Menginspirasi puasa dengan dialog antar agama: Renungan Minggu IV di bulan Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)
Kerja-kerja yang saya lakukan melalui komunitas Tali Rasa di mana anak-anak dari latar belakang agama Islam dan Kristen menari bersama disebut praktek bekerja bersama antar agama. Saya memberikan khusus waktu untuk kegiatan anak-anak dan perempuan karena saya yakin, kerja-kerja bersama antara agama sangat diperlukan untuk membangun keakraban, kepercayaan, keadilan dan cinta kasih.
Menyatukan anak-anak dilakukan dalam gerakan menari. Gerakan mempunyai dasar dalam bahasa dan pengertian sehingga menjelaskan kepada anak-anak tentang maksud dari tarian tersebut sangat penting. Saya memulai dengan mengembangkan ide untuk tarian dari tema yang akan digarap. Kemudian bersama mba Tina, saya mengusulkan beberapa penggunaan gerakan yang dimodifikasi dari tarian tertentu. Mba Tina kemudian akan memoles menyempurnakannya menjadi kesatuan tarian. Lagu-lagu yang dipergunakan untuk menggarap tarian diambil dari berbagai koleksi CD saya yang dibeli dari perjalanan-perjalanan saya ke mana-mana. Sebagai seorang Kristiani, mba Tina pernah menciptakan tarian Salawat, yaitu cerita tentang perjalanan kehidupan nabi Muhammad SAW dengan menggunakan lagu Salawat.
Sudah sekitar sepuluh tahun mba Tina, guru tari jebolan Institut Seni Indonesia bersama saya saling melengkapi mendampingi anak-anak dalam komunitas Tali Rasa. Saya meminta mba Tina mengajar menari di beberapa tempat sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Saat ini kegiatan tersebar di Sewon, Sribit dan Karanggayam. Mba Tina dan saya menulis pengalaman kami menggunakan seni untuk mengolah perdamaian dalam tulisan berjudul Seni Bumi sebagai salah satu bagian dari buku Perempuan dan Bencana (Adeney-Risakotta, 2007).
Walaupun mba Tina yang mengajarkan setiap tarian tetapi memulai latihan dilakukan sesudah saya memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang maksud tarian itu. Misalkan tarian yang sedang kami persiapkan berjudul “Tarian bumi mengikuti pelangi”. Tarian ini dipersiapkan khusus untuk mengisi acara pertemuan Theolog dunia ketiga (EATWOT) yang direncanakan akan dilaksanakan di Indonesia. Kadang-kadang saya libatkan anak-anak dari komunitas lain untuk menari sesuai dengan tujuan dari pementasan yang akan dilakukan. Misalkan festival anak yang berpindah di berbagai tempat kelilingi Yogyakarta.
Dalam kegiatan bersama inilah, ketika anak-anak saling mempercayai satu dengan lainnya, maka sering muncul dialog mendalam terkait dengan spiritualitas mereka. Kadang-kadang anak-anak, seperti yang pernah saya dengar, mendiskusikan pertanyaan apakah orang Kristiani bersembayang sambil membandingkan dengan anak-anak muslim yang bersholat. Jadi dialog-dialog tampil sebagai proses alamiah yang terjadi karena kedekatan di antara anak-anak. Dialog-dialog itu bisa merupakan dialog spiritualitas dan teologi yang terjadi disela-sela kegiatan utama mereka yaitu menari.
Hal yang sama juga terjadi dengan kegiatan-kegiatan saya bersama Koalisi Perempuan Indonesia, perspektif teologi dan spiritualitas tampil dalam bentuk pernyataan teman-teman seperti saya akan sholat, pergi ke gereja atau kebaktian dsbnya. Dalam dialog kehidupan, isu keadilan paling sering tampil didiskusikan bersama di antara berbagai gerakan perempuan. Dialog teologi yang terkait dengan iman untuk mengupas peran agama masing-masing dalam kehidupan umat manusia belum pernah dilakukan dengan resmi. Kecuali doa, ada anggapan bahwa ulasan teologi adalah domain dari pendalaman iman di mesjid atau dilaksanakan hanya di kalangan sesama orang beragama.
Jadi saya berdiskusi dengan anak-anak dan ibu-ibu mereka tentang ide menyelenggarakan buka puasa bersama. Kami sudah beberapa kali melakukan buka puasa bersama. Tetapi anak-anak Kristiani perlu belajar langsung dari tangan pertama tentang puasa dan Islam. Jadi anak-anak setuju malahan makin antusias karena sekaligus sesudah berbuka bersama, akan ada perayaan hari ulang tahun mba Tina. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta yang juga sedang merencanakan berbuka puasa bisa melakukan bareng dengan komunitas Tali Rasa, begitu pikiran saya.
Begitulah akhirnya kemarin sore, hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, komunitas Tali Rasa dan Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta melakukan buka puasa bersama di Pondok Tali Rasa. Saya mengundang kolega saya dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, bu Siti Ruhaini Dzuhayatin untuk memimpin doa dan menyampaikan khotbah sebelum acara berbuka tiba. Anak-anak masih berlatih menari. Seperti biasanya ibu-ibu anak-anak juga datang. Tetapi kegiatan dilakukan lebih sore sekitar jam 3 supaya dekat dengan acara buka puasa bersama. Ketika mereka sedang berlatih, bu Siti Ruhaini tiba.
Kami, bu Ruhaini dan saya sedang menyelesaikan artikel yang ditulis bersama dengan judul “Perempuan dalam tradisi Agama”. Artikel ini akan menjadi salah satu bagian dari buku yang sedang diterjemahkan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, yaitu “Muslim and Christian Understanding. Theory and Application of A Common Word”. Buku yang disunting Waleed El-Ansary an David Linnan merupakan tindak lanjutan dari inisiatif 70 muslim intelektual sedunia untuk melakukan dialog konkrit dengan pemuka agama dan intelektual Kristen sedunia menanggapi sambutan kontroversial dari Paus Benedict XVI yang terjadi pada tahun 2007 (New York: Palgrave, 2010).
Pertanyaan yang diangkat adalah bisakah umat Islam dan Kristen mencintai Allah dan sesama sebagai suatu keimanan yang mempersatukan. Kontributor penulis beragam dari beberapa negara, termasuk Inggeris, Amerika Serikat, Vatikan, Mesir, Jordania, dan Indonesia. Dalam artikel ini, bu Ruhaini sebagai seorang muslim berdialog secara teologis dengan saya sebagai seorang Kristiani. Dimulai dari mendialogkan tentang bentuk pewahyuan, artikel ini menyentuh persoalan tafsir dan dampaknya dalam kehidupan manusia terutama terhadap perempuan.
Dialog merupakan kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Istilah dialog menjadi makin penting ketika ia dipakai sebagai bahasa teknis dari dialog agama. Dari bahasa Yunani, dialog berasal dari kata “dia” dan “logos”. Dia berarti dengan orang lain dan “logos” berarti kata atau pengertian. Jadi dialog berarti pengertian muncul karena bersama dengan orang lain. Pengertian tampil sebagai akibat dari pendengaran yang dilakukan dengan hati, tanpa interupsi, mengalir menyentuh jiwa dan akal budi semua pendengar.
Di Indonesia pengalaman seperti ini dianggap sebagai upaya dakwah. Padahal menurut saya, pengalaman dialog akan menolong pendengar untuk mengerti hubungan imannya dengan Allah. Dalam dialog sangat perlu ditetapkan tema. Pada buka puasa bersama ini bu Ruhaini dan saya bermaksud mengkonkritkan dialog yang sudah dimulai dalam artikel. Dapatkah kita mencintai Allah dan sesama sebagai suatu bentuk iman yang menyatukan umat beragama?
Kami mencoba menghadapi pertanyaan ini sebagai pertanyaan yang menghubungkan kerja-kerja sehari-hari sebagai praktek dari iman yang muncul dari tanggapan manusia terhadap ajaran mengikuti Allah. Menghindari menjawab pertanyaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk ekspresi iman yang cenderung sentralitas dalam kebenaran komunitas sendiri. Sehingga tampilannya hadir sebagai iman yang monolitik karena internalisasi keyakinan cenderung memuaskan diri manusia bukan untuk mengikuti jalan Allah, mengasihi sesama manusia. Pertanyaan ini adalah renungan kami di hadapan anak-anak, perempuan dan bapak-bapak. Mereka yang semuanya sudah saling mengenal karena bertahun-tahun bekerja bersama-sama.
Saya mengantarkan pertemuan buka puasa dengan menyambut anak-anak dan teman-teman yang hadir. Setiap waktu adalah berkat dari Allah, dan kemarin, hari Sabtu ini adalah hari kita bersama. Ada waktu untuk menari, ada waktu untuk merenung. Sekarang waktunya untuk kita bersama merenung mengapa anak-anak masih terus menari. Mereka semua setuju, menyampaikan ketika saya bertanya mengapa anak-anak berada sekarang ini di Pondok Tali Rasa. Semua menyambutnya dengan mengatakan bahwa mereka suka menari. Anak-anak dipertemukan karena kesamaan kesenangan menari.
Mereka menarikan tarian-tarian bertema perdamaian. Tarian sebagai alat untuk menyampaikan pesan damai. Mereka setuju bahwa dengan pengalaman perdamaian menghindarkan mereka dari pertengkaran. Pertengkaran terjadi karena masing-masing dari kita merasa paling benar. Banyak pertengkaran terjadi karena perbedaan agama. Supaya kita belajar untuk menerima satu dengan lainnya, kita perlu belajar untuk berdialog, mengenal tradisi dan alasan pelaksanaannya pada agama-agama yang dianut oleh sesama kita. Bisakah orang beragama hidup rukun? Hidup rukun adalah agenda dari anak-anak. Anak-anak adalah duta-duta perdamaian. Ketika dialog tidak lagi bisa dilakukan kita sedang memusnakan manusia dan alam semestanya.
Sesudah pengantar yang singkat saya menyerahkan pelaksanaan doa dan khotbah kepada bu Ruhaini. Bu Ruhaini membuka dengan membaca doa dalam bahasa Arab menyucikan situasi dan tempat ketika kita semua berada kemarin sore. Suasana spiritualitas makin terasa. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan tentang hubungan antara puasa dengan perdamaian. Islam mengajarkan perdamaian yang terkait dengan mencintai Allah, nabi Muhammad SAW, orang tua, dan sesama manusia.
Ajaran Islam tentang berapa lama kemarahan bisa disimpan adalah hanya tiga hari. Kemudian bu Ruhaini bertanya dari anak-anak Kristiani apa yang diajarkan di sekolah Minggu. Berapa lama kemarahan bisa ditahan? Dijawab oleh anak-anak Kristiani bahwa Yesus mengatakan kemarahan tidak bisa disimpan sampai matahari terbit. Pertengkaran harus diselesaikan secepatnya dengan melibatkan kemurahan Allah untuk menyentuh hati kedua pihak yang sedang bertengkar. Hanya sesudah berdamai, mereka yang bertengkar bisa berdoa kepada Allah.
Kepada anak-anak bu Ruhaini bertanya mengapa mereka berpuasa. Puasa merupakan salah satu dari lima kewajiban dalam Islam. Empat kewajiban Islam lainnya adalah menyebutkan syahadah, memberikan zakat, sholat lima waktu, dan melakukan ibadah haji. Bu Ruhaini menjelaskan sambil berdialog dengan anak-anak menanyakan mereka siapa yang berpuasa. Anak-anak muslim semuanya berpuasa. Bahkan ada seorang anak lelaki kecil berumur lima tahun mengangkat tangannya mengatakan berpuasa setengah hari. Dikatakan oleh bu Ruhaini bahwa puasa adalah kepunyaan Allah SWT. Sambil menyinggung anaknya yang bertanya mengapa Allah yang Maha Pencipta memerlukan manusia untuk melakukan puasa kepadanya. Pertanyaan itu dijawab bu Ruhaini dengan menggambarkan bahwa yang memerlukan Allah adalah manusia.
Puasa adalah kepunyaan Allah tetapi manusia memerlukannya supaya ia bisa hidup. Puasa adalah tindakan yang disengaja oleh manusia, supaya tidak makan dan minum. Tujuan puasa adalah manusia bisa merasakan penderitaan sesamanya. Merasakan perasaan dan pengalaman orang lain sangat penting untuk mencapai jalan ke Allah. Karena dari pengalaman ini akan ada upaya untuk mengatasi penderitaan dari mereka yang menderita karena miskin.
Anak-anak sangat terkesima dengan penjelasan bu Ruhaini terutama ketika mendengar pertanyaannya tentang apa yang anak-anak tahu tentang agama lain dari teman-temannya yang Kristiani. Apa yang anak-anak Kristiani tahu tentang Islam. Islam dan Kristen mempunyai banyak kemiripan, karena berangkat dari tradisi agama Ibrahim yang sama. Walaupun Islam kemudian mengembangkan tradisi ibadah dan teologi yang berbeda dari Kristiani.
Menurutnya sangat penting anak-anak mendapat pelajaran agama yang benar dari orang-orang disekitarnya. Apa yang diajarkan oleh ibu terhadap anak akan mempengaruhi anaknya seumur hidup. Diambil contoh dari anaknya sendiri yang pada suatu waktu pulang sekolah sambil menangis. Ia sangat terganggu dengan penjelasan dari guru agama bahwa orang non Muslim kalau meninggal tempatnya di neraka.
Anaknya menangis karena teringat Rebecca dan Bude, tetangga mereka yang beragama Kristen Katolik. “Bude dan Becca adalah orang baik. Tidak mungkin mereka masuk neraka bu”. Bu Ruhaini meniru perkataan anaknya. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan kepada anaknya bahwa setiap orang yang berbuat baik akan masuk sorga karena yang punya sorga adalah Allah SWT.
Hanya Allah yang tahu siapa yang betul-betul berbuat baik dan memperhitungkannya. Sesudah mengatakan demikian anaknya tenang. Bu Ruhaini menasihati supaya ibu-ibu bersiap sedia menyambut anak-anak yang makin kritis dan mempunyai akses untuk belajar tentang agama lain dari sumber-sumber yang tersedia di media.
Bersama anak-anak dan perempuan berbuka puasa bersama sangat mengharukan hati saya. Berbuka puasa dilakukan ketika bu Pronti dan bu Wati, PRT saya sudah mudik pasti tidak gampang. Selain mendapat dukungan dari anggota keluarga yang turun tangan membersihkan dan menata rumah, ibu-ibu anak-anak memutuskan untuk memasak dan membantu mencucikan piring. Bu Kamil, nenek asli dari Palu, Sulawesi Tengah yang bertahun-tahun tinggal di Yogya untuk membesarkan cucu-cucunya membantu memasak Coto Makassar dan es pisang ijo untuk makanan pembuka puasa.
Pagi-pagi, saya mengajak anak Tirza ke pasar Patuk untuk membeli daging dan ceroan yang sudah dipesan sehari sebelumnya. Pasar Patuk terletak di belakang jalan Malioboro tepatnya di belakang toko Ramai. Belanja di pasar Patuk sangat praktis terutama kalau saya punya hajatan untuk tamu-tamu lebih dari 50 orang. Sehari-hari bu Pronti dan bu Wati berbelanja di pasar Demangan.
Saya membersihkan daging, ceroan, babat dan iso kemudian merebusnya sebelum saya pergi menghadiri rapat EATWOT jam 10 pagi. Perjalanan pulang ke rumah dari rapat Eatwot pada jam 1 siang, di garasi saya sudah mencium bau coto Makassar. Hati saya senang dan bersyukur. Rumah akan dipenuhi dengan anak-anak dan teman-teman nanti sore.
Saya kemudian membuat dua buah kue black forest sebagai kue HUT untuk mba Tina. Sesudah siap, kedua kue ini dipanjangkan di atas meja marmer di tengah ruangan. Setelah berbuka puasa, saya mengundang mba Tina membakar lilin, meniupkan kedua lilin yang diletakkan di tengah-tengah masing-masing kue. Saya katakan karena ketulusan hati mba Tina mencintai anak-anak maka Allah memberikan rahmat untuk kami semua merayakan hari kelahiran mba Tina yang ke 43 pada bulan Ramadhan 2011. Kami menyanyikan lagu panjang umur ketika mba Tina meniupkan lilinnya. Mba Tina memotong kue dan membagikan kepada semua. Sesudah itu anak-anak dan para tamu bersholat.
Permulaan dari awal berdialog secara teologis adalah kesiapan untuk mendengar dengan hati. Buka puasa hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, beberapa hari sebelum Idul Fitri akan dikenang oleh anak-anak dan perempuan sebagai hari penting. Karena kami merenungkan bersama bahwa kami bisa mencintai Allah dan sesamanya dengan keindahan dan kebaikan dari Tuhan sendiri. Yesus Kristus mengajarkan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dan kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.
Keindahan ini adalah bagian dari pengalaman mendialogkan kehidupan di hadapan Allah dan manusia sehingga pengertian teologis tampil meneguhkan tindakan iman bersama yang sudah terjadi. Mengingatnya membuat saya bernyanyi seperti kekhusutan pengajian dari suara mesjid Al Istiqomah yang sedang menenangkan hati semua umat di malam bulan Ramadhan.
*)blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)
Kerja-kerja yang saya lakukan melalui komunitas Tali Rasa di mana anak-anak dari latar belakang agama Islam dan Kristen menari bersama disebut praktek bekerja bersama antar agama. Saya memberikan khusus waktu untuk kegiatan anak-anak dan perempuan karena saya yakin, kerja-kerja bersama antara agama sangat diperlukan untuk membangun keakraban, kepercayaan, keadilan dan cinta kasih.
Menyatukan anak-anak dilakukan dalam gerakan menari. Gerakan mempunyai dasar dalam bahasa dan pengertian sehingga menjelaskan kepada anak-anak tentang maksud dari tarian tersebut sangat penting. Saya memulai dengan mengembangkan ide untuk tarian dari tema yang akan digarap. Kemudian bersama mba Tina, saya mengusulkan beberapa penggunaan gerakan yang dimodifikasi dari tarian tertentu. Mba Tina kemudian akan memoles menyempurnakannya menjadi kesatuan tarian. Lagu-lagu yang dipergunakan untuk menggarap tarian diambil dari berbagai koleksi CD saya yang dibeli dari perjalanan-perjalanan saya ke mana-mana. Sebagai seorang Kristiani, mba Tina pernah menciptakan tarian Salawat, yaitu cerita tentang perjalanan kehidupan nabi Muhammad SAW dengan menggunakan lagu Salawat.
Sudah sekitar sepuluh tahun mba Tina, guru tari jebolan Institut Seni Indonesia bersama saya saling melengkapi mendampingi anak-anak dalam komunitas Tali Rasa. Saya meminta mba Tina mengajar menari di beberapa tempat sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Saat ini kegiatan tersebar di Sewon, Sribit dan Karanggayam. Mba Tina dan saya menulis pengalaman kami menggunakan seni untuk mengolah perdamaian dalam tulisan berjudul Seni Bumi sebagai salah satu bagian dari buku Perempuan dan Bencana (Adeney-Risakotta, 2007).
Walaupun mba Tina yang mengajarkan setiap tarian tetapi memulai latihan dilakukan sesudah saya memberikan penjelasan kepada anak-anak tentang maksud tarian itu. Misalkan tarian yang sedang kami persiapkan berjudul “Tarian bumi mengikuti pelangi”. Tarian ini dipersiapkan khusus untuk mengisi acara pertemuan Theolog dunia ketiga (EATWOT) yang direncanakan akan dilaksanakan di Indonesia. Kadang-kadang saya libatkan anak-anak dari komunitas lain untuk menari sesuai dengan tujuan dari pementasan yang akan dilakukan. Misalkan festival anak yang berpindah di berbagai tempat kelilingi Yogyakarta.
Dalam kegiatan bersama inilah, ketika anak-anak saling mempercayai satu dengan lainnya, maka sering muncul dialog mendalam terkait dengan spiritualitas mereka. Kadang-kadang anak-anak, seperti yang pernah saya dengar, mendiskusikan pertanyaan apakah orang Kristiani bersembayang sambil membandingkan dengan anak-anak muslim yang bersholat. Jadi dialog-dialog tampil sebagai proses alamiah yang terjadi karena kedekatan di antara anak-anak. Dialog-dialog itu bisa merupakan dialog spiritualitas dan teologi yang terjadi disela-sela kegiatan utama mereka yaitu menari.
Hal yang sama juga terjadi dengan kegiatan-kegiatan saya bersama Koalisi Perempuan Indonesia, perspektif teologi dan spiritualitas tampil dalam bentuk pernyataan teman-teman seperti saya akan sholat, pergi ke gereja atau kebaktian dsbnya. Dalam dialog kehidupan, isu keadilan paling sering tampil didiskusikan bersama di antara berbagai gerakan perempuan. Dialog teologi yang terkait dengan iman untuk mengupas peran agama masing-masing dalam kehidupan umat manusia belum pernah dilakukan dengan resmi. Kecuali doa, ada anggapan bahwa ulasan teologi adalah domain dari pendalaman iman di mesjid atau dilaksanakan hanya di kalangan sesama orang beragama.
Jadi saya berdiskusi dengan anak-anak dan ibu-ibu mereka tentang ide menyelenggarakan buka puasa bersama. Kami sudah beberapa kali melakukan buka puasa bersama. Tetapi anak-anak Kristiani perlu belajar langsung dari tangan pertama tentang puasa dan Islam. Jadi anak-anak setuju malahan makin antusias karena sekaligus sesudah berbuka bersama, akan ada perayaan hari ulang tahun mba Tina. Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta yang juga sedang merencanakan berbuka puasa bisa melakukan bareng dengan komunitas Tali Rasa, begitu pikiran saya.
Begitulah akhirnya kemarin sore, hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, komunitas Tali Rasa dan Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah DI.Yogyakarta melakukan buka puasa bersama di Pondok Tali Rasa. Saya mengundang kolega saya dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, bu Siti Ruhaini Dzuhayatin untuk memimpin doa dan menyampaikan khotbah sebelum acara berbuka tiba. Anak-anak masih berlatih menari. Seperti biasanya ibu-ibu anak-anak juga datang. Tetapi kegiatan dilakukan lebih sore sekitar jam 3 supaya dekat dengan acara buka puasa bersama. Ketika mereka sedang berlatih, bu Siti Ruhaini tiba.
Kami, bu Ruhaini dan saya sedang menyelesaikan artikel yang ditulis bersama dengan judul “Perempuan dalam tradisi Agama”. Artikel ini akan menjadi salah satu bagian dari buku yang sedang diterjemahkan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, yaitu “Muslim and Christian Understanding. Theory and Application of A Common Word”. Buku yang disunting Waleed El-Ansary an David Linnan merupakan tindak lanjutan dari inisiatif 70 muslim intelektual sedunia untuk melakukan dialog konkrit dengan pemuka agama dan intelektual Kristen sedunia menanggapi sambutan kontroversial dari Paus Benedict XVI yang terjadi pada tahun 2007 (New York: Palgrave, 2010).
Pertanyaan yang diangkat adalah bisakah umat Islam dan Kristen mencintai Allah dan sesama sebagai suatu keimanan yang mempersatukan. Kontributor penulis beragam dari beberapa negara, termasuk Inggeris, Amerika Serikat, Vatikan, Mesir, Jordania, dan Indonesia. Dalam artikel ini, bu Ruhaini sebagai seorang muslim berdialog secara teologis dengan saya sebagai seorang Kristiani. Dimulai dari mendialogkan tentang bentuk pewahyuan, artikel ini menyentuh persoalan tafsir dan dampaknya dalam kehidupan manusia terutama terhadap perempuan.
Dialog merupakan kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Istilah dialog menjadi makin penting ketika ia dipakai sebagai bahasa teknis dari dialog agama. Dari bahasa Yunani, dialog berasal dari kata “dia” dan “logos”. Dia berarti dengan orang lain dan “logos” berarti kata atau pengertian. Jadi dialog berarti pengertian muncul karena bersama dengan orang lain. Pengertian tampil sebagai akibat dari pendengaran yang dilakukan dengan hati, tanpa interupsi, mengalir menyentuh jiwa dan akal budi semua pendengar.
Di Indonesia pengalaman seperti ini dianggap sebagai upaya dakwah. Padahal menurut saya, pengalaman dialog akan menolong pendengar untuk mengerti hubungan imannya dengan Allah. Dalam dialog sangat perlu ditetapkan tema. Pada buka puasa bersama ini bu Ruhaini dan saya bermaksud mengkonkritkan dialog yang sudah dimulai dalam artikel. Dapatkah kita mencintai Allah dan sesama sebagai suatu bentuk iman yang menyatukan umat beragama?
Kami mencoba menghadapi pertanyaan ini sebagai pertanyaan yang menghubungkan kerja-kerja sehari-hari sebagai praktek dari iman yang muncul dari tanggapan manusia terhadap ajaran mengikuti Allah. Menghindari menjawab pertanyaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk ekspresi iman yang cenderung sentralitas dalam kebenaran komunitas sendiri. Sehingga tampilannya hadir sebagai iman yang monolitik karena internalisasi keyakinan cenderung memuaskan diri manusia bukan untuk mengikuti jalan Allah, mengasihi sesama manusia. Pertanyaan ini adalah renungan kami di hadapan anak-anak, perempuan dan bapak-bapak. Mereka yang semuanya sudah saling mengenal karena bertahun-tahun bekerja bersama-sama.
Saya mengantarkan pertemuan buka puasa dengan menyambut anak-anak dan teman-teman yang hadir. Setiap waktu adalah berkat dari Allah, dan kemarin, hari Sabtu ini adalah hari kita bersama. Ada waktu untuk menari, ada waktu untuk merenung. Sekarang waktunya untuk kita bersama merenung mengapa anak-anak masih terus menari. Mereka semua setuju, menyampaikan ketika saya bertanya mengapa anak-anak berada sekarang ini di Pondok Tali Rasa. Semua menyambutnya dengan mengatakan bahwa mereka suka menari. Anak-anak dipertemukan karena kesamaan kesenangan menari.
Mereka menarikan tarian-tarian bertema perdamaian. Tarian sebagai alat untuk menyampaikan pesan damai. Mereka setuju bahwa dengan pengalaman perdamaian menghindarkan mereka dari pertengkaran. Pertengkaran terjadi karena masing-masing dari kita merasa paling benar. Banyak pertengkaran terjadi karena perbedaan agama. Supaya kita belajar untuk menerima satu dengan lainnya, kita perlu belajar untuk berdialog, mengenal tradisi dan alasan pelaksanaannya pada agama-agama yang dianut oleh sesama kita. Bisakah orang beragama hidup rukun? Hidup rukun adalah agenda dari anak-anak. Anak-anak adalah duta-duta perdamaian. Ketika dialog tidak lagi bisa dilakukan kita sedang memusnakan manusia dan alam semestanya.
Sesudah pengantar yang singkat saya menyerahkan pelaksanaan doa dan khotbah kepada bu Ruhaini. Bu Ruhaini membuka dengan membaca doa dalam bahasa Arab menyucikan situasi dan tempat ketika kita semua berada kemarin sore. Suasana spiritualitas makin terasa. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan tentang hubungan antara puasa dengan perdamaian. Islam mengajarkan perdamaian yang terkait dengan mencintai Allah, nabi Muhammad SAW, orang tua, dan sesama manusia.
Ajaran Islam tentang berapa lama kemarahan bisa disimpan adalah hanya tiga hari. Kemudian bu Ruhaini bertanya dari anak-anak Kristiani apa yang diajarkan di sekolah Minggu. Berapa lama kemarahan bisa ditahan? Dijawab oleh anak-anak Kristiani bahwa Yesus mengatakan kemarahan tidak bisa disimpan sampai matahari terbit. Pertengkaran harus diselesaikan secepatnya dengan melibatkan kemurahan Allah untuk menyentuh hati kedua pihak yang sedang bertengkar. Hanya sesudah berdamai, mereka yang bertengkar bisa berdoa kepada Allah.
Kepada anak-anak bu Ruhaini bertanya mengapa mereka berpuasa. Puasa merupakan salah satu dari lima kewajiban dalam Islam. Empat kewajiban Islam lainnya adalah menyebutkan syahadah, memberikan zakat, sholat lima waktu, dan melakukan ibadah haji. Bu Ruhaini menjelaskan sambil berdialog dengan anak-anak menanyakan mereka siapa yang berpuasa. Anak-anak muslim semuanya berpuasa. Bahkan ada seorang anak lelaki kecil berumur lima tahun mengangkat tangannya mengatakan berpuasa setengah hari. Dikatakan oleh bu Ruhaini bahwa puasa adalah kepunyaan Allah SWT. Sambil menyinggung anaknya yang bertanya mengapa Allah yang Maha Pencipta memerlukan manusia untuk melakukan puasa kepadanya. Pertanyaan itu dijawab bu Ruhaini dengan menggambarkan bahwa yang memerlukan Allah adalah manusia.
Puasa adalah kepunyaan Allah tetapi manusia memerlukannya supaya ia bisa hidup. Puasa adalah tindakan yang disengaja oleh manusia, supaya tidak makan dan minum. Tujuan puasa adalah manusia bisa merasakan penderitaan sesamanya. Merasakan perasaan dan pengalaman orang lain sangat penting untuk mencapai jalan ke Allah. Karena dari pengalaman ini akan ada upaya untuk mengatasi penderitaan dari mereka yang menderita karena miskin.
Anak-anak sangat terkesima dengan penjelasan bu Ruhaini terutama ketika mendengar pertanyaannya tentang apa yang anak-anak tahu tentang agama lain dari teman-temannya yang Kristiani. Apa yang anak-anak Kristiani tahu tentang Islam. Islam dan Kristen mempunyai banyak kemiripan, karena berangkat dari tradisi agama Ibrahim yang sama. Walaupun Islam kemudian mengembangkan tradisi ibadah dan teologi yang berbeda dari Kristiani.
Menurutnya sangat penting anak-anak mendapat pelajaran agama yang benar dari orang-orang disekitarnya. Apa yang diajarkan oleh ibu terhadap anak akan mempengaruhi anaknya seumur hidup. Diambil contoh dari anaknya sendiri yang pada suatu waktu pulang sekolah sambil menangis. Ia sangat terganggu dengan penjelasan dari guru agama bahwa orang non Muslim kalau meninggal tempatnya di neraka.
Anaknya menangis karena teringat Rebecca dan Bude, tetangga mereka yang beragama Kristen Katolik. “Bude dan Becca adalah orang baik. Tidak mungkin mereka masuk neraka bu”. Bu Ruhaini meniru perkataan anaknya. Kemudian bu Ruhaini menjelaskan kepada anaknya bahwa setiap orang yang berbuat baik akan masuk sorga karena yang punya sorga adalah Allah SWT.
Hanya Allah yang tahu siapa yang betul-betul berbuat baik dan memperhitungkannya. Sesudah mengatakan demikian anaknya tenang. Bu Ruhaini menasihati supaya ibu-ibu bersiap sedia menyambut anak-anak yang makin kritis dan mempunyai akses untuk belajar tentang agama lain dari sumber-sumber yang tersedia di media.
Bersama anak-anak dan perempuan berbuka puasa bersama sangat mengharukan hati saya. Berbuka puasa dilakukan ketika bu Pronti dan bu Wati, PRT saya sudah mudik pasti tidak gampang. Selain mendapat dukungan dari anggota keluarga yang turun tangan membersihkan dan menata rumah, ibu-ibu anak-anak memutuskan untuk memasak dan membantu mencucikan piring. Bu Kamil, nenek asli dari Palu, Sulawesi Tengah yang bertahun-tahun tinggal di Yogya untuk membesarkan cucu-cucunya membantu memasak Coto Makassar dan es pisang ijo untuk makanan pembuka puasa.
Pagi-pagi, saya mengajak anak Tirza ke pasar Patuk untuk membeli daging dan ceroan yang sudah dipesan sehari sebelumnya. Pasar Patuk terletak di belakang jalan Malioboro tepatnya di belakang toko Ramai. Belanja di pasar Patuk sangat praktis terutama kalau saya punya hajatan untuk tamu-tamu lebih dari 50 orang. Sehari-hari bu Pronti dan bu Wati berbelanja di pasar Demangan.
Saya membersihkan daging, ceroan, babat dan iso kemudian merebusnya sebelum saya pergi menghadiri rapat EATWOT jam 10 pagi. Perjalanan pulang ke rumah dari rapat Eatwot pada jam 1 siang, di garasi saya sudah mencium bau coto Makassar. Hati saya senang dan bersyukur. Rumah akan dipenuhi dengan anak-anak dan teman-teman nanti sore.
Saya kemudian membuat dua buah kue black forest sebagai kue HUT untuk mba Tina. Sesudah siap, kedua kue ini dipanjangkan di atas meja marmer di tengah ruangan. Setelah berbuka puasa, saya mengundang mba Tina membakar lilin, meniupkan kedua lilin yang diletakkan di tengah-tengah masing-masing kue. Saya katakan karena ketulusan hati mba Tina mencintai anak-anak maka Allah memberikan rahmat untuk kami semua merayakan hari kelahiran mba Tina yang ke 43 pada bulan Ramadhan 2011. Kami menyanyikan lagu panjang umur ketika mba Tina meniupkan lilinnya. Mba Tina memotong kue dan membagikan kepada semua. Sesudah itu anak-anak dan para tamu bersholat.
Permulaan dari awal berdialog secara teologis adalah kesiapan untuk mendengar dengan hati. Buka puasa hari Sabtu tanggal 27 Agustus 2011, beberapa hari sebelum Idul Fitri akan dikenang oleh anak-anak dan perempuan sebagai hari penting. Karena kami merenungkan bersama bahwa kami bisa mencintai Allah dan sesamanya dengan keindahan dan kebaikan dari Tuhan sendiri. Yesus Kristus mengajarkan Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri dan kasihilah Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.
Keindahan ini adalah bagian dari pengalaman mendialogkan kehidupan di hadapan Allah dan manusia sehingga pengertian teologis tampil meneguhkan tindakan iman bersama yang sudah terjadi. Mengingatnya membuat saya bernyanyi seperti kekhusutan pengajian dari suara mesjid Al Istiqomah yang sedang menenangkan hati semua umat di malam bulan Ramadhan.
*)blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself
Tidak ada komentar:
Posting Komentar