Melintasi iman, berjalan dalam jalan Allah. Renungan Minggu III di bulan Ramadhan 2011
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)
Bulan Agustus 2011 akan saya kenang sebagai bulan berkat karena inilah bulan Ramadhan. Sebagai seorang Kristiani, saya tidak berpuasa. Ada tradisi puasa yang masih dipelihara dalam gereja. Biasanya puasa dilakukan pada masa sebelum Paskah dan sebelum Natal, yaitu masa Advent, masa persiapan untuk kedatangan Natal.
Akan tetapi pada bulan inilah saya banyak merenungkan tentang dampak beragama bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin kesetiaan permenungan ini dipelihara sehingga saya bisa diberikan ilham menulis setelah dipicu oleh desakan yang menghebohkan dari Marzuki Ali untuk memberikan maaf kepada koruptor. Sejak itu saya mulai membagikan permenungan saya.
Hari Minggu ini adalah minggu ke-3 di mana saya ingin berbagi tentang pengalaman iman saya. Itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Agustus. Saya menghadiri upacara pemakanan seorang pemuda, anak dari kawan seperjuangan saya di Koalisi Perempuan Indonesia. Pemuda ini bernama Wawan, berumur 20 tahun. Ibunya bernama bu Suyatmi. Bersama suaminya, pak Subadar, mereka menerima bantuan sepasang kambing untuk diternak. Sesudah setahun dua anak kambing lahir yang siap digulirkan kepada anggota lainnya di Balai Perempuan. Mereka tinggal di dusun Sribit, desa Sendang Tirto, kabupaten Sleman.
Wawan bekerja di Pangkal Pinang, Bangka Belitung di perusahan gas. Kematiannya tragis. Metromini yang ditumpanginya ditabrak bus. Ada tiga orang yang meninggal di tempat, empat orang luka parah termasuk Wawan dan lainnya luka ringan. Seminggu di Bangka tanpa perubahan berarti, Wawan diterbangkan ke Solo dimana ia dirawat di ICU selama 12 hari sebelum akhirnya meninggal. Selama 12 hari di RSU Klaten, Wawan dirawat oleh ibundanya.
Saya tidak pernah bertemu dengan Wawan. Beberapa kali saya berkunjung ke orangtuanya, tetapi pada waktu itu Wawan sudah berangkat ke Bangka. Suatu kali kira-kira dua bulan dari sekarang ketika ada kegiatan di Sribit, saya menyempatkan diri melihat perkembangan kambing-kambing tersebut. Kami mampir di rumah bu Suyatmi. Pada waktu itu ia bertanya kepada saya, “Bu anak saya kerja di Bangka. Saya tahu itu sulit, apakah saya iklas ya bu?”, tanya bu Suyatmi. Saya jawab: “Ibu yang tahu jawabannya. Ketika ibu mengiklaskan anak-anak di mana saja mereka akan bekerja, mereka akan tenang!”. Saya menjawab sambil menguatkan hatinya. Bu Suyatmi tersenyum dan berkata:”Iya bu, saya belajar mengiklaskannya”.
Pemakaman Wawan berjalan dengan indah. Kebaktian dilakukan secara muslim. Sesudah doa Alfateha dibacakan, jenazah diusung ke makam kampung tidak jauh dari rumahnya, kira-kira 100 meter. Memasuki makam dengan kaki tanpa alas. Saya melepaskan sepatu untuk pertama kalinya mengalami pengalaman yang berbeda. Di rumah saya kerja di kebun sering kali tanpa sepatu atau sandal. Tetapi berjalan dengan hormat memasuki areal pemakaman tua di kampung tanpa kasut membuat saya merasa sangat dekat dengan semua orang yang ada di situ. Saya merasa dekat karena kita semua hanyalah manusia.
Saya ingat perkataan dalam kitab Kejadian: ”...engkau kembali lagi ke tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (ayat 19b-19c). Melepaskan kasut, mendekatkan diri pada tanah mengingatkan kita kepada Sang Pencipta. Mentari sore membakar tubuh kami semua. Tanpa keluhan di tengah semua berpuasa, orang-orang menyentuh tanah menyelimuti tubuh Wawan yang terbalut kain kafan. Sebuah kelapa dibelah, airnya ditumpahkan ke gundukan tanah yang membaringkan Wawan. Wawan terbaring dalam haribaan Penciptanya setidaknya tanda kelapa terbaca sebagai harapan dari doa yang dipanjatkan semua terhadap kebaikan yang dilakukan Wawan. Perasaan keiklasan menjadi lengkap ketika kami semua membasuh muka, tangan dan kaki sesudah dari kuburan.
Saya berdoa. Hanya Allah yang tahu mengapa Wawan dipanggil pulang dalam usia yang sangat muda. Sebagai seorang Kristiani, saya percaya seorang manusia lahir dan meninggal berada dalam tangan Allah, sang Pencipta. Bersama Allah dan Kristus, tubuh manusia yang mati juga akan dibangkitkan. Saya berdoa dalam iman saya.
Bahasa iman kita bisa berbeda, tetapi cinta kasih umat manusia menyatukan. Itu terjadi ketika bu Suyatmi berada dalam proses menenangkan dirinya. Seringkali perasaan kehilangan dilarang diungkapkan. Tanda bertakwal adalah tenang dan mengiklaskan. Tetapi duabelas hari bersama Wawan sebenarnya adalah masa-masa kedekatan mendalam sekaligus pemisahan yang mengoyak ketegaran bu Suyatmi.
Jadi ketika semua orang sudah pulang, saya masih di sana. Saya mendengar dan membiarkan ia berbicara. Kemudian bu Suyatmi bercerita tentang rencana Wawan untuk pulang ke Yogya sebelum puasa. Setahun lalu, seminggu sebelum bulan puasa dimulai, Wawan tinggalkan keluarganya ke Bangka untuk bekerja . Tahun ini, seminggu sebelum bulan Ramadhan, Wawan menelepon ibundanya, menanyakan: “Bu, aku ento mule neng umah boten”. Bu Suyatmi menjawab: “Nduk, niki umah mu, ento wae!”. Bu Suyatmi bertanya mengapa untuk pulang ke rumah Wawan harus minta izin. Saya yang ditanyakan begitu, harus bilang apa? Kemudian saya mengatakan kepada bu Suyatmi, bisakah ibu percaya bahwa sebenarnya suara minta izin itu adalah suara Allah. Allah meminta izin dari ibu karena ibulah yang melahirkan Wawan.
Kemudian, ibunya bertanya lagi: “Mengapa harus pulang dalam keadaan begitu, dipulangkan kemudian harus pergi selamanya?”. Ibu Suyatmi tidak bisa mengerti mengapa semuanya terjadi. Saya meneruskan dialog dengan bu Suyatmi. Saya bertanya apakah bu Suyatmi merasakan diberikan kesempatan untuk merawat Wawan sebelum ia pergi selamanya. Bisa saja Allah sudah mengambilnya ketika masih di Bangka, tetapi Wawan diberikan kesempatan untuk pulang ke Jawa supaya memberi peluang kepada dirinya merasakan cinta kasih dengan ibu, ayah, dan adik-adiknya. Sebaliknya keluarganya berkesempatan merawat Wawan.
Pertanyaan saya mengalirkan cerita mendalam dari bu Suyatmi. Dua hari sebelum Wawan meninggal ia bisa berbicara dengan baik. Semua orang punya harapan kepadanya, walaupun setiap hari ada dua botol darah yang harus ditransfusi ke dalam tubuhnya. Kemudian diketahui bahwa ginjalnya sudah tidak berfungsi sehingga darah yang ditransfusi masuk ke perut, paru-paru dan organ lainnya. Pada hari terang itu, Wawan meminta ibunya untuk mengeloninya. Bahkan minta ibunya untuk mengendong dirinya. Ibunya yang kecil hanya memijat dan membelainya. Wawan sangat tenang dan merasakan kasih sayang bundanya. Bu Suyatmi merasakan mendalam kesempatan untuk merawat anaknya seperti sedang melayaninya ketika Wawan masih bayi.
