Memikir ulang relasi “uang” untuk memberantas korupsi. Renungan Minggu di bulan Ramadhan 2011
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta
Cerita tentang uang adalah cerita tentang relasi. Pertama, uang berkaitan dengan diri kita sendiri. Kedua, uang terkait dengan orang lain. Ketiga, uang berhubungan dengan Tuhan, Sang Pencipta.
Kekaguman Hildred Geertz di tahun 60 an ketika meneliti di Jawa terkait dengan uang yang dikelola oleh perempuan. Perempuan adalah tulang punggung keluarga, sebagai pencari nafkah sekaligus pengelola uang bersama dari pendapatan suami. Peran ini tidak berubah sesudah hampir setengah abad hasil etnografi Geertz dipublikasikan.
Di kampung Karanggayam, Sleman, Yogyakarta, di mana saya tinggal, 80% perempuan adalah pencari nafkah. Sebagai daerah pemasok penjual gudeg, saya selalu mencium aroma gudeg di pagi hari ketika saya sedang jogging. Pagi-pagi sekali, ibu-ibu menumpangi becak mulai menyebar menjajakan gudeg sebagai sarapan pagi khas Jogja di berbagai sudut kota di Sleman bahkan sampai di alun-alun utara. Mereka baru kembali menjelang sore bersamaan dengan waktu saya juga pulang rumah. Kami sering berpapasan. Kadang-kadang ada dua ibu yang bergabung menyewa andong untuk membawa pulang bahan-bahan kebutuhan untuk membuat gudeg. Dengan andong, kayu bakar dan kulit kelapa bisa diangkut semua. Mereka terbenam diantara timbunan barang-barang. Pemandangan yang mengharukan. Tetapi perempuan-perempuan pembuat gudeg turut melestarikan andong.
Perempuan pencari nafkah di abad milinium ada diberbagai tingkatan dari kalangan masyarakat. Caranya mencari nafkah berbeda dengan saya. Tetapi sebagai “saya”, kesamaannya ada ketika sebagai perempuan, kita harus mengelola keuangan keluarga. Peran ini menjadi sumber perdebatan panjang dari perspektif feminis. Saya menghindari membahasnya panjang lebar di sini. Tergantung siapa perempuannya, peran ini bisa menunjukkan kebebasan memilih dari seorang perempuan atau hanya tekanan yang memberatkan dirinya. Suami saya kaget sesudah menikah dengan saya mendapatkan komitmen saya yang sudah lama mendukung anggota keluarga lain termasuk ibu saya. Kepulangan ayah ketika kami masih muda, menyebabkan kami mendukung satu dengan lainnya.
Ternyata tanggung jawab ini berkembang. Sesudah menikah, dukungan diperlebar terutama untuk mendorong gerakan hidup bersama secara damai dalam masyarakat. Saya harus bisa mengatur berbagi gaji saya untuk program memelihara keluarga dan masyarakat. Kadang-kadang pengelolaannya berhasil seringkali diatur apa adanya, yang penting setiap kegiatan bisa berjalan. Semangat mengurus keluarga mendorong saya berbagi dengan masyarakat, perempuan dan anak. Mereka menjadi bagian dari keluarga saya.
Ketika saya merefleksikan uang dalam relasi dengan diri sendiri, saya teringat wajah-wajah perempuan di sekitar saya. Saya juga ingat cerita dalam Alkitab tentang seorang janda yang cara hidupnya dipilih sebagai contoh dari Isa Almasih untuk menegur perilaku “relasi terhadap uang” dari orang kaya.
Injil Lukas menuliskan tentang persembahan seorang janda miskin (Lukas 21: 1-4). Narasinya, saya kutip utuh. “Ketika Yesus mengangkat mukaNya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya”.
Janda di manapun “tidak dianggap” ada oleh masyarakat. Tulisan Injil menjelaskan juga perilaku masyarakat terhadap janda. Kalau jandanya seorang yang muda, akan dianggap sebagai sumber penggodaan. Kalau jandanya seorang tua, dianggap miskin dan papa. Menjadi janda, serba salah. Tetapi janda-janda seperti inilah adalah mereka yang kuat. Ibu saya seorang janda. Ketika suaminya meninggal, ayah saya, ia mengatakan kepada anak-anaknya: “Sekarang Tuhan sudah mengambil ayahmu, suami saya sekarang adalah Allah sendiri”. Kata-kata ibu saya bukan bertujuan menghina Allah. Kata-kata itu memastikan kepada ia dan semua anak-anaknya bahwa hidupnya dulu sampai sekarang ada karena kemurahan dan perlindungan Allah sendiri. Allah menjadi sahabatnya. Nafasnya adalah doa yang terpanjat diam-diam kepada Allah.
Relasi yang mendalam dengan Allah menyebabkan ibu saya memberikan kembali apa yang menjadi hak Allah. Ceritanya sama seperti janda miskin yang ditulis dalam Injil Lukas. Ia hidup dari kemurahan Allah bukan kebaikan dari anak-anak walaupun setiap bulan kami mengirimkan berkat kami kepadanya. Sikap hidupnya mengajarkan kepada saya tentang sikap hidup janda yang menginspirasikan Yesus untuk mengingatkan mereka yang kaya.
Sikap hidup berbagi adalah semangat yang bisa ditemukan di kalangan mereka yang berkekurangan. Ketulusan untuk memberi dari apa yang ada kepada seseorang yang membutuhkan akan mendorong orang tersebut menerima balik pada saat yang dibutuhkan. Sikap memberi dari apa yang ada secara logis akan ada balasannya. Tetapi memberikan dari kekurangan kepada Allah seperti yang dilakukan oleh janda miskin, merupakan pertanda bahwa ia sedang memastikan pemeliharaan hidupnya ada pada tangan Allah. Hatinya yang tulus akan menggugah semua orang yang ada di sekitarnya untuk berbagi dengannya dari apa yang mereka miliki.
