Translate

Minggu, 20 Mei 2012

Rukun Bangsaku Rukun Indonesiaku


Rukun Bangsaku Rukun Indonesiaku
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta

Kita jarang berpikir bahwa salah satu hak dasar kehidupan adalah kerukunan.  Rukun adalah istilah yang akrab diterima di Indonesia dibandingkan dengan kata resolusi konflik. 

Secara etimologi kamus bahasa Indonesia mencatat penggunaan kata rukun. Istilah rukun terkait pertama-tama dengan esensi asas, dasar atau sendi. 

Penggunaan kata rukun untuk nilai yang meluas dikaitkan dengan cara hidup dalam keluarga dan masyarakat. Hidup rukun adalah hidup dasar, hidup dalam kerangka baik dan damai.

Manusia secara insting mendidik dirinya untuk hidup rukun dengan sesamanya supaya keberlangsungan kehidupannya sendiri terjaga.  Di Ubud saya mendapat satu kartu menarik bergambar seorang lelaki sedang menunggangi seekor sapi jantan. Gambaran kartu ini dilengkapi dengan kata-kata: "There is a beast in man that needs to be exercised not exorcised". Artinya dalam bahasa Indonesia: "Ada binatang liar dalam manusia yang perlu dilatihkan bukan diusir". 

Melalui berbagai ajaran kehidupan seperti dari tradisi nenek moyang maupun dari agama, manusia belajar melatih keliarannya. Ketika manusia tunduk pada keliarannya, termasuk menggunakan kekerasan atas nama agama dan tradisi, sebenarnya dirinya sedang menolak melatih untuk mengendalikan keliarannya. Ia sedang melarikan dirinya untuk menyentuh kelembutan dalam dirinya. Menyentuh "ruang" kerukunan yang memberikan ketenangan kepadanya.

Berefleksi dari ajaran agama dan tradisi, manusia belajar untuk mengutamakan kerukunan, menjaminkan terlaksananya proses tukar menukar yang dapat menciptakan perdamaian dalam kehidupannya.  Tindakan tukar menukar itu bisa tampil secara fisik maupun spirit. 

Kerukunan memungkinkan manusia bisa makan bersama tanpa takut diracuni, tertawa dan menangis bersama melepaskan  kelegaan pada titik perhentian sebelum suatu perjalanan diteruskan kembali.  Kerukunan dan perdamaian menjadi nilai etis yang bersifat universal. Ia juga menjadi tujuan dari kehidupan bersama.

Rukun adalah bagian dari praktek hidup yang sangking membiasa terlupakan untuk disadari sebagai hak asasi yang harus dicapai dan dipenuhi oleh manusia di Indonesia.  Secara alamiah, manusia bereaksi terhadap hidup yang menindas, hidup tanpa keadilan, hidup ketimpangan.

Sejak jaman kolonial di sekitar wilayah yang disebut "Indonesia" ada upaya membebaskan diri dari tekanan dan penguasaan “bangsa” luar dengan tujuan semata mengeksploitasi.  Kata “bangsa” diartikan sebagai keluarga. Jadi mereka yang bukan satu rumpun keluarga biasanya dikategorikan tidak satu bangsa. Bangsa adalah mereka yang tinggal bersama-sama dalam suatu rumah.

Konsep “bangsa” diperluas dengan pernikahan dan pengalihan kekuasaan melalui penaklukan atau penggabungan beberapa kelompok dengan sukarela.  Bahasa menjadi salah satu alat penyatuaan antara berbagai kelompok yang secara sadar saling mendukung satu dengan lainnya. 

Jauh hari sebelum ada pertemuan pemuda-pemudi yang kemudian dikenal dalam sejarah nasional, sebagai hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1908, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa pengantar, bahasa dagang. Kata-kata dalam bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu karena pengertiannya mengandung nilai-nilai kesetaraan. Misalkan kata adil, berkat, rukun dsb adalah kata-kata yang makna mendalam berakar pada konsep teologi Islam yang mengajarkan salah sumber nilai yaitu "kasih". Kasih mengantarkan kepada kerukunan.

Dalam masa penjajahan, di tahun 1908, pemuda-pemuda berkumpul mengumumkan kebangkitan bersama mengatasi penindasan bangsa asing kepada orang-orang di nusantara.  Penawaran tentang penggunaan “bangsa” mulai terlihat dalam pilihan menjadikan Indonesia sebagai "nation state", negara bangsa.

Sesudah kemerdekaan Indonesia, 1945, gugatan yang mempertanyakan tentang keIndonesiaan untuk semua karena adanya konsentrasi pembangunan di Jawa. 

Sejarah berulang lagi, ketika pada tanggal yang sama, 20 Mei 1998 sesudah 32 muncul pergerakan untuk membebaskan Indonesia dari tirani Orde Baru. Pertanyaan yang sama muncul berhubungan dengan keIndonesiaan sesudah masa politik multipartai yang ternyata masih belum menjawab pemenuhan keadilan sosial kepada semua warga. Perampingan partai seperti yang dilakukan pada masa Orba ternyata masih belum menciptakan rasa rukun dalam masyarakat.