Kesempatan untuk merawat juga diterima oleh sang ayah. Di malam Senin di antara jam 11-12 malam, tiba-tiba Wawan berada dalam keadaan krisis. Tanda-tanda zakaral maut tampil di depan keluarganya. Bu Suyatmi meminta suaminya berhadapan dengan Wawan untuk mengantarkannya memasuki perjalanan zakaral maut. Kemudian ibunya bersama saudara-saudarinya yang lain melakukan sholat di luar kamar. Wawan sedang dibimbing sang ayah untuk berdoa sendiri. Ayahnya bisa merasakan Wawan melakukan doa mendalam walaupun sulit sampai akhirnya ia dilepaskan dalam keadaan seperti sedang tertidur. Ada senyum tipis di wajahnya yang tenang.
Menunggu sampai ceritanya selesai. Menunggu sampai penafsiran bu Suyatmi dibawa kepada penjelasan yang diterima dalam iman. Menunggu sampai bu Suyatmi mengakui kebaikan Allah, sang Pencipta kepada Wawan. Menunggu sampai bu Suyatmi siap untuk bersujud kembali kepada Allah. Menuggu sampai ia merasakan sukacita tentang kesempatan “merawat” anaknya yang mengubah dirinya dalam perasaan sayang yang dikembalikan kepada sang Pencipta. Menunggu sampai saya bisa melihat makna kehidupan dalam diri sesama manusia. Saya disana untuk mengerti kebesaran Allah yang maha pengasih, karena saya mau menunggu. Menanti.
Memasuki pertalian bathin dengan sesama umat beragama, dalam penderitaan untuk mengerti jawaban-jawaban dari semua pertanyaan yang ada, bisa terjadi karena dituntun oleh Allah sendiri. Kekuatan melintasi, memasuki bathin sesama bukan semata-mata karena kemampuan manusia. Bukan hanya karena manusia berani. Pengalaman melintasi memasuki kekayaan bathin bu Suyatmi terjadi ketika saya sebenarnya sedang merenungkan tentang makna “merawat”. Saya sungguh merasa diberkati menyaksikan pengalaman “merawat” dialami bu Suyatmi ketika saya sedang juga meminta dari Allah untuk bisa mempunyai pengalaman yang sama, “merawat” anak-anak.
Sekarang saya sedang menulis pengalaman ini. Pengalaman penghayatan saya menyaksikan Allah mengizinkan seorang ibu, bu Suyatmi mengalami pengalaman “merawat” dan saya membahasakannya dalam perasaan saya. Inilah keadilan Allah yang harus saya terima. Kekuatan melintasi iman sendiri dituntut oleh tangan Allah sehingga saya bisa mengalami dari cara pengalaman seorang perempuan, bu Suyatmi “merawat” anaknya sesuai dengan permintaan anaknya sebelum akhirnya ia pergi selama-lamanya. Mata iman saya dibukakan melalui pengalaman bu Suyatmi.
Kekuatan seperti ini tampil dalam bentuk lain seperti disenandungkan oleh Irwansyah Harahap dan Rithaony Hutajulu, dalam album koleksi mereka berjudul "Lebah". Bung Irwansyah dan istrinya, Ritha, pernah terlibat bareng dalam penampilan bersama akademisi dan artis dari beberapa negara selain Indonesia untuk perdamaian antara agama di Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta pada bulan April 2010. Kompas melaporkan dengan judul berita "berbagi panggung untuk perdamaian" (lihat Kompas, 6 April 2010). Waktu itu saya mengorganisir anak-anak dan perempuan untuk menari dan menyanyi untuk perdamaian antar agama. Ritha dan suaminya bergabung dengan kelompok Suarasama yang menyanyikan lagu-lagu ciptaan Irwansyah berirama gurun pasir.
Dalam album “Lebah” ada tiga lagu yang sangat menyentuh hati saya. Saya mengetik ulang lirik lagu-lagu itu. Musiknya sedang bersenangdung dalam perasaan saya. Saya bersyukur diberikan pengalaman iman melintasi memasuki iman dari para penyanyi itu. Sehingga saya juga bisa melihat jalan Allah untuk membimbing umat seperti tertulis dalam Al Quran. Irwansyah membahasakan firman Allah dalam bahasa yang menyentuh iman saya sehingga saya bersyukur dan memuliakan Allah. Pertama, lagu berjudul Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah. Kedua, lagu dengan judul Ibrahim Alaihissalam. Ketiga, lagu dengan judul Isa Alaihissalam.
Saya mengutipnya lengkap
1. Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah
Habibullah..Ya Rasullulah
Ya Muhammad, Nabi Mulia
Shalawat dan salamku padamu..wahai Rasul
Janji Allah’ kan kekasihNya
Ya Muhammad, rahmat semesta
Karunia’kan kehidupan pembawa umat
Penerang jalan kepadaNya
Ya…Rasullulah …Ya…Rasullulah
Ya…Rasullulah…Ya..Habibullah
2. Ibrahim Alaihissalam
Lama sudah menunggu, hasrat hati merindu
Do’a pada Tuhanku, atas keinginanku
Dikau member janji, ikhlas untuk memberi
Aku yang menyendiri, sujud pada Ilahi
Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyerah padaMu Rabbi
Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyukur padaMu Ilahi Rabbi
Bulan berganti tahun, waktu jadi penuntun
Dua benih serumpun, asal di mula kaum
Ia beri pertanda, kebesaran Khaliknya
Dua yang bersaudara, dua rahim ibunda
Ia menjadi kisah, Nabi Khalik Pencipta
Diuji ‘tlah hatinya, taqwa pada Tuhannya
Ia diberi sapa oleh umat manusia
Ditinggikan maqamnya, dipujikan namanya
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
(Ya Rabbi, Ya Rabbi, Ya Rabbi)
3. Isa Alaihissalam
Bintang Nun gemerlapan,
Awan putih terbentang
Burung pun bersahutan,
Sambut Kekasih datang
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia yang dilahirkan,kuasa diberikan
Dia yang disuruhkan, bawa pesan pujian
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia ajarkan cinta, kasih dan pengharapan
Ia ingatkan dosa bagi keselamatan
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia yang ditakdirkan jadi penerang jalan
Dia yang dibangkitkan bawa pesan pujian
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself
Oleh Farsijana Adeney-Risakotta*)
Bulan Agustus 2011 akan saya kenang sebagai bulan berkat karena inilah bulan Ramadhan. Sebagai seorang Kristiani, saya tidak berpuasa. Ada tradisi puasa yang masih dipelihara dalam gereja. Biasanya puasa dilakukan pada masa sebelum Paskah dan sebelum Natal, yaitu masa Advent, masa persiapan untuk kedatangan Natal.
Akan tetapi pada bulan inilah saya banyak merenungkan tentang dampak beragama bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Mungkin kesetiaan permenungan ini dipelihara sehingga saya bisa diberikan ilham menulis setelah dipicu oleh desakan yang menghebohkan dari Marzuki Ali untuk memberikan maaf kepada koruptor. Sejak itu saya mulai membagikan permenungan saya.
Hari Minggu ini adalah minggu ke-3 di mana saya ingin berbagi tentang pengalaman iman saya. Itu terjadi pada hari Senin tanggal 15 Agustus. Saya menghadiri upacara pemakanan seorang pemuda, anak dari kawan seperjuangan saya di Koalisi Perempuan Indonesia. Pemuda ini bernama Wawan, berumur 20 tahun. Ibunya bernama bu Suyatmi. Bersama suaminya, pak Subadar, mereka menerima bantuan sepasang kambing untuk diternak. Sesudah setahun dua anak kambing lahir yang siap digulirkan kepada anggota lainnya di Balai Perempuan. Mereka tinggal di dusun Sribit, desa Sendang Tirto, kabupaten Sleman.
Wawan bekerja di Pangkal Pinang, Bangka Belitung di perusahan gas. Kematiannya tragis. Metromini yang ditumpanginya ditabrak bus. Ada tiga orang yang meninggal di tempat, empat orang luka parah termasuk Wawan dan lainnya luka ringan. Seminggu di Bangka tanpa perubahan berarti, Wawan diterbangkan ke Solo dimana ia dirawat di ICU selama 12 hari sebelum akhirnya meninggal. Selama 12 hari di RSU Klaten, Wawan dirawat oleh ibundanya.
Saya tidak pernah bertemu dengan Wawan. Beberapa kali saya berkunjung ke orangtuanya, tetapi pada waktu itu Wawan sudah berangkat ke Bangka. Suatu kali kira-kira dua bulan dari sekarang ketika ada kegiatan di Sribit, saya menyempatkan diri melihat perkembangan kambing-kambing tersebut. Kami mampir di rumah bu Suyatmi. Pada waktu itu ia bertanya kepada saya, “Bu anak saya kerja di Bangka. Saya tahu itu sulit, apakah saya iklas ya bu?”, tanya bu Suyatmi. Saya jawab: “Ibu yang tahu jawabannya. Ketika ibu mengiklaskan anak-anak di mana saja mereka akan bekerja, mereka akan tenang!”. Saya menjawab sambil menguatkan hatinya. Bu Suyatmi tersenyum dan berkata:”Iya bu, saya belajar mengiklaskannya”.
Pemakaman Wawan berjalan dengan indah. Kebaktian dilakukan secara muslim. Sesudah doa Alfateha dibacakan, jenazah diusung ke makam kampung tidak jauh dari rumahnya, kira-kira 100 meter. Memasuki makam dengan kaki tanpa alas. Saya melepaskan sepatu untuk pertama kalinya mengalami pengalaman yang berbeda. Di rumah saya kerja di kebun sering kali tanpa sepatu atau sandal. Tetapi berjalan dengan hormat memasuki areal pemakaman tua di kampung tanpa kasut membuat saya merasa sangat dekat dengan semua orang yang ada di situ. Saya merasa dekat karena kita semua hanyalah manusia.
Saya ingat perkataan dalam kitab Kejadian: ”...engkau kembali lagi ke tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (ayat 19b-19c). Melepaskan kasut, mendekatkan diri pada tanah mengingatkan kita kepada Sang Pencipta. Mentari sore membakar tubuh kami semua. Tanpa keluhan di tengah semua berpuasa, orang-orang menyentuh tanah menyelimuti tubuh Wawan yang terbalut kain kafan. Sebuah kelapa dibelah, airnya ditumpahkan ke gundukan tanah yang membaringkan Wawan. Wawan terbaring dalam haribaan Penciptanya setidaknya tanda kelapa terbaca sebagai harapan dari doa yang dipanjatkan semua terhadap kebaikan yang dilakukan Wawan. Perasaan keiklasan menjadi lengkap ketika kami semua membasuh muka, tangan dan kaki sesudah dari kuburan.
Saya berdoa. Hanya Allah yang tahu mengapa Wawan dipanggil pulang dalam usia yang sangat muda. Sebagai seorang Kristiani, saya percaya seorang manusia lahir dan meninggal berada dalam tangan Allah, sang Pencipta. Bersama Allah dan Kristus, tubuh manusia yang mati juga akan dibangkitkan. Saya berdoa dalam iman saya.
Bahasa iman kita bisa berbeda, tetapi cinta kasih umat manusia menyatukan. Itu terjadi ketika bu Suyatmi berada dalam proses menenangkan dirinya. Seringkali perasaan kehilangan dilarang diungkapkan. Tanda bertakwal adalah tenang dan mengiklaskan. Tetapi duabelas hari bersama Wawan sebenarnya adalah masa-masa kedekatan mendalam sekaligus pemisahan yang mengoyak ketegaran bu Suyatmi.
Jadi ketika semua orang sudah pulang, saya masih di sana. Saya mendengar dan membiarkan ia berbicara. Kemudian bu Suyatmi bercerita tentang rencana Wawan untuk pulang ke Yogya sebelum puasa. Setahun lalu, seminggu sebelum bulan puasa dimulai, Wawan tinggalkan keluarganya ke Bangka untuk bekerja . Tahun ini, seminggu sebelum bulan Ramadhan, Wawan menelepon ibundanya, menanyakan: “Bu, aku ento mule neng umah boten”. Bu Suyatmi menjawab: “Nduk, niki umah mu, ento wae!”. Bu Suyatmi bertanya mengapa untuk pulang ke rumah Wawan harus minta izin. Saya yang ditanyakan begitu, harus bilang apa? Kemudian saya mengatakan kepada bu Suyatmi, bisakah ibu percaya bahwa sebenarnya suara minta izin itu adalah suara Allah. Allah meminta izin dari ibu karena ibulah yang melahirkan Wawan.
Kemudian, ibunya bertanya lagi: “Mengapa harus pulang dalam keadaan begitu, dipulangkan kemudian harus pergi selamanya?”. Ibu Suyatmi tidak bisa mengerti mengapa semuanya terjadi. Saya meneruskan dialog dengan bu Suyatmi. Saya bertanya apakah bu Suyatmi merasakan diberikan kesempatan untuk merawat Wawan sebelum ia pergi selamanya. Bisa saja Allah sudah mengambilnya ketika masih di Bangka, tetapi Wawan diberikan kesempatan untuk pulang ke Jawa supaya memberi peluang kepada dirinya merasakan cinta kasih dengan ibu, ayah, dan adik-adiknya. Sebaliknya keluarganya berkesempatan merawat Wawan.
Pertanyaan saya mengalirkan cerita mendalam dari bu Suyatmi. Dua hari sebelum Wawan meninggal ia bisa berbicara dengan baik. Semua orang punya harapan kepadanya, walaupun setiap hari ada dua botol darah yang harus ditransfusi ke dalam tubuhnya. Kemudian diketahui bahwa ginjalnya sudah tidak berfungsi sehingga darah yang ditransfusi masuk ke perut, paru-paru dan organ lainnya. Pada hari terang itu, Wawan meminta ibunya untuk mengeloninya. Bahkan minta ibunya untuk mengendong dirinya. Ibunya yang kecil hanya memijat dan membelainya. Wawan sangat tenang dan merasakan kasih sayang bundanya. Bu Suyatmi merasakan mendalam kesempatan untuk merawat anaknya seperti sedang melayaninya ketika Wawan masih bayi.
Kesempatan untuk merawat juga diterima oleh sang ayah. Di malam Senin di antara jam 11-12 malam, tiba-tiba Wawan berada dalam keadaan krisis. Tanda-tanda zakaral maut tampil di depan keluarganya. Bu Suyatmi meminta suaminya berhadapan dengan Wawan untuk mengantarkannya memasuki perjalanan zakaral maut. Kemudian ibunya bersama saudara-saudarinya yang lain melakukan sholat di luar kamar. Wawan sedang dibimbing sang ayah untuk berdoa sendiri. Ayahnya bisa merasakan Wawan melakukan doa mendalam walaupun sulit sampai akhirnya ia dilepaskan dalam keadaan seperti sedang tertidur. Ada senyum tipis di wajahnya yang tenang.
Menunggu sampai ceritanya selesai. Menunggu sampai penafsiran bu Suyatmi dibawa kepada penjelasan yang diterima dalam iman. Menunggu sampai bu Suyatmi mengakui kebaikan Allah, sang Pencipta kepada Wawan. Menunggu sampai bu Suyatmi siap untuk bersujud kembali kepada Allah. Menuggu sampai ia merasakan sukacita tentang kesempatan “merawat” anaknya yang mengubah dirinya dalam perasaan sayang yang dikembalikan kepada sang Pencipta. Menunggu sampai saya bisa melihat makna kehidupan dalam diri sesama manusia. Saya disana untuk mengerti kebesaran Allah yang maha pengasih, karena saya mau menunggu. Menanti.
Memasuki pertalian bathin dengan sesama umat beragama, dalam penderitaan untuk mengerti jawaban-jawaban dari semua pertanyaan yang ada, bisa terjadi karena dituntun oleh Allah sendiri. Kekuatan melintasi, memasuki bathin sesama bukan semata-mata karena kemampuan manusia. Bukan hanya karena manusia berani. Pengalaman melintasi memasuki kekayaan bathin bu Suyatmi terjadi ketika saya sebenarnya sedang merenungkan tentang makna “merawat”. Saya sungguh merasa diberkati menyaksikan pengalaman “merawat” dialami bu Suyatmi ketika saya sedang juga meminta dari Allah untuk bisa mempunyai pengalaman yang sama, “merawat” anak-anak.
Sekarang saya sedang menulis pengalaman ini. Pengalaman penghayatan saya menyaksikan Allah mengizinkan seorang ibu, bu Suyatmi mengalami pengalaman “merawat” dan saya membahasakannya dalam perasaan saya. Inilah keadilan Allah yang harus saya terima. Kekuatan melintasi iman sendiri dituntut oleh tangan Allah sehingga saya bisa mengalami dari cara pengalaman seorang perempuan, bu Suyatmi “merawat” anaknya sesuai dengan permintaan anaknya sebelum akhirnya ia pergi selama-lamanya. Mata iman saya dibukakan melalui pengalaman bu Suyatmi.
Kekuatan seperti ini tampil dalam bentuk lain seperti disenandungkan oleh Irwansyah Harahap dan Rithaony Hutajulu, dalam album koleksi mereka berjudul "Lebah". Bung Irwansyah dan istrinya, Ritha, pernah terlibat bareng dalam penampilan bersama akademisi dan artis dari beberapa negara selain Indonesia untuk perdamaian antara agama di Lembaga Indonesia Perancis di Yogyakarta pada bulan April 2010. Kompas melaporkan dengan judul berita "berbagi panggung untuk perdamaian" (lihat Kompas, 6 April 2010). Waktu itu saya mengorganisir anak-anak dan perempuan untuk menari dan menyanyi untuk perdamaian antar agama. Ritha dan suaminya bergabung dengan kelompok Suarasama yang menyanyikan lagu-lagu ciptaan Irwansyah berirama gurun pasir.
Dalam album “Lebah” ada tiga lagu yang sangat menyentuh hati saya. Saya mengetik ulang lirik lagu-lagu itu. Musiknya sedang bersenangdung dalam perasaan saya. Saya bersyukur diberikan pengalaman iman melintasi memasuki iman dari para penyanyi itu. Sehingga saya juga bisa melihat jalan Allah untuk membimbing umat seperti tertulis dalam Al Quran. Irwansyah membahasakan firman Allah dalam bahasa yang menyentuh iman saya sehingga saya bersyukur dan memuliakan Allah. Pertama, lagu berjudul Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah. Kedua, lagu dengan judul Ibrahim Alaihissalam. Ketiga, lagu dengan judul Isa Alaihissalam.
Saya mengutipnya lengkap
1. Habibullah, Muhammad Ya Rasullullah
Habibullah..Ya Rasullulah
Ya Muhammad, Nabi Mulia
Shalawat dan salamku padamu..wahai Rasul
Janji Allah’ kan kekasihNya
Ya Muhammad, rahmat semesta
Karunia’kan kehidupan pembawa umat
Penerang jalan kepadaNya
Ya…Rasullulah …Ya…Rasullulah
Ya…Rasullulah…Ya..Habibullah
2. Ibrahim Alaihissalam
Lama sudah menunggu, hasrat hati merindu
Do’a pada Tuhanku, atas keinginanku
Dikau member janji, ikhlas untuk memberi
Aku yang menyendiri, sujud pada Ilahi
Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyerah padaMu Rabbi
Ya Ilahi, Allahu Rabbi, ‘ku bersyukur padaMu Ilahi Rabbi
Bulan berganti tahun, waktu jadi penuntun
Dua benih serumpun, asal di mula kaum
Ia beri pertanda, kebesaran Khaliknya
Dua yang bersaudara, dua rahim ibunda
Ia menjadi kisah, Nabi Khalik Pencipta
Diuji ‘tlah hatinya, taqwa pada Tuhannya
Ia diberi sapa oleh umat manusia
Ditinggikan maqamnya, dipujikan namanya
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
Ya, Ibarahim Alaihissalam, Ya Ibarahim Alaihissalam
(Ya Rabbi, Ya Rabbi, Ya Rabbi)
3. Isa Alaihissalam
Bintang Nun gemerlapan,
Awan putih terbentang
Burung pun bersahutan,
Sambut Kekasih datang
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia yang dilahirkan,kuasa diberikan
Dia yang disuruhkan, bawa pesan pujian
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia ajarkan cinta, kasih dan pengharapan
Ia ingatkan dosa bagi keselamatan
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
Ia yang ditakdirkan jadi penerang jalan
Dia yang dibangkitkan bawa pesan pujian
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Isa Alaihissalam
Ya Isa Alaihissalamu, Ya Rasul Alaihissalam
*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java, dan empowering women transforming myself
Tidak ada komentar:
Posting Komentar