Sikap hati seorang janda miskin dijadikan contoh untuk mengajarkan orang kaya adalah tanda kepedulian Allah untuk meluruskan hati manusia. Uang bukan barang haram bagi manusia. Manusia perlu uang untuk hidup. Tetapi uang bukanlah jalan
untuk membawa manusia kepada Allah. Manusia bisa memusatkan hatinya pada uang, bukan pada Allah, sumber kehidupan.
Ketika kami tidak punya uang hidup di Jakarta, saya harus kerja untuk membantu ibu saya. Saya lakukan dengan penyerahan diri karena tahu uang dari kerja itu tidak cukup untuk membayar biaya sekolah adik-adik. Ada perasaan takut, tentang masa depan. Akan tetapi sesudah proses pembentukan hidup berlangsung yang mengubah kita dari kelimpahan menjadi kecukupan, saya belajar tentang kehidupan bersahaja dalam mendekati uang. Saya belajar mengatur dari apa yang ada bukan dari yang harus saya miliki. Cara pikir ini mungkin berbeda dengan kebanyakan pola progressif pengembangan ekonomi yang digiatkan oleh pasar. Bidikan banyaknya uang yang masuk harus seiring dengan perencanaan konsumsi yang harus dipenuhi. Pilihan hidup seperti ini menjadikan manusia sebagai budak terhadap kerja. Kerja tidak menghasilkan sukacita tetapi kesepian tanpa makna kehidupan. Mungkin café-café penuh dengan kita yang sepi melarikan diri pada kesenangan yang diterima dari minuman dan pertemanan sesaat.
Janda miskin tahu berhubungan dengan uang. Ia juga tahu bagaimana uangnya harus dipakai. Memberi dengan ketulusan kepada Allah merupakan sikap hidup yang akan menular mempengaruhi dalam kegiatan hidup lainnya. Menetapkan bahwa Allah adalah sumber kehidupan akan mendorong kita untuk berbagi dengan sesama sebagai ucapan syukur terhadap berkat-berkat yang sudah diterima dari Allah. Siang dan malam diberikan Allah kepada semua umat manusia tanpa pandang bulu tentang asal agama, budaya dan etnis. Hujan dan panas diberikan kepada kita semua untuk bisa mengatur persediaan lumbung-lumbung sebagai stok makanan keluarga.
Ketika manusia mengerti bahwa sumber hidupnya ada pada Allah, maka orang kaya tidak perlu menyuap orang miskin supaya mereka mau memberikan suaranya mendukung keinginan orang kaya menjadi wakilnya di parlemen. Sebaliknya, orang miskin pun tidak menggunakan kemiskinannya untuk memaksakan orang kaya memberikan uang kepadanya. Pemberian yang diberikan untuk mendapat suara seperti dilakukan pada masa Pemilu/pemilukada kualitasnya rendah. Pemberian ternyata terlalu murahan untuk membayar harga dari suatu kebijakan negara yang harus diperjuangkan bersama baik oleh calon wakil rakyat dan pendukungnya.
Pola pemberian tersebut mengajarkan masyarakat untuk melupakan jati dirinya. Pola ini menghilangkan harga diri orang miskin maupun orang kaya. Pola ini menghilangkan ketulusan dan keramahtamahan sejati yang ada di hati masyarakat. Lebih dari itu pola ini menumpulkan sejak dini fungsi kritis masyarakat untuk mengawal kebijakan-kebijakan negara yang akan diproses oleh wakil rakyat pilihannya. Kualitas mereka yang dipilihpun belum bisa mengamodasikan kebutuhan bersama untuk membuat kebijakan yang membawa keadilan dan kesejahteraan untuk semua. Rakyat memilih tanpa mengenal siapakah mereka yang mewakili dirinya. Uang membutakan perjalanan ke depan membangun bangsa yang menjadi tanggungjawab seluruh warga negara.
Politik pemilu/pemilukada menjadikan masyarakat Indonesia berhati kejam. Kita semua menjadi budak uang. Beban yang harus dipikul seseorang untuk menjadi pejabat publik adalah harus bisa memberikan sogokan kepada mereka yang memilihnya. Beban ini dibawa terus sampai di posisi yang memungkinkan berbagai cara mendapatkan uang melalui rekayasa untuk pengembalian pengeluaran atau hutang yang sudah dipakai menyogok rakyat. Siklus ini tampil untuk menjelaskan mata rantai korupsi yang sedang menghancurkan sistem kehidupan manusia-manusia beragama di Indonesia.
Kalau sudah seperti begini hidup bernegara, apa yang kita mau pilih, sikap hati seperti seorang janda miskin atau orang kaya? Ternyata sikap hidup orang kaya bisa merusak kehidupan orang banyak. Jadi lebih baikkah memilih hidup seperti seorang janda miskin yang mendatangkan damai hati untuk Allah dan sesama? Dari tradisi agama masing-masing bisa menjelaskan apa untuk memikir ulang relasi uang supaya korupsi bisa diangkat dari bumi Indonesia? Saya berbagi pertanyaan ini baik kepada saudara-saudari Kristiani, Muslim, Hindu, Budha, Konghucu dan berbagai aliran kepercayaan lainnya untuk merenungkan bersama. Semoga kita semua membawa balik spirit ketulusan dan loyalitas membangun hidup yang bersih untuk Indonesiaku Indonesiamu Indonesia untuk semua. Selamat hari Minggu. Selamat berpuasa bagi saudara/i Muslim. Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar