunan wahyu tentang Kain dan Habel pada masa dan konteks historis kehidupan nabi Muhammad SAW adalah untuk menasihati orang-orang berkitab supaya meninggalkan kekerasan dan mengikuti jalan Allah SWT. Mewaspadai terhadap belenggu kekerasan sebagai nampak dalam cerita Kain dan Habel sangat terasa kuat dalam Surah V ayat 27.
Sejarah relasi pribadi dan relasi kelompok turut menentukan penerusan ingatan bersama dan implementasi tindakan-tindakan kekerasan. Lingkaran setan kekerasan menggambarkan beberapa aspek dari esensi kekerasan sebagai tindakan manusia yang ”tidak terkontrol” seolah-olah diperangkap dalam kesifatannya yang menghantui keinginan diri untuk melukai dan menyakiti secara verbal maupun fisik tubuh sendiri atau sesama manusia.  
Kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realitas jasmani dan mental berada di bawah realisasi potensial dari keinginan menggebu-gebu manusia untuk menyakiti tubuh sesama atau dirinya sendiri (Johan Galtung). Pengubahan realitas kesadaran mental terjadi melalui suatu proses pembentukan moral yang dipilih secara sadar oleh seseorang atau kelompok ketika melakukan kekerasan. Pada umumnya basis dari kesadaran mental ini dibangun dengan argumentasi ilahi yang dipilih secara khusus dari  penggalan-penggalan ayat suci tanpa memperhatikan konteks sejarah ketika ayat tersebut diturunkan Allah SWT kepada hamba-hambaNya.  



[1] Penulis seorang antropolog, teolog dan pencinta damai tinggal di Yogyakarta,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar