TABIR KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF TRADISI ABRAHAMIK
Farsijana Adeney-Risakotta[1]
Bagian Pertama: Dimulai dari Manusia Pertama
Fenomena kekerasan
yang dilakukan secara masal menjadi pemandangan yang lazim dalam tayangan
televisi. Analisis kekerasan struktural
dan massa secara
historis sosial politik berkesimpulan bahwa transisi pengalihan kepemimpinan
politik di suatu tempat berpengaruh terhadap penggunaan kekerasan dalam ruang
publik. Pengorganisasian massa
melalui pengarahan kekuatan simbol-simbol keagamaan dan etnis merupakan metode
yang ampuh untuk memobilisasi masyarakat terlibat dalam kekerasan.
Persaingan suatu kekuasaan
bisa berekor pada mobilisasi para pengikut untuk menggunakan kekerasan
mengklaim kepentingan atas nama banyak orang. Perebutan pengelolaan sumber daya
alam dan pengubahan bentuk manajemen kepemilikan yang muncul dalam
konflik-konflik agraria di Indonesia tampil memobilisasi warga masyarakat
dengan menggunakan kekerasan tanpa ada rasa bersalah.
Penderitaan dari kekerasan itu sedang merobek jiwa kebangsaan
dan persaudaraan umat beragama di Indonesia. Karena itu saya ingin menguraikan bagaimana
agama-agama dari tradisi Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) menjelaskan dan
mewaspadai kekerasan.
Pewahyuan Allah SWT yang nampak dalam tradisi Abrahamik sangat
“sadar” sekaligus “mewaspadai” realitas
dan esensi kekerasan di dalam kehidupan manusia. Kitab suci menjelaskan kekerasan
sebagai wahyu yang merupakan bagian dari rentetan cerita penciptaan alam
semesta dengan seluruh isiannya termasuk manusia.
Pertama adalah “penciptaan”. Kata Ibrani “Adam” yang diadopsikan juga
kedalam bahasa Arab seperti ditulis dalam Al’Quran mempunyai arti “manusia” (Kitab
Kejadian 1:27, 2:7 dan Surah II: 31-35; Surah III: 59, Surah VII: 11). Allah berperan
dalam proses penciptaan manusia (Adam) dengan cara menarik keluar identitas
lelaki (Adam) dan pasangannya pada saat Allah meniupkan napas hidupnya (Hawa)
kepada lelaki maupun pasangannya, perempuan. Penjelasan tentang “Hawa” sebenarnya
tidak nampak dalam Al Qur’an tetapi dicatat dalam hadis, sementara dalam Alkitab, penjelasan Hawa sebagai perempuan
nampak dalam penjelasan teologi seksualitas di mana Adam dan Hawa bersetubuh
sehingga Allah SWT menolong dengan memberikan mereka dua orang anak lelaki yang
dilahirkan dari rahim Hawa.
Penamaan “Hawa” dengan arti napas hidup diberikan kepada
perempuan untuk memberikan gambaran keintiman antara lelaki dan perempuan. Keintiman ini juga nampak dalam hubungan
antara Allah SWT dengan manusia. Dikatakan kedekatan orang beriman dengan Allah
SWT seperti manusia yang sedang bernapas. Pemberian identitas “napas” Allah SWT
yang ditiupkan dalam diri lelaki dan perempuan bertujuan selain menunjukan keintiman, juga bermaksud
untuk meneruskan reproduksi manusia. Visi
penciptaan Allah SWT adalah menjaminkan kehidupan bagi manusia.
Kedua adalah dosa
yang membawa kepada kekerasan. Penciptaan sebagai karya Allah SWT yang maha
agung segera dihancurkan oleh manusia sendiri. Tragedi kehancuran manusia
dimulai ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah SWT dengan memakan buah
pengetahuan yang baik dan benar yang dilarang oleh Allah. Tindakan ini
mendudukan manusia sebagai oknum yang cenderung akan merebut wibawa dan
kekuasaan Allah SWT.
Dengan mengatas namakan
kekuasaan Allah SWT, manusia kemudian secara mudah bisa memanipulasi pengertiannya
sendiri dalam membangun klaim tentang kebenaran dari Allah SWT. Kesadaran tentang proses legitimasi
dan pemutar balikan kebenaran Allah SWT digambarkan dalam kitab suci sebagai
upaya manusia untuk saling menyalahkan satu dengan lainnya.
Dalam tradisi Kristiani, Adam
menyalahkan Hawa yang kemudian menyalahkan sang ular sebagai sumber malapetaka
yang mengantar manusia untuk bisa mencapai posisi mendudukan dirinya sederajat
dengan Allah SWT. Dalam bahasa teologi, penggambaran kehancuran ini ditandai
sebagai bentuk awal dari kejatuhan manusia dalam dosa. Tragedi kejatuhan
manusia diteruskan dengan kematian pertama manusia seperti nampak dalam cerita
Kain dan Habel yang dicatat baik dalam Al’Quran maupun dalam Alkitab (Surat V:27
dan Kejadian 4:1-16).
Anak-anak dari Adam dan Hawa,
yaitu Kain sebagai kakak dan Habel, sebagai adik ditampilkan sebagai
representasi pribadi manusia yang bersaing untuk menguasai sumber-sumber alam. Klaim penguasaan sumber-sumber alam diikat dengan gambaran
keberhasilan pemberian korban bakaran mereka kepada Allah SWT. Kain mewakili dirinya
sebagai manusia petani sedangkan Habel sebagai manusia peternak. Korban pembakaran dari hasil-hasil pertanian
dan peternakan yang diberikan oleh mereka kepada Allah SWT ternyata tampil
berbeda. Persembahan Habel mewakili kesuksesan peternakan dengan pertumbuhannya
yang tambun.
Perbedaan bau asap bakaran dari hasil tanaman dan
binatang cukup membantu kita untuk menafsir tentang seolah-olah Allah SWT
memilih korban yang dipersembahkan Habel. Karakter kedagingan yang dibakar
menebarkan bau yang harum, meluaskan kebanggaan kesuburan ternak. Gambaran penolakan Allah SWT terhadap korban
bakaran Kain sebenarnya menunjukan konteks kekeringan di daerah di mana Kain dan keturunannya hidup. Kain
menyakini perbedaan realitas kekayaan ini sebagai bagian dari penciptaan yang
dilakukan oleh Allah SWT. Seolah-olah Allah SWT tidak adil sehingga Kain
membangun kebencian dengan menimbun kecemburuan yang mengiringnya pada rencana membunuh
adiknya sendiri.
Cara kitab suci membahas kekerasan “segera” dan runtun
sesudah pewahyuan kisah penciptaan dengan jelas menunjukkan argumentasi tentang
realitas manusia yang seperti dua sisi dari satu mata uang. Manusia adalah berkat untuk mewarisi kehidupan
tetapi juga bisa menggunakan kekuasaannya
untuk melakukan kekerasan. Kedua realitas ini disadari sangat mendalam seperti
nampak dengan kisah Kain dan Habel. Tradisi Abrahamik menyadari penuh
kemungkinan manusia terperangkap dalam kekerasan karena itu Allah SWT yang harus
berperan untuk melepaskan Kain dari potensial kekerasan yang sedang membelenggunya.
Kekerasan mengambil bentuk
secara dinamis. Di Indonesia, ketika
pembahasan kekerasan didekati dari perspektif sejarah untuk melihat
hubungan-hubungan kekuasaan yang ada
dalam masyarakat maka sebenarnya akar kekerasan bukan semata-mata
bersifat teologis tetapi sangat manusiawi. Persaingan dan kecemburuan terhadap
perbedaan-perbedaan sumber daya yang dimiliki dalam masyarakat menjadi alasan
utama terjadinya kekerasan.
Konflik atas nama agama
seperti yang terjadi di wilayah propinsi Maluku, Maluku Utara maupun Sulawesi
Tengah (Tentena, Poso, Palu) sebenarnya sangat dipicu oleh kebijakan
pembangunan yang tidak adil, ingatan bersama masa lalu sebelum jaman keIndonesiaan.
Penguasaan monopoli sumber-sumber daya alam dan penindasan terhadap
kelompok-kelompok marginal jaman pra Indonesia 1945 terus terbawa sampai masa perubahan struktur
masyarakat karena modernisasi kepimpinan lokal, pembangunan nasional dan
kebijakan otonomi daerah yang memungkinkan kebangkitan loyalitas kesukuan marginal
menduduki posisi-posisi strategis paska reformasi 1998 (Adeney-Risakotta:2005,
2008).
Seperti dijelaskan dalam Alkitab,
kebencian Kain seolah-olah menuduh Allah SWT yang berpihak kepada Habel. Kebenciannya nampak dalam wajahnya. Dalam
situasi terbelenggu dengan kemarahan dan prasangka terhadap Habel, Allah SWT sudah
memperingatkan Kain supaya bisa menguasai dirinya karena kekerasan itu sangat
dekat pada dirinya sendiri. Kekerasan muncul dalam bentuk kata-kata ancaman
yang dengan cepat mengambil bentuk dalam tindakan menyakitkan tubuh.
Kekerasan digambarkan sebagai
penggoda yang sekali memerangkap akan selalu menjerat manusia untuk mengulangi
hal yang sama. Al’Quran mencatat bahwa pewahyuan ayat tentang Kain dan Habel
yang diterima oleh nabi Muhammad SAW secara historis diberikan Allah SWT dalam
konteks penurunan Surah terakhir yang sering disebut ”Siarah Perpisahan nabi ke
Mekah”.
Wahyu ini merepresentasikan
situasi global dari persaingan yang terjadi antara suku-suku yang beragama
Kristen yang loyal terhadap kekaisaran Romawi Timur dengan suku-suku lain yang beragama lain maupun mereka yang menerima Islam
sebagai jalan menuju Allah SWT (Pickthall: 1961, 96). Jadi tujuan penurunan wahyu tentang Kain dan
Habel pada masa dan konteks historis kehidupan nabi Muhammad SAW adalah untuk
menasihati orang-orang berkitab supaya meninggalkan kekerasan dan mengikuti
jalan Allah SWT. Mewaspadai terhadap belenggu kekerasan sebagai nampak dalam
cerita Kain dan Habel sangat terasa kuat dalam Surah V ayat 27.
Sejarah relasi pribadi dan
relasi kelompok turut menentukan penerusan ingatan bersama dan implementasi
tindakan-tindakan kekerasan. Lingkaran setan kekerasan menggambarkan beberapa
aspek dari esensi kekerasan sebagai tindakan manusia yang ”tidak terkontrol”
seolah-olah diperangkap dalam kesifatannya yang menghantui keinginan diri untuk
melukai dan menyakiti secara verbal maupun fisik tubuh sendiri atau sesama
manusia.
Kekerasan terjadi bila manusia
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realitas jasmani dan mental berada di
bawah realisasi potensial dari keinginan menggebu-gebu manusia untuk menyakiti
tubuh sesama atau dirinya sendiri (Johan Galtung). Pengubahan realitas
kesadaran mental terjadi melalui suatu proses pembentukan moral yang dipilih
secara sadar oleh seseorang atau kelompok ketika melakukan kekerasan. Pada
umumnya basis dari kesadaran mental ini dibangun dengan argumentasi ilahi yang dipilih
secara khusus dari penggalan-penggalan
ayat suci tanpa memperhatikan konteks sejarah ketika ayat tersebut diturunkan
Allah SWT kepada hamba-hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar