"Mudik", kembalinya kefitraan di rumah Allah. Refleksi II Ramadhan 2011
Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta*)
Itu terjadi di awal minggu ini. Atas saran bu Pronti, saya kembali dari Carrefour dengan kue-kue kaleng yang akan dibagi-bagi di sekitar rumah kami di Karanggayam, sebelum mereka mudik kampung hari ini. Seperti lingkaran, kami menetapkan tetangga yang mengelilingi rumah kami sebagai saudara terdekat. Kitab Amsal menasihatkan, tetangga dekat seperti saudara yang jauh. Kedekatan membuat kita saling membutuhkan.
Kalau di Alas Wegode, Parangtritis, apabila saya perlu singkong, saya berjalan ke kebun pak Sukijo tetangga kami untuk meminta darinya. Meminta merupakan cara untuk membangun keakraban, persaudaraan sehingga orang lain juga bisa berani meminta dari kami. Bu Sar menanam cabe, jadi saya ke Alas Wegode tidak membawa cabe, cukup meminta dari bu Sar. Iapun kemudian tanpa segan meminta bumbu dapur kalau kehabisan.
Biasanya di Karanggayam pada bulan Ramadhan, warga saling membantu untuk mendukung panitia menyediakan makanan buka puasa di mesjid. Sebagai keluarga Kristen di kampung, partisipasi mendukung kegiatan mesjid sudah dilakukan beberapa tahun. Kejadiannya ketika kami mengunjungi pak Zainal, teman kami, yang pada waktu itu menjadi ketua RT. Ketika suami dan saya tiba di rumahnya pak Zainal kaget. Ia berkata: “Saya baru saja mau ke rumah bapak dan ibu. Kok malahan sudah dikunjungi”. Kemudian ia menjelaskan bahwa mereka kehabisan beras untuk menyediakan makanan buka puasa di mesjid. Sesudah pak Zainal selesai bicara, saya mengatakan kami datang untuk memberikan bantuan kepada mesjid. Kemudian suami saya memberikan amplop kepada pak Zainal.
Beliau kaget lalu bertanya: “Bagaimana bapak dan ibu tahu bahwa kami memerlukan bantuan?”. Sebelum menjawab saya balik bertanya, “Mengapa pak Zainal memilih datang ke rumah kami untuk maksud tersebut?”. Jawabannya: “Kami tahu bapak dan ibu tetangga yang peduli”. Kemudian saya menjawab kepadanya: “Kami datang karena disuruh Allah. Suara Tuhan, Roh Tuhan mendorong kami ke sini. Kami perhatikan mesjid memberikan makan kepada banyak jemaah setiap buka puasa, jadi kami ingin membantu.” Pak Zainal terkesima. Kami juga diam. Benar Roh Tuhan sedang menjamah kami sebagai orang beragama untuk saling menyentuh hati, saling membisikan doa sehingga satu sama lain bisa menangkap kerinduan dari kebutuhan yang mendesak.
Saya suka dengan sengaja memelihara keistimewaan setiap hari besar. Hanya ketika bulan puasa kami akan membuat kolak yang enak. Karena saya suka masak, saya senang variasi makanan yang disajikan sehari-hari. Kolak berwarna menarik harus ada pada bulan puasa. Kalau dibeli, kolak sering dibuat dengan warna-warna buram, terlalu kecoklatan dan kemanisan. Bulan puasa bu Pronti dan bu Wati yang membantu saya juga berpuasa. Sebagai orang muslimin, mereka tetap melakukan kerja mereka seperti biasa termasuk memasak untuk keluarga. Mereka sungguh seorang muslim sejati. Saya meminta mereka ke pasar untuk mencari ubi jalar (petatas), yang warnanya kuning. Warna kuning di dalam kolak! Wow cerah. Saya bayangkan.
Sesudah saya kembali dari kerjaan, bahan-bahan sudah dikupaskan, kemudian kami bersama membuat kolak. Saya mencicipi sesudah gula, garam dan daun pandan ditambahkan pada campuran petatas, pisang dan kolang kaling. Hanya sedikit santan encer saya tuangkan ke dalam kolak sekedar menambahkan rasa gurih. Ini adalah corak kolak di Pondok Tali Rasa. Kolak dengan rasa manis secukupnya. Sesudah selesai, kami membagikan kepada tetangga-tetangga, mereka dalam lingkaran saudara maupun tambahan teman-teman kampung yang menerima kami sejak kami menetap di Karanggayam.