Rukun dikumandangkan lagi supaya semua orang yang tinggal di suatu rumah, kampung, kecamatan, kabupaten, propinsi, negara dan dunia bisa hidup dengan penuh kedamaian.  Dalam kata rukun mengandung berbagai makna. 

Seluruh penduduk, semua warga masyarakat mau berusaha berbagi ruangan hatinya, ruangan kepemilikannya dengan sesamanya, supaya dirinya sendiri bisa tidur dengan nyenyak. Ada dasar perdamaian yang terisi sebagai fondasi kehidupannya.Bisakah orang-orang Indonesia hidup rukun sesudah masa Reformasi? Pertanyaan ini diajukan karena sesudah Reformasi ada banyak diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. 

Hubungan antara agama tampil menakutkan terutama karena ada tekanan dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam menolak pendirian rumah Ibadah atau pelaksanaan ibadah dari umat Kristiani maupun umat Ahmadiah. Misalkan yang terjadi pada GKI Yasmin di Bogor maupun HKBP Filadelfia di Bekasi. 

Bisakah kerukunan menyebabkan kelompok-kelompok berbeda identitas seksual bebas mengembangkan dirinya? Bisakah kerukunan menyebabkan umat Ahmadiah diizinkan beribadah menurut kepercayaan ajarannya? Bisakah kerukunan menyebabkan masyarakat di Papua mendapat perlindungan terhadap hak-haknya untuk hidup sesudah bencana alam seperti banjir di Wasior yang sengaja dilupakan oleh pemerintah RI?

Rukun menjadi kata yang kembali saya pertanyakan pada perayaan Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Reformasi sekarang ini?

Ketika kata rukun muncul dalam benak kita, maka segera teringat kepada kata rukun yang dipergunakan untuk menjelaskan tentang cara hidup dalam Islam yaitu pelaksanaan lima rukun iman, lima rukun Islam.  

Lima rukun Islam, terkait dengan kesetiaan umah kepada Allah dalam mengikutiNya sesuai doktrin ketunggalan Allah,  lima rukun sembayang, berpuasa, belaskasihan kepada sesama dan melakukan perjalanan suci.  

Kata rukun muncul dalam Al Quran dengan beberapa penggunaan.Kata rukun mempunyai makna “teologi” yang menunjukkan pada rukun agama, rukun iman yang termasuk: “(arkān-al-Islām أركان الإسلام; dan arkān ad-dīn أركان الدين ". Maknanya dalam bahasa Indonesia berarti orang yang beriman adalah orang rukun.

Menyatakan sikap rukun kepada Allah tanpa rukun kepada sesama sebenarnya mengkhianati kebenaran dari kata rukun tersebut.

Empat belas tahun lalu Reformasi dilakukan dengan keyakinan bahwa RI perlu perubahan. Sistem demokrasi menjaminkan bahwa  perubahan pemerintahan akan membawa pada kerukunan. 

Sejak Reformasi sampai sekarang, sudah terjadi pergantian pemerintahan yang keempat kalinya. Akan tetapi masih terlihat ketimpangan dalam mewujudkan kerukunan tersebut.

Praktek kerukunan masih terjadi dalam pengertian kelompok dan masyarakat tertentu. Negara yang diharapkan bisa memfasilitasi  kerukunan sebagai bagian dari pandangan dan praktek masing-masing kelompok ternyata belum berjalan dengan baik. Negara ternyata masih terlibat dalam menciptakan diskriminasi.

Negara terlibat meninggikan pagar-pagar teritori yang dibangun atas nama identitas kelompok menurut agama maupun etnisitas dengan alasan untuk memelihara kerukunan bersama. Istilah Kerukunan Umat beragama adalah produk dari ideologi pemerintah yang lebih percaya pada ideologi kerukunan daripada mempraktekkannya di dalam kehidupan bersama bermasyarakat.  Ternyata pembangunan pagar-pagar teritori ini lebih bersifat kekuasaan daripada mencapai kerukunan.

Bisakah orang-orang yang berbeda agama, adat istiadat, latar belakang pendidikan, status sosial dll duduk bersama untuk mendiskusikan perbedaan mereka supaya bisa mencapai kerukunan? Dapatkah negara mendorong adanya ruang-ruang publik untuk berbagai kelompok yang berbeda mendiskusikan upaya-upaya mencapai kerukunan?

Dialog Budaya Malulu Menghadirkan Warga Muslim dan Kristiani di Kraton Ngayogjakarta


Kita masing-masing bisa menjawabnya dengan membawa pengalaman ketertindasan sendiri. Kata kerukunan tidak cukup hanya berhenti dalam istilah "Kerukunan umat beragama".   Artinya sangat penting, bahwa setiap warga negara Indonesia, harusnya bisa menyatakan tentang keperbedaan masing-masing di dalam mempraktekkannya di hidup sehari-hari.

Suatu tindakan kehidupan yang ternyata lebih besar dari sekedar suatu diskusi yang tidak terburu-buru membatasi diri sendiri pada gheto-gheto perbedaan kita. Karena di dalam perbedaan yang diakui bersama sebenarnya ditemukan adanya suatu jaminan terhadap  hak dan kewajiban dari kita semua yang sama di hadapan hukum bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar