Translate

Minggu, 14 Agustus 2011

Menghayati kehidupan warga Gabug, Gunung Kidul di musim kering. Renungan Minggu II di bulan Ramadhan 2011

Menghayati kehidupan warga Gabug, Gunung Kidul di musim kering. Renungan Minggu II di bulan Ramadhan 2011

Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)

Gunung Kidul berarti gunung di sebelah selatan Yogya. Bersama, dengan kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, kabupaten Tulungagung di Jawa Timur, sebagai kabupaten dari propinsi DIY, Gunung Kidul termasuk dalam deretan pegunungan sewu. Simon Winchester,penulis buku terlaris, Krakatao (2003) mengupas proses pengangkatan dasar laut di sekitar bagian selatan dari lautan Indonesia, sebagai akibat dari adanya pertemuan dua lempengan bumi yaitu Indo-Australia dan Eurasia di dasar samudra.

Di areal Pondok Jati Rasa di mana suami dan saya menghabiskan waktu menyelesaikan berbagai laporan, mempersiapkan perkuliahan termasuk menulis sebelum semester 2011/2012 dimulai, setiap pagi kami hiking. Kami mengelilingi hutan dimana saya menemukan fosil-fosil yang menunjukkan kemungkinan kebenaran dari teori Winschester. Daerah Alas Wegode, hutan di sekitar tebing di mana rumah pusaka berdiri dulunya pernah berada di bawah laut.

Sekarang sedang musim kering. Kami hidup dengan air yang dibeli dari Giritirto yang disalurkan melalui pipa untuk mengalirkan air bawah tanah dari goa Plawan. Sebelumnya, masyarakat termasuk kami bisa mendapatkan air dari sungai bawah tanah di Goa Plawan. Organisasi masyarakat pengelola air sungai dari goa Plawan diketuai oleh pak Tumijo yang bersama dengan bu Sar, isterinya menjaga Pondok Jati Rasa. Dengan bantuan dari mahasiswa KKN UGM, pemerintah pusat dan daerah, sekitar 6 tahun lalu air bisa diangkat dan didistribusikan kepada warga termasuk dialirkan dengan pipa sekitar 3 km dari dusun Gabug ke lokasi kami di Alas Wegode.

Tetapi sekarang pompa pengangkat air sedang rusak. Masih diperlukan beberapa tahapan perbaikannya. Tanpa tambahan air dari sungai di bawah tanah di goa Plawan yang dalamnya sekitar 100 meter, kekeringan sedang membawa balik situasi kami ketika air hujan menjadi satu-satunya penolong di musim kering. Sekarang kekeringan sudah memasuki lebih dari tiga bulan tanpa hujan. Persediaan air hujan yang ada di bak penampung air di rumah-rumah warga mulai mengering. Pohon-pohon merontokkan dedaunannya. Hutan menjadi terbuka, sinar mentari terpancar jauh menyentuh pori-pori kulit. Pada musim hujan, semak-semak bertumbuh di bawah hutan dengan pepohonan berdaun padat menahan mentari langsung ke tubuh.

Dalam situasi puasa sekaligus berhadapan dengan kekeringan, saya bertanya bagaimanakah warga bisa bertahan. Keinginan tahu ini mendorong saya melakukan perjalanan seharian untuk mengenal mereka. Ditemanin bu Sar, kami meninggalkan Alas Wegode di pagi hari dan baru kembali sebelum matahari terbenam. Itu terjadi hari Rabu kemarin ketika saya tinggal sendirian beberapa hari di Alas Wegode sesudah suami balik ke Yogya untuk berbagai aktivitas di sana. Saya belajar banyak dari perjalanan tersebut.

Ke kampung adalah mengunjungi keluarga. Dulu pertama kali saya menjadi penduduk di Gunung Kidul, saya diadopsi oleh pak Kadus, pak Parijo. Di kartu keluarganya ada nama saya, seorang Farsijana yang beragama Kristen. Desa Giri Cahyo, terutama di dusun Gabug warganya semua beragama Islam. Jadi pengangkatan saya seorang Kristiani sebagai bagian dari keluarga pak Kadus menunjukkan kedalaman pemahaman dan iman dari pak Parijo tentang hidup persaudaraan di antara sesama umat.

Saya diterima warga sejak saya mulai mengurusi pemilikan lahan hutan di mana rumah pusaka, Pondok Jati Rasa berdiri sekarang. Seluruh pengurusan pemilikan tanah saya lakukan sendiri dengan melibatkan pak Kadus, Kepala Desa, sampai pelaksanaan PPAT di kantor Kecamatan. Untuk melakukannya saya harus menyopir dari Yogya ke Gagub melewati Parangtritis mengelilingi perbukitan sekitar hampir 3 jam sebelum tiba di Wonosari. Hasilnya memberikan pembelajaran kepada masyarakat sekitar yang biasanya takut berhubungan dengan pejabat pemerintah. Pengalaman saya mendorong masyarakat untuk makin mengerti tentang hak-haknya yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Misalkan pemerintah melakukan sosialisasi tentang kepemilikan sertifikat tanah pertanian untuk mendorong masyarakat mengurusnya tanpa harus takut.

Masyarakat Gunung Kidul adalah warga hutan. Hutan merupakan bank dari masyarakat. Dari hutanlah kehidupan di desa dibangun. Setiap keluarga mempunyai lahan yang ditanami pepohonan seperti jati, akasia, mahoni, pule negaran dll. Di sela-sela pohon-pohon disediakan lahan untuk menanam padi, jagung dan singkong. Penanaman hanya dilakukan sekali pada musim hujan. Sesudah padi dan jagung yang dipanen dalam waktu tiga bulan, lahan akan diisi dengan singkong. Singkong dipanen sesudah lebih dari 10 bulan di musim kering.

Memasuki lahan pertanian, di perbatasan setiap lahan yang ditumpuki batu-batuan, samar-samar terlihat deretan tumpukan putih. Saya bertanya dalam hati, apa itu. Semakin dekat saya tahu tumpukan itu adalah singkong. Mereka sedang membuat gaplek dengan mengikuti proses penjemuran alamiah. Gaplek adalah bahan dasar untuk membuat tepung tapioka, tiwul, gatot dan makan khas lainnya. Harga jual gaplek lebih menguntungkan daripada nilai singkong. Singkong dihargai Rp 500 per kg sedangkan gaplek bisa dibayar per kg adalah Rp 1000. Gaplek akan menjadi makanan andalan selama musim kering walaupun setiap hari warga makan nasi.

Padi dari ladang sudah dipanen lebih awal sehingga untuk mendapatkan sajian nasi, mereka harus membeli dari pasar/toko. Di sinilah, hutan yang ditanami warga menjadi sumber pendapatan. Di hari-hari biasa, warga membawa bekal meninggalkan rumahnya sejak pagi dan baru kembali sebelum magrib. Di bulan puasa, kebiasaan untuk bekerja di ladang dimulai sejak jam 6 pagi. Pada jam 10 pagi orang-orang sudah kembali ke kampung dan beraktivitas di sekitar rumah saja.

Jadi di antara jam 6 sd 10 pagi seorang lelaki bisa mengumpulkan kayu yang akan dijual dengan menerima bayaran sekitar Rp 8.000,- Kira-kira ada empat ikatan kayu bakar yang bisa diperoleh dari waktu kerja di bulan puasa. Satu ikatan dihargai Rp 2.000.- Dari uang penjualan kayu bakar bisa dibelanjakan untuk membeli beras, minyak, sedikit ikan kering sedang sayuran diambil dari ladangnya sendiri. Perempuan juga mengumpulkan kayu.

Pemandangan tanah terbelah  musim kering di Gunung Kidul

Alam musim kering mendatangkan keadilan yang mengejutkan kepada saya. Setiap pagi tanah ditutupi embun yang mengandung air sehingga pengolahan lahan menjadi sangat ringan. Kenyataan ini mengubah bayangan kengerian dalam diri saya, seolah-olah musim kering adalah musim yang terkejam dalam siklus kehidupan masyarakat di Gunung Kidul. Manusia hidup menyesuaikan dengan alam akan menolong dirinya untuk bertahan. Angin dingin yang segar bertiup dari arah pantai menikam ke pegunungan di mana lahan-lahan warga berada. Keadilan alam kembali tampil beriringan dengan kemuliaan penciptaan karya Tuhan yang terasa pada wajah gerah saya. Suasana sejuk memungkinkan petani kuat mempersiapkan lahannya sebelum musim hujan tiba. Semua dilakukan dengan kesabaran dan ketakwaan sebagai seorang Muslim yang sedang berpuasa.


Saya merenungkan kehidupan petani-petani yang tampil bersahaja dan tulus. Mereka bergembira bertemu dengan saya dan menjawab semua pertanyaan saya. Seorang ibu, bu Sukiman sedang memanen singkongnya untuk membersihkan lahan. Ia mengeluh tentang pembelian dua tanki air sejak musim kering tiba. Satu tanki harganya Rp 120.000.- Satu tanki berisi 5000 liter. Dari pencarian kayu di hutannya, ia bisa membeli air tersebut.

Di hutan juga terdapat sumber makanan untuk ternak. Alam menyediakannya karena banyak rumput yang tumbuh di bawah pepohonan. Ketika makanan ternak sulit, warga akan mencari dedaunan di pepohonan. Semakin lama masa kering, makanan ternak makin langka. Pada saat itulah petani akan mengambil pelepah dalam dari batang pisang untuk dimasak kemudian dicampur dengan dedak dari padi sebagai makanan yang disukai baik oleh kambing maupun sapi. Perempuan dan lelaki mencari pakan ternak. Pembedaannya adalah dalam cara membawa pakan tersebut. Perempuan mengendong dengan melilitkan kain di bahunya sedangkan lelaki menjungging di kepala.

Kami melindungi hutan di sekitar Alas Wegode dan meminta warga untuk tidak mengambil kayu-kayu yang tumbang, rerumputan dan dedaunan untuk makanan ternak. Tetapi dalam musim kering ini, kami belajar untuk berbagi dengan mereka yang mungkin datang dari pinggiran kampung di mana persediaan makanan ternak kurang. Suami saya terutama merefleksikan dari cerita tentang Ruth, menantu seorang janda bernama Naomi yang pergi mengumpulkan sisa-sisa panen dari ladangnya Boas. Cerita ini menunjukkan ajaran Nabi Musa yang mengajarkan petani kaya untuk memberikan hak kepada petani miskin untuk mengambil sisa-sisa panen. Musa meminta umat Israel untuk tidak membersihkan semua hasil panennya tetapi menyisakan apa yang bisa disisakan kepada mereka yang tidak punya lahan supaya mereka juga bisa hidup.

Hidup bersama satu desa mengajarkan kita berbagi. Saya tidak membawa apa-apa kepada mereka ketika saya mengunjungi warga di Gabug. Ketika kami memerlukan air, saya tahu mereka juga memerlukan air. Air seperti emas di musim kering. Jadi saya meminta pak Parijo mencari air untuk disumbangkan kepada warga. “ Sedikitpun sumbangannya sangat berarti kepada mereka”, demikian pak Parijo.

Kelangkaan air mengajar kepada saya tentang penyerahan tubuh manusia mendekati alam. Ketika seorang bayi lahir, entah di Gunung Kidul maupun di Yogya, tidak nampak perbedaan. Saya bertemu dengan seorang bayi, cucu dari pak Wandi yang masih berusia tiga minggu. Pak Wandi dulu menjual lahannya kepada kami kemudian membeli lahan di lokasi yang dekat kampung. Mereka pada umumnya menjual lahan dengan alasan tanahnya tidak bisa ditanami apa-apa. Alasan lainnya adalah banyak monyet yang sering mencuri dari lahan petani terutama karena kurangnya pengawasan terhadap lokasi kebun yang jauh dari kampung. Pertemuan saya dengan bayi cucu pak Wandi menginspirasikan saya mengamati evolusi tubuh yang terjadi pada warga. Semakin mereka tua, kaki, tangan dan mukanya semakin dekat dengan tekstur tanah. Tapak kakinya seperti membatu.

Saya memeluk ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak dan merasakan kepolosan yang keluar dari dirinya. Ketika kami mengunjungi ibunda bu Sar, bu Kaniyem, ia mengatakan bahwa sangat kangen dengan putrinya. Bu Sar dan pak Tumijo tinggal di rumah kecil, rumah batu yang kami buat kepada mereka. Pak Tumijo kerja di kantor desa sehingga ia hampir setiap hari pulang balik ke kampung. Tetapi bu Sar senang tinggal di Alas Wegode. Ia keliling untuk merawat jalan setapak mengelilingi areal Alas Wegode sekitar 9 ha. Keasyikan inilah yang menyebabkan bu Sar jarang pulang ke kampung apalagi melihat ibunya. Ia baru pulang kalau ada pengajian atau acara lainnya. Kedua anaknya, Wulan dan Anna selalu berakhir pekan di Alas Wegode. Lokasi di mana Pondok Jati Rasa berdiri sebenarnya adalah tempat rumah kebun dari nenek bu Sar. Kebiasaan sejak kecil di Alas Wegode menyebabkan bu Sar berani.

Saya memperhatikan reaksi bu Sar ketika berulang kali ibunya, bu Kaniyem mengatakan kangen kepadanya. Ia hanya tersenyum tanpa menghibur ibunya. Mungkin hanya ketika masih kecil, anak-anak dipeluk dan memeluk orang tuanya. Ketika makin dewasa, anak dilepaskan ke alam sehingga kedekatan mereka dengan orang tua terjadi tanpa sentuhan. Akhirnya sayalah yang memeluk ibunya, yang kebetulan sudah lebih dari 12 tahun tergantung pada obat untuk menenangkannya. Ia sangat senang dan saya juga bahagia.

Kebahagian yang sama ketika saya mengunjungi pak Torjo yang sudah berumur 120 tahun. Ia tinggal dengan anak dari isterinya yang ke tujuh. Semua isterinya sudah meninggal, tetapi pak Torjo masih hidup. Ia sudah buta tetapi mengenal orang melalui suara dan sentuhan. Ia mau menyentuh wajah saya. Saya membiarkan ia meraba. Ia tersenyum dan mengatakan:”Ibu ayu”! Saya tersenyum terharu mendengar suaranya. Ia kemudian bercerita tentang tanahnya di dekat hutan kami. Ia masih waras, mengingat dengan jelas setiap areal di seantero desa.

Saya bahagia, di usia yang sudah udzur, pak Torjo masih memelihara rasa keindahan dan humornya yang menyebabkan ia masih hidup sampai saat ini. Rumahnya sangat sederhana. Ia tidur tanpa alas kasur. Dipannya diberikan “galang” yaitu potongan bambu yang dihaluskan untuk mengalas tempat tidur. Ada tiga tempat tidur di dalam kamar itu, selain dipannya sendiri, ada dipan anak perempuannya, bu Ngadiyem yang dekat dengan dipan ayahnya, dan dipan dari suami bu Ngadiyem, pak Tuji. Kemurahan Allah sungguh maha besar sehingga dengan hidup sederhana, pak Torjo masih terus hidup. Ia sudah minta terus supaya dipanggil pulang oleh Allah tetapi ia masih terus hidup. Makannya hanya sayuran terutama daun papaya, dedaunan yang tersedia di hutan, nasi, tiwul dan gatot.

Menulis tentang mereka di kampung mengingatkan saya kepada banyak kampung yang sudah saya kunjungi. Saya datang ketika mereka mengalami kekeringan, kebanjiran, terkena letusan gunung, mengalami gempa bumi. Ada banyak kebajikan saya terima dari perlawatan itu di masa yang tepat ketika saudara-saudara memerlukan kehadiran orang lain untuk sekedar mendengar cerita mereka. Saya sudah mendengar dan melihat sendiri hidup mereka. Menceritakan ulang cerita hidup mereka saya lakukan untuk menguatkan iman kita semua.

Kehidupan adalah kelimpahan dari ucapan syukur yang kita bagikan terhadap apa yang kita terima dari alam, dari sesama dan dari Tuhan Sang Pemberi Hidup. Iman saudara-saudari saya, iman mereka yang sedang berpuasa mengajarkan kepada saya tentang keiklasan dan kebijakan menyelaraskan hidupnya dengan ritme alam. Cerita mereka menghibur hati saya karena memberikan inspirasi untuk meraih ketulusan, keluhuran kehidupan dari dalam diri sendiri menuju kepada Allah. Iman mereka membawa saya menemukan iman saya. Saya berharap pembaca lainpun merasakannya. Selamat hari Minggu dan selamat meneruskan puasa. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself

Tidak ada komentar:

Posting Komentar