Cerita tentang makanan hari raya, ketika lebaran, ada tetangga atau teman mengirim ketupat dan opor ayamnya. Tetapi yang paling berkesan adalah tradisi makan kambing hanya pada saat perayaan Idul Adha. Pada saat itu, saudara-I muslim sekampung memberikan daging korban kepada kami. Kami menyebut hari Idul Adha hari istimewa karena setahun sekali makan daging kambing. Saya meminta bu Pronti membuat sate kambing, tongseng dan gule kambing. Pada hari Idul Adha, aroma lingkungan berbeda. Angin bertiup dari sisi kiri dan kanan, semuanya berbau bakaran daging kambing. Hanya hari ini dari seluruh waktu di tahun berjalan, menu utama keluarga adalah kambing.
Tadi pagi bu Pronti dan bu Wati mudik. Hari ketika mereka membantu membagikan kue-kue kaleng itu, mereka merasa puasa sudah hampir selesai. Saya terdiam mencoba memikirkan perasaan mereka dan komentar yang dikeluarkan. Sekarang puasa tinggal beberapa hari, kurang dari sepuluh jari. Tetapi pada waktu bu Pronti merasakan puasa sudah hampir selesai, sebenarnya puasa masih lebih dari sepuluh hari. Bu Pronti tidak bermaksud mempercepat puasa. Mungkin dibenaknya, ia sudah rindu keluarganya. Sehingga semakin dekat waktu seminggu sebelum lebaran, semakin cepat ia akan mudik. Berpikir ini saya langsung tersenyum membaca pikiran bu Pronti. Siang tadi, saya menerima sms pendek mereka sudah tiba dengan selamat di Wonosobo. Mereka akan di kampung selama dua minggu.
Tiga puluh hari berpuasa adalah waktu yang panjang untuk ziarah mencapai kefitraan. Puasa adalah tampilan disiplin yang semula hanya berlaku dikalangan kaum sufis, di ruang-ruang biara dan di catat sebagai disiplin iman yang dilakukan oleh nabi-nabi. Dalam tradisi Kristiani, Isa Almasih, Yohanes pembaptis, atau Jahya sang pembaptis melakukan puasa sambil tinggal di hutan belantara. Cerita ini mengingatkan saya tentang perjalanan Sunan Kalijaga Waliyullah Tanah Jawi yang melakukan perjalanan melintasi hutan, sungai, dalam pertapaannya. Di sela-sela waktu inilah, ia berpuasa.
Cara hidup disiplin kaum sufis menjadi bagian dari kehidupan jamaah sebagai suatu sunnah yang diwajibkan kepada umat Muslimin. Saya merenungkan perjalanan puasa lebih sekedar dari ketaatan untuk tidak makan dan minum. Puasa adalah perjalanan untuk berziarah keluar dari diri manusia melintasi imannya menuju Allah. Manusia modern beda dengan manusia pada jaman Isa Almasih, Yohanes Pembaptis atau Sunan Kalijaga. Dalam Alkitab dikatakan bahwa makanan dari Yohanes pembaptis ketika di hutan adalah madu, susu dan belalang. Yesus dikatakan puasa selama 40 hari tanpa makan dan minum.
Puasa di dunia modern adalah puasa yang menggerakkan roda perekonomian pada sore hari. Menjelang jam 4 sore sudah banyak penjual mulai menempati sepanjang jalan raya menunggu pembeli mencari makanan berbuka puasa. Pemusatan penjualan di sepanjang jalan meninggalkan problem pengolahan plastik. Seolah-olah hubungan antara berpuasa dengan memelihara lingkungan dari rumah semesta terpotong. Berbagai produk makanan dihasilkan pada bulan puasa. Kue-kue kaleng dengan berbagai merek muncul menjelang lebaran. Cerita-cerita yang tertulis sebagai catatan-catatan kehidupan dalam kitab suci maupun tulisan tentang Sunan Kalijaga sudah berbeda dengan kehidupan jamaah beragama pada jaman modern.
Kadang-kadang saya bertanya, dan sekarang saya mau menulisnya, bagaimanakah dalam alam modern kefitraan bisa dicapai ketika kehidupan sehari-hari tampil dengan kelimpahan yang hampir menyebabkan kita melupakan campur tangan Allah. Protes kaum muslimin terhadap upaya memanfaatkan keuntungan dari suara adzan seperti yang tampil di TV-TV setidaknya menunjukkan upaya jemaat untuk mensakralkan ritus puasa di dunia modern dengan kualitas kedalaman yang sama seperti pada masa berabad-abad lalu. Suatu masa yang membawa balik kepada praktek para peziarah yang menghadirkan kerinduan manusia untuk diampuni dirahmati Sang Khalik. Mereka yang berjalan mencari tanda-tanda perjumpaan untuk bertemu dengan Penciptanya.
Perjalanan manusia pulang kepada Allah mungkin secara sosiologis bisa digambarkan seperti perjalanan mudik jamaah dari kota-kota besar kembali ke tempat asalnya. Mudik adalah pulang ke rumah di mana kasih sayang berlimpah menunggu kita. Pulang melewati waktu panjang dalam kehati-hatian adalah perjalanan spiritual penyerahan hidup manusia kepada Allah. Puasa 30 hari adalah mudik ke rumah Allah kembali kepada kefitraan yang dibentuk Allah dalam rumahNya. Rumah di mana manusia bisa bercermin siapakah sejati dirinya. Rumah Allah adalah tempat berlabuh sesudah mengembara seluas lautan setinggi gunung sedalam tebing mencari kefitraan sejati. Rumah di mana bau busuk dibersihkan dari tubuh supaya ada kebangkitan baru, kehidupan yang segar. Rumah di mana kenangan kemesraan dalam jalan Allah dirawat dalam ingatan agar kita selalu terjaga dari kesengajaan yang melupakan.
Ketika jalan menuju kefitraan makin sulit, karena pelaksanaan puasa dilakukan ditempat yang tersulit di mana seseorang sedang bertugas, maka mudik kepada Allah berarti menyerahkan hatinya dibelai hanya oleh suara cinta kasih dari Sang Pencipta. Pengalaman berpuasa yang dilakukan jauh dari keramaian, gegap gempita kota besar, mungkin malahan menguatkan pertemuan pada kefitraan diri yang disempurnakan kembali oleh Allah. Kebiasaan sahur dan buka bersama dengan sanak keluarga, tetapi puasa kali ini harus dihadapi sendiri. Rasa sepi dari kebiasaan yang lazim terjadi dalam bulan puasa malahan menguatkan iman seorang yang sedang berpuasa. Inilah keindahan puasa yang sebenarnya karena meneguhkan diri manusia mendekat dalam jalan Allah.
Saya menulis ini sambil membayangkan pengalaman puasa dari bu Pronti dan bu Wati di tengah-tengah keluarga kristiani. Kesendirian pada masa lalu ketika saya berjalan dari desa ke desa di Halmahera turut menerangi cara saya menghayati makna perjalanan mencapai kefitraan dari Allah. Manusia memerlukan waktu sendiri dengan Allah. Ajakan berpuasa hanya berpengaruh ketika seorang anak manusia mengerti tentang perjalanan ziarah dirinya. Pada saat ini ia akan lebih siap bertanggungjawab terhadap keperbedaan yang dipilihnya bukan sekedar menjadi sama dengan lainnya. Ia siap untuk bertanggungjawab, mengatakan tidak kepada suatu yang dianggapnya benar walaupun untuk itu ia ditolak dari komunitasnya.
Kecenderungan manusia Indonesia adalah melakukan tindakan-tindakan yang sama. Ketika semua orang ingin mobil berwarna hitam, maka di jalan-jalan penuh dengan warna hitam. Ketika semua orang berani melakukan korupsi, maka orang-orang yang hidup lurus dianggap sok suci. Kesucian ternyata dicelah karena dianggap munafik terutama kalau harus dilakukan tanpa suatu ritus ibadah. Kefitraan di bulan ramadhan akan terus menjadi berkat kepada diri kita maupun seluruh manusia Indonesia apabila kesuciaan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari yang diperlukan juga ketika tidak ada ritus sakral seperti puasa.
Mudik kepada Sang Khalik adalah menemukan jalan pulang yang kepada keasalan kita dari mana kita datang dan kemana kita pergi. Tantangan untuk terus memelihara kefitraan dari pengalaman “mudik” kepada Allah adalah berani hidup suci dalam cara Allah. Suatu cara yang datang dari dalam diri kita, yang bukan dilakukan karena kita diancam hukuman, tetapi terutama karena kita mengerti bahwa jalan kehidupan itu adalah jalan menuju ke Allah.
Kefitraan yang tampil dari kekuatan perjalanan ini, menurut saya lebih dari kewajiban, ia adalah hakiki dari kehidupan. Kita akan selalu mudik kepada Allah untuk mendapatkan ridho tentang jalan yang baik atau jalan kutuk. Mencintai jalan Allah membuat kita bersedia melakukan semua kebaikan menurut jalan Allah walaupun ritus-ritus besar keagamaan yang diwajibkan sudah berakhir.
*) blogger tiga blog, Farsidarasjana, a cliff house in java dan empowering women transforming myself.